“
Saudara bisa mengusai berapa bahasa asing ?”
Slamet
yang tengah mengikuti sebuah tes wawancara di perusahaan diajukan pertanyaan
semacam itu, dengan setengah lugu Slamet menjawab.
“
Bahasa Jawa, Pak”
“ Hlo
kok… yang serius Mas, Bahasa jawa kok bahasa asing? Kamu jangan bercanda ya
“
“ Saya
tidak bercanda Pak, saya serius. Bapak berasal dari mana ? “
“
Semarang Mas “
“ Pas
!! Bahasa jawanya malu apa Pak ? “
“ Isin
Mas “
“
Selain itu ? “
“ Tidak
tau Mas “
“ Wirang, Pak, malu itu wirang, Bapak tidak tahu kan ? Asing
tidak ditelinga Bapak ? Hlo katanya orang semarang, asli semrang ? kok bahasa
sesederhana itu tidak mahfum ? Asing itu ketika sesuatu bahasa tersebut terdengar
aneh kan Pak ? Ketika tidak terbiasa kan Pak ? itu kan Pak definisi dari asing
?
Saat
ini, Pak, bahasa daerah itu terdegar asing di telinga anak muda, Pak, kenapa
terdengar asing Pak ? karena sudah jarang yang memakai, orangtua mereka akan
lebih bangga mengajarkan anak-anaknya dengan bahasa Indonesia, atau bahkan
Inggris. Bukan, bukan berarti Bahasa Indonesia, Inggris itu buruk Pak, bukan,
Bahasa Indonesia itu kan memudahkan kita dalam berkomunikasi dengan orang-orang
lain dengan bahsa daerah lain to Pak. Tetapi
Pak, itu kan bahasa warisan kebudayaan nenek moyang kita to ? harus di uri-uri, dilestarikan, warisan bahasa
itu bukan sekedar bahasa, tapi ada banyak pelajaran dari kebahasaan daerah itu,
mempelajari bahasa daerah adalah salah satu cara mempelajari betapa besarnya nenek
moyang kita dahulu, Pak, betapa hebatnya mereka dalam menemukan pola-pola
aksara dan tata bahasa yang begitu kaya. Itu bukan main-main hlo, Pak, itu
dipikir dan dirasakan juga, bukan sembarangan Pak. Bukan asal-asalan.
Dan
lagi, Pak, dari bahasa-bahasa daerah itu kita akan menemukan betapa luasnya dan
lapangnya pikiran nenek moyang kita dahulu, lewat tambang-tembangnya, lewat
geguritannya, lewat filsafatnya, seperti ‘menang
tanpa ngasorake’, menang tanpa merendahkan. Betapa gagahnya filsafat itu
Pak ? yang kalau kita tidak mengerti apa artinya, itu akan hanya menjadi sebuah
warisan yang tanpa makna, Pak.
Hlo kok
malah sekarang kita sudah asing dengan bahasa daerah itu, Pak, dan yang lebih
parahnya Pak, anak-anak muda yang berpacaran di era modern ini lebih suka
memakai bahasa Indonesia. Padahal sama-sama orang jawa tulen, mereka mungkin
malu, Pak ! atau apa ya Pak ? Jijik mungkin ya Pak ? Bahasa derah itu kan katrok Pak kalau kata telepishi, ndeso, tidak modern, jadi harus
dilupakan, jangan di pakai, mungkin begitu ya Pak pikiran mereka ?
Kalau
suatu saat suriname mematenkan bahasa jawa adalah bahasa asli suriname, mungkin
orang-orang jawa itu baru marah Pak, baru akan mengakui kembali bahwa itu
bahasa mereka Pak ? begitu kan orang-orang kita Pak, kalau sudah direbut baru
marah kan Pak ?”
Slamet
tiba-tiba seperti kesurupan seorang budayawan yang tengah berpidato tentang
warisan nenek moyang. Seorang yang tadi mewawancarai Slamet hanya bengong,
kemudian tersadar dan geleng-geleng kepala. Slamet tersadar dan juga bingung
oleh kata-katanya sendiri.
“ Mas
silahkan keluar dulu, nanti tunggu pengumuman Mas diterima atau tidak di
perusahaan ini “
Slamet
keluar rungan dengan lemas, jelas dia akan tidak diterima di perusahaan itu,
karena jelas seseorang yang diinginkan oleh perusahaan tersebut bukan ahli
budaya, melainkan seorang buruh!
Klaten,
17 Mei 2016
No comments:
Post a Comment