Tuesday, 4 June 2019

RISALAH TELINGA


"Tidak apa-apa, itu sebenarnya niatnya baik." Sering saya mendengar kalimat itu. Padahal urusan kita dengan orang lain justru bukan di wilayah niat. Niat baik atau buruk adalah urusan masing-masing orang. Dalam konteks bebrayan yang bisa dinilai dan direspon adalah baik-buruk perilakunya. Perilaku merugikan orang lain tetaplah bernilai buruk dalam konteks sosial. Baik-buruk niat itu urusan malaikat.




Berbicara dengan pengeras suara itu memang ada kenikmatannya. Menaklukkan banyak telinga itu menggiurkan bagi jiwa. Bagaimana tingkah seseorang dalam menggunakan microphone adalah gambaran bagaimana dia jika berkuasa. Microphone adalah kuasa--ini mengingatkanku pada simbol kelelakian-- dan telinga adalah objek.

Telinga adalah indra yang paling pasif dan sensitif. Ia rawan diperkosa, Ini mengingatkanku pada perempuan di beberapa kebudayaan. Soal lubangnya? Bukan, tapi soal jumlahnya, mengingatkanku pada poligami. Juga sifat pasif dan sensitif, mengingatkanku pada kemampuan teguh dalam diam dan daya peka kaum hawa.

Telinga juga mengingatkanku pada Adipati Karna, ia dilahirkan melalui lubang telinga ibunya, Kunthi. Jika boleh menebak lubang itu adalah telinga kiri. Alasannya, karena setelah lahir bayi itu dihanyutkan. Nasib kiri memang seringnya dibuang kan?

Ayah dari Adipati Karna adalah Dewa Surya. Matahari ialah kesadaran dan yang membuat hamil Kunthi adalah wacana. Penghamilan itu bukan dari senggama, benih itu hanya ditanam di pikiran saja. Wacana itu hanya dapat merebut pemahaman dan pengertian Kunthi saja, ia tetap tidak sanggup bercokol di perasaan, mentalitas, dan kejiwaan. Kunthi yang notabene perempuan itu, tidak berani bertanggungjawab atas wacana itu, apalagi berhadapan dengan kebudayaannya; menunggu dipimpin laki-laki. Perempuan itu akhirnya lebih memilih selamat dan aman secara norma dan merelakan sebuah gagasan besar. Akibatnya kesadaran itu hanya serupa kata-kata yang masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri, di situlah Karna lahir.

Beruntunglah negeri pewayangan itu karena bayi yang kelak tumbuh sebagai ksatria itu adalah seorang Karna. Tetapi keberuntungan itu bisa saja bebendu, jika yang dibenihan melalui lubang telinga itu bukanlah kesadaran tetapi kebencian yang meringsek masuk dengan cara memperkosa. Apa yang akan lahir tentu bukan Adipati Karna bukan pula Adipati Dolken, tetapi sebuah ledakan yang merusak.

Mungkin Adipati Dolken tidak pernah berkata ini tapi saya ingin berkata ini, "Suara yang tepat menjadi tidak tepat ketika jatuh di telinga yang tepat, suara yang tepat jatuh di telinga yang tepat menjadi tidak tepat karena waktu atau tempat yang tidak tepat. Besarnya peluang tidak tepat itu, seharusnya menjadikan kita lebih berhati-hati dalam menjangkau jumlah telinga."

Catatan Gumam, 4 Juni 2019
Idnas Aral


No comments:

Post a Comment