Sejarah
panjang suatu peradaban bangsa sering kali mencatat nama-nama tokoh yang
memiliki jasa besar tetapi menjadi pesakitan politik diakhir cerita hidupnya,
seakan-akan tidak ada artinya apa yang pernah diperbuat untuk kemajuan dan
kepentingan umum, usaha mewujudkan kebaikan bagi semua golongan, bukan hanya
diri pribadinya. Kebaikan memang bukan tabungan sosial, penyelamat diri dari ancaman
mara bahaya di hari tua. Seorang tokoh bangsa memiliki resiko besar menjadi
korban politik, terlebih lagi bagi mereka yang terjun langsung dalam kegiatan
politik praktis. Lawan-lawan politik akan selalu berusaha menjatuhkan,
menggeser kedudukan dengan berbagai macam cara sebagai jalan tercapainya
tujuan.
Den
setra, seorang tokoh bangsa yang meletakkan dasar pondasi berdirinya negara, ia
harus menghadapi kenyataan pahit, dilengserkan dari kedudukannya di
pemerintahan hingga diasingkan karena dianggap pemikirannya dapat mengancam
kepentingan penguasa baru. Peristiwa pilu yang wajar terjadi bagi orang-orang
di dunia perpolitikan. Dukungan massa sebagai sumber kekuatan telah dimatikan,
mereka yang dulu menaruh kesetiaan diri kepada Den Setra ikut dihabsi nyawanya,
sebagian lagi yang mencari aman memilih untuk ikut bergabung bersama kubu yang
menang atau menjadi pengikut penguasa baru. Kita sama-sama paham, kejujuran dan
pemikiran luhur tidak ada artinya di panggung politik. Pertemanan dan kesetiaan
berdasar atas kepentingan, bukan soal hati nurani yang memandang baik buruknya
suatu pilhan dan tindakan.
|
Tersingkir
Sebagai Tahanan Politik Di Kampung Kandangan
Merasa
tidak mendapat perlakuan baik membuat Den Setra merasa semakin terpuruk,
bagaimana tidak, seorang tokoh bangsa harus menerima kenyataan disingkirkan
oleh pihak lain yang merupakan saudara sebangsa. Hanya karena perbedaan
kepentingan dan perluasan kekuasaan, orang harus saling tendang, mengorbankan
hak-hak sesama, melupakan tugas dan kewajiban sebagai aparatur negara, serta
bertindak semena-mena tanpa memikirkan dampak.
Kampung
Kandangan menjadi tempat pengasingan bagi Den Setra, di tempat inilah ia harus
tinggal bersama kaum-kaum yang tersisih dari pergulatan hidup, ia seakan
terkurung di sebuah kandang yang membatasi ruang geraknya, hidup bersama
manusia sisa-sisa peradaban, limbah buangan pembangunan orde baru yang tidak
masuk hitungan dalam kelas sosial. Den Setra sengaja dijauhkan di tempat
tersembunyi, penguasa baru khawatir jika suaranya sampai terdengar maka rakyat
akan bergejolak dan bangkit kesadaran dirinya, melawan doktrin-doktrin orde
baru yang telah mengelabuhi masyarakat lewat jargon-jargon pembangunan di
segala aspek.
Mantri
Suntik atau biasa dipanggil Mas Mantri oleh penduduk kampung Kandangan
merupakan utusan dari pemerintah pusat, tugasnya adalah mengawasi gerak-gerik
Den Setra di tempat pengasingan. Mas Mantri tahu siapa Den Setra dan sadar
seberapa besar jasanya terhadap bangsa dan negara ini, tetapi atas nama tugas
dan pekerjaan ia melenyapkan kata hati nuraninya, segala perkataan dan pendapat
Den Setra soal bagaimana seharusnya anak bangsa bertindak sama sekali tidak
dihiraukan, hingga tersiar kabar yang disampaikan juga oleh Mas Mantri kepada
Den Setra bahwa sebentar lagi ia akan dipindahkan. Kampung Kandangan masuk
dalam daftar tempat yang akan digusur demi kepentingan industri, mereka yang
melawan dan bertahan untuk tinggal akan dihabisi, aparat bersenjata sudah
bersiaga di luar kampung Kandangan.
Den
Setra harus dipindahkan, sebab jika keberadaannya sampai diketahui masyarakat
dan suaranya tersiar oleh para wartawan yang meliput penggusuran dapat menjadi
mala petaka bagi penguasa, untuk itu Mas Mantri segera menjemput Den Setra
sebelum hari eksekusi. Bagaimana selanjutnya nasib penduduk kampung Kandangan
menjadi kekhawatiran baru bagi Den Setra, sebab ia menyaksikan langsung kondisi
masyarakat pinggiran setelah ia dilengserkan dari posisinya, dampak buruk
kebijakan dan kekuasaan rezim orde baru.
*ditulis dalam rangka pementasan Teater Sandilara, naskah “DOM” karya
Bambang Widoyo SP yang akan dilaksanakan pada tanggal 27 dan 28 Juni 2019, di
sanggar Teater Tesa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.
Surakarta, Kamis Pon 27 Juni 2019
Joko Lelur
Mantri Carik Di Teater Sandilara
No comments:
Post a Comment