Tuesday, 6 March 2018

SANTISWARA SLAMET WIDODO MEWARISKAN REPERTOAR KLASIK KEPADA “KARANGTARUNA KIDUL TANGGUL”



          Kami menyebutnya sebagai takdir, mendapat nasib baik dipertemukan bapak-bapak dan kakek-kakek yang rata-rata berusia diatas lima puluh tahun. Beliau-beliau ini merupakan anggota kelompok Santiswara Slamet Widodo. Kami mendapat kesempatan mengenal berbagai macam lagu khas Santiswara menjelang peringatan seratus hari meninggalnya Joko Bibit Santoso atau Kang Jack. Menurut cerita Mas Helmi, beberapa bulan menjelang Kang Jack dipanggil kepangkuan Tuhan, beliau sempat menemui pak Suroto, seorang pemain kendhang yang namanya tidak asing dan tidak lepas dari kesenian Santiswara di Surakarta dan sekitarnya.

Kang Jack memiliki keinginan yang disampaikan kepada pak Suroto untuk “menghidupkan” lagi latihan rutin Santiswara, Kang Jack berniat mengundang pak Suroto dan teman-teman lain untuk latihan di Sanggar Kenthoet-Roedjito Teater Ruang. Tapi Tuhan berkehendak lain, sebelum niat baik itu sampai pada pelaksanaan, Kang Jack lebih dulu dipanggil Tuhan Sang Maha Sutradara untuk berpentas dihadapan-Nya, berkumpul bersama Bambang Widoyo atau Mas Kenthoet, Mbah Roedjito, WS. Rendra, Slamet Gundono, berteater di alam keabadian untuk Tuhan dan orang-orang terdahulu yang sudah berpulang.

Awal Mula Latihan Santiwara Di Sanggar Kenthoet-Roedjito akhir 2016 – pertengahan 2017
           
            Menjelang acara peringatan seratus hari meninggalnya Kang Jack, setelah berbincang bersama Mas Helmy yang menceritakan niatan Kang Jack, salah seorang anggota kelompok Santiswara Slamet Widodo yaitu pak Bagyo segera menghubungi anggota yang lain, tikar digelar waktu berkumpul untuk latihan pun tiba. Awalnya saya dan teman-teman mendengarkan dari luar, merasa belum bisa dan belum mengenal, lalu usai lagu pertama dimainkan bapak-bapak itu memanggil kami untuk masuk, notasi gerongan dibagikan kami mencoba mengikuti pelan-pelan. Awalnya teman-teman muda masih banyak, sebab terikat kepanitiaan acara seratus hari Kang Jack.
Para Anggota Santiswara Slamet Widodo, dari kiri : Pak Madji, Pak Parwan, dan Pak Suroto
           
            Usai acara seratus hari berlalu, sebelum pulang dari tempat acara yaitu di sanggar Teater Ruang di Wonogiri, pak Suroto, pak Madji dan pak To menyampaikan kepada kami kalau latihan rutin tetap diadakan, tempatnya di Kenthoet-Roedjito saja, pak Madji mengaku senang bisa ada latihan seminggu sekali setelah sekian lama rutinitas seperti ini tidak diadakan. Hari sudah ditentukan, teman-teman Tanggul Budaya sepakat untuk ikut bergabung. Pada waktu itu diadakan juga pembentukan pengurus Komunitas Tanggul Budaya yang baru, penyusunan struktur-struktur kerja yang sangat formal dan kaku menurut saya, sekadar “penting isi” agar seperti organisasi pada umumnya, ketua, bendahara, sekertaris, empat bidang koordinator, yaitu sastra, teater, tembang, dan santiswara. Pada waktu itu seorang pemuda pendiam tertunjuk sebagai ketua, ia sudah menebak dan tidak juga mengelak. Ketika selesai dan ditanya apa program untuk Tanggul Budaya ia hanya menjawab singkat, “melanjutkan latihan rutin macapat dan santiswara, tidak ada yang lain”. Menurutnya seberapa besar kecintaan orang terhadap sebuah perkumpulan akan terlihat dari cara orang itu memandang dan menyikapi produk yang dimiliki.

Bukan tanpa alasan ia berpendapat demikian, jika menamakan diri Tanggul Budaya, hendaknya bisa berpikir bahwasanya macapat dan santiswara adalah bagian dari kebudayaan lokal kita, tanpa mencoba mengenali atau menyukai lebih dulu maka omong kosong jika kita menganggap itu barang penting yang amat di cintai. Mas Bei juga memiliki pendapat senada dengan “ketua tiban” yang ditunjuk bukan karena mendapat wahyu kedaton tersebut, “apalah artinya mengadakan acara-acara secara besar, tapi diri sendiri tidak bertambah pengetahuan terhadap barang yang kita besar-besarkan itu , hanya mengundang para pakar untuk mengadakan workshop atau sosialisasi wacana, berlalu tanpa bekas sesudahnya, tapi di hari tenang kita tidak mau latihan, mencoba akrab dan bergaul lebih dekat lagi dengan barang-barang yang kita katakan sebagai produk kebudayaan lokal, akar kebudayaan, bukankah itu omong kosong? Diri sendiri tidak suka dan tidak akrab tapi menyuruh masyarakat untuk merawatnya dan mencintainya”

            Terkadang saya curiga, apa Mas Bei itu paranormal? Omong sok tahu tapi pada akhirnya kebetulan jadi benar terjadi, atau memang dia sebenarnya agen rahasia yang sedang pura-pura jadi penyair? Pujangga abad milenia? Atau Mas bei itu sebenarnya hanya tokoh mitos? Apalah itu tidak jadi soal toh beliau tidak membahayakan orang lain jika dirinya atau temannya tidak diusik. Pada akhirnya beberapa bulan berselang latihan tembang dan santiswara tetap berjalan, hingga waktu menginjak bulan Maret 2017, mereka yang dulu datang sendirian atau bukan karena kelompok mulai tidak datang, pamit sibuk tugas kuliah atau bekerja mencari nafkah, juga yang sepaket anggota (orang-orang yang datang ke Tanggul satu kelompok berombongan) pamit tidak bisa latihan karena ada proses pementasan di kelompok teaternya, ada juga yang tanpa keterangan, hilang keberadaannya tidak lagi datang ke Tanggul meskipun namanya tercatat sebagai pengurus, tidak lagi kembali setelah hampir setahun kesibukan yang mereka jadikan sebagai alasan sudah selesai diselenggarakan. Kenyataan ini yang pada akhirnya membuat Mas Bei tidak lagi mengakui dan mempercayai kepengurusan secara formal, menurutnya rapat rutin itu lebih banyak basa-basi dengan hasil selalu di luar rencana, sebab yang dibicarakan bukanlah hal yang dimiliki, yang ada dihadapannya, melainkan angan-angan tanpa disertai laku sehari-hari, dalam hal ini latihan rutin yang sudah disepakati. 

             Joko Pitono koordinator Keluarga Karawitan Kurawa juga pernah menyatakan pandangannya terhadap fenomena ini, di hadapan adik-adiknya ia bersabda “Sira kabeh yayi kadangipun kakang. Kae sawangen, jare rapat nanging kok abot mikir suguhane, konsumsine, sing pada mara seba ora bedha kaya dhemit kaliren, anane mung Sura Badhog karo Kawula Waduk ora ana liya. Yen ana pangandikan utawa priyagung ingkang wawan sabda bab ingkang wigati, dadi pada kaya Harya Saguh, manthuk-mantuk, sendika dawuh, bareng tiba wancine jumangkah ana payudan, pada tinggal glanggang colong playu. Yen ditagih tanggung jawabe pada dadi Jaya Enda, selak kanthi alesan kang ora ketemu nalar, utawa golek-golek sebab kang isa dadi bebener kanggo kaluputane marang pakumpulan. Apa dikira ingsun ora ngerti, kabeh pangucape wong-wong ingkang cidra marang tanggungane mau ora liya amung kanggo kudhung? Nutupi dosane mlayu saka palagan, jirih ora wani nggetih gadhane putih”

Keberlangsungan Latihan Santiswara Pasca “Karangtaruna Kidul Tanggul” Berkurang Anggotanya

            Bapak-bapak dan kakek-kakek anggota Santiwara Slamet Widodo tidak pernah absen datang latihan sesuai jadwal yang sudah ditentukan. Beliau-beliau ini sempat menanyakan, mengapa sekarang yang datang hanya sedikit, waktu itu empat orang tersisa. Awalnya kami mengira ada rasa kecewa pada diri Pak Madji, melihat anggota Tanggul yang ikut latihan sangat banyak beberapa saat setelah acara peringatana seratus hari meninggalnya Joko Bibit Santoso, ternyata tidak, beliau malah berkata “sithik ora apa-apa sing penting isih isoh mlaku latihane”, orangnya sedikit tidak apa-apa yang penting laltihan tetap berjalan. Mendengar ucapan pak Madji kami yang masih ikut latihan merasa lega, tidak lagi perlu lagi mengharapkan teman yang lain datang, toh mereka juga sudah tahu pastinya, kalau latihan Santiswara tetap berjalan meski mereka pamit untuk sementara waktu, tapi tidak kembali lagi akhirnya.

Pak Madji

           
            Ketika itu Jalu yang bertanggung jawab sebagai koordinator latihan Santiswara berkata kepada saya, “biar saja, saya tidak akan memikirkan mereka yang tidak datang, mumpung bapak-bapak ini berkenan latihan bersama, maka yang terpenting adalah kita yang masih ada dan terlanjur senang setelah mengenal bentuk kesenian ini tetap latihan, kalau yang lain tidak senang dan akhirnya tidak bisa belajar memainkan biar saja, pelajaran dari bapak-bapak ini untuk diri kita yang masih tersisa ini”. Kemudian saya menanggapi pernyataan Jalu tersebut, “kalau begitu sebisa mungkin, semampu kita, kita serap pengetahuan tentang santiswara saat latihan, kita bagi tugas, kamu menyimak pola permainan terbangan pak Madji, saya menyimak kendhangan pak Suroto, Angga dan Idham menyimak lagu gerongan dan makna teks-teks yang terdapat pada notasi.”

Idham juga pernah berkomentar, “Jika kesenian ini menurut cerita yang beredar sudah mulai berkurang peminatnya atau hampir punah, sementara kita yang baru kenal ini merasa bahwa saat latihan santiswara ada suasana meditatif yang kita butuhkan, maka mumpung kita masih memiliki waktu berjumpa dengan bapak-bapak  ini sesegera mungkin harus ikut belajar. Semisal saya ingin berpentas monolog dengan iringan repertoar santiswara, sudah barang tentu saya harus ikut latihan, sedikit demi sedikit menyerap apa yang beliau-beliau ini ajarkan, bukan masalah apa-apa, hanya saja saya dan kelompok tidak ingin di anggap asal comot dalam garapan pentas. Pada setiap pementasan sebisa mungkin menampilkan apapun itu yang merupakan produk latihan nyata, bukan pengamatan semata yang lalu ditempelkan setelah asal ambil dari yang sudah ada, tanpa mau mengenalnya lebih dulu, mempelajarinya dengan sabar dan memakan waktu.”
           
            Latihan berlangsung dengan lancar hingga saat bulan puasa diliburkan dulu, rencananya akan dimulai lagi usai hari raya Idul Fitri, tapi lagi-lagi Tuhan berkata lain, pak Suroto yang merupakan orang paling dituakan di kelompok ini, yang paling menguasai garap-garap klasik santiswara sekaligus yang memainkan kendang menderita sakit, karena sakit pak Suroto dianjurkan oleh dokter untuk tidak keluar malamm beristirahat di rumah. Setelah peristiwa itu maka otomatis latihan santiswara berhenti untuk sementara waktu. Pada akhir-akhir latian sebelumnya teman-teman sempat merekam dua lagu yang dimainkan bapak-bapak ini.

Setelah pulang dari rumah sakit, kami beberapa anggota Tanggul Budaya datang menjenguk, waktu itu beliau bercerita banyak tentang masa lalunya bersama kesenian santiswara yang amat dicintainya ini, juga pandangan serta harapan perihal kesenian santiswara di hari ini dan di hari depan. Pak Suroto menyarankan untuk memanggil bapak-bapak yang lain agar berlatih bersama seperti dulu, tapi tanpa kehadiran beliau. Kalau tidak kita dipersilakan latihan sendiri sebisanya, apa saja yang sudah kami dapat bisa diulang kembali. Pak Suroto juga memperbolehkan alat-alat santiswara untuk kami pergunakan, “pun mboten napa-napa Mas, kajenge enten mrika mawon alatipun, saged kangge latihan rencang-rencang nem”. Sudah tidak apa-apa Mas, biar ada disana alatnya, bisa untuk latihan teman-teman muda. Baiklah terima kasih, kami pamit pulang pak.

Bulan demi bulan berlalu sesudah hari itu Tanggul Budaya tambah kegiatan latihan karawitan dan penggarapan naskah Lurung Kalabendu. Latihan Santiswara menjadi sedikit terlupakan, hanya beberapa dari kami yang dulu tersisa masih mencoba memainkan pada waktu-waktu tertentu yang tidak direncanakan, sedangkan teman-teman lain yang dulu pergi meninggalkan atau teman yang baru datang, mereka ada juga yang berminat latihan santiswara, tapi untuk sementara waktu kami berikan rekaman-rekaman beberapa lagu untuk diperdengarkan dirumah, sebab akan memakan waktu lama kalau mengulanginya lagi dari awal, terlebih jika harus satu per satu, per individu belajar gerongan atau lagu vokalnya. Selain itu cara seperti ini juga sebuah bentuk latihan mendengar. Mustahil orang menyuarakan sesuatu tapi tidak pernah atau tidak mau mendengarnya lebih dulu.


Surakarta, 6 Maret 2018



Joko Lelur
Pengendhang Santiswara Berstatus “magang” di Tanggul Budaya Surakarta
Mantri Carik di Teater Sandilara

No comments:

Post a Comment