Thursday, 17 September 2015

Surat Untuk Sahabat Mahasiswa

Surat Untuk Sahabat Mahasiswa
“adakah estetika mahasiswa kita ?”

Oleh: Idham Ardi Nurcahyo

Sahabatku,
Aku tulis  ini untuk sahabatku yang tak pernah aku paksa untuk pula memanggilku sahabat. Pertemuan kita kali ini sengaja aku awali dengan menyebutmu sahabat, sebagai lamaran untuk terjalin hubungan yang mengandung manfaat antara kita. 

Sahabatku, setelah beberapa tahun aku berkuliah di kampus, aku mencoba menyimpulkan apa yang aku alami, lihat, dengar, rasa. Kesimpulan coba aku lahirkan, malahan pertanyaan yang kudapat. Pertanyaan yang lahir, lumayan membuat gelisah. Tidak ada ancaman mati atau DO jika tak terjawab pertanyaan-pertanyaan oleh dan atas diriku sendiri tersebut.
Tapi! sebutan mahasiswa atas diri kita ternyata membuat kita maha-bertanya-tanya. Pertanyaan yang semakin lama semakin mem-beban. Tidak ada niatan membagi beban pertanyaan ini dengan kau. Maksudku begini, ketika aku sampaikan pertanyaan – pertanyaan ini kepadamu siapa tahu kau dapat menjawab. Atau paling tidak kau ikut bertanya. Semakin banyak manusia di bumi yang bertanya semakin besar kemungkinan langit buat menjawab, kira kira begitu.

Sahabatku yang semakin sedikit ketika telah sampai pada paragraf ini,  terima kasih sebelumnya karna adalah yang  belum membuang tulisan ini. Saya lanjutkan ke pokok.
Begini sahabatku: marahkah dirimu atau bisakah kau beri aku jawaban atau  meludah kah kau,  ketika aku bertanya : “adakah estetika berkehidupan sebagai manusia dalam kita menjalani status mahasiswa kita ?” 

Tiba-tiba seorang mahasiswa di sebelahku berbicara “orang-orang yang sok mempertanyakan estetika adalah orang yang kalah saingan!!!” 

Aku beri tiga tanda seru karna waktu dia ngomong itu ludahnya muncrat. Setelah dia ngomong, ia pergi begitu saja. Mahasiswa yang ngomongnya muncrat itu, mungkin telah memberi jawaban dari pertanyaanku. Karna benar, aku kalah saingan dalam kehidupan bermahasiswa. Tak pernah aku menjadi mahasiswa papan atas dalam papan prestasi selama aku menjadi mahasiswa. Malahan jika berkuliah dianggap sebagai persaingan atau turnamen, dapat dipastikan aku masuk pada kategori kalah. Karna skor pertandinganku yang biasa kita sebut IP, lebih dekat angka nol dari pada angka sempurna. 

Tapi bukankah kita tidak sedang bertanding, bersaing, atau menang-menangan? 

Kita sama-sama mencari ilmu, kita sama-sama bertanya, berdiskusi, memperoleh jawaban bersama, terkadang juga menjadi jodoh. Bolehlah, jika aku disebut melakukan pembenaran atas diriku karna tak menerima jawaban dari mahasiswa yang berbicara dengan pohon beringin itu. Tapi aku kemukakan itu bukan untuk menggiring kau berpikir sepertiku tetapi hanya mencoba mengajak menyamakan nada dasar agar tidak menjadikan saling salah menyalahkan karna ada yang bersuara sumbang di tengah pembicaraan kita nanti.
Pastilah semakin sedikit sahabatku karna sudah jelas, mahasiswa yang berdaya saing tinggi enggan melanjutkan dialog ini. 

Bukankah kita lelah terus menerus dipersaingkan antara satu dengan yang lain dalam masa studi kita dari SD hingga SMA. Pada akhirnya melahirkan diskusi-diskusi yang lebih mendekati perdebatan untuk mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah. Maka dari itu sahabatku, pada lembar tulisan ini saya mengajak kita untuk beristirahat dari persaingan tetapi tetap berproses untuk mendapatkan jawaban. 

Setujukah kau jika persaingan itu aku sebut jauh dari estetika berkehidupan sebagai manusia? 

Lagi-lagi aku munculkan pertanyaan, tetapi mungkin kita memang harus membedah beberapa lapisan dulu dengan pisau-pisau pertanyaan untuk sampai pada pertanyaan inti. Bukan maksudku menganggap pertanyaanku adalah pertanyaan yang sangat penting hingga aku harus bertele-tele seperti ini tetapi ternyata memang harus repot benar untuk menjadi benar-benar sahabat. Tapi boleh juga kau sebut aku tidak siap menjanjikan apa-apa ketika kau sudi berpikir bersama atau memberikan jawaban. Karna aku pun juga tak mengerti apa yang akan kita dapat bila pertanyaan itu terjawab selain kepuasan rasa ingin tahu kita.
Dua belas tahun dari SD sampai SMA kita berada pada sistem yang jauh dari proses mencari estetika. 

Bukan salah bunda mengandung tentunya, itu menurut saya. Saya argumenkan untuk siap disanggah atau dibenarkan: Sistem rangking yang berdasarkan nilai akademik melahirkan sistem kasta modern yang  membagi manusia-manusia di sekolah menjadi manusia jenis 1, jenis 2, dan seterusnya. Manusia jenis 1 dianggap lebih baik dari manusia jenis-2, jenis-2 lebih baik dari jenis-3. 

Klasifikasinya cukup dangkal, hanya berdasarkan nilai akademik kita. Manusia-manusia berstatus siswa itu pun terdorong untuk naik kasta dan tentunya takut untuk turun kasta, maka mereka berlomba-lomba untuk menaikkan nilai akademik. Stigma bodoh yang tentunya merendahkan, membuat manusia-manusia itu melakukan apa saja untuk menghindari nilai akademik yang aspek dan sistem penilaian sangat jauh dari cukup untuk berhak menentukan manusia bodoh atau pintar. 

Jadi bagaimana menurut kalian? 

Demikianlah surat ini mohon untuk kalian balas sahabat.

2 comments:

  1. Benar sekali, saya setuju atas pernyataan Anda. Pandangan kuli-kuli didik dan orang tua di luaran mayoritas menhambakan pada nilai yang diukur dari hasil akademik formal saja. Yang seperti itulah hanya akan melahirkan mental tempe. Apalagi 'mereka' (dalam hal ini mahasiswa), yang rela melakukan segala upaya untuk menaikkan citra mereka lewat nilai. Haha sungguh dangkal sekali. Hanya orang-orang yang ber'pencitraan' saja yang juga mengapresiasi dengan 'wow' citra orang tersebut. Sedangkan kita tahu, status pelajar yang berubah menjadi mahasiswa pun seharusnya segalanya ikut berubah. Sistem kasta nilai dan cara-cara 'bodoh' dalam 12 tahun bersekolah formal tidak perlu dibawa-bawa lagi. Karena menjadi mahasiswa berarti kita punya ruang lebih luas, oksigen lebih banyak untuk belajar, dan belajar tentu saja tidak hanya di dalam kelas. Yang kebanyakan hanya disuguhi teori-teori tapi nol dalam praktik. Ilmu yang kita dapat di kelas hanya 0, sepersekian persen dari dunia yang sesungguhnya.
    Akan tetapi saya juga menyayangkan terhadap mahasiswa yang katanya punya idealisme, yang terlihat merdeka, namun tidak berani mengambil risiko. Hal itu tak ubahnya ia sama dengan model-model mahasiswa yang menghambakan terhadap nilai. Jikalau ia berani berbuat, maka seharusnya ia berani bertanggungjawab. Karena mahasiswa yang dianggap sudah dewasa dan pantas untuk berfikir mandiri, seharusnya tak ada lagi kasus-kasus seperti TA (Titip Absen) atau menyontek di kalangan mahasiswa. Lha, katanya merdeka? Tapi untuk tanda tangan di lembaran kertas presensi saja masih melibatkan orang lain untuk melibatkan tangannya menggores pulpen dengan goresan palsu. Dimana lagi idealisme yang nampak itu? Jangan-jangan idealis nya berperiodik, hanya pada waktu-waktu tertentu ia terlihat merdeka. Padahal sebetulnya ia terpenjara. Lebih tepatnya memenjarakan diri sendiri.

    Sekian, terima kasih telah menawarkan sebuah permohonan balasan.
    Dari sahabatmu, yang tertarik untuk berpikir dan menanggapi tulisan ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kini telah sampai pada masa bahwa penulis bukanlah seorang pencerah yang tak tersentuh kritik seperti pada era romantik, penulis adalah orang biasa. Lahirlah anggapan bahwasanya ada baiknya memang mengkaitkan tulisan dengan lakunya.
      Saya sebagai penulis tulisan ini pun menyadari bahwa tulisan adalah sebuah pisau untuk membedah diri sendiri, suatu proses penelanjangan, sebuah kontrol dan koridor diri, melalui literasi.
      Dengan membalas tulisan anda melalui tulisan inipun saya dengan sangat bahagia sedang berproses telanjang. Dan soal menyoal tetek bengek kuliah dan idealisme adalah omong kosong orang-orang pergerakan, selama masih menetek pada puting eksistensi kampus. Sayapun belum berani berkata untuk menjadi idealisme karena saya sedang bergulat dengan realitas dan dari pergulatan itu saya tulis. Saya sedang bertatararan pada pencarian identitas, tentulah masih jauh itu yang namanya idealis, merdeka atau daulat.
      Tatanan kehidupan yang saat ini dan kampus di dalamnya? Selama saya masih di dalamnya mustahil untuk saya menjadi apa yang dicitakan oleh tulisan itu, tetapi apakah salah jika orang bermimpi. Dan tentunya bahagia jika tulisan itu terbaca dan dibalas seperti yang anda lakukan, betapa bahagia masih ada model dialektika semacam ini, yang telah teramat langka. Dan saya meyakini ada peningkatan kemanusian dan penajaman kontrol diri, (meskipun sedikit) pada diri saya dengan membaca surat balasan dari anda dan membalasnya.
      Tulisan ini adalah pisau, terhadap siapapun bahkan saya sendiri, anda telah memakai pisau itu terhadap saya, maka terima kasih, saya memang berharap untuk sangat telanjang. Tetapi jika saya hanya akan menulis ketika telah menjadi orang yang sebagaimana anda pantas untuk "menulis", sampai saya mati mungkin saya tidak akan pernah menulis dan tidak ada dialektika seperti yang sedang kita lakukan ini.

      Delete