Sunday, 26 May 2019

SEMPAK DIENGGO NANG NDAS



"Ckikikikikikikikkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk......"

Disusul angin kencang dan kemrosak daun pisang jatuh. Sosok almarhum muncul dihadapanku dengan ngguyu ngecenya. Kalau sudah ngikik begitu, siapapun yang mendengar otomatis merasa dihina.

"Kenapa tertawa hum?"

"Lhaiya karena ada yang lucu to."

"Lhaiya yang lucu itu apa?"

"Yang lucu ya kalian ini? Celana dalam kok dipakai di kepala. Ckakakakak!"

Kali ini kubiar dia ngakak tanpa harus kutanyai, nanti juga dia menjelaskan apa maksudnya.

Akhirnya muncratnya tawa selesai dan berceritalah almarhum sebagaimana dulu ketika ia masih hidup.

"Kalian itu bebas ya bebas, terbuka ya terbuka, tapi mbok ya tahu fungsi, tahu letak, tahu esensi, tahu koridor, kalau sampai sempak dipakai di kepala dan kalau tidak sedang pentas ngabsurd itu kan lucu!"

"Sing nganggo sempak nang ndas kuwi sapa?!!"

"Ya kalian dalam mempergunakan dialog itu! Kalimat, ungkapan, kata-kata, yang fungsinya kedalam diri; memberitahu diri, manajemen diri, sekarang dipakai sebagai pakaian luar, dipakai buat nge-brand diri, label diri."

"Maksudmu i piye to hum, almarhum."

"Jik rung cetha? Kata ikhlas, itu omongna nang atimu, dialogkan dalam dirimu, pakai di dalam dirimu, gunakan ke dalam diri untuk suatu kondisi dimana harus kita hadapi  dengan teknologi ikhlas. Lha kok malah dilabelkan, digandul-gandulke, dibengok-bengokke; wahai dunia aku adalah orang ikhlas! Hai teman-teman, aku sedang ikhlas lho!. Ikhlas itu laku, bukan label! Ya ngono kuwi jenenge sempak dinggo nang ndas!"

"Lha terus kalau sudah begitu, akibatnya apa?"

"Ya jadi lucu!"

"Syukurlah kalau akibatnya cuma jadi lucu."

"Syukurlah gundulmu kuwi! Kalau orang-orang sudah tidak menganggap itu lucu, sudah menganggap itu tidak aneh? Lama-lama orang-orang akan kehilangan peta dialog?!"

"?????"

"Sesuatu yang salah kemudian diikuti banyak orang lama-lama jadi kaprah, lalu jika dibiarkan terus menerus akhirnya ia akan menjadi kelumrahan, puncaknya ia menjadi kebenaran. Saat itulah sebuah wasiat jadi mati esensinya, jadi kehilangan orientasi. Dan ia pun menjadi barang yang tak berfungsi alias sampah."

"Apa sudah separah itu, sampai almarhum pakai istilah kehilangan peta dialog segala.?"

"Kamu itu sama omongannya orang yang sudah mati kok tidak percaya! Itu lihat orang-orang yang pulang dari lomba itu. Kalau pulang bawa piala, captionnya; 'hasil tidak pernah mengkhianati proses!' Itu kalau lagi menang, kalau pas kalah captionnya, 'yang penting adalah prosesnya!' Ckikikikikikikikkkk!"

"Lhoh itu kan karena mereka ingin memberitahukan bahwa mereka sudah berusaha keras."

"Kenapa usaha keras harus ditunjuk-tunjukkan? Usaha keras itu dipraktekkan! Usaha keras, proses yang serius, latihan yang berat itu tempatnya di dapur! Barang mentah kok dihidangkan. Kalimat 'hasil tidak pernah mengkhianati proses' ucapkan pada dirimu yang sedang berproses agar dirimu meyakini bahwa proses yang baik akan menghasilkan kebaikan.

Kalimat 'yang penting adalah prosesnya' ucapkan pada dirimu agar fokus pada hal yang sedang kamu kerjakan, fokus pada kerja kerasmu, fokus pada usahamu. Itu resep dapur, itu bukan suguhan! Ini kalau aku lanjutkan soal peta dialog kalau saya lanjutkan bisa-bisa saya terpaksa hidup lagi!"

"Lhoh masih banyak to?"

"Ra umum! Saya tanya kamu, petuah 'anak muda harus menghormati orang tua itu cekelane cah enom atau wong tuwa?"

"Pegangannya orang tua!" kujawab mantap.

"Goblog! Ya pantes kalian njur gelut wae!"
"Lha piye to?"

"Pikir sendiri! Kalau diterus-teruskan nanti semu orang mati harus hidup lagi untuk menjelaskan warisannya. Ckikikikikikikikkkk......"

Angin kencang lagi, daun pisang jatuh lagi, almarhum kembali hilang meninggalkan pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan yang membuat rindu pada masa lalu.

Catatan Gumam, 26 Mei 2019
Idnas Aral

No comments:

Post a Comment