“Sementara
kita disibukkan pencarian benda yang tiada habis yang bernama uang, manusia
lain sudah mencoba meninggalkan kenyataan dan mencapai bintang di angkasa
raya.”
Sore
ini ada sebuah berita spektakuler disiarkan di salah satu stasiun TV yang
dikelola pemerintah. Mereka menayangkannya hampir satu jam penuh lamanya. Entah
bermaksud untuk apa atau bagaimana, yang jelas siaran tersebut sangat
provokatif. Kata provokatif mungkin terdengar dahsyat dan berlebihan, namun
tiada kata lain dalam Kamus Besar Bahasa Indoenisa yang pantas selain kata
terbesut.
Mereka
yang ada di dalam layar kaca mengajak kita untuk berdagang. Bukan sembarang
perdagangan, namun perdagangan yang akan menghasilkan keuntungan berlipat.
Siapa yang tiada tergiur apabila diiming-imingi dengan keuntungan yang berlipat
dalam waktu yang singkat. Di zaman yang serba instan, semua yang praktis seakan
menjadi pilihan pertama dan utama untuk dicatatkan dalam daftar paling atas
prioritas pekerjaan.
Perdagangan
yang kita bicarakan di sini berupa perdagangan yang melibatkan negara lain atau
sering disebut impor. Kejadian impor sudah tidak terdengar asing di telinga
masyarakat Indonesia terlebih para pedagang dan koleganya yang banyak
menjadikan sebagai kegiatan utama. Perdagangan yang dimaksud yakni dengan
mendatangkan barang dari luar negeri untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Merupakan salah satu upaya yang paling mudah untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat kekinian yang serba praktis. Cukup memberikan sejumlah uang dan
seketika barang yang dibutuhkan sudah ada di depan mata.
Prinsip
ekonomi menjadi landasan dalam pelaksanaan perdagangan impor. “Pengorbanan
seminimal mungkin untuk memperolah keuntungan yang semaksimal mungkin.”
Penerapan hal demikian tentu akan mendatangkan keuntungan yang berlipat untuk
pedagang yang melakukan prinsip tersebut. Dan sangat wajar kalau seharusnya
banyak orang yang tertarik dalam model perdagangan tersebut.
Dalam
kontekls ini, proses impor dimulai dengan mendatangkan barang dari luar negeri
untuk kemudian dijual kembali ke Indonesia. Tawaran yang diberikan tidak
tanggung-tanggung. katakanlah kita menjual septong baju, apabila kita menjual
barang dari dalam negeri ke pasar dalam negeri kita harus menjual dengan harga
kurang lebih Rp.30.000,00 dan menadapat keuntungan apabila kita menjual dengan
harga Rp.31.000,00. Dengan impor kita dapat mendatangkan sepotong baju hanya
dengan Rp.12.000,00 lalu dengan harga Rp.25.000,00, keuntungan yang kita
dapatkan tentu akan menjadi dua kali lipat lebih banyak. Tidak hanya itu, harga
jual yang masih dibawah harga pasar atau bisa dikata terlampau murah apabila
dibandingkan produk dalam negeri membuat barang impor akan menjadi magnet para
pembeli. sangat menarik!
Perdagangan
impor menjadi jalan utama bila anda bermental dagang dengan modal yang tidak
terlalu besar. Namun apalah harga keuntungan yang berlipat apabila bangsa kita
yang menjadi korban. Kebangsaan bukan hal utama yang menadji pertimbangan
apabila seseorang hendak melakukan kegiatan perdagangan. Akan tetapi, kita akan
menemukan sisi lain permasalahan apabila kita melibatkan rasa kebangsaan
sebagai salah satu pertimbangan untuk mengetahui secara cermat dampak positif
maupun negatif yang akan menyertainya.
Beredarnya
barang dengan harga murah tentu menjadi sasaran utama para pencari kebutuhan
pengguna prinsip ekonomi. Apabila dengan harga yang sama atau mungkin lebih
rendah kita mendapati kualitas internasional, sudah pasti barang tersebut akan
menjadi buruan.
Kita
akan sedikit mengulang perhitungan yang sudah tercantum di awal dimana kita
hendak menjual barang dalam negeri dengan harga Rp.31.000,00 dan menjual barang
impor dengan harga Rp.25.000,00. Harga yang murah akan membuat produk
asing menjadi juara diperebutan pasar Indonesia. Kejadian tersebut pasar asing
akan semakin maju dengan penjualan yang melesat jauh melebihi produk pasar
dalam negeri.
Lantas
bagaimana dengan nasib produsen dalam negeri yang harus menjual dengan harga
Rp.31.000,00. Kondisi kalah saing dengan pasar asing melahirkan kemungkinan
yakni mereka akan merugi karena tidak mampu mencapai keuntungan. Harga produksi
yang lebih tinggi apabila dibanding produk asing menjadikan produk dalam negeri
gulung tikar dalam hitungan bulan atau tahun .
Tidak
berhenti sampai di sana, lalu bagaimana nasib negara yang kita impor. Sudah
jelas, mereka akan menjadi semakin kuat dengan wilayah pemasaran yang semakin
luas. terlebih dengan kecederungan akan kebutuhan yang terus meningkat, maka
akan terbentuk suatu ketergantungan pasar yang semakin berdampak pada
peningkatan jumlah impor.
Apabila demikian lantas bagaimana?
Apabila
kita melihat pasar dunia, sangat bisa dipastikan negara kita akan menjadi
negara yang kalah saing dibanding negara yang sudah lebih banyak memiliki
modal. Untuk sepuluh sampai dua puluh tahun kedepan, bukan hal yang mustahil
jika di kemudian hari para rakyat akan tercekik kebutuhan yang semakin
melambung. Dimulai dari para buruh dalam negeri yang di-PKH lantaran pabrik
dalam negeri yang tak tak mampu lagi bersaing.
Tidak
selesai sampai di sana, derita masih dilanjutkan dengan buruh menegah
perusahaan asing yang hanya memilikii penghasilan pas-pasan untuk kehidupan
berkeluarga. Ketidakmampuan menghadapi tuntutan kemajuan zaman yang serba
canggih akan menjadi salah satu akhir ironi dimana penggantian dengan SDM dari
luar yang dianggap lebih ahli akan terjadi. Puncak kehilangan yang paling
parah yakni kehilangan hak atas tanah mereka sendiri karena ketidakmampuan
mencukupi kebutuhan sandang pangan yang secara masif merujuk ketergantungan
pada bangsa lain.
Bukan
bermaksud melawan propaganda dengan propaganda lain. Karena akan menjadi lebih
buruk apabila api dilawan dengan api, kebakaran yang makin dahsyat hanya akan
melahap hutan dan menyisakan abu. Kami hanya mengambil secuil kisah untuk
dibagi dan ditelaah bersama.
No comments:
Post a Comment