Thursday, 18 January 2018

Subsidi apus apus

"Met, tadi pagi aku melihat sepasang kekasih bertengkar di pinggir jalan, perempuan menangis sejadi-jadinya, ee hla malah laki-lakinya meninggalkan, pergi nyatater motornya. Ealah, lanang kok ora nglanangi, Met. Mbok ya itu ditiru penyair gombal si Mas Bei itu hlo Met. Puisi-puisinya semua jatuh cinta dan menghargai wong wedok, meninggikan drajate wong wedok, nyunggi wong wedok. Laki-laki kok malah pergi melihat perempuannya menangis, padahal hlo Met, waktu aku masih muda, nonton genting rumah perempuan yang aku cintai itu rasanya sudah ayem hlo, mengintip, bersembunyi dan menguntit. Itu kerjaan laki-laki zamanku Met. Asyik Met. Ya seperti dipuisinya Mas Bei 'menguntit bukan berarti cinta' jan sip tenan kok puisinya Mas Bei itu, kalau aku perempuan sudah tak lamar itu Mas Bei Met, prejengane gagah, kayak burung gagak"

Sembari meniknati sebatang rokok dan secangkir kopi, Lik Tilem metap ke arah lagit dari lapak bukunya di kios pasar.

"Yaaaaah waktu memang berjalan Met, dan memang musti banyak berubah Met, tapi mbokya jangan begini pesat dan cepat to Met, aku kalau harus ngoyak zaman now, ya gak kuat, megap megap ngos ngosan, laju zaman bergulir begini cepat Met, menuntut banyak orang untuk terus berlari dan berlari mengikuti perkembangannya, sedangkan perkembangan ini memang sudah di setting Met, untuk supaya orang-orang terus saling mengejar dan berlomba! Ah hidup kok berlomba yo Met ? Kan edan, wong burung di lombakan saja sudah ndak wajar, hla kok ini manusia di suruh berlomba, dipecuti oleh modernitas, yang kedudukannya itu sama sekali tidak jelas. Hla bagaimana jelas, modern itu yang bagaimana saja tidak ada kesepakatan soal itu, malah kita disuruh mengejar, kan gila ! Ini gila Met. Tapi kalau gila ya kita bisa apa ? Hla siapa kita Met ?

Apa kita ini termasuk penduduk yang dihitung oleh yang maha pemerintah, wong paling mentok kita itu dianggap ada kalau mau menerima yang dikata bantuan dari yang maha pemerintah. Wong itu hak kita sebagai warga negara kok, malah diwacanakan sebagai bantuan dari pemerintah, terus apa itu...subsidi ? Hla kok subsidi, kan yo ngawur! Hla masa harga tabung gas murah terus itu dikata subsidi, bantuan, logikanya orang membantu itu kan memberikan atas darmanya, atas kebaikan hatinya, atas niat baiknya, dan dikatakan bantuan itu ya milik pribadi yang membantu lalu diberikan kepada orang yang hendak dibantu. Hla kok ini enggak, uang ya uang rakyat, itu hak rakyag banyak. Hla kok diberi embel embel bantuan. Hla pemerintah itu abdinya rakyat kok, yang bener itu rakyat membantu perekonomian orang-orang yang bekerja untuk negara. Hla kok ini loginya dibalik. Seakan-akan segala banda Negara Republik Indonesia itu milik pemerintah, yang harusnya milik negara, milik rakyat, dan sakpenak udele dewe dikasih lebel subsidi, bantuan. Rak ngawur yo Met!

Elah, malah nglantur, wong ngomongin pemuda zaman now yang meninggalkan perempuannya yang nangis kok sampai negara, pemerintah. Eh, tapi ada hubunganya hlo Met, kalau pemuda zaman now saja kelakuannya macam itu, hla bagaimana kelanjutan bangsa ini, negara ini, yang sudah pasti dan tentu akan di pegang generasimu Met, generasi zaman now"

"Eh rokokku entek, Met, minta rokokmu yo ?"

Lik Tilem menoleh ke belakang, ke arah tempat dimana Slamet duduk.

"Woooooo asuuuuuu, bajingan tengik, gembel, dobol, kere, mbel!!! Malah micek, orang cap apa kamu ini ! Diajak ngomong malah micek, hla apa aku ini aktor monolog. Pemuda taek kon iku Met!!!"


Klaten, 18 Januari 2018

No comments:

Post a Comment