Saturday, 3 December 2016

MARI BUNG NULIS KEMBALI (Mas Sinis)

 Apa yang sedang terjadi Mas Bei?
Ada berita apa hari ini Den Bei?
Apa yang anda pikirkan sekarang Mas Sinis?
apa pertanyaanmu itu berarti cinta? aku balik bertanya

Itu bukan berarti cinta. Kalimat-kalimat diatas bukan pertanyaan dari perempuan yang dicintai sebagai bentuk perhatian, atau kalimat tak terduga yang datang dari perempuan manis yang akhir-akhir ini sering saya ditulis. Pertanyaan basa-basi itu muncul dari kolom yang ada di setiap akun jejaring sosial yang saya miliki. Sebenarnya kolom itu tidak wajib di isi karena tidak akan menambah nilai kelulusan kuliah atau seperti program bahasa Inggris yang wajib diikuti kawan saya dikampusnya sebagai syarat tugas akhir. Tapi apa sesederhana itu menyikapi suatu hal yang dirasa sepele dan tidak penting? Hampir setiap anak muda khususnya, bisa dipastikan memiliki akun jejaring sosial dan pasti berjumpa dengan pertanyaan serupa.
Ya, tidak semua anak muda sinting seperti saya, memikirkan hal kecil dan sepele, lalu menganggap benda mati layaknya makhluk bernyawa. Seperti Sheldon James Plankton dalam film kartun Spongebob, memiliki istri komputer dan dapat diajak berdialog seperti wanita pada umumnya. Karena kebetulan saya punya kelemahan sentimentil terhadap perempuan, kata teman-teman lemah dalam urusan negosiasi jika dihadapakan dengan wanita, sering membiarkan ketika harus menindak dan selalu menuruti ketika harus menolak, maka saya manfaatkan kelemahan, menganggap pertanyaan dikolom itu datang dari perempuan, lalu saya segera menulis sebagai jawaban.

Apa yang sedang terjadi Mas Bei?
Setinggi apapun pendidikan, kebanyakan dari kita melupakan pelajaran paling dasar, bahkan sangat dasar yang diperoleh sewaktu duduk dibangku sekolah dasar, yaitu membaca dan menulis. Untuk yang beruntung menyandang predikat mahasiswa, gejala ini terjadi karena terlalu sopan mematuhi etika akademik, urusan mengutip sumber data ketika mengerjakan skripsi dan lainnya, sampai terbawa sikap itu ketika sudah lulus dari perguruan tinggi, akhirnya takut mengungkapkan isi kepala sendiri, menuangkannya dalam tulisan, itu hanya dugaan saja semoga tidak benar.
Mungkin juga akibat dari kemajuan teknologi, berbagai macam alat komunikasi beredar dalam genggaman setiap orang dijaman ini, sehingga buku dan pena bukan lagi sarana utama mengabadikan peristiwa. Sebagian besar dari kita cenderung memiliki kegemaran mengutip, mengambil tulisan orang lain dari blog atau postingan yang banyak beredar didunia maya, sedangkan si penulisnya sama sekali belum tentu ia kenal baik secara karya maupun personalnya. Kemudian memberi sedikit komentar pribadi sesuai kebutuhan, lalu mengupload atau membagikannya. Muncul sebagai postingan baru diakun yang dimiliki, sambil menunggu pemberitahuan seberapa banyak yang menyukai dan mengomentari.
Terkadang saya curiga apa benar dibaca? Katakanlah sebuah postingan dari blog yang diupload, misalnya rata-rata memakan waktu tiga sampai lima menit untuk selesai membaca, tapi belum ada satu menit diunggah sudah ada pemberitahuan “si A menyukai kiriman anda” . Pikiran baik saya mengatakan, paling di-like dulu baru dibaca, dibuka keseluruhan postingan itu, semoga demikian, karena si penulis sudah susah payah menyampaikan gagasan dan ide kepada orang lain lewat tulisan, pekerjaan yang jarang dilakukan oleh generasi kita sekarang ini. Sangat sayang kalau hanya dijadikan penghias beranda, kartu absensi daftar hadir eksistensi dunia maya, atau senjata debat kusir ketika diskusi berita yang ditulis media masa.
Dunia maya memang penuh kemungkinan. Bagi saya like bukan berarti cinta, artinya menyukai belum tentu memahami, belum tentu dibaca isi keseluruhan dari apa yang dibagikan, karena pengunggah dan para penyuka kadang sama tololnya, tidak sadar atau mungkin hal seperti itu sudah lumrah, menyukai dan membagikan semudah menggeser jari telunjuk dilayar ponsel, bahkan lebih sulit mencari upil dilubang hidung yang perlu proses dan teknik khusus. Konyol dan tolol memang, tapi umum dilakukan dijaman sekarang, tidak perlu susah menulis memeras kepala menata kata, puas ikut membagikan berita yang sedang pepuler dimasyarakat, agar tidak ketinggalan jaman, turut bertasipasi sebagai masyarakat jejaring sosial yang aktif.
Ya, sepertinya kita masih hidup dalam jaman edan, harus ikut gila agar terlihat seperti manusia normal pada umumnya. Ronggowarsito pernah berkata dalam Serat Kalatidha “sak bejo-bejone wong lali, isih bejo uwong sing eling lan waspada”, demikian juga dalam hal ini, seberuntung-beruntungnya dan sebangga-bangganya tengkulak berita dunia maya, masih lebih beuntung orang yang mau dan diberi kesadaran untuk menulis sendiri apapun itu.

Ada berita apa hari ini Den Bei?
Para tengkulak berita mulai mereda, menyusut seiring berkurangnya debit air didaerah-daerah rawan banjir. Kegiatan bagi-bagi artikel gerakan “Wiro Sableng” sudah  tidak nampak diberanda. Barangkali sudah menerima cukup imbalan pahala atas tugasnya menyampaikan pesan kebaikan dari surga. Itu hanya salah satu contoh dari sekian banyak tema berita yang dibagikan teman-teman jejaring sosial kita pekan ini. Ramai dibicarakan, ramai dicari, dan ramai dibagikan. Dari pengangguran sampai mahasiswa yang katanya berpendidikan ikut meramaikan khasanah bagi-bagi berita. Baiklah kalau kaum penganggur, mereka butuh bahan untuk obrolan sesama penganggur. Tapi kalau mahasiswa? Katanya calon penerus pembangunan bangsa, kok cuma bisa membagikan postingan? Apa sudah lupa pelajaran sekolah dasar, membaca dan menulis? Keluar banyak uang untuk kuliah dan pendidikan selama ini, tentunya dapat banyak pengetahuan dan sudut pandang, apa kurang untuk dijadikan pisau, alat bedah fenomena yang ada dimasyarakat.
Banyak persoalan disekitar yang dilewatkan, luput dari perhatian kita, karena kita lebih tertarik menyimak dan mengikuti sesuatu yang besar, yang sengaja diciptakan untuk kaum-kaum instan, dalam hal ini sebuah pemberitaan. Mungkin kalau wartawan sekarang ini tidak menulisnya karena alasan tidak menjual, ya sudah, kalau urusan dokumentasi tulis dan berita derajatnya sama dengan jualan celana dalam dipasar malam. Sebenarnya sayang sekali kalau komponen-komponen kecil penyangga kebudayaan luput dari perhatian, keberadaannya penting sebagai fondasi dasar bangunan sebuah negara, perlu dicatat barangkali selesai kita tulis kantung-kantung kebudayaan itu telah hilang atau dihilangkan karena berbagai alasan, apa tidak sayang?
 
Apa yang anda sedang pikirkan Mas Sinis?

Generasi kita generasi distributor yang dimanjakan kemajuan teknologi informasi, tanpa menggeser pantat data-data yang diinginkan tersaji dengan cepat. Generasi kita generasi yang payah soal mengolah, asal kutip tanpa saringan, ahli hisap tanpa filter. Generasi kita generasi makelar, pandai mengambil peluang untuk eksistensi diri dan keuntungan materi, tanpa susah menanam dan berproses asal comot asal pungut, akhirnya hanya bermuara pada urusan jual beli. Generasi kita generasi yang krisis kepercayaan diri, malu atau enggan menulis kegiatannya sendiri, tapi juga malas membaca tulisan-tulisan yang tidak menarik untuk ia bagikan dijejaring sosial, karena tidak sedang hangat dibicarakan. Generasi kita generasi serampangan. Kegiatan pengamatan, membaca dan menulis hanya kita lakukan ketika pengajar mengharuskan sebagai syarat kelulusan. Generasi kita generasi praktis, merasa menjadi kritis kalau ikut menyoroti fenomena besar yang ditulis media masa. Generasi kita memang generasi instan, tapi takut bayangan hari depan, tidak sabar menanam, merawat dan mengolah, apa yang sebenarnya sudah dimiliki dan mampu dilakukan.

Apa yang sedang terjadi Mas Bei?
Ada berita apa hari ini Den Bei?
Apa yang anda pikirkan sekarang Mas Sinis?
Ya, teruslah kau datang
dengan segala pertanyaan, 
wahai mesin waktu. 
tapi tulisanku bukan berarti cinta.
(Mas Sinis)


Surakarta, 3 Desember 2016

No comments:

Post a Comment