Tuesday, 23 August 2016

Belajar Dagang dari Negeri Pedagang (ZB Wibhawa)

“Sementara kita disibukkan pencarian benda yang tiada habis yang bernama uang, manusia lain sudah mencoba meninggalkan kenyataan dan mencapai bintang di angkasa raya.”
Sore ini ada sebuah berita spektakuler disiarkan di salah satu stasiun TV yang dikelola pemerintah. Mereka menayangkannya hampir satu jam penuh lamanya. Entah bermaksud untuk apa atau bagaimana, yang jelas siaran tersebut sangat provokatif. Kata provokatif mungkin terdengar dahsyat dan berlebihan, namun tiada kata lain dalam Kamus Besar Bahasa Indoenisa yang pantas selain kata terbesut.
Mereka yang ada di dalam layar kaca mengajak kita untuk berdagang. Bukan sembarang perdagangan, namun perdagangan yang akan menghasilkan keuntungan berlipat. Siapa yang tiada tergiur apabila diiming-imingi dengan keuntungan yang berlipat dalam waktu yang singkat. Di zaman yang serba instan, semua yang praktis seakan menjadi pilihan pertama dan utama untuk dicatatkan dalam daftar paling atas prioritas pekerjaan.
Perdagangan yang kita bicarakan di sini berupa perdagangan yang melibatkan negara lain atau sering disebut impor. Kejadian impor sudah tidak terdengar asing di telinga masyarakat Indonesia terlebih para pedagang dan koleganya yang banyak menjadikan sebagai kegiatan utama. Perdagangan yang dimaksud yakni dengan mendatangkan barang dari luar negeri untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Merupakan salah satu upaya yang paling mudah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kekinian yang serba praktis. Cukup memberikan sejumlah uang dan seketika barang yang dibutuhkan sudah ada di depan mata.
Prinsip ekonomi menjadi landasan dalam pelaksanaan perdagangan impor. “Pengorbanan seminimal mungkin untuk memperolah keuntungan yang semaksimal mungkin.” Penerapan hal demikian tentu akan mendatangkan keuntungan yang berlipat untuk pedagang yang melakukan prinsip tersebut. Dan sangat wajar kalau seharusnya banyak orang yang tertarik dalam model perdagangan tersebut.
Dalam kontekls ini, proses impor dimulai dengan mendatangkan barang dari luar negeri untuk kemudian dijual kembali ke Indonesia. Tawaran yang diberikan tidak tanggung-tanggung. katakanlah kita menjual septong baju, apabila kita menjual barang dari dalam negeri ke pasar dalam negeri kita harus menjual dengan harga kurang lebih Rp.30.000,00 dan menadapat keuntungan apabila kita menjual dengan harga Rp.31.000,00. Dengan impor kita dapat mendatangkan sepotong baju hanya dengan Rp.12.000,00 lalu dengan harga Rp.25.000,00, keuntungan yang kita dapatkan tentu akan menjadi dua kali lipat lebih banyak. Tidak hanya itu, harga jual yang masih dibawah harga pasar atau bisa dikata terlampau murah apabila dibandingkan produk dalam negeri membuat barang impor akan menjadi magnet para pembeli. sangat menarik!
Perdagangan impor menjadi jalan utama bila anda bermental dagang dengan modal yang tidak terlalu besar. Namun apalah harga keuntungan yang berlipat apabila bangsa kita yang menjadi korban. Kebangsaan bukan hal utama yang menadji pertimbangan apabila seseorang hendak melakukan kegiatan perdagangan. Akan tetapi, kita akan menemukan sisi lain permasalahan apabila kita melibatkan rasa kebangsaan sebagai salah satu pertimbangan untuk mengetahui secara cermat dampak positif maupun negatif yang akan menyertainya.
Beredarnya barang dengan harga murah tentu menjadi sasaran utama para pencari kebutuhan pengguna prinsip ekonomi. Apabila dengan harga yang sama atau mungkin lebih rendah kita mendapati kualitas internasional, sudah pasti barang tersebut akan menjadi buruan. 
Kita akan sedikit mengulang perhitungan yang sudah tercantum di awal dimana kita hendak menjual barang dalam negeri dengan harga Rp.31.000,00 dan menjual barang impor dengan harga Rp.25.000,00. Harga yang murah akan membuat produk asing menjadi juara diperebutan pasar Indonesia. Kejadian tersebut pasar asing akan semakin maju dengan penjualan yang melesat jauh melebihi produk pasar dalam negeri.
Lantas bagaimana dengan nasib produsen dalam negeri yang harus menjual dengan harga Rp.31.000,00. Kondisi kalah saing dengan pasar asing melahirkan kemungkinan yakni mereka akan merugi karena tidak mampu mencapai keuntungan. Harga produksi yang lebih tinggi apabila dibanding produk asing menjadikan produk dalam negeri gulung tikar dalam hitungan bulan atau tahun .
Tidak berhenti sampai di sana, lalu bagaimana nasib negara yang kita impor. Sudah jelas, mereka akan menjadi semakin kuat dengan wilayah pemasaran yang semakin luas. terlebih dengan kecederungan akan kebutuhan yang terus meningkat, maka akan terbentuk suatu ketergantungan pasar yang semakin berdampak pada peningkatan jumlah impor.
Apabila demikian lantas bagaimana?                                                                    
Apabila kita melihat pasar dunia, sangat bisa dipastikan negara kita akan menjadi negara yang kalah saing dibanding negara yang sudah lebih banyak memiliki modal. Untuk sepuluh sampai dua puluh tahun kedepan, bukan hal yang mustahil jika di kemudian hari para rakyat akan tercekik kebutuhan yang semakin melambung. Dimulai dari para buruh dalam negeri yang di-PKH lantaran pabrik dalam negeri yang tak tak mampu lagi bersaing.
Tidak selesai sampai di sana, derita masih dilanjutkan dengan buruh menegah perusahaan asing yang hanya memilikii penghasilan pas-pasan untuk kehidupan berkeluarga. Ketidakmampuan menghadapi tuntutan kemajuan zaman yang serba canggih akan menjadi salah satu akhir ironi dimana penggantian dengan SDM dari luar yang dianggap lebih ahli akan terjadi. Puncak kehilangan yang paling parah yakni kehilangan hak atas tanah mereka sendiri karena ketidakmampuan mencukupi kebutuhan sandang pangan yang secara masif merujuk ketergantungan pada bangsa lain.

Bukan bermaksud melawan propaganda dengan propaganda lain. Karena akan menjadi lebih buruk apabila api dilawan dengan api, kebakaran yang makin dahsyat hanya akan melahap hutan dan menyisakan abu. Kami hanya mengambil secuil kisah untuk dibagi dan ditelaah bersama.

No comments:

Post a Comment