Menjadi sebuah kehormatan sekaligus beban ketika
orang pendiam seperti Mas Bei tiba-tiba menghubungi saya. Kemarin malam, kamis
1 Maret 2018, saya di panggil untuk datang ke Tanggul, awalnya saya mengira ada
acara penting yang bisa saya jadikan berita atau akan diajak untuk latihan
karawitan, ternyata tidak, beliau malah mengajak saya ngobrol di “Sanimas”
sebuah bangunan MCK umum di sebelah timur sanggar. Sambil mendengar sayup-sayup
suara gamelan yang ditabuh teman-teman Tanggul Budaya Surakarta, beliau menceritakan
maksudnya memanggil saya.
Malam itu rupanya Mas Bei meminta
saya untuk menulis pengantar perihal pementasan Teater Sandilara dengan naskah
“Cahaya Dan Sampah” karya Emha Ainun Nadjib. Sebenarnya saya heran, bukankah
naskah ini sudah tiga atau empat kali dipentaskan Teater Sandilara, mengapa
harus dipentaskan lagi? Tapi saya tidak berani menanyakan secara langsung,
sekuat tenaga dan keyakinan saya mencoba menempatkan diri sebagai wartawan yang
memandang masalah secara obyektif untuk kemudian menulisnya, meskipun berurusan
dengan Mas Bei dan teman-teman Sandilara lainnya sudah bisa dipastikan saya
tidak akan mendapat imbalan.
Kepada beliau awalnya saya
bertanya “mengapa tidak anda tulis sendiri? Atau teman-teman lain di Teater
Sandilara kan juga bisa menulis?”. Sudah kamu tidak perlu banyak bertanya, ini
kesempatan kamu untuk menulis ulasan pentas teater, biarpun kami hanya “teater
amatir”, bukankah kamu juga “wartawan amatir” tanpa koran tanpa kantor berita
tanpa imbalan jasa? Makanya saya minta kamu yang menulis, lagi pula saya ini
bisanya menulis puisi, itupun ngawur nulisnya, teman-teman lain sedang tidak
ada waktu, kamu sebagai “orang luar” apa salahnya ikut ambil bagian? ikut andil
bagi teater kami ini? Bagaiamana? Mau apa tidak?. Saya diam sejenak mendengar
ucapan beliau.
“Lalu dari sisi mana saya harus
menulisnya?” dengan sangat hati-hati saya bertanya. Terserah bagaimana baiknya
menurut kamu, pakai “kacamata” kamu saja, demikian Mas Bei menjawab pertanyaan
saya. “maksudnya “kacamata” itu apa ya Mas?” saya bertanya lagi. Pokoknya
pendapat kamu tentang pentas Teater Sandilara kali ini, kamu kan tahu, naskah
ini sudah kami pentaskan empat kali pada kesempatan berbeda dengan garapan yang
berbeda pula, menurut pendapat dan pikiran kamu saja, bukankah kamu adalah
satu-satunya “wartawan” yang berkenan diundang dan tidak dibayar untuk menulis
segala sesuatu tentang teater kami?. Saya hanya menganggukkan kepala, menyanggupi
permintaan Mas Bei, sebab saya tahu, sekali saja saya menolak dengan alasan
yang tidak jelas, beliau tidak akan meminta apapun dari saya lagi, meski sudah
saya berikan pilihan lain yang bisa
diminta dari saya. Beliau memang aneh orangnya, sebenarnya orangnya baik
kalau sudah kenal, terlihat pendiam tapi juga penyimpan dendam terhadap banyak
hal yang tidak beliau sukai.
Teater
Sandilara : Perkenalan Mereka Dengan Naskah “Cahaya Dan Sampah”
Hari ini sudah empat tahun
lebih saya mengenal orang-orang di Teater Sandilara, sejak kelompok ini lahir,
berdiri, dan mulai belajar berjalan. Para anggotanya masih menjalankan apa saja
kegiatan yang mereka inginkan, dalam hal ini khususnya teater, selain menulis
puisi, membuat esai dengan tema sesuka hati mereka, latihan macapat, santiswara
dan karawitan di Tanggul, jualan buku, jualan kulit, jualan kaos, ternak burung
tanpa berniat menjual, ternak ikan hias, mengajar ekstrakurikuler, nongkrong,
minum kopi di kios, tertawa bersama dan masih banyak lagi kegiatan yang mereka
lakukan.
Menurut saya pribadi, seperti yang
Mas Bei perintahkan, bagaimana dan dari sudut mana saya harus menulis ulasan
pementasan mereka kali ini, maka saya ingin menyampaikan tentang kaitan proses
pementasan dengan proses introspeksi diri bagi kelompok ini. Secara garis
besar, sedikit banyak saya pernah menyimak naskah “Cahaya Dan Sampah” karya
Emha Ainun Nadjib yang pernah dipentaskan ulang oleh Teater Sandilara hingga
berulang-ulang. Setahu saya ketika mereka bercakap-cakap, kebetulan para
anggotanya lengkap dan saya berada diantara mereka malam itu, mereka mengaku
kalau naskah ini merupakan naskah monolog yang paling berkesan sepanjang mereka
menyaksikan pementasan (padahal setahu saya mereka itu jarang nonton pentas,
tidak pernah srawung dan tidak
tergolong kelompok tenar di kota ini).
Apapun pendapat subjektif mereka
itu bukan urusan saya, hanya pada waktu itu saya kembali mengingat-ingat
tentang naskah karya Emha Ainun Nadjib ini yang untuk pertamakali saya saksikan
bersama orang-orang Sandilara di Rumah Budaya Emha Ainun Nadjib, Jogjakarta. Waktu
itu sekitar akhir tahun 2014, dimainkan oleh Bambang Sosiawan dari Teater
Dinasti. Usai pentas para penonton diberi fotokopi naskah. Sepanjang perjalanan
pulang mereka (orang-orang Sandilara) membicarakan naskah itu. Sampai beberapa
bulan kemudian tiba-tiba saya mendengar kabar bahwa mereka akan mementaskan
naskah tersebut.
Teater
Sandilara Perlu Introspeksi Diri Sebagai Pelaku Seni Di Surakarta
Menurut
kamus besar bahasa Indonesia, introspeksi artinya peninjauan atau koreksi
terhadap (perbuatan, sikap, kelemahan, kesalahan dan sebagainya). Dalam hal ini
tentunya terhadap diri kelompok. Teater Sandilara sadar betul bahwa tidak ada
kebenaran sejati di dunia ini, setidaknya menurut cerita mereka yang mengutip
dari rekaman wayang kulit lakon Karno Tandhing oleh Ki Manteb Sudarsana, dialog
Prabu Salya yang sedang memberi nasihat kepada Adipati karna, bahwa ada tiga
macam kebenaran, pertama; kebenaran pribadi yaitu kebenaran subjektif yang ada
pada setiap individu, kedua; kebenaran umum dimana sebuah nilai kebenaran
diyakini oleh masayarakat umum pada wilayah kebudayaan tertentu, ketiga;
kebenaran sejati yang akan kita ketahui setelah mati, perihal keberadaan Tuhan
yang Maha Segalanya.
Walau
demikian, diakui atau tidak, disadari atau tidak, kita lebih sering menggunakan
jenis pertama, kebenaran pribadi. Teater Sandilara tidak memungkiri hal itu,
bahkan secara terbuka mengakui, bahwa bisa jadi kebenaran kedua atau kebenaran
umum yang diyakini oleh pihak mayoritas belum tentu menjadi produk tanpa cacat,
dalam hal ini yang saya bicarakan adalah tentang cara pandang dan laku
berkesenian, serta katerkaitannya dengan masa depan pola pikir masyarakat
dengan kesenian macam apa yang dikonsumsi olehnya. Jika kita mau mengamati, ada
beberapa karakteristik seseorang yang berkaitan dengan musik atau jenis
kesenian apa yang menjadi kesukaannya, belum lagi motif-motif sekumpulan orang
membentuk kelompok kesenian, membuat jaringan, menamakan tindakannya sebagai
gerakan kebudayaan atau apapun semacamnya, pastinya hal-hal tersebut juga akan
mempengaruhi seberapa kuat ia tetap bertahan pada jalur itu atau berpindah ke
jalur lain menurut kepentingannya, mengadakan sosialisasi, mengiklankan
wacana-wacana, ide-ide, gagasan individu maupun kolektif untuk mendapatkan
massa yang nantinya diharapkan dapat menerima produk yang ia tawarkan.
Pada
titik inilah Teater Sandilara merasa perlu menggunakan jenis pertama, tidak ada
urusan jika di cap subjektif, subversif, sempalan, orang-orang sangar (merujuk
pada konotasi menyindir), sok idealis. Setiap kelompok harus memiliki pandangan
sendiri, sikap yang jelas, bukan abu-abu, ubyang-ubyung,
grudag-grudug, asal ikut tidak tahu maksud, jadi pion bagi kepentingan
orang. Bukankah kelompokmu itu adalah modalmu? Teman satu pandangan adalah
kekuatanmu? Perkara halangan diluar sikat saja jangan ambil pusing. Mengapa harus
takut dan menghamba pada cukong-cukong kesenian?
Teater
Sandilara sadar akan posisinya sebagai bagian kecil dari Kota Surakarta, tempat
di mana mereka menempuh masa muda dengan segala permasalahannya, mencoba
semampunya menjalani kegiatan berkesenian, menjumpai persoalan disekitar
lingkungan mereka, lalu memutuskan garis besar haluan kelompok biarpun tidak
tertulis secara resmi layaknya undang-undang dasar negara. Sejauh empat tahun
ini tersisa beberapa orang, memang tidak ada sistem keanggotaan khusus atau
ikatan dinas di sini, siapa yang ingin ikut silakan ikuti alur yang sudah ada,
kalau memang tidak ingin memahami cara pandang minimal jangan jadi beban bagi
yang lain. Teater Sandilara tidak menganggap wacana mereka sebagai gerilya
kebudayaan, tidak memusingkan apakah kegiatan yang mereka lakukan akan dapat
merubah keadaan, bagi mereka perang terberat adalah melawan diri sendiri lebih
luasnya lagi diri kelompok, bagaimana menekan segala keinginan untuk
tergesa-gesa berpentas, lagi pula mereka tidak pernah menentukan jadwal
eksekusi program kerja, entah karena cara berpikir mereka santai atau
sebenarnya kumpulan pemuda malas.
Pada
satu kesempatan lain saya berbincang bersama mereka, saya mendapat sebuah
cerita, mengapa cara mereka mengelola kelompok teater terkesan tidak serius
sebagaimana kelompok lain di kota ini, rutin mengadakan pementasan pada
bulan-bulan tertentu, membuka diri untuk terlibat pada acara-cara besar, baik
yang berhubungan dengan teater maupun perayaan-perayaan lain, ikut bergabung
bersama jaringan-jaringan atau organisasi himpunan para pekerja teater di kota
ini. Menurut mereka kesenian itu obat stres, bukan sebaliknya.
Kalau kamu stres dan merasa seperti buruh apa gunanya berkesenian? Kalau
memang motif pementasan kelompok kamu sebatas hiburan tanyakan pada dirimu sebelum
menghibur orang, apakah kamu senang melakukannya ? Kalau kamu merasa kegiatanmu
sebagai gerakan kebudayaan, apakah benar apa yang kamu suarakan itu perlu? Yang
kamu anggap barang berharga itu benar kamu pahami dan cintai? Apa benar itu menjadi
sesuatu yang penting untuk kamu jaga? Jangan-jangan kamu hanya ikut-ikutan? Termakan
gosip atas isu-isu?
Orang-orang Sandilara setahu saya
memang tidak pernah berniat merekrut orang untuk bergabung bersama mereka, jika
memang ada yang datang dan ingin ikut ya silakan, bahkan bagi anggota yang
masih merangkap di kelompok lain (seringnya teater kampus) pamit undur diri
karena berbagai alasan malah sesegera mungkin disuruh kembali ke asalnya. Mereka
memang tidak percaya dengan cara sosialisasi wacana lewat diskusi terencana dan
terprogram secara khusus, tidak berharap banyak sebuah karya akan dengan cepat
memberi pengaruh bagi sekitar, pentas ya pentas, diskusi ya diskusi, proyek ya
proyek, gerakan ya gerakan, bercanda ya bercanda, ngopi ya ngopi, tertawa ya
tertawa bisa dibahas dalam satu obrolan, tapi tetap saja semua itu memiliki
wilayah masing-masing. Apalagi dari sekian banyak orang pasti memiliki banyak
tujuan dan alasan yang berbeda-beda, bukankah akan sangat merepotkan dan
menyita energi andai saja mengharapkan sebagian besar dari sekian banyak orang
itu untuk menjadi sama seperti cara pandang kita?
Intinya bagi mereka tidak ada
sesuatu yang instan, sadar berapa besar kapasitas mereka kalau harus sedini ini
berkoar tentang perjuangan yang berdarah-darah membela kebudayaan yang sedang
terjajah, menyuarakan kegelisahan kelompok dengan harapan didengar untuk segera
diterima sebagai bentuk penyadaran atas segala bentuk pembodohan. Menurut mereka
acara-acara besar yang pernah terjadi di kota ini seberapa pengaruhnya untuk
masyarakat? Jika kita mau jujur mengakui, sebuah acara yang mengatasnamakan
pergerakan apapun itu, ketika secara besar-besaran diadakan, tetapi hanya
sekali atau dua kali atau yang sifatnya rutin nyatanya hanya jadi perayaan di
hari itu, pada saat-saat itu, setelah tamat riwayatnya kemana mereka sekarang
pergi? Apa yang mereka kerjakan sekarang? Atau kisah “kesuksesan” ini akan
selalu didongengkan oleh orang-orang yang pernah terlibat, dibanding-bandingkan
dengan generasi sesudahnya yang selalu tampak lebih rendah, capaian itu digunakan
untuk tolak ukur standar mutu, baik itu yang murni gerakan apalagi yang sekadar
kedok untuk menyogok dana anggaran agar turun dari langit dewan kesenian,
senyatanya tinggal kenangan tidak mampu membendung arus jaman menenggelamkan
generasi baru yang selalu terlihat bodoh dan kurang.
Teater Sandilara menangkap
fenomena-fenomena ini, maka mereka sering menolak kebenaran umum tentang cara
pandang berkesenian maupun pergerakan yang hari ini diyakini kebanyakan orang. Bahkan
mereka (orang-orang Sandilara) sering mempertanyakan pada diri mereka sendiri,
apakah masyarakat butuh kesenian semacam ini? Seberapa besar manfaat kesenian, mengenalkan
kebudayaan bagi kehidupan masyarakat? Ketika pertanyaan semacam ini muncul,
maka mereka dengan pikiran waras akan berpendapat sama :
“Jika kegiatan yang kita lakukan tidak berguna bagi kebudayaan dan
masyarakatnya minimal berguna bagi diri kita sendiri. Selama kita masih senang
dan memiliki daya untuk menjalankan rencana kelompok, jalankan saja, itu lebih
baik daripada kembali jadi penjudi, penenggak miras, dan pelaku perbuatan tercela
lainnya yang merugikan diri sendiri juga masyarakat”
Sesederhana itu mereka menjalankan
kelompok, mengelola kegiatan bersama anggota yang tersisa. Tidak perlu merasa
menjadi pejuang kesenian, pendekar pembela kebudayaan, gerilyawan pengusir para
penjajah. Berjalan pelan-pelan biarpun terlihat seperti kerbau yang malas. Bukan
apatis terhadap perubahan, hanya mencoba memandang sesuatu secara wajar. Bukankah
kerja kebudayaan itu memakan waktu panjang? Menuntut kesabaran dalam menularkan
gagasan? Tidak memaksa agar semua sama rata seperti yang kita minta?
Selamat berpentas semoga lancar
tanpa ada hambatan. Terakhir sebagai ucapan penutup dari saya, sekaligus ucapan
terimakasih kepada Teater Sandilara yang selalu menghargai saya sebagai
wartawan, maka saya kutip sebuah kalimat dari obrolan mereka beberapa waktu
lalu :
“Jangan merasa
diri menjadi pahlawan jaman. Jangan dulu bertanya teater memberimu apa? tapi pertanyaannya
dibalik, kalau tidak berteater kamu mau apa?”
Surakarta, 2-3 Maret 2018
Sastro Siswo Hadiwinoto
Handoyoningrat Tirtokamandanu
(wartawan tanpa koran tanpa kantor tanpa tanda tangan
tanpa imbalan jasa tentunya)
No comments:
Post a Comment