Thursday, 27 June 2019

DEN SETRA : KAUM REVOLUSIONER YANG DIASINGKAN


                Sejarah panjang suatu peradaban bangsa sering kali mencatat nama-nama tokoh yang memiliki jasa besar tetapi menjadi pesakitan politik diakhir cerita hidupnya, seakan-akan tidak ada artinya apa yang pernah diperbuat untuk kemajuan dan kepentingan umum, usaha mewujudkan kebaikan bagi semua golongan, bukan hanya diri pribadinya. Kebaikan memang bukan tabungan sosial, penyelamat diri dari ancaman mara bahaya di hari tua. Seorang tokoh bangsa memiliki resiko besar menjadi korban politik, terlebih lagi bagi mereka yang terjun langsung dalam kegiatan politik praktis. Lawan-lawan politik akan selalu berusaha menjatuhkan, menggeser kedudukan dengan berbagai macam cara sebagai jalan tercapainya tujuan.

                Den setra, seorang tokoh bangsa yang meletakkan dasar pondasi berdirinya negara, ia harus menghadapi kenyataan pahit, dilengserkan dari kedudukannya di pemerintahan hingga diasingkan karena dianggap pemikirannya dapat mengancam kepentingan penguasa baru. Peristiwa pilu yang wajar terjadi bagi orang-orang di dunia perpolitikan. Dukungan massa sebagai sumber kekuatan telah dimatikan, mereka yang dulu menaruh kesetiaan diri kepada Den Setra ikut dihabsi nyawanya, sebagian lagi yang mencari aman memilih untuk ikut bergabung bersama kubu yang menang atau menjadi pengikut penguasa baru. Kita sama-sama paham, kejujuran dan pemikiran luhur tidak ada artinya di panggung politik. Pertemanan dan kesetiaan berdasar atas kepentingan, bukan soal hati nurani yang memandang baik buruknya suatu pilhan dan tindakan.


Teater Sandilara. Pak Lakon & Mbah Jaga,
dalam sebuah adegan naskah DOM karya Bambang Widoyo SP



Tersingkir Sebagai Tahanan Politik Di Kampung Kandangan
               
                Merasa tidak mendapat perlakuan baik membuat Den Setra merasa semakin terpuruk, bagaimana tidak, seorang tokoh bangsa harus menerima kenyataan disingkirkan oleh pihak lain yang merupakan saudara sebangsa. Hanya karena perbedaan kepentingan dan perluasan kekuasaan, orang harus saling tendang, mengorbankan hak-hak sesama, melupakan tugas dan kewajiban sebagai aparatur negara, serta bertindak semena-mena tanpa memikirkan dampak.
               
                Kampung Kandangan menjadi tempat pengasingan bagi Den Setra, di tempat inilah ia harus tinggal bersama kaum-kaum yang tersisih dari pergulatan hidup, ia seakan terkurung di sebuah kandang yang membatasi ruang geraknya, hidup bersama manusia sisa-sisa peradaban, limbah buangan pembangunan orde baru yang tidak masuk hitungan dalam kelas sosial. Den Setra sengaja dijauhkan di tempat tersembunyi, penguasa baru khawatir jika suaranya sampai terdengar maka rakyat akan bergejolak dan bangkit kesadaran dirinya, melawan doktrin-doktrin orde baru yang telah mengelabuhi masyarakat lewat jargon-jargon pembangunan di segala aspek.

                Mantri Suntik atau biasa dipanggil Mas Mantri oleh penduduk kampung Kandangan merupakan utusan dari pemerintah pusat, tugasnya adalah mengawasi gerak-gerik Den Setra di tempat pengasingan. Mas Mantri tahu siapa Den Setra dan sadar seberapa besar jasanya terhadap bangsa dan negara ini, tetapi atas nama tugas dan pekerjaan ia melenyapkan kata hati nuraninya, segala perkataan dan pendapat Den Setra soal bagaimana seharusnya anak bangsa bertindak sama sekali tidak dihiraukan, hingga tersiar kabar yang disampaikan juga oleh Mas Mantri kepada Den Setra bahwa sebentar lagi ia akan dipindahkan. Kampung Kandangan masuk dalam daftar tempat yang akan digusur demi kepentingan industri, mereka yang melawan dan bertahan untuk tinggal akan dihabisi, aparat bersenjata sudah bersiaga di luar kampung Kandangan.

                Den Setra harus dipindahkan, sebab jika keberadaannya sampai diketahui masyarakat dan suaranya tersiar oleh para wartawan yang meliput penggusuran dapat menjadi mala petaka bagi penguasa, untuk itu Mas Mantri segera menjemput Den Setra sebelum hari eksekusi. Bagaimana selanjutnya nasib penduduk kampung Kandangan menjadi kekhawatiran baru bagi Den Setra, sebab ia menyaksikan langsung kondisi masyarakat pinggiran setelah ia dilengserkan dari posisinya, dampak buruk kebijakan dan kekuasaan rezim orde baru.


*ditulis dalam rangka pementasan Teater Sandilara, naskah “DOM” karya Bambang Widoyo SP yang akan dilaksanakan pada tanggal 27 dan 28 Juni 2019, di sanggar Teater Tesa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
             


Surakarta, Kamis Pon 27 Juni 2019






Joko Lelur
Mantri Carik Di Teater Sandilara

No comments:

Post a Comment