Kita selalu ingin menjadi
sosok pemrakarsa, pembaharu, inovator, pencetus, orang yang pertama kali.
Ketika label tersebut jadi tujuan, esensi dari ide atau gagasan yang sejatinya
adalah jawaban dari permasalahan zaman, tereduksi bahkan menjadi tidak penting
lagi. Akibatnya, banyak hal-hal yang sekiranya akan lebih baik dan semakin
menjadi baik ketika hal tersebut berlanjut menjadi mangkrak dan sia-sia.
Salah satu akibat dari
kecenderungan ini nampak jelas pada kebijakan setiap pergantian rezim. Selalu
saja rezim baru yang berkuasa alergi dan jijik dengan apa yang sudah dimulai
oleh rezim sebelumnya. Semua harus diganti, diperbarui tanpa mempedulikan
perhitungan anggaran yang telah terbuang untuk sesuatu yang mangkrak lalu
menggantinya dengan sesuatu yang kemungkinan besar juga mangkrak di pergantian
rezim berikutnya. Belum kerugian korup di setiap program baru.
Penyesuaian zaman, memang
harus terus dilakukan, tetapi tidak serta merta dengan cara harus memenggal
yang lama lalu mengganti dengan hal yang akan menjadikan pencetus idenya
sebagai pembaharu. Ini seperti orang yang bercita-cita ingin disebut pahlawan.
Kecenderungan ini juga nampak
di dunia kekaryaan seni. Banyak sekali kita akan berjumpa karya-karya; inovasi
sebagai tujuan, bukannya inovasi yang lahir karena menanggapi permasalahan
zaman.
Sehingga tumpah ruahlah karya
inovasi untuk inovasi, kontemporer untuk kontemporer, pembaharuan untuk
pembaharuan.
Sehingga tumpah ruahlah ide
untuk ide, gagasan untuk gagasan, simbol untuk simbol, eksperimental untuk
eksperimental.
Lalu masyarakat pun menjadi
semakin jauh dan jauh dengan karya-karya yang oleh para kreator itu sebut
sebagai kesenian. Masyarakat yang tidak sanggup mengerti dengan karya mereka,
mereka sebut bodoh. Mereka yang tidak sanggup membuat karya yang dipahami
masyarakatnya, mereka sebut sebagai karya yang mendahului zaman.
Masyarakat dan seniman pun
akhirnya bercerai dan hubungan esensial itu kandas di tengah jalan. Masyarakat
lari kepada entertainer dan akhirnya menyebut entertaimen sebagai representasi
kesenian, sehingga yang mereka sebut artist adalah raffi ahmad dan pemahat
mereka sebut sebagai pengrajin.
Setelah masyarakat yang
notabene kekasihnya itu lari pada tivi, seniman lari pada dana-dana hibah yang
memang ndilalah membiayai karya-karya inovasi (kenapa
begitu? Ah
mbuh pokok’e kesenian kuwi butuh dana nggo mlaku!). Akibatnya kiblat-kiblat
kekaryaan mengarah pada kelompok-kelompok pelanggan hibah. Di lingkaran
sempit (yang seakan-akan satu-satunya jalan berkesenian itu) strata kesenian
terbagi menjadi dua, kelompok hibah, yakni penerima hibah dan kelompok ghibah,
yakni kelompok yang baru bisa ngrasani, sembari ngimpi untuk berada di posisi
yang dirasani.
Akibatnya, penciptaan seni
tidak lagi berangkat dari masyarakat untuk menuju masyarakat. Karya berangkat dari
proposal menuju pasar data dunia global. Tokoh Minke yang pada akhirnya menulis
dengan bahasa Melayu karena ingin berbicara pada bangsanya sendiri sama sekali
tidak menginspirasi.
Semua bermimpi pentas ke luar negeri!
Jika kecenderungan ini terus
menerus diteruskan tidak ada masalah apa-apa, amin. Tetapi tidak akan lahir
warisan-warisan berkelas peradaban, seperti gamelan, borobudur, dan primbon.
Tiga hal tersebut adalah contoh karya hasil dari penggarapan yang berlanjut
lintas generasi. Mengalami penyempurnaan lintas usia satu seniman. Siapa yang
memulai, siapa yang melanjutkan, siapa yang memperbarui, siapa yang
mengadaptasi, menambahi, mengoreksi. Semua berdiri di posnya masing-masing
sesuai di zamannya. Tidak ada yang berebut untuk disebut pemrakarsa. Selama itu
hal baik, kenapa tidak dilanjutkan? Hanya karena ingin nampak sebagai seorang
inovator, hal yang sejatinya masih berfungsi kamu sebut atau anggap
sudah kadaluarsa.
Warisan itupun mangkrak lalu
hilang dan kelak anak-anak kita akan menemuinya di Leiden, Berkeley, Cambridge,
dan di buku-buku terjemahan.
Soal zonasi pendidikan adalah
salah satu kopi hangat obrolan, yang kelak akan habis dan diganti dengan
cangkir-cangkir yang baru, hidangan-hidangan baru. Akibat dari kecenderungan
kita semua. Kecenderungan ini telah mengakar dan kita akan selalu mengobrolkan
apa yang dihidangkan. Apa obrolan-obrolan kita selama ini karena kegelisahan?
Tidak, semua karena nikmat berkata-kata
semata.
Catatan Gumam, 5 Juli 2019
Idnas Aral
No comments:
Post a Comment