Kami
menyebutnya sebagai takdir, mendapat nasib baik dipertemukan bapak-bapak dan
kakek-kakek yang rata-rata berusia diatas lima puluh tahun. Beliau-beliau ini
merupakan anggota kelompok Santiswara Slamet Widodo. Kami mendapat kesempatan mengenal
berbagai macam lagu khas Santiswara menjelang peringatan seratus hari
meninggalnya Joko Bibit Santoso atau Kang Jack. Menurut cerita Mas Helmi,
beberapa bulan menjelang Kang Jack dipanggil kepangkuan Tuhan, beliau sempat
menemui pak Suroto, seorang pemain kendhang yang namanya tidak asing dan tidak
lepas dari kesenian Santiswara di Surakarta dan sekitarnya.
Kang Jack memiliki keinginan yang disampaikan kepada pak
Suroto untuk “menghidupkan” lagi latihan rutin Santiswara, Kang Jack berniat
mengundang pak Suroto dan teman-teman lain untuk latihan di Sanggar
Kenthoet-Roedjito Teater Ruang. Tapi Tuhan berkehendak lain, sebelum niat baik
itu sampai pada pelaksanaan, Kang Jack lebih dulu dipanggil Tuhan Sang Maha
Sutradara untuk berpentas dihadapan-Nya, berkumpul bersama Bambang Widoyo atau
Mas Kenthoet, Mbah Roedjito, WS. Rendra, Slamet Gundono, berteater di alam
keabadian untuk Tuhan dan orang-orang terdahulu yang sudah berpulang.
Awal Mula Latihan Santiwara Di
Sanggar Kenthoet-Roedjito akhir 2016 – pertengahan 2017
Menjelang acara peringatan seratus
hari meninggalnya Kang Jack, setelah berbincang bersama Mas Helmy yang
menceritakan niatan Kang Jack, salah seorang anggota kelompok Santiswara Slamet
Widodo yaitu pak Bagyo segera menghubungi anggota yang lain, tikar digelar
waktu berkumpul untuk latihan pun tiba. Awalnya saya dan teman-teman
mendengarkan dari luar, merasa belum bisa dan belum mengenal, lalu usai lagu
pertama dimainkan bapak-bapak itu memanggil kami untuk masuk, notasi gerongan dibagikan
kami mencoba mengikuti pelan-pelan. Awalnya teman-teman muda masih banyak,
sebab terikat kepanitiaan acara seratus hari Kang Jack.
Usai acara seratus hari berlalu,
sebelum pulang dari tempat acara yaitu di sanggar Teater Ruang di Wonogiri, pak
Suroto, pak Madji dan pak To menyampaikan kepada kami kalau latihan rutin tetap
diadakan, tempatnya di Kenthoet-Roedjito saja, pak Madji mengaku senang bisa
ada latihan seminggu sekali setelah sekian lama rutinitas seperti ini tidak
diadakan. Hari sudah ditentukan, teman-teman Tanggul Budaya sepakat untuk ikut bergabung.
Pada waktu itu diadakan juga pembentukan pengurus Komunitas Tanggul Budaya yang
baru, penyusunan struktur-struktur kerja yang sangat formal dan kaku menurut
saya, sekadar “penting isi” agar
seperti organisasi pada umumnya, ketua, bendahara, sekertaris, empat bidang koordinator,
yaitu sastra, teater, tembang, dan santiswara. Pada waktu itu seorang pemuda
pendiam tertunjuk sebagai ketua, ia sudah menebak dan tidak juga mengelak. Ketika
selesai dan ditanya apa program untuk Tanggul Budaya ia hanya menjawab singkat,
“melanjutkan latihan rutin macapat dan santiswara, tidak ada yang lain”. Menurutnya
seberapa besar kecintaan orang terhadap sebuah perkumpulan akan terlihat dari
cara orang itu memandang dan menyikapi produk yang dimiliki.
Bukan tanpa alasan ia berpendapat demikian, jika menamakan
diri Tanggul Budaya, hendaknya bisa berpikir bahwasanya macapat dan santiswara
adalah bagian dari kebudayaan lokal kita, tanpa mencoba mengenali atau menyukai
lebih dulu maka omong kosong jika kita menganggap itu barang penting yang amat
di cintai. Mas Bei juga memiliki pendapat senada dengan “ketua tiban” yang
ditunjuk bukan karena mendapat wahyu kedaton tersebut, “apalah artinya
mengadakan acara-acara secara besar, tapi diri sendiri tidak bertambah
pengetahuan terhadap barang yang kita besar-besarkan itu , hanya mengundang
para pakar untuk mengadakan workshop atau sosialisasi wacana, berlalu tanpa
bekas sesudahnya, tapi di hari tenang kita tidak mau latihan, mencoba akrab dan
bergaul lebih dekat lagi dengan barang-barang yang kita katakan sebagai produk
kebudayaan lokal, akar kebudayaan, bukankah itu omong kosong? Diri sendiri
tidak suka dan tidak akrab tapi menyuruh masyarakat untuk merawatnya dan
mencintainya”
Terkadang saya curiga, apa Mas Bei
itu paranormal? Omong sok tahu tapi pada akhirnya kebetulan jadi benar terjadi,
atau memang dia sebenarnya agen rahasia yang sedang pura-pura jadi penyair? Pujangga
abad milenia? Atau Mas bei itu sebenarnya hanya tokoh mitos? Apalah itu tidak
jadi soal toh beliau tidak membahayakan orang lain jika dirinya atau temannya tidak
diusik. Pada akhirnya beberapa bulan berselang latihan tembang dan santiswara tetap
berjalan, hingga waktu menginjak bulan Maret 2017, mereka yang dulu datang
sendirian atau bukan karena kelompok mulai tidak datang, pamit sibuk tugas
kuliah atau bekerja mencari nafkah, juga yang sepaket anggota (orang-orang yang
datang ke Tanggul satu kelompok berombongan) pamit tidak bisa latihan karena
ada proses pementasan di kelompok teaternya, ada juga yang tanpa keterangan,
hilang keberadaannya tidak lagi datang ke Tanggul meskipun namanya tercatat
sebagai pengurus, tidak lagi kembali setelah hampir setahun kesibukan yang
mereka jadikan sebagai alasan sudah selesai diselenggarakan. Kenyataan ini yang pada akhirnya membuat Mas Bei tidak lagi
mengakui dan mempercayai kepengurusan secara formal, menurutnya rapat rutin itu
lebih banyak basa-basi dengan hasil selalu di luar rencana, sebab yang
dibicarakan bukanlah hal yang dimiliki, yang ada dihadapannya, melainkan
angan-angan tanpa disertai laku sehari-hari, dalam hal ini latihan rutin yang
sudah disepakati.
Joko Pitono koordinator Keluarga Karawitan Kurawa juga pernah menyatakan pandangannya terhadap fenomena ini, di hadapan adik-adiknya ia bersabda “Sira kabeh yayi kadangipun kakang. Kae sawangen, jare rapat nanging kok abot mikir suguhane, konsumsine, sing pada mara seba ora bedha kaya dhemit kaliren, anane mung Sura Badhog karo Kawula Waduk ora ana liya. Yen ana pangandikan utawa priyagung ingkang wawan sabda bab ingkang wigati, dadi pada kaya Harya Saguh, manthuk-mantuk, sendika dawuh, bareng tiba wancine jumangkah ana payudan, pada tinggal glanggang colong playu. Yen ditagih tanggung jawabe pada dadi Jaya Enda, selak kanthi alesan kang ora ketemu nalar, utawa golek-golek sebab kang isa dadi bebener kanggo kaluputane marang pakumpulan. Apa dikira ingsun ora ngerti, kabeh pangucape wong-wong ingkang cidra marang tanggungane mau ora liya amung kanggo kudhung? Nutupi dosane mlayu saka palagan, jirih ora wani nggetih gadhane putih”
Joko Pitono koordinator Keluarga Karawitan Kurawa juga pernah menyatakan pandangannya terhadap fenomena ini, di hadapan adik-adiknya ia bersabda “Sira kabeh yayi kadangipun kakang. Kae sawangen, jare rapat nanging kok abot mikir suguhane, konsumsine, sing pada mara seba ora bedha kaya dhemit kaliren, anane mung Sura Badhog karo Kawula Waduk ora ana liya. Yen ana pangandikan utawa priyagung ingkang wawan sabda bab ingkang wigati, dadi pada kaya Harya Saguh, manthuk-mantuk, sendika dawuh, bareng tiba wancine jumangkah ana payudan, pada tinggal glanggang colong playu. Yen ditagih tanggung jawabe pada dadi Jaya Enda, selak kanthi alesan kang ora ketemu nalar, utawa golek-golek sebab kang isa dadi bebener kanggo kaluputane marang pakumpulan. Apa dikira ingsun ora ngerti, kabeh pangucape wong-wong ingkang cidra marang tanggungane mau ora liya amung kanggo kudhung? Nutupi dosane mlayu saka palagan, jirih ora wani nggetih gadhane putih”
Keberlangsungan Latihan Santiswara
Pasca “Karangtaruna Kidul Tanggul” Berkurang Anggotanya
Bapak-bapak dan kakek-kakek anggota
Santiwara Slamet Widodo tidak pernah absen datang latihan sesuai jadwal yang
sudah ditentukan. Beliau-beliau ini sempat menanyakan, mengapa sekarang yang
datang hanya sedikit, waktu itu empat orang tersisa. Awalnya kami mengira ada
rasa kecewa pada diri Pak Madji, melihat anggota Tanggul yang ikut latihan
sangat banyak beberapa saat setelah acara peringatana seratus hari meninggalnya
Joko Bibit Santoso, ternyata tidak, beliau malah berkata “sithik ora apa-apa sing penting isih isoh mlaku latihane”, orangnya
sedikit tidak apa-apa yang penting laltihan tetap berjalan. Mendengar ucapan
pak Madji kami yang masih ikut latihan merasa lega, tidak lagi perlu lagi
mengharapkan teman yang lain datang, toh mereka juga sudah tahu pastinya, kalau
latihan Santiswara tetap berjalan meski mereka pamit untuk sementara waktu,
tapi tidak kembali lagi akhirnya.
Pak Madji |
Ketika itu Jalu yang bertanggung
jawab sebagai koordinator latihan Santiswara berkata kepada saya, “biar saja, saya tidak akan memikirkan
mereka yang tidak datang, mumpung bapak-bapak ini berkenan latihan bersama,
maka yang terpenting adalah kita yang masih ada dan terlanjur senang setelah
mengenal bentuk kesenian ini tetap latihan, kalau yang lain tidak senang dan
akhirnya tidak bisa belajar memainkan biar saja, pelajaran dari bapak-bapak ini
untuk diri kita yang masih tersisa ini”. Kemudian saya menanggapi
pernyataan Jalu tersebut, “kalau begitu sebisa
mungkin, semampu kita, kita serap pengetahuan tentang santiswara saat latihan,
kita bagi tugas, kamu menyimak pola permainan terbangan pak Madji, saya
menyimak kendhangan pak Suroto, Angga dan Idham menyimak lagu gerongan dan
makna teks-teks yang terdapat pada notasi.”
Idham juga pernah berkomentar, “Jika kesenian ini menurut cerita yang beredar sudah mulai berkurang
peminatnya atau hampir punah, sementara kita yang baru kenal ini merasa bahwa saat
latihan santiswara ada suasana
meditatif yang kita butuhkan, maka mumpung kita masih memiliki waktu berjumpa
dengan bapak-bapak ini sesegera mungkin
harus ikut belajar. Semisal saya ingin berpentas monolog dengan iringan
repertoar santiswara, sudah barang tentu saya harus ikut latihan, sedikit demi
sedikit menyerap apa yang beliau-beliau ini ajarkan, bukan masalah apa-apa, hanya
saja saya dan kelompok tidak ingin di anggap asal comot dalam garapan pentas. Pada
setiap pementasan sebisa mungkin menampilkan apapun itu yang merupakan produk
latihan nyata, bukan pengamatan semata yang lalu ditempelkan setelah asal ambil
dari yang sudah ada, tanpa mau mengenalnya lebih dulu, mempelajarinya dengan
sabar dan memakan waktu.”
Latihan berlangsung dengan lancar
hingga saat bulan puasa diliburkan dulu, rencananya akan dimulai lagi usai hari
raya Idul Fitri, tapi lagi-lagi Tuhan berkata lain, pak Suroto yang merupakan
orang paling dituakan di kelompok ini, yang paling menguasai garap-garap klasik
santiswara sekaligus yang memainkan kendang menderita sakit, karena sakit pak
Suroto dianjurkan oleh dokter untuk tidak keluar malamm beristirahat di rumah. Setelah
peristiwa itu maka otomatis latihan santiswara berhenti untuk sementara waktu. Pada
akhir-akhir latian sebelumnya teman-teman sempat merekam dua lagu yang
dimainkan bapak-bapak ini.
Setelah pulang dari rumah sakit, kami beberapa anggota
Tanggul Budaya datang menjenguk, waktu itu beliau bercerita banyak tentang masa
lalunya bersama kesenian santiswara yang amat dicintainya ini, juga pandangan serta
harapan perihal kesenian santiswara di hari ini dan di hari depan. Pak Suroto
menyarankan untuk memanggil bapak-bapak yang lain agar berlatih bersama seperti
dulu, tapi tanpa kehadiran beliau. Kalau tidak kita dipersilakan latihan
sendiri sebisanya, apa saja yang sudah kami dapat bisa diulang kembali. Pak Suroto
juga memperbolehkan alat-alat santiswara untuk kami pergunakan, “pun mboten napa-napa Mas, kajenge enten
mrika mawon alatipun, saged kangge latihan rencang-rencang nem”. Sudah tidak
apa-apa Mas, biar ada disana alatnya, bisa untuk latihan teman-teman muda. Baiklah
terima kasih, kami pamit pulang pak.
Bulan demi bulan berlalu sesudah hari itu Tanggul Budaya
tambah kegiatan latihan karawitan dan penggarapan naskah Lurung Kalabendu. Latihan
Santiswara menjadi sedikit terlupakan, hanya beberapa dari kami yang dulu
tersisa masih mencoba memainkan pada waktu-waktu tertentu yang tidak
direncanakan, sedangkan teman-teman lain yang dulu pergi meninggalkan atau
teman yang baru datang, mereka ada juga yang berminat latihan santiswara, tapi untuk
sementara waktu kami berikan rekaman-rekaman beberapa lagu untuk diperdengarkan
dirumah, sebab akan memakan waktu lama kalau mengulanginya lagi dari awal,
terlebih jika harus satu per satu, per individu belajar gerongan atau lagu
vokalnya. Selain itu cara seperti ini juga sebuah bentuk latihan mendengar. Mustahil
orang menyuarakan sesuatu tapi tidak pernah atau tidak mau mendengarnya lebih
dulu.
Surakarta, 6 Maret 2018
Joko Lelur
Pengendhang
Santiswara Berstatus “magang” di Tanggul Budaya Surakarta
Mantri
Carik di Teater Sandilara
No comments:
Post a Comment