Berapa umur Soekarno ketika memutuskan untuk melawan
penjajah? Berapa umur Syahrir, Hatta ketika memulai iktikad untuk merumuskan
negara? Berapa umur Sidharta ketika memutuskan untuk keluar dari istana? Berapa
umur kita sekarang? Dan keputusan besar apa yang telah kita putuskan di umur
kita yang sekarang?
Kita lahir sebagai bayi. Laki-laki atau perempuan bukan
kita yang tentukan. Oleh orang tua kita, kita mendapat nama, tanpa menyepakati
atau menolak kita pun menyandang nama itu. Berbarengan dengan nama, masih tanpa
bertanya kepada kita. Seketika kita dipeluk oleh agama orang tua kita.
Jadi jangan
terburu-buru mengatakan agama apa yang kita peluk. Apakah benar kita memeluknya
ataukah sekadar ketika bayi—oleh orang tua—kita dipeluk oleh agama mereka.
Sebenarnya, sungguh saya sedang tidak ingin berbicara
mengenai agama, karena di negeri kita yang tentram ini sungguh telah kehilangan
dialektika yang sehat mengenai agama. Seakan-akan agama itu tak boleh tersentuh
kritik dan tabu untuk dibicarakan. Selalu saja berakhir dengan pertikaian yang
mengarah pada kehancuran dan degradasi. Jadi, tolong kendorkan kuda-kudamu kawan dan
sarungkan golokmu. Tentang agama, mari kita bicara dengan kepala dingin.
Dialektika tentang bagaimana kita memutuskan agama, saya
rasa perlu untuk dihadirkan, karena peristiwa itu ialah kali pertama kita yang
masih suci mulai berinteraksi dengan dogma.
“Agama bukan dogma!”
Ya, saya sangat setuju bahwasanya agama bukanlah dogma.
Tetapi selalu akan menjadi dogma ketika praktik pemelukkan agama terhadap kita
tanpa melalui kemampuan kesadaran
penerima (bayi). Itulah hal pertama yang menjangkit kita bagaimana ide
berbeda dengan praktik.
Dan kita pun beragama
hingga dewasa, tanpa memutuskan apa-apa. Sebuah kaprah menahun. Toh kita tidak
peduli karena semua orang seperti itu.
Setelah kita berumur cukup—oleh orang tua—kita didaftarkan
ke sekolah-sekolah. Tentu keputusan itu diambil oleh orang tua demi masa depan
kita. Tetapi apakah sempat orang tua kita mengkritisi, apakah benar pendidikan
formal adalah baik untuk masa depan kita? Tidak ada kesempatan untuk pilihan
lain, karena kewajaran yang berkembang ialah bahwasanya orang tua yang baik
ialah yang mempunyai iktikad untuk menyekolahkan anaknya. Apalagi kita yang
masih kanak-kanak, tentu kita juga akan terpojok jika memutuskan untuk tidak
mengambil pendidikan formal.
Dari situlah kita
mulai dilepas oleh orang tua kita di sebuah arus, yang dikata sebuah kewajaran.
Ah kewajaran! Selalu kita dididik untuk menjadi orang
sewajarnya dan dilarang untuk tidak wajar. Kewajaran ialah arus. Berawal dari
arus kecil selokan, arus sungai kecil, arus deras sungai besar, lalu sampailah
pada gelombang raksasa samudra. Itulah narasi kewajaran yang dibebankan kepada
setiap anak untuk diperankan. Jika kau ingin berada pada titik aman, pula
dijanjikan titik nyaman. Sebuah peran kewajaran yang menyudutkan kita untuk
tidak berkeputusan.
Kita tahu bahwa hari esok ialah abstrak. Tetapi telah
lahir paradigma yang teramat kokoh di setiap orang tua. Yakni, untuk masa depan
di dunia ialah pendidikan, masa depan di akhirat ialah agama. Pokoknya dua hal
itu baik, itu cukup dan tak usah neko-neko!
Tapi nyatanya, gairah anak tidaklah cukup hanya
tersalurkan oleh dua tema itu. Kehidupan terlalu kompleks dan manusianya pun
teramat berbeda-beda. Jadi, penyederhanaan yang sering dilakukan oleh norma
kewajaran teramat mengebiri kemanusian. Namun seringkali kita justru memilih
untuk menjadi anak baik yang patuh terhadap ‘tuan kewajaran’, karena
iming-iming titik aman dan titik nyaman yang dijanjikan. Dan dengan senang
hati, kita persilakan segala bentuk pengebirian kepada kita sendiri.
Jika semuanya seperti
itu, tidak akan lahir Soekarno, tidak akan lahir Gandhi.
Mengenai sebuah keputusan, harus senantiasa berdasarkan
kesadaran-kesadaran. Kenapa saya berbicara mengenai keputusan kepadamu? Karena
dewasa ini Indonesia dalam keadaan darurat keputusan.
Indonesia akan seperti
apa, segera generasi muda putuskan. Tentunya
bukanlah keputusan yang gamang, keputusan yang terlalu bermain aman, tetapi
keputusan yang berdasarkan kesadaran penuh dan objektivitas akal sehat.
Keputusan berdasarkan akal sehat adalah keputusan yang
lahir dari pola pikir yang matang untuk berkeputusan. Tetapi sayangnya,
pendidikan tentang mengambil keputusan tidak pernah menjadi prioritas untuk
sebuah generasi. Pendidikan hanya menekankan kepatuhan dan kepatuhan.
Pendidikan semacam itu tidak lain dan tidak bukan ialah alat cetak buruh dan
karyawan.
Akibatnya, ketika
seorang muda mengalami gejolak pribadi, ia akan lari pada buku-buku motivasi,
ia akan lari pada google dan bertanya tentang tips-tips menghadapi sesuatu.
Fenomena krisis kepercayaan diri yang dialami generasi
muda adalah satu dari empat dimensi krisis. Krisis kepercayaan diri itu akibat
dari krisis mental. Krisis kepercayaan akan mengakibatkan krisis ekonomi, lalu
krisis ekonomi lahirkan krisis kebudayaan. Jadi secara umum kita mengalami
empat dimensi krisis, yakni krisis mental, krisis kepercayaan, krisis ekonomi,
dan krisis kebudayaan.
Memang tidak mudah untuk mencoba menjadi ‘kata’ yang
sumbang di dalam narasi besar penghancuran kebudayaan kita ini. ‘Kata’ yang sumbang
akan mendapat cela, dari ‘kata’ yang wajar. Tetapi kewajaran yang tidak wajar
ini harus segera diwajarkan. Ya, harus segera kita putuskan.
Sebelum ajal mendekat dan mengkhianant,
mencengkam dari belakang ‘tika kita
tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada
darah serta
rasa,
belum bertugas kecewa dan gentar belum
ada,
tidak lupa tiba-tiba bisa malam
membenam,
layar merah berkibar hilang dalam
kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik
diri sendiri !
Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau
merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak member pamit pada siapa saja !
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa
angkasa sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!
(Kepada Kawan, Chairil Anwar)
No comments:
Post a Comment