Friday, 2 March 2018

CAHAYA DAN SAMPAH : SEBUAH PROSES INTROSPEKSI DIRI BAGI TEATER SANDILARA



 
        Menjadi sebuah kehormatan sekaligus beban ketika orang pendiam seperti Mas Bei tiba-tiba menghubungi saya. Kemarin malam, kamis 1 Maret 2018, saya di panggil untuk datang ke Tanggul, awalnya saya mengira ada acara penting yang bisa saya jadikan berita atau akan diajak untuk latihan karawitan, ternyata tidak, beliau malah mengajak saya ngobrol di “Sanimas” sebuah bangunan MCK umum di sebelah timur sanggar. Sambil mendengar sayup-sayup suara gamelan yang ditabuh teman-teman Tanggul Budaya Surakarta, beliau menceritakan maksudnya memanggil saya.

Malam itu rupanya Mas Bei meminta saya untuk menulis pengantar perihal pementasan Teater Sandilara dengan naskah “Cahaya Dan Sampah” karya Emha Ainun Nadjib. Sebenarnya saya heran, bukankah naskah ini sudah tiga atau empat kali dipentaskan Teater Sandilara, mengapa harus dipentaskan lagi? Tapi saya tidak berani menanyakan secara langsung, sekuat tenaga dan keyakinan saya mencoba menempatkan diri sebagai wartawan yang memandang masalah secara obyektif untuk kemudian menulisnya, meskipun berurusan dengan Mas Bei dan teman-teman Sandilara lainnya sudah bisa dipastikan saya tidak akan mendapat imbalan.

Kepada beliau awalnya saya bertanya “mengapa tidak anda tulis sendiri? Atau teman-teman lain di Teater Sandilara kan juga bisa menulis?”. Sudah kamu tidak perlu banyak bertanya, ini kesempatan kamu untuk menulis ulasan pentas teater, biarpun kami hanya “teater amatir”, bukankah kamu juga “wartawan amatir” tanpa koran tanpa kantor berita tanpa imbalan jasa? Makanya saya minta kamu yang menulis, lagi pula saya ini bisanya menulis puisi, itupun ngawur nulisnya, teman-teman lain sedang tidak ada waktu, kamu sebagai “orang luar” apa salahnya ikut ambil bagian? ikut andil bagi teater kami ini? Bagaiamana? Mau apa tidak?. Saya diam sejenak mendengar ucapan beliau.

“Lalu dari sisi mana saya harus menulisnya?” dengan sangat hati-hati saya bertanya. Terserah bagaimana baiknya menurut kamu, pakai “kacamata” kamu saja, demikian Mas Bei menjawab pertanyaan saya. “maksudnya “kacamata” itu apa ya Mas?” saya bertanya lagi. Pokoknya pendapat kamu tentang pentas Teater Sandilara kali ini, kamu kan tahu, naskah ini sudah kami pentaskan empat kali pada kesempatan berbeda dengan garapan yang berbeda pula, menurut pendapat dan pikiran kamu saja, bukankah kamu adalah satu-satunya “wartawan” yang berkenan diundang dan tidak dibayar untuk menulis segala sesuatu tentang teater kami?. Saya hanya menganggukkan kepala, menyanggupi permintaan Mas Bei, sebab saya tahu, sekali saja saya menolak dengan alasan yang tidak jelas, beliau tidak akan meminta apapun dari saya lagi, meski sudah saya berikan pilihan lain yang bisa  diminta dari saya. Beliau memang aneh orangnya, sebenarnya orangnya baik kalau sudah kenal, terlihat pendiam tapi juga penyimpan dendam terhadap banyak hal yang tidak beliau sukai.


Teater Sandilara : Perkenalan Mereka Dengan Naskah “Cahaya Dan Sampah”

                Hari ini sudah empat tahun lebih saya mengenal orang-orang di Teater Sandilara, sejak kelompok ini lahir, berdiri, dan mulai belajar berjalan. Para anggotanya masih menjalankan apa saja kegiatan yang mereka inginkan, dalam hal ini khususnya teater, selain menulis puisi, membuat esai dengan tema sesuka hati mereka, latihan macapat, santiswara dan karawitan di Tanggul, jualan buku, jualan kulit, jualan kaos, ternak burung tanpa berniat menjual, ternak ikan hias, mengajar ekstrakurikuler, nongkrong, minum kopi di kios, tertawa bersama dan masih banyak lagi kegiatan yang mereka lakukan.

Menurut saya pribadi, seperti yang Mas Bei perintahkan, bagaimana dan dari sudut mana saya harus menulis ulasan pementasan mereka kali ini, maka saya ingin menyampaikan tentang kaitan proses pementasan dengan proses introspeksi diri bagi kelompok ini. Secara garis besar, sedikit banyak saya pernah menyimak naskah “Cahaya Dan Sampah” karya Emha Ainun Nadjib yang pernah dipentaskan ulang oleh Teater Sandilara hingga berulang-ulang. Setahu saya ketika mereka bercakap-cakap, kebetulan para anggotanya lengkap dan saya berada diantara mereka malam itu, mereka mengaku kalau naskah ini merupakan naskah monolog yang paling berkesan sepanjang mereka menyaksikan pementasan (padahal setahu saya mereka itu jarang nonton pentas, tidak pernah srawung dan tidak tergolong kelompok tenar di kota ini).

Apapun pendapat subjektif mereka itu bukan urusan saya, hanya pada waktu itu saya kembali mengingat-ingat tentang naskah karya Emha Ainun Nadjib ini yang untuk pertamakali saya saksikan bersama orang-orang Sandilara di Rumah Budaya Emha Ainun Nadjib, Jogjakarta. Waktu itu sekitar akhir tahun 2014, dimainkan oleh Bambang Sosiawan dari Teater Dinasti. Usai pentas para penonton diberi fotokopi naskah. Sepanjang perjalanan pulang mereka (orang-orang Sandilara) membicarakan naskah itu. Sampai beberapa bulan kemudian tiba-tiba saya mendengar kabar bahwa mereka akan mementaskan naskah tersebut.

Teater Sandilara Perlu Introspeksi Diri Sebagai Pelaku Seni Di Surakarta

                Menurut kamus besar bahasa Indonesia, introspeksi artinya peninjauan atau koreksi terhadap (perbuatan, sikap, kelemahan, kesalahan dan sebagainya). Dalam hal ini tentunya terhadap diri kelompok. Teater Sandilara sadar betul bahwa tidak ada kebenaran sejati di dunia ini, setidaknya menurut cerita mereka yang mengutip dari rekaman wayang kulit lakon Karno Tandhing oleh Ki Manteb Sudarsana, dialog Prabu Salya yang sedang memberi nasihat kepada Adipati karna, bahwa ada tiga macam kebenaran, pertama; kebenaran pribadi yaitu kebenaran subjektif yang ada pada setiap individu, kedua; kebenaran umum dimana sebuah nilai kebenaran diyakini oleh masayarakat umum pada wilayah kebudayaan tertentu, ketiga; kebenaran sejati yang akan kita ketahui setelah mati, perihal keberadaan Tuhan yang Maha Segalanya.

                Walau demikian, diakui atau tidak, disadari atau tidak, kita lebih sering menggunakan jenis pertama, kebenaran pribadi. Teater Sandilara tidak memungkiri hal itu, bahkan secara terbuka mengakui, bahwa bisa jadi kebenaran kedua atau kebenaran umum yang diyakini oleh pihak mayoritas belum tentu menjadi produk tanpa cacat, dalam hal ini yang saya bicarakan adalah tentang cara pandang dan laku berkesenian, serta katerkaitannya dengan masa depan pola pikir masyarakat dengan kesenian macam apa yang dikonsumsi olehnya. Jika kita mau mengamati, ada beberapa karakteristik seseorang yang berkaitan dengan musik atau jenis kesenian apa yang menjadi kesukaannya, belum lagi motif-motif sekumpulan orang membentuk kelompok kesenian, membuat jaringan, menamakan tindakannya sebagai gerakan kebudayaan atau apapun semacamnya, pastinya hal-hal tersebut juga akan mempengaruhi seberapa kuat ia tetap bertahan pada jalur itu atau berpindah ke jalur lain menurut kepentingannya, mengadakan sosialisasi, mengiklankan wacana-wacana, ide-ide, gagasan individu maupun kolektif untuk mendapatkan massa yang nantinya diharapkan dapat menerima produk yang ia tawarkan.

                Pada titik inilah Teater Sandilara merasa perlu menggunakan jenis pertama, tidak ada urusan jika di cap subjektif, subversif, sempalan, orang-orang sangar (merujuk pada konotasi menyindir), sok idealis. Setiap kelompok harus memiliki pandangan sendiri, sikap yang jelas, bukan abu-abu, ubyang-ubyung, grudag-grudug, asal ikut tidak tahu maksud, jadi pion bagi kepentingan orang. Bukankah kelompokmu itu adalah modalmu? Teman satu pandangan adalah kekuatanmu? Perkara halangan diluar sikat saja jangan ambil pusing. Mengapa harus takut dan menghamba pada cukong-cukong kesenian?

                Teater Sandilara sadar akan posisinya sebagai bagian kecil dari Kota Surakarta, tempat di mana mereka menempuh masa muda dengan segala permasalahannya, mencoba semampunya menjalani kegiatan berkesenian, menjumpai persoalan disekitar lingkungan mereka, lalu memutuskan garis besar haluan kelompok biarpun tidak tertulis secara resmi layaknya undang-undang dasar negara. Sejauh empat tahun ini tersisa beberapa orang, memang tidak ada sistem keanggotaan khusus atau ikatan dinas di sini, siapa yang ingin ikut silakan ikuti alur yang sudah ada, kalau memang tidak ingin memahami cara pandang minimal jangan jadi beban bagi yang lain. Teater Sandilara tidak menganggap wacana mereka sebagai gerilya kebudayaan, tidak memusingkan apakah kegiatan yang mereka lakukan akan dapat merubah keadaan, bagi mereka perang terberat adalah melawan diri sendiri lebih luasnya lagi diri kelompok, bagaimana menekan segala keinginan untuk tergesa-gesa berpentas, lagi pula mereka tidak pernah menentukan jadwal eksekusi program kerja, entah karena cara berpikir mereka santai atau sebenarnya kumpulan pemuda malas.

                Pada satu kesempatan lain saya berbincang bersama mereka, saya mendapat sebuah cerita, mengapa cara mereka mengelola kelompok teater terkesan tidak serius sebagaimana kelompok lain di kota ini, rutin mengadakan pementasan pada bulan-bulan tertentu, membuka diri untuk terlibat pada acara-cara besar, baik yang berhubungan dengan teater maupun perayaan-perayaan lain, ikut bergabung bersama jaringan-jaringan atau organisasi himpunan para pekerja teater di kota ini. Menurut mereka kesenian itu obat stres, bukan sebaliknya.

Kalau kamu stres dan merasa seperti buruh apa gunanya berkesenian? Kalau memang motif pementasan kelompok kamu sebatas hiburan tanyakan pada dirimu sebelum menghibur orang, apakah kamu senang melakukannya ? Kalau kamu merasa kegiatanmu sebagai gerakan kebudayaan, apakah benar apa yang kamu suarakan itu perlu? Yang kamu anggap barang berharga itu benar kamu pahami dan cintai? Apa benar itu menjadi sesuatu yang penting untuk kamu jaga? Jangan-jangan kamu hanya ikut-ikutan? Termakan gosip atas isu-isu?

Orang-orang Sandilara setahu saya memang tidak pernah berniat merekrut orang untuk bergabung bersama mereka, jika memang ada yang datang dan ingin ikut ya silakan, bahkan bagi anggota yang masih merangkap di kelompok lain (seringnya teater kampus) pamit undur diri karena berbagai alasan malah sesegera mungkin disuruh kembali ke asalnya. Mereka memang tidak percaya dengan cara sosialisasi wacana lewat diskusi terencana dan terprogram secara khusus, tidak berharap banyak sebuah karya akan dengan cepat memberi pengaruh bagi sekitar, pentas ya pentas, diskusi ya diskusi, proyek ya proyek, gerakan ya gerakan, bercanda ya bercanda, ngopi ya ngopi, tertawa ya tertawa bisa dibahas dalam satu obrolan, tapi tetap saja semua itu memiliki wilayah masing-masing. Apalagi dari sekian banyak orang pasti memiliki banyak tujuan dan alasan yang berbeda-beda, bukankah akan sangat merepotkan dan menyita energi andai saja mengharapkan sebagian besar dari sekian banyak orang itu untuk menjadi sama seperti cara pandang kita?

Intinya bagi mereka tidak ada sesuatu yang instan, sadar berapa besar kapasitas mereka kalau harus sedini ini berkoar tentang perjuangan yang berdarah-darah membela kebudayaan yang sedang terjajah, menyuarakan kegelisahan kelompok dengan harapan didengar untuk segera diterima sebagai bentuk penyadaran atas segala bentuk pembodohan. Menurut mereka acara-acara besar yang pernah terjadi di kota ini seberapa pengaruhnya untuk masyarakat? Jika kita mau jujur mengakui, sebuah acara yang mengatasnamakan pergerakan apapun itu, ketika secara besar-besaran diadakan, tetapi hanya sekali atau dua kali atau yang sifatnya rutin nyatanya hanya jadi perayaan di hari itu, pada saat-saat itu, setelah tamat riwayatnya kemana mereka sekarang pergi? Apa yang mereka kerjakan sekarang? Atau kisah “kesuksesan” ini akan selalu didongengkan oleh orang-orang yang pernah terlibat, dibanding-bandingkan dengan generasi sesudahnya yang selalu tampak lebih rendah, capaian itu digunakan untuk tolak ukur standar mutu, baik itu yang murni gerakan apalagi yang sekadar kedok untuk menyogok dana anggaran agar turun dari langit dewan kesenian, senyatanya tinggal kenangan tidak mampu membendung arus jaman menenggelamkan generasi baru yang selalu terlihat bodoh dan kurang.

Teater Sandilara menangkap fenomena-fenomena ini, maka mereka sering menolak kebenaran umum tentang cara pandang berkesenian maupun pergerakan yang hari ini diyakini kebanyakan orang. Bahkan mereka (orang-orang Sandilara) sering mempertanyakan pada diri mereka sendiri, apakah masyarakat butuh kesenian semacam ini? Seberapa besar manfaat kesenian, mengenalkan kebudayaan bagi kehidupan masyarakat? Ketika pertanyaan semacam ini muncul, maka mereka dengan pikiran waras akan berpendapat sama :

“Jika kegiatan yang kita lakukan tidak berguna bagi kebudayaan dan masyarakatnya minimal berguna bagi diri kita sendiri. Selama kita masih senang dan memiliki daya untuk menjalankan rencana kelompok, jalankan saja, itu lebih baik daripada kembali jadi penjudi, penenggak miras, dan pelaku perbuatan tercela lainnya yang merugikan diri sendiri juga masyarakat”

Sesederhana itu mereka menjalankan kelompok, mengelola kegiatan bersama anggota yang tersisa. Tidak perlu merasa menjadi pejuang kesenian, pendekar pembela kebudayaan, gerilyawan pengusir para penjajah. Berjalan pelan-pelan biarpun terlihat seperti kerbau yang malas. Bukan apatis terhadap perubahan, hanya mencoba memandang sesuatu secara wajar. Bukankah kerja kebudayaan itu memakan waktu panjang? Menuntut kesabaran dalam menularkan gagasan? Tidak memaksa agar semua sama rata seperti yang kita minta?

Selamat berpentas semoga lancar tanpa ada hambatan. Terakhir sebagai ucapan penutup dari saya, sekaligus ucapan terimakasih kepada Teater Sandilara yang selalu menghargai saya sebagai wartawan, maka saya kutip sebuah kalimat dari obrolan mereka beberapa waktu lalu :


“Jangan merasa diri menjadi pahlawan jaman. Jangan dulu bertanya teater memberimu apa? tapi pertanyaannya dibalik, kalau tidak berteater kamu mau apa?”
               
               


Surakarta, 2-3 Maret 2018


Sastro Siswo Hadiwinoto Handoyoningrat Tirtokamandanu
(wartawan tanpa koran tanpa kantor tanpa tanda tangan tanpa imbalan jasa tentunya)

No comments:

Post a Comment