“Tuhan menciptakan Agama maka manusia menciptakan kesenian.” ucap Idnas (temanku yang agak sinting)
Kata-kata yang langsung disambut tawa oleh segenap manusia yang hadir di tongkrongan itu. Nasib sebuah kata-kata yang sebenarnya berpotensi besar untuk menjadi filsafat. Tapi naas nasib kata-kata itu, karena lahir dari seorang bapak yang menyandang predikat agak miring.
Mungkin kata-kata itu akan menjadi perenungan ketika lahir dari seorang Mario Teguh atau Dedy Corbuzer, karena dua sosok itu memang telah disetting oleh industri televisi sebagai orang bijak dengan kata-kata klise-nya. Toh, klise lebih prospektif (untuk industri) dari filsafat di negeri berbudaya ini. Selain itu kita memang seringkali condong pada siapa yang bicara bukan pada apa yang dibicarakan.
Kita lihat fenomena Vicky-isasi, nasib kata yang sama namun bernasib sangat berbeda karena bapaknya. Kata konspirasi hati yang diucapkan Vicky Prasetyo menjadi bahan tertawaan hampir seluruh penduduk negeri ini. Dan lagi-lagi industri TV mengemasnya untuk dijual. Sedang idiom itu misal diungkapkan oleh Putu Wijaya, niscaya disebutlah sebagai sastra.
Tapi bukan itu yang ingin saya bicarakan, diri ini ingin sok-sok an menjadi orang yang tidak mau terbawa arus yang condong pada “siapa…” tapi pada “apa..”. Saya ingin berbicara tentang kata-kata Idnas, kawanku.
Kawanku yang baru saja anak rohaninya dibunuh itu kembali melahirkan anak lagi. Ia berkata lagi, ”Kesenian adalah adik kandung dari agama.”
Tawa kembali meledak lebih dasyat dan aku pura-pura ikut tertawa karena takut dianggap sinting.
Tuhan mencipta Agama maka manusia mencipta kesenian dan Kesenian adalah adik dari agama. Dua jenazah anak rohani dari kawanku itu saya bawa pulang, daku ingin mengotopsinya di rumah.
Tuhan mencipta Agama maka manusia mencipta kesenian.
Pada ungkapan yang pertama, ia sebutkan bahwa Tuhan mencipta Agama, itu di anggap benar, lalu ia sebutkan manusia mencipta kesenian, juga benar dan dipilih kata penghubung “maka”.
Manusia yang merupakan substansi dari Tuhan di dunia, ketika sedang berada pada tugas itu tentunya merasa berkewajiban mengusahakan kehidupan yang lebih baik. Tuhan menciptakan agama agar kehidupan dunia berjalan baik, lalu manusia yang merupakan khalifah mencipta kesenian untuk sebuah estetika berkehidupan. Kurang lebih itulah interpretasi saya dari ungkapan kawanku itu.
Kesenian memang telah dilahirkan oleh manusia jauh sebelum seniman-seniman kita sekarang, bahkan ketika belum ada sebutan seniman. Karya-karya seni telah lahir ribuan tahun yang lalu, hasil dari kebudayaan manusia yang tentunya dengan campur tangan Tuhan.
Kita ambil contoh: Manusia lahir di dunia ini dengan telanjang maka desainer purba kita menciptakan baju pada masa itu, alhasil kebudayaanpun melahirkan pakaian. Kalau saja budaya hak cipta sudah ada pada masa itu, pastinya ahli waris seniman itu telah menjadi manusia terkaya di dunia. Manusia yang pertama menciptakan baju itu tentunya bukan karena dorongan materi tapi perasaan kegelisahan jika terus-terusan manusia saling berinteraksi dengan telanjang. Entah didorong oleh rasa malu atau terlalu sering ia masuk angin maka terciptalah pakaian dan hidup menjadi lebih baik.
Demikian halnya dengan bahasa, rumah, musik, tari, teater,… tentunya lahir karena suatu kegelisahan. Kita benar-benar wajib bersyukur karena ide hak cipta tidak tercetus pada masa itu. Bayangkan kalau bahasa diberi label Hak Cipta? Betapa mahalnya hidup kita.
Hak Cipta
Label hak cipta pada bidang kesenian diciptakan manusia tentunya atas dorongan perasaan berhak atas sesuatu. Seperti halnya tanah, rumah diciptakan akta, sebuah peristiwa hukum yang mengukuhkan seseorang dengan peraturan bahwa berhak atas sesuatu.
Hak cipta bukanlah bagian dari bidang kesenian tetapi bidang ekonomi. Dorongan dari asas ekonomi untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dalam wujud materi. Sarjana ekonomi tentunya tidak bisa membenarkan bahwa keuntungan itu adalah kepuasan hati, ketentraman hati. Maka bidang ekonomi mengajak bidang hukum untuk menjadikan kesenian sebuah komoditas.
Maka terciptalah Hak Cipta sebuah kolaborasi apik antara kesenian, ekonomi, dan hukum oleh composer handal nan rakus.
Hlah, kok saya jadi ngganggu macan gendut yang tidur gini, bisa-bisa saya disebut anti kapitalis ! Komunis! Marxis! Padahal kan tadi tentang ungkapan kawan saya yang agak sinting itu.
Tapi memang ternyata ungkapan “Tuhan mencipta agama maka manusia mencipta kesenian” memang telah membawa saya pada perenungan tentang bidang kesenian, letak kesenian, fungsi kesenian.
Sebuah karya dibajak, satu-satunya bidang yang merasa dirugikan pada si seniman itu hanyalah bidang ekonomi. Bidang kesenian pada seniman sendiri itu tidak merasa dirugikan, karena karya itu tentunya makin tersebar dan bermanfaat bagi banyak orang.
Selain itu, apakah kita memang benar-benar berhak atas apa yang kita ciptakan?
Adakah karya yang benar-benar tidak terinspirasi dari karya-karya seniman terdahulu?
Adakah karya yang terlepas dari andilnya orang lain, kehidupan, alam, peristiwa?
Lantas siapa yang berhak atas sebuah karya?
Apakah bisa kita benar-benar meng-iya-kan bahwa yang berhak adalah yang lebih dahulu mendaftarkan karya tersebut sebagai hak cipta?
Mungkin kebudayaan seniman-seniman purba belum sampai kepada pemikiran brilian tentang hak cipta, tapi mungkin juga seniman purba yang menciptakan pada masa purba itu telah sampai lebih dahulu pada pertanyaan-pertanyaan di atas sebelum benar-benar merasa berhak atas karyanya. Lalu siapakah yang lebih purba kalau begitu?
Kesenian adalah adik dari agama
Ada rasa ketakutan ketika mencoba berbicara tentang ungkapan kedua, “Kesenian adalah adik dari agama.” Karena akhir-akhir ini para pemilik agama banyak yang sedang menstruasi. Jadinya seringkali sensitif jika menyangkut tentang agama. Masih mending kalau disebut gila, bisa-bisa kawan saya disebut nabi palsu, sesat, atau melecehkan Tuhan.
Semoga saja tidak, karena memang saya yakin bukan tentang agama yang ia bicarakan tetapi lebih kepada kesenian.
Bukan tentang: kalau kesenian adik dari agama lalu siapa bapaknya? Adik laki-laki atau perempuan? Tapi letak dan fungsi kesenian dalam kehidupan.
Agama telah dilletakkan dan telah di-iya-kan (bagi yang percaya) sebagai penyelaras kehidupan secara vertical atau horizontal. Lalu bagaimana dengan adiknya?
Tuhan juga menciptakan kitab suci sebagai buku panduan untuk beragama. Lalu bagaiman dengan adiknya?
Si kesenian tercipta di dunia tentunya karena campur tangan Tuhan melalui manusia yang merupakan perpanjangan tangan dari Tuhan. Sebuah peristiwa telah merangsang manusia yang dipilih untuk mencipta karya lalu berguna untuk sesama. Tentunya Tuhan tidak meng-hak-cipta karya kecil itu, tapi manusia entah karena proses sejarah apa dengan sangat sigap mengambil peluang untuk sebuah keuntungan pribadi.
Apakah harus ada yang membuat buku panduan berkesenian terlebih dahulu agar kesenian tidak menjadi adik yang “salah asuhan” seperti Hanafi nya Abdoel Moeis?
Lalu tentunya tak ada satupun manusia yang berhak untuk menentukan bagaimana harus berkesenian. Semuanya akan serba subjektif, yang dipengaruhi beberapa faktor. Banyak seniman-seniman yang karyanya penuh dengan kritik sosial ngambek karena pembajakan tidak lagi terkendali. Sedang seniman-seniman panggung enggan mengambil kesempatan untuk karyanya menjadi manfaat karena tidak dibayar. Seperti yang saya sampaikan di atas tentang hak cipta dan ada-tidaknya bayaran hanyalah akan berpengaruh pada satu bidang yaitu bidang ekonomi kita. Kini pertanyaannya tinggal,“apakah bidang ekonomi telah menjadi bidang terpokok dalam hidup kita?”
Segala interpretasi dan hal-hal yang saya sismpulkan ini saya jamin sangat subjektif, apalagi saya sedang benar-benar sentimen. Karena baru saja kegiatan kesenian yang bersifat sosial atau tanpa dibayar atau sambatan di kesampingkan dan ditinggal begitu saja oleh seorang rekan. Apresiasi dalam bentuk materi dianggap utama sedangkan estetika kehidupan berkesenian adalah sekunder.
Mungkin memang pandangan manfaat hanyalah dalam bentuk materi telah teriklimkan sejak di fakultas kita. Kuliah jurusan hukum, sastra, keguruan, pertanian, kesenian adalah penjurusan-penjurusan dari Universitas yang bernama “ekonomi”. Kalau kata orang amerika Everything is buisness ! kalo kata orang Jawa “Sing penting peye !”Maka lahirlah kebudayaan Sing Penting Njoget !
Oleh: Idham Ardi N
Sukoharjo, 6 Februari’14
Dua hari menjelang pentas di Dusun Ndawan
Sukoharjo, 6 Februari’14
Dua hari menjelang pentas di Dusun Ndawan
No comments:
Post a Comment