"Tidak apa-apa, itu sebenarnya niatnya baik." Sering saya mendengar kalimat itu. Padahal urusan kita dengan orang lain justru bukan di wilayah niat. Niat baik atau buruk adalah urusan masing-masing orang. Dalam konteks bebrayan yang bisa dinilai dan direspon adalah baik-buruk perilakunya. Perilaku merugikan orang lain tetaplah bernilai buruk dalam konteks sosial. Baik-buruk niat itu urusan malaikat.
Berbicara
dengan pengeras suara itu memang ada kenikmatannya. Menaklukkan banyak telinga
itu menggiurkan bagi jiwa. Bagaimana
tingkah seseorang dalam menggunakan microphone adalah gambaran bagaimana dia
jika berkuasa. Microphone
adalah kuasa--ini mengingatkanku pada simbol kelelakian-- dan telinga adalah
objek.
Telinga
adalah indra yang paling pasif dan sensitif. Ia rawan diperkosa, Ini
mengingatkanku pada perempuan di beberapa kebudayaan. Soal lubangnya? Bukan,
tapi soal jumlahnya, mengingatkanku pada poligami. Juga sifat pasif dan
sensitif, mengingatkanku pada kemampuan teguh dalam diam dan daya peka kaum
hawa.
Telinga
juga mengingatkanku pada Adipati Karna, ia dilahirkan melalui lubang telinga
ibunya, Kunthi. Jika boleh menebak lubang itu adalah telinga kiri. Alasannya,
karena setelah lahir bayi itu dihanyutkan. Nasib kiri memang seringnya dibuang
kan?
Ayah
dari Adipati Karna adalah Dewa Surya. Matahari ialah kesadaran dan yang membuat hamil Kunthi adalah wacana. Penghamilan itu
bukan dari senggama, benih itu hanya ditanam di pikiran saja. Wacana itu hanya
dapat merebut pemahaman dan pengertian
Kunthi saja, ia tetap tidak sanggup bercokol di perasaan, mentalitas, dan kejiwaan. Kunthi yang notabene perempuan itu,
tidak berani bertanggungjawab atas wacana itu, apalagi berhadapan dengan kebudayaannya; menunggu dipimpin laki-laki. Perempuan
itu akhirnya lebih memilih selamat dan aman secara
norma dan merelakan sebuah gagasan besar. Akibatnya kesadaran itu hanya serupa
kata-kata yang masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri, di situlah Karna
lahir.
Beruntunglah
negeri pewayangan itu karena bayi yang kelak tumbuh sebagai ksatria itu adalah
seorang Karna. Tetapi keberuntungan itu bisa saja bebendu, jika yang dibenihan
melalui lubang telinga itu bukanlah kesadaran tetapi kebencian yang meringsek
masuk dengan cara memperkosa. Apa yang akan lahir tentu bukan Adipati Karna
bukan pula Adipati Dolken, tetapi sebuah ledakan yang merusak.
Mungkin
Adipati Dolken tidak pernah berkata ini tapi saya ingin berkata ini, "Suara yang tepat menjadi tidak
tepat ketika jatuh di telinga yang tepat, suara yang tepat jatuh di telinga yang
tepat menjadi tidak tepat karena waktu atau tempat yang tidak tepat. Besarnya
peluang tidak tepat itu, seharusnya menjadikan kita lebih berhati-hati dalam
menjangkau jumlah telinga."
Catatan
Gumam, 4 Juni 2019
Idnas Aral
No comments:
Post a Comment