Sunday, 22 May 2016

Kepada Kawan (Idnas Aral)



Berapa umur Soekarno ketika memutuskan untuk melawan penjajah? Berapa umur Syahrir, Hatta ketika memulai iktikad untuk merumuskan negara? Berapa umur Sidharta ketika memutuskan untuk keluar dari istana? Berapa umur kita sekarang? Dan keputusan besar apa yang telah kita putuskan di umur kita yang sekarang?
 
Kita lahir sebagai bayi. Laki-laki atau perempuan bukan kita yang tentukan. Oleh orang tua kita, kita mendapat nama, tanpa menyepakati atau menolak kita pun menyandang nama itu. Berbarengan dengan nama, masih tanpa bertanya kepada kita. Seketika kita dipeluk oleh agama orang tua kita.
Jadi jangan terburu-buru mengatakan agama apa yang kita peluk. Apakah benar kita memeluknya ataukah sekadar ketika bayi—oleh orang tua—kita dipeluk oleh agama mereka.
Sebenarnya, sungguh saya sedang tidak ingin berbicara mengenai agama, karena di negeri kita yang tentram ini sungguh telah kehilangan dialektika yang sehat mengenai agama. Seakan-akan agama itu tak boleh tersentuh kritik dan tabu untuk dibicarakan. Selalu saja berakhir dengan pertikaian yang mengarah pada kehancuran dan degradasi.  Jadi, tolong kendorkan kuda-kudamu kawan dan sarungkan golokmu. Tentang agama, mari kita bicara dengan kepala dingin.
Dialektika tentang bagaimana kita memutuskan agama, saya rasa perlu untuk dihadirkan, karena peristiwa itu ialah kali pertama kita yang masih suci mulai berinteraksi dengan dogma.
“Agama bukan dogma!”
Ya, saya sangat setuju bahwasanya agama bukanlah dogma. Tetapi selalu akan menjadi dogma ketika praktik pemelukkan agama terhadap kita tanpa melalui kemampuan kesadaran penerima (bayi). Itulah hal pertama yang menjangkit kita bagaimana ide berbeda dengan praktik.
Dan kita pun beragama hingga dewasa, tanpa memutuskan apa-apa. Sebuah kaprah menahun. Toh kita tidak peduli karena semua orang seperti itu.
Setelah kita berumur cukup—oleh orang tua—kita didaftarkan ke sekolah-sekolah. Tentu keputusan itu diambil oleh orang tua demi masa depan kita. Tetapi apakah sempat orang tua kita mengkritisi, apakah benar pendidikan formal adalah baik untuk masa depan kita? Tidak ada kesempatan untuk pilihan lain, karena kewajaran yang berkembang ialah bahwasanya orang tua yang baik ialah yang mempunyai iktikad untuk menyekolahkan anaknya. Apalagi kita yang masih kanak-kanak, tentu kita juga akan terpojok jika memutuskan untuk tidak mengambil pendidikan formal.
Dari situlah kita mulai dilepas oleh orang tua kita di sebuah arus, yang dikata sebuah kewajaran.
Ah kewajaran! Selalu kita dididik untuk menjadi orang sewajarnya dan dilarang untuk tidak wajar. Kewajaran ialah arus. Berawal dari arus kecil selokan, arus sungai kecil, arus deras sungai besar, lalu sampailah pada gelombang raksasa samudra. Itulah narasi kewajaran yang dibebankan kepada setiap anak untuk diperankan. Jika kau ingin berada pada titik aman, pula dijanjikan titik nyaman. Sebuah peran kewajaran yang menyudutkan kita untuk tidak berkeputusan.
Kita tahu bahwa hari esok ialah abstrak. Tetapi telah lahir paradigma yang teramat kokoh di setiap orang tua. Yakni, untuk masa depan di dunia ialah pendidikan, masa depan di akhirat ialah agama. Pokoknya dua hal itu baik, itu cukup dan tak usah neko-neko!
Tapi nyatanya, gairah anak tidaklah cukup hanya tersalurkan oleh dua tema itu. Kehidupan terlalu kompleks dan manusianya pun teramat berbeda-beda. Jadi, penyederhanaan yang sering dilakukan oleh norma kewajaran teramat mengebiri kemanusian. Namun seringkali kita justru memilih untuk menjadi anak baik yang patuh terhadap ‘tuan kewajaran’, karena iming-iming titik aman dan titik nyaman yang dijanjikan. Dan dengan senang hati, kita persilakan segala bentuk pengebirian kepada kita sendiri.
Jika semuanya seperti itu, tidak akan lahir Soekarno, tidak akan lahir Gandhi.
Mengenai sebuah keputusan, harus senantiasa berdasarkan kesadaran-kesadaran. Kenapa saya berbicara mengenai keputusan kepadamu? Karena dewasa ini Indonesia dalam keadaan darurat keputusan.
Indonesia akan seperti apa, segera generasi muda putuskan. Tentunya bukanlah keputusan yang gamang, keputusan yang terlalu bermain aman, tetapi keputusan yang berdasarkan kesadaran penuh dan objektivitas akal sehat.
Keputusan berdasarkan akal sehat adalah keputusan yang lahir dari pola pikir yang matang untuk berkeputusan. Tetapi sayangnya, pendidikan tentang mengambil keputusan tidak pernah menjadi prioritas untuk sebuah generasi. Pendidikan hanya menekankan kepatuhan dan kepatuhan. Pendidikan semacam itu tidak lain dan tidak bukan ialah alat cetak buruh dan karyawan.
Akibatnya, ketika seorang muda mengalami gejolak pribadi, ia akan lari pada buku-buku motivasi, ia akan lari pada google dan bertanya tentang tips-tips menghadapi sesuatu.
Fenomena krisis kepercayaan diri yang dialami generasi muda adalah satu dari empat dimensi krisis. Krisis kepercayaan diri itu akibat dari krisis mental. Krisis kepercayaan akan mengakibatkan krisis ekonomi, lalu krisis ekonomi lahirkan krisis kebudayaan. Jadi secara umum kita mengalami empat dimensi krisis, yakni krisis mental, krisis kepercayaan, krisis ekonomi, dan krisis kebudayaan.
Memang tidak mudah untuk mencoba menjadi ‘kata’ yang sumbang di dalam narasi besar penghancuran kebudayaan kita ini. ‘Kata’ yang sumbang akan mendapat cela, dari ‘kata’ yang wajar. Tetapi kewajaran yang tidak wajar ini harus segera diwajarkan. Ya, harus segera kita putuskan.

Sebelum ajal mendekat dan mengkhianant,
mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada darah serta
rasa,

belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,
tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
layar merah berkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri !

Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak member pamit pada siapa saja !
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!
(Kepada Kawan, Chairil Anwar)

No comments:

Post a Comment