Thursday, 20 September 2018

AWAS ADA ANAK-ANAK! (IDNAS ARAL)


Awas ada anak-anak!

Siapakah jenius penemu ide pemasangan papan peringatan tersebut untuk kali pertama? Kini cukup banyak gang-gang, jalan-jalan, gapura-gapura, yang turut serta menegakkan papan peringatan yang senada. Butuh waktu beberapa tahun untuk saya menyimpulkan bahwa si pencetus ide adalah seorang visioner hebat. Di RT manakah di negeri ini, ide itu lahir dari salah satu warganya yang jenius itu?

Awas ada anak-anak!
Betapa kita memang sungguh-sungguh harus meningkatkan keawasan kita terhadap kemungkinan-kemungkinan tak terduga dari anak-anak. Namanya juga anak-anak, bisa saja tiba-tiba ia memotong kepentingan kita sembari tidak berkepentingan dan dengan tertawa-tawa. Letupan alamiah mereka, seringkali membentur lintasan kepentingan kita yang secara norma telah berada di dalam jalur yang syah. Anak-anak tidak akan peduli pada bahaya tabrakan, hal terpenting yang ada di kepala mereka adalah apa yang sedang mereka kerjakan.

Saat mengejar layang-layang, mereka persetankan keselamatan diri sendiri dan keselamatan pengguna jalan, yang ada di dalam benak mereka hanyalah bagaimana mereka harus menjadi orang pertama yang merengkuh layang-layang tumbang. Bahkan tidak sedikit yang berlarian hanya untuk berlarian, apalagi peduli soal keselamatan, berpikir tujuan dari berlari saja mereka tidak. Mereka hanya berlari dan berlari, peduli apa dengan sepak terjang jalanan yang mungkin akan menerjang lintasan bermain mereka? Nasib sial adalah pengguna jalan yang telah menata dengan apik rencana-rencanaya ketika sampai tujuan, ia akan ini, setelah ini lalu itu, lalu.....

Segala kerapian itu berantakan sudah, ketika laju kepentingannya ternyata harus bertabarakan dengan sekedar permainan anak-anak, brak! Nasib sial itu memang benar-benar ada, dan hikmah adalah sekedar penawar pahitnya tanpa sanggup menghapus kenyataan bahwa sial itu ada. Untuk itulah kita harus waspada terhadap kemungkinan menjelmanya anak-anak menjadi nasib sial untuk kita.  

Awas ada anak-anak!
Anak-anak memang benar-benar harus diawasi sebab jalanan adalah salah satu tempat lajunya roda ekonomi. Untuk itu jumlah jalan akan terus bertambah jumlahnya, tempat-tempat lapang yang berada di jalur kepentingan tersebut, harus dirubah dengan sedemikian cara yang syah untuk menjadi jalan. Jumlah jalan terus bertambah dan tanah lapang untuk bermain menjadi berkurang, jumlah anak-anak juga bertambah dan mereka semua tak mau peduli dengan kenyataan tak adanya ruang bermain yang aman. Mereka akan tetap saja berlarian tak peduli tempatnya.

Maka tumpahlah gelombang permainan yang tak ada gunanya bagi kepala dewasa itu ke jalan-jalan. Jalanan yang telah memiliki tata cara untuk membuat aman pengendara itu, harus tetap waspada karena anak-anak! Kita memang benar-benar harus awas dengan mereka, mereka tidak mau mengerti terhadap tata cara. Mereka seenaknya saja, namanya juga anak-anak, namanya juga bermain, kalau tidak enak tak mungkin dilakukan? Oleh sebab itu, kita yang dewasa ini harus; awas!

Awas ada anak-anak!
Memang sudah tepat perkembangan jaman yang akhirnya menyediakan permainan untuk anak-anak yang mebuat mereka betah untuk duduk tenang di dalam rumah. Memang teknologi benar-benar telah sejalan dengan kepentingan-kepentingan. Dengan distribusi gadget yang benar-benar hampir rata ke segala usia, ancaman tingkah anak terhadap kemulusan perjalanan anda dapat dikurangi. Anak-anak yang telah lebur di dalam permainan yang disediakan teknologi mutakir, dapat lebih mudah diawasi karena mobilitas mereka sangat mimim dan lebih mudah diprediksi. Tetapi kita tetap harus awas sebagaimana papan peringatan, karena anak-anak tetap memiliki kemungkinan tidak terduga. Mereka bisa saja tiba-tiba bosan lalu ingin bermain dengan tubuhnya.

Awas ada anak-anak!
Sistem pendidikan adalah salah satu hal yang juga telah ambil bagian untuk memperingati “awas ada anak-anak!” Pendidikan direntangkan lebih luas, baik dari segi jenjang usia juga secara kuantitas waktu. Maka pendidikan merupakan salah satu aspek yang besar jasanya di dalam penanggulangan tumpahnya permainan anak-anak di jalanan kota secara skala waktu.

Pendidikan mampu membuat anak masuk ke dalam pagar sedari pagi hingga sore, sedari mungil hingga mereka dewasa. Pendidikan memang sukses, bahkan di wilayah penanggulangan yang di tanam di dalam psikologis. Selain sebagai pagar yang mampu menahan anak-anak untuk tidak tumpah, pendidikan juga brilian dengan menanamkan; perbanyak belajar kurangi waktu bermain, kalau tidak peringkatmu akan jatuh, dan kalau peringkatmu jelek artinya kamu adalah anak yang......(silalkan dijawab sendiri anak-anak!)
Sistem peringkat memang benar benar jenius! Anak-anak menjadi lebih gampang diawasi dan dikendalikan ketika mereka sedang takut. Kebanyakan mereka takut disebut bodoh, meskipun sebutan itu tidak disampaikan secara gamblang sekalipun. Tanpa harus melanggar norma kesopanan (untuk tidak mengatakan, “kamu bodoh!”), dengan sistem rangking, anak-anak dapat meniliai dirinya dan kawannya apakah ia pintar atau bodoh, apakah ia lebih atau kurang. Dengan sistem peringkat yang syah secara matematika dan benar secara etika, ketakutan anak-anak terhadap kategori bodoh tersebut dapat terus terpelihara melalui tata cara yang bermartabat dan sesuai dengan pancasila tentunya.

Maka dari itu, meski jam pelajaran tidak sampai setengah haripun, pendidikan mampu menjauhan anak-anak dari jalanan melalui keinginan anak-anak untuk menambah porsi belajar mereka di dalam les dan bimbingan belajar. Alhasil, semakin sedikit waktu mereka untuk turun ke jalan. Tetapi bukan berarti plang peringatan sudah boleh diturunkan, sebab masih ada anak-anak yang tidak takut disebut bodoh. Mereka tetap tidak peduli dan tidak jarang orang tuanya pun masa bodoh. Terhadap mereka kita musti tetap; awas!

Awas ada anak-anak!
Saya rasa pencetus papan peringatan itu harus dicari dan dianugerah bintang jasa. Sebab ia telah mengingatkan kita pada bahaya anak-anak. Bagaimanapun keberadaan anak-anak akan selalu ada, sebab itulah hukum alam. Hukum alam selamanya tidak akan bisa ditiadakan, tetapi dengan teknologi dampak negatifnya dapat diredam. Maka dari itu meskipun hanya sekedar teknologi sederhana berupa tiang, papan, cat dan kata-kata, peringatan itu adalah teknologi yang hebat jika dilihat secara nilai fungi bahkan filosofi. Anak-anak memang harus diawasi agar tidak menjadi sumber kecelakaan-kecelekaan yang jika diakumulasi bisa menjadi sandungan terhadap jalannya satu negara.

Awas ada anak-anak!
Pencetus hal ini mengingatkan saya terhadap kisah nabi khidir yang diberkati tuhan dengan pandangan visionernya. Ia membunuh seorang anak karena tahu kelak ketika dewasa anak itu akan menjadi orang yang merugikan banyak pihak. Memang berlebihan jika benar-benar disandingkan secara nilai religi dan dramtiknya, tetapi secara visi dua hal itu sama.
Anak-anak memang harus diawasi seawas-awasnya. Peringatan ini benar-benar harus tertanam di kepala setiap orang yang sudah tidak anak-anak. Kemungkinan-kemungkinan tak terduga yang dimiliki setiap anak harus diminimalisasi demi kestabilan dan jalannya pertumbuhan hidup sebagaimana yang kita angankan. Mereka harus seperti kita yang sadar akan ketertiban, kalau bisa mereka harus segera seperti kita. Semakin cepat mereka seperti kita dan semakin mirip mereka dengan kita adalah semakin baik. Maka dari itu, televisi telah banyak membantu kita. Tayangan-tayangan mereka yang sangat menghibur dan mampu mencuri perhatian anak itu membantu kita untuk membuat anak untuk bersegera bersikap dewasa dan tentu mengurangi intensitas mereka keluar ke jalan raya. Jadi di dalam persoalan ini, televisi dapat dikatakan berhasil secara nilai kualitas dan kuantitas. Salut!

Akhir kata.
Senang rasanya, menjadi dewasa di negeri yang memiliki aspek-aspek yang saling dukung mendukung di dalam kepentingan untuk mengawasi anak seperti ini. Senang rasanya berada di iklim keawasan terhadap anak yang benar-benar berlapis ini. Suatu kelak mereka, anak-anak itu, mereka akan mewarisi apa yang sudah kita kerjakan hari ini, jadi jangan sampai mereka perlakukan warisan kita dengan tidak sebagaimana kita!

Surakarta, 9 September 2018



No comments:

Post a Comment