"Ckikikikikikikikkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk......"
Disusul
angin kencang dan kemrosak daun pisang jatuh. Sosok almarhum muncul dihadapanku
dengan ngguyu ngecenya. Kalau sudah ngikik begitu, siapapun yang mendengar
otomatis merasa dihina.
"Kenapa
tertawa hum?"
"Lhaiya
karena ada yang lucu to."
"Lhaiya
yang lucu itu apa?"
"Yang
lucu ya kalian ini? Celana dalam kok dipakai di kepala. Ckakakakak!"
Kali
ini kubiar dia ngakak tanpa harus kutanyai, nanti juga dia menjelaskan apa
maksudnya.
Akhirnya
muncratnya tawa selesai dan berceritalah almarhum sebagaimana dulu ketika ia
masih hidup.
"Kalian
itu bebas ya bebas, terbuka ya terbuka, tapi mbok ya tahu fungsi, tahu letak,
tahu esensi, tahu koridor, kalau sampai sempak dipakai di kepala dan kalau tidak sedang pentas ngabsurd itu kan
lucu!"
"Sing
nganggo sempak nang ndas kuwi sapa?!!"
"Ya
kalian dalam mempergunakan dialog itu! Kalimat, ungkapan, kata-kata, yang
fungsinya kedalam diri; memberitahu diri, manajemen diri, sekarang dipakai
sebagai pakaian luar, dipakai buat nge-brand diri, label diri."
"Maksudmu
i piye to hum, almarhum."
"Jik
rung cetha? Kata ikhlas, itu omongna nang atimu, dialogkan dalam dirimu, pakai
di dalam dirimu, gunakan ke dalam diri untuk suatu
kondisi dimana harus kita hadapi dengan
teknologi ikhlas. Lha kok malah dilabelkan, digandul-gandulke,
dibengok-bengokke; wahai dunia aku adalah orang ikhlas! Hai teman-teman, aku
sedang ikhlas lho!. Ikhlas itu laku, bukan label! Ya ngono kuwi jenenge sempak
dinggo nang ndas!"
"Lha
terus kalau sudah begitu, akibatnya apa?"
"Ya
jadi lucu!"
"Syukurlah
kalau akibatnya cuma jadi lucu."
"Syukurlah
gundulmu kuwi! Kalau orang-orang sudah tidak menganggap itu lucu, sudah
menganggap itu tidak aneh? Lama-lama orang-orang akan kehilangan peta dialog?!"
"?????"
"Sesuatu
yang salah kemudian diikuti banyak orang lama-lama jadi kaprah, lalu jika
dibiarkan terus menerus akhirnya ia akan menjadi kelumrahan, puncaknya ia
menjadi kebenaran. Saat itulah sebuah wasiat jadi mati esensinya, jadi
kehilangan orientasi. Dan ia pun menjadi barang yang tak berfungsi alias
sampah."
"Apa
sudah separah itu, sampai almarhum pakai istilah kehilangan peta dialog
segala.?"
"Kamu
itu sama omongannya orang yang sudah mati kok tidak percaya! Itu lihat
orang-orang yang pulang dari lomba itu. Kalau pulang bawa piala, captionnya;
'hasil tidak pernah mengkhianati proses!' Itu kalau lagi menang, kalau pas
kalah captionnya, 'yang penting adalah prosesnya!' Ckikikikikikikikkkk!"
"Lhoh
itu kan karena mereka ingin memberitahukan bahwa mereka sudah berusaha
keras."
"Kenapa
usaha keras harus ditunjuk-tunjukkan? Usaha keras itu dipraktekkan! Usaha keras, proses yang serius, latihan
yang berat itu tempatnya di dapur! Barang mentah kok dihidangkan. Kalimat
'hasil tidak pernah mengkhianati proses' ucapkan pada dirimu yang sedang
berproses agar dirimu meyakini bahwa proses yang baik akan menghasilkan
kebaikan.
Kalimat
'yang penting adalah prosesnya' ucapkan pada dirimu agar fokus pada hal yang
sedang kamu kerjakan, fokus pada kerja kerasmu, fokus pada usahamu. Itu resep
dapur, itu bukan suguhan! Ini kalau aku lanjutkan soal peta dialog kalau saya
lanjutkan bisa-bisa saya terpaksa hidup lagi!"
"Lhoh
masih banyak to?"
"Ra
umum! Saya tanya kamu, petuah 'anak muda harus menghormati orang tua itu
cekelane cah enom atau wong tuwa?"
"Pegangannya
orang tua!" kujawab mantap.
"Goblog!
Ya pantes kalian njur gelut wae!"
"Lha
piye to?"
"Pikir
sendiri! Kalau diterus-teruskan nanti semu orang mati harus hidup lagi untuk
menjelaskan warisannya. Ckikikikikikikikkkk......"
Angin
kencang lagi, daun pisang jatuh lagi, almarhum kembali hilang meninggalkan
pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan yang membuat rindu pada masa lalu.
Catatan
Gumam, 26 Mei 2019
Idnas Aral
No comments:
Post a Comment