Sunday, 18 March 2018

BERKESENIAN JANGAN CENGENG!!


            Sebelum membaca tulisan ini perlu anda garis bawahi, pembicaraan saya adalah soal kegiatan berkesenian oleh mereka, kelompok, komunitas, atau jaringan kesenian yang mengatasnamakan dirinya sebagai gerakan. Artinya gerakan yang saya maksudkan perihal gagasan bersama yang dirasa perlu dan ditujukan bagi “perubahan” masyarakat luas dari berbagai segi, misalnya sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain yang dirasa perlu adanya perubahan. Biasanya setiap pemilik gagasan, baik individu maupun kelompok memiliki cara pandang ideal masing-masing. Permasalahannya atau yang mungkin bukan masalah bagi anda adalah cara merealisasikan bentuk aktivitas yang dimaksud sebagai “gerakan”. Kenapa saya beri tanda kutip, karena saya sering sangsi terhadap banyak fenomena yang terjadi akhir-akhir ini yang menggunakan istilah “gerakan”.



            Anggap saja tulisan ini sebagai opini pribadi tanpa melakukan riset sebagaimana agen-agen penelitian resmi. Tapi bukan berarti asal ngawur melempar tai di muka umum. Sebab saya menulis karena sadar, bahwa diskusi-diskusi nyatanya hanya terkesan seperti pentas setelah pentas, di mana para penonton yang merasa banyak wawasan ganti menjadi pemain, menunjukkan “kepintaran” dan eksistensinya dengan memberi masukan basa-basi atau kritik tajam diluar wacana pertunjukan. Ya, saya menulis karena hanya ingin bicara dengan mereka yang sekiranya bisa menerima pandangan yang kami tawarkan. Jika hari ini mungkin tidak dipahami orang-orang bukan masalah bagi saya, biar nanti generasi-generasi setelah saya mati yang membacanya, itupun kalau mereka bisa menerima. Kalupun tidak minimal saya sudah buang hajat, tidak perlu mengadakan kegiatan rasan-rasan.


Mengeluhkan Sumber Dana

            Jika mau jujur, memang semua yang bersifat kegiatan kelompok, apalagi yang memuat wacana besar pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sering kita terjebak pada bentuk, bukan fokus pada esensi gagasan, atau bisa jadi kurang sabar dalam mempersiapkan diri dari berbagai sisi, tapi ingin segera mewujudkan cita tersebut. Akhirnya jadi besar pasak dari pada tiang, bukan hanya rencana anggaran yang gagal tercukupi, yang tidak kalah penting sebenarnya juga kesiapan wawasan dan mental para anggotanya.

            Ketika permasalahan ini gagal diselesaikan, tapi kepalang tanggung ingin unjuk gigi, akhirnya ditempuh pula jalan pintas yang semula dihindari. Tidak jarang kelompok-kelompok yang awal mulanya merasa “berdikari” madiri secara pendanaan lalu memilih cara mengajukan proposal pengajuan dana kepada pihak-pihak yang dirasa bisa menjadi “Dewa Penolong” bagi cita-citanya, baik pemerintah maupun swasta. Memang untuk jaman sekarang proposal sudah menjadi hak bagi siapa saja, asalkan laporan pertanggung jawaban tertulis itu nanti jelas, maka dana akan lancar terkucur dari kantong-kantong tersebut.

            Kalau di kelompok kami menyebut yang seperti itu sebagai “orang-orang proyek”, dan kami dengan bangga tanpa maksud rendah hati menyebut diri kami “beridealisme sakit”. Ya, itu bukan masalah, setiap orang atau kelompok bebas memilih jalan yang ditempuh dalam kegiatan berkesenian. Persoalannya, sudah tepatkah dana-dana itu untuk membiayai gagasan akan “gerakan” yang sering didengungkan? Terlebih yang mengatasnamakan masyarakat luas? Sudah sampaikah kepada sasaran? Sudah cukupkah dengan mengadakan pementasan besar tanpa bekas yang jelas, tidak berkelanjutan, tema musiman, sebatas perayaan tapi menyertakan rakyat didalam tajuk acara. Saya bertanya sebab merasa sebagai rakyat juga, jadi untuk rakyat yang mana? bagi kebudayaan siapa?

            Ada yang ketika sebelum pentas mengatakan perkumpulannya “mandiri” tidak ada pihak yang memberi dana, tapi ketika pementasan di mulai “ngubengne tampah” meminta iuran seikhlasnya, entah konsepnya demikian agar terlihat seperti pentas pengamen ­Jaran Dor atau bagaimana  saya kurang tahu, yang jelas fenomena semacam ini bagi saya sangat lucu, mengingat pentas yang diadakan tidak memungut uang tiket masuk, gratis bagi para penonton. Pertanyaan saya, kalau memang “mandiri” dari mana biaya operasional sehari-hari di sanggar tersebut? Daripada meminta sumbangan seikhlasnya dari penonton, mengapa tidak menjual tiket? Toh penonton pasti juga akan datang dan mampu membayarnya. Bukankah itu lebih gagah daripada meminta sumbangan?

            Memang dalam proses menuju pementasan banyak mengeluarkan biaya, konyolnya jika yang dikeluhkan adalah urusan pendanaan diluar kekaryaan itu sendiri, tapi hal-hal yang sifatnya pribadi, seperti uang rokok, uang makan, uang bensin, atau apa saja yang intinya tidak berkaitan dengan pemanggungan. Logikanya seperti ini, andai saja anda seorang perokok dan bukan pelaku seni, dari mana anda mencukupi kebutuhan rokok anda? Andai saja tidak sedang proses pementasan, apa anda tidak makan? Uang bensin, andai anda tidak memilih kesenian untuk mengisi hidup, apakah anda tidak bepergian ke tempat lain untuk memenuhi kebutuhan bersosial? Kalau memang berat tidak usah berkesenian, siapa juga yang mewajibkan seseorang untuk menggeluti bidang seni, mikir!!


Merasa Pemerintah Tidak Memperhatikan

            Orang bisa memilih kesenian sebagai wadah “kritik sosial” atau menjadikan kesenian sebagai alat kontrol pemerintahan. Untuk dapat tumbuh segala pemikiran tentang “kepekaan” terhadap fenomena yang terjadi disekitar, sudah selayaknya seniman “membuat jarak” dengan pemerintah, bukan berarti memusuhi pemerintah atau sok-sokan berhaluan kiri, asal protes tanpa menggukur kapasitas kelompok, termakan isu berita di media massa, atau sekedar ikut meramaikan topik-topik yang sedang hangat diperbincangkan dan dijadikan tema pementasan. Itu bukan “kritis” tapi sekedar numpang eksis menurut saya. Kita tahu, beberapa jenis kesenian di kota ini nafas hidupnya ditopang oleh dana dari pemerintah kota. Biasanya kelompok-kelompok yang sejenis, tapi tidak mengerti akses untuk memperoleh dana bantuan, atau kelompok yang tidak kebagian jatah anggaran, akan merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah, diabaikan keberadaannya, ditelantarkan nasibnya, dan merasa sebagai anak tiri dilingkungan sendiri.

            Sebagai reaksi kejadian semacam ini, kelompok tadi akan mengadakan pementasan atau membuat gerakan massal, bisa juga jaringan besar, menjaring kelompok-kelompok yang merasa bernasib sama untuk mengadakan protes. Banyak bentuknya, salah satunya dengan meninggalkan kantong-kantong kesenian yang menjadi hunian semula, “pura-pura marah” pada pemerintah, merasa tidak diperhatikan. Lucunya kalau pemerintah atau pihak yang diprotes tadi melunakkan sikap dan  meminta mereka untuk kembali, dipenuhi segala fasilitasnya, diberi kedudukan seperti yang diharapakan, maka mereka akan ikut melunak juga. Di sini terlihat jelas, kecengengan dan sifat kekanak-kanakan yang menangis minta mainan, marah pada orang tua, setelah dipenuhi apa maunya, kembali patuh dan lunak sikapnya.

            Lebih lucu lagi jika kejadian semacam ini dilakukan oleh mereka yang memiliki wacana besar, gembar-gembor soal “gerakan”, entah yang seperti apa biasanya tidak jelas, sebab setahu saya tidak menjadi rutinitas yang dapat dipantau perkembangan dan permasalahannya, seringnya mengadakan bentuk perayaan musiman, sebatas mengumpulkan massa dengan disertai kalimat “untuk rakyat”. Rakyat yang mana kami kurang tahu. Barangkali itu bentuk pertanggungjawaban menggunakan uang rakyat.

            Bagi kami kerja kebudayaan, khususnya kesenian, tidak semata mengadakan pementasan dalam skala besar, tapi dengan sabar dan sedikit demi sedikit, bahkan mungkin tidak selesai pada satu generasi, dilanjutkan generasi sesudahnya, itupun tidak jaminan gagasan tersebut akhirnya terwujud, setidaknya berani berusaha dengan didasari kewarasan dalam memandang keadaan, bukan memanfaatkan keadaan atau isu yang sedang berkembang, kemudian berganti ke isu lain jika isu yang lama sudah tidak laku dijual.

Mengiba Pada Seniman Lain

            Ada lagi yang tidak kalah menarik, tapi mungkin bukan sebuah masalah, hanya saja saya yang pendiam ini sebenarnya orang yang gampang emosi melihat fenomena konyol. Atas nama sesama pelaku seni, “kemalangan nasib” sebuah perkumpulan tanpa sadar akan dikeluhkan kepada kelompok-kelompok atau komunitas-komunitas lain yang bergerak pada bidang yang sama. Maksudnya, perihal kekurangan fasilitas, macetnya operasional kegiatan, juga biaya untuk melakukan “gerakan” yang sudah direncanakan. Bukankah itu cengeng dan lucu, mengingat masing-masing kelompok juga memiliki masalah sendiri-sendiri. Bagaimana melakukan gerakan kebudayaan jika urusan “kakus dan dapur” kelompoknya saja mengeluh pada tetangga. Mengajak sesama pelaku seni untuk peduli oada nasibnya, “bukankah sesama seniman harusnya saling gotong-royong”, preekk!! Gombal mukiyo!!

Ya, saya memang kemaki, saya memang sinis, nyinyir, sok kritis. Anda mau apa? marah? Ngrasani?  Silakan, tapi jangan sampai saya mendengar, sebab akan jadi tulisan baru. Bagi saya jika keinginan mustahil terwujud, sulit terlaksana lebih baik cari kemungkinan lain, bilamana perlu tidak usah berkesenian kalau memang merasa repot, atau sabar menunggu sampai segala titik-titik penopang tercapainya keinginan mulai tampak. Daripada meminta sumbangan kepada rekan-rekan lain misalnya, tapi di hadapan masyarakat mengaku sebagai pejuang kebudayaan yang tulus tanpa memungut biaya, memangnya ada alat ukur ketulusan hati? Kejadian semacam itu tidak fair sebenarnya, lebih baik mereka yang dengan terang-terangan mengakui kesenian untuk mencari penghidupan. Kenapa tidak dikomersilkan saja segala produk-produk keseniannya? Atau menyewakan tempat untuk pentas kelompok lain? Atau menjual tiket jika mengadakan pementasan? Hasilnya bisa digunakan untuk mencukupi segala kekurangan fasilitas dan biaya operasional kegiatan.


Perjuangkanlah Idemu Dan Kelompokmu Dengan Jujur, Mengakui Posisi, Kapasitas Diri, Dan Motif Berkesenianmu Tanpa Harus “Merepotkan” Orang Lain

            Kesenian memang hanya sebuah wadah ekspresi jiwa, baik yang dilakukan secara individu maupun berkelompok. Kesenian juga bisa sarana atau kendaraan untuk menuju dan mencapai tujuan-tujuan tertentu, misalnya ritual keagamaan, kebatinan, penghilang stres, penyaluran ideologi, gerakan kebudayaan, lapangan pekerjaan, atau apa saja yang sekiranya bisa ditampung oleh kesenian, tergantung keperluan masing-masing orang dan kelompok. Permasalahannya adalah penyikapan terhadap pilihan dan segala konsekuensinya, banyak diantara kita yang tidak sadar atas apa yang disuarakan dan diperjuangkan.

Akhirnya menjadi sebuah fenomena yang lucu, apabila ingin tampak gagah sebagai pahlawan kebudayaan yang “berdikari”, tapi cara berpikirnya belum merdeka, masih dibayangi sesuatu yang tidak ada pada dirinya, tapi ingin ditampilkan di muka umum agar tetap eksis dan berkibar namanya juga bendera kelompoknya, maka untuk menutupi atau mengejar impiannya tersebut ditempuhlah cara-cara “remeh”, meminta sumbangan kepada sesama pelaku seni atas nama solidaritas dan gotong-royong, main proposal di belakang, mengumpulkan kaum “sendika dawuh” dalam satu jaringan, mengadakan “gerakan” atau acara besar atas nama rakyat yang hanya musiman, melakukan sosialisasi visi-misi kelompok atau komunitas secara “membabi-buta” tanpa memandang tempat tanpa mempertimbangkan itu acara apa. 

Bagi kami urusan penyampaian gagasan sudah ada tempatnya, tidak harus selalu ketika ada banyak massa berkumpul, itu namanya aji mumpung, mana hasilnya selama ini? Bukankah ini bukti kita gagal mengenali kapasitas diri dan kelompok? Jalan yang dipilih beserta konsekuensinya? Atau gagap menyikapi perubahan? kenyataan jaman? situasi sosial di sekitar? Iklim yang tidak lagi sama di setiap masa? baik dari kuota anggota, kuantitas dan kualitas setiap orang yang terlibat, permasalahan generasi, tujuan dan laku yang harus ditempuh.

            Ya, sebagai penutup saya tinggalkan kalimat-kalimat sok bijak dari Mas Bei, “berkesenianlah seolah-olah itu ibadah atau jalan pedangmu, tapi kalau bisa tanpa harus merepotkan orang lain, sebab kesenian hanya sarana, kelompok hanya wadah, tidak ada yang abadi, semua yang lahir pasti mati. Berkesenianlah dengan gagah tanpa banyak mengeluh, jangan cengeng, jika terasa berat barangkali bukan keseniannya yang salah, tapi ambisi dan motif-motif diluar urusan kesenian itu sendiri yang tanpa kita sadari menjadi beban”


Surakarta, 19 Maret 2018



Sastro Siswo Hadiwinoto Handoyonigrat Tirto Kamandanu
Mahasiswa Semester Akhir
Di Institut Tanggul Budaya Surakarta

No comments:

Post a Comment