"Met, tadi pagi aku melihat
sepasang kekasih bertengkar di pinggir jalan, perempuan menangis
sejadi-jadinya, ee hla malah laki-lakinya meninggalkan, pergi nyatater
motornya. Ealah, lanang kok ora nglanangi, Met. Mbok ya itu ditiru penyair
gombal si Mas Bei itu hlo Met. Puisi-puisinya semua jatuh cinta dan menghargai
wong wedok, meninggikan drajate wong wedok, nyunggi wong wedok. Laki-laki kok
malah pergi melihat perempuannya menangis, padahal hlo Met, waktu aku masih
muda, nonton genting rumah perempuan yang aku cintai itu rasanya sudah ayem
hlo, mengintip, bersembunyi dan menguntit. Itu kerjaan laki-laki zamanku Met.
Asyik Met. Ya seperti dipuisinya Mas Bei 'menguntit bukan berarti cinta' jan
sip tenan kok puisinya Mas Bei itu, kalau aku perempuan sudah tak lamar itu Mas
Bei Met, prejengane gagah, kayak burung gagak"
Sembari meniknati sebatang rokok
dan secangkir kopi, Lik Tilem metap ke arah lagit dari lapak bukunya di kios
pasar.
"Yaaaaah waktu memang
berjalan Met, dan memang musti banyak berubah Met, tapi mbokya jangan begini
pesat dan cepat to Met, aku kalau harus ngoyak zaman now, ya gak kuat, megap
megap ngos ngosan, laju zaman bergulir begini cepat Met, menuntut banyak orang
untuk terus berlari dan berlari mengikuti perkembangannya, sedangkan
perkembangan ini memang sudah di setting Met, untuk supaya orang-orang terus
saling mengejar dan berlomba! Ah hidup kok berlomba yo Met ? Kan edan, wong
burung di lombakan saja sudah ndak wajar, hla kok ini manusia di suruh
berlomba, dipecuti oleh modernitas, yang kedudukannya itu sama sekali tidak
jelas. Hla bagaimana jelas, modern itu yang bagaimana saja tidak ada
kesepakatan soal itu, malah kita disuruh mengejar, kan gila ! Ini gila Met.
Tapi kalau gila ya kita bisa apa ? Hla siapa kita Met ?
Apa kita ini termasuk penduduk
yang dihitung oleh yang maha pemerintah, wong paling mentok kita itu dianggap
ada kalau mau menerima yang dikata bantuan dari yang maha pemerintah. Wong itu
hak kita sebagai warga negara kok, malah diwacanakan sebagai bantuan dari
pemerintah, terus apa itu...subsidi ? Hla kok subsidi, kan yo ngawur! Hla masa
harga tabung gas murah terus itu dikata subsidi, bantuan, logikanya orang
membantu itu kan memberikan atas darmanya, atas kebaikan hatinya, atas niat
baiknya, dan dikatakan bantuan itu ya milik pribadi yang membantu lalu
diberikan kepada orang yang hendak dibantu. Hla kok ini enggak, uang ya uang
rakyat, itu hak rakyag banyak. Hla kok diberi embel embel bantuan. Hla
pemerintah itu abdinya rakyat kok, yang bener itu rakyat membantu perekonomian
orang-orang yang bekerja untuk negara. Hla kok ini loginya dibalik. Seakan-akan
segala banda Negara Republik Indonesia itu milik pemerintah, yang harusnya
milik negara, milik rakyat, dan sakpenak udele dewe dikasih lebel subsidi,
bantuan. Rak ngawur yo Met!
Elah, malah nglantur, wong
ngomongin pemuda zaman now yang meninggalkan perempuannya yang nangis kok
sampai negara, pemerintah. Eh, tapi ada hubunganya hlo Met, kalau pemuda zaman
now saja kelakuannya macam itu, hla bagaimana kelanjutan bangsa ini, negara
ini, yang sudah pasti dan tentu akan di pegang generasimu Met, generasi zaman
now"
"Eh rokokku entek, Met,
minta rokokmu yo ?"
Lik Tilem menoleh ke belakang, ke
arah tempat dimana Slamet duduk.
"Woooooo asuuuuuu, bajingan
tengik, gembel, dobol, kere, mbel!!! Malah micek, orang cap apa kamu ini !
Diajak ngomong malah micek, hla apa aku ini aktor monolog. Pemuda taek kon iku
Met!!!"
Klaten, 18 Januari 2018
No comments:
Post a Comment