Teater Sandilara
Sandilara—bila
ditanya mengenai arti nama—adalah sebuah tirakat kesenian kami untuk
mensimbolkan lara melalui estetika panggung kesenian teater. Kenapa lara? Sebab
lara nyatanya memang selalu ada, dan lara adalah sebuah sinyal atau kritik dari
sebuah tatanan keadaan. Keberadaan lara ialah dalam rangka "menyuarakan" ketidak-beresan. Kehidupan terus mengalami
perubahan dari satu keadaan ke keadaan yang lainnya. Hidup menjumpakan tesis
(kewajaran) dengan antitesis (kritik) kemudian menghasilkan sintesis yang kelak
menjadi tesis yang baru. Dengan mensuarakan “lara”, Sandilara bertirakat untuk
memposisikan diri sebagai bagian dari antitesis—pada lingkup berkesenian
kami—dengan harapan untuk kehidupan yang lebih baik bagi kelas kami.
Memilih Panggung di Desa sebagai
prioritas (antitesis kecil untuk letak
dan fungsi kesenian)
Itu
pilihan secara sadar yang kami anggap benar, tanpa mencoba menyalahkan pilihan
kelompok teater lain. Jadi ibaratkan saja, ada yang suka sayur ada yang suka
daging. Sayur ada bagusnya, daging pun ada. Semua pilihan memiliki alasan,
demikian pula kami. Berdasarkan pengalaman berkesenian, kami melihat gejala kegamangan teater di tengah masyarakat. Masyarakat yang mulai menjauh bahkan tidak mengenal kesenian serius, khusunya
teater, dan ditambah gejala para pelaku yang gamang. Jadi, yang tak tahu
menjauh yang tahu memilih tak acuh.
Bukan
bermaksud mengatakan bahwasanya kami adalah orang yang paling peduli, tetapi
nyatanya fenomena langkah-langkah hanya mentok
pada meja-meja diskusi kesenian. Sedang yang mereka kata “menyapa masyarakat”
tidak lebih nyata dari argumen-argumen intelek belaka.
Dan
nyatanya ketika kami memulai kami lebih merasa terpuaskan ketika penonton
adalah dari masyarakat—tidak hanya sesama pekerja seni. Maka, kami semakin
yakin dan kini berjalan hampir lima tahun. Semakin lama, kami semakin yakin
dengan pilihan kami dan tetap tidak menyalahkan pilihan kelompok lain, sembari menjadi usaha antitesis kecil terhadap letak dan fungsi kesenian.
Tidak Transaksional
Pada
awal kehadiran kami di sebuah desa—meminta ijin untuk berpentas—selalu kami
ditanya apa maksudnya. Pada masa kampanye kami ditanya dari partai mana. Pernah
dianggap sebuah promosi produk kesenian kami. Pernah pula dianggap memiliki
basis pendanaan yang besar, sehingga diminta untuk membayar kalau ingin berpentas.
Padahal,
bila ditanyai mengenai apa maksudnya, ya jawabnya ada pada apa yang kami
pentaskan nanti. Kami tidak bertransaksi, dalam arti tidak meminta hasil praktis/income yang telah di targetkan, entah wujud uang atau apapun yang biasa dikata laba. Kami
melakukan ini, karena inilah wujud eksistensi kami. Bahasa sederhananya, ada
yang tataran hidupnya perlu dugem, karaoke, holiday, maka tataran hidup kami
perlu bersuara dalam bentuk karya teater. Jadi bukan lantaran profesi, karena
bukan untuk menghasilkan uang atas kerja kreatif kami.
Kami Bergerak
Jika
dikatakan ini adalah sebuah pergerakan, ya ini sebuah pergerakan, karena kami
bergerak. Tapi jika dikatakan sekedar kegiatan, ya ini sekedar kegiatan. Entah
sebagai pergerakan atau sekedar kegiatan itu, di dalamnya kami adalah
manusia-manusia yang bergerak dan mengalami perubahan-perubahan. Jadi
kesimpulan kami akan terus mengalami perubahan-perubahan, kami mendatang
tentulah tidak akan lagi sama dengan kami yang tertulis di sini.
Demikian
profil singkat “lima tahun kami.” Semoga dapat menjadi sebuah perkenalan yang
baik dan sanggup menjelaskan, “mengapa kita bersandilara?”
No comments:
Post a Comment