Sunday, 20 March 2016

Kritik Pentas "Mengancam Kenangan"

Pentas Produksi Teater Tikar (Semarang)
Naskah: Mengancam Kenangan, Karya: Iruka Danishwara
Pimpinan Produksi: Alif Noormansyah,
Asisten Pimpinan Produksi: Meitha Prihastuti
Sutradara: Ibrahim
Asisten Sutradara: Bintang Al Huda
Pemain: Solekhah Nur H W, Reza Akbar P, Elina Zahra Y, Imam Machfudz, Siti Maghfiroh
Stage Manager: Adik Bayu S
Tata Panggung: Nahar, Gozi Prayudin N
Tata Cahaya: M Khoirun Nadzif
Tata Musik : Dodo Rangga B
Dokumentasi : Faisal Ibrahim, Aldy Purwanto B

 Mengancam Kenangan
Jika yang disebut sebagai pertunjukan teater adalah sebuah peristiwa laku dramatik aktor di ruang-hadap penonton. Maka dengan adanya aktor, ruang (panggung), dan penonton, sebuah peristiwa sudah bisa disebut sebagai pertunjukan. Tetapi saya adalah yang sepakat menambahkan satu unsur lagi, yakni  “pesan” (apa yang ingin disampaikan kepada penonton). Pesan adalah nilai  yang terdistribusi dalam komunikasi pertunjukan dengan penontonnya.
Paragraf di atas adalah sikap saya ketika menghadiri sebuah pertunjukan. Sebagai pribadi saya lebih menyukai pertunjukan yang mampu untuk saya mengerti. Terlepas dari apakah salah saya sendiri karena tidak mengerti, ada sebuah hak dari penonton teater yaitu membawa pulang “sesuatu”. Dan wilayah hak itu berada pada kewajiban penyuguh pertunjukan.
Saya awali tulisan kritik ini dengan dialektika di atas adalah karena ketidakmampuan saya (sebagai penonton “Mengancam Kenangan”) menangkap pesan secara “utuh”.
Musik dan tata panggung menyambut saya dengan suasana yang terbaca “kelam”. Barangkali memang kesan tersebut yang ingin dibangun oleh adegan pertama. Lalu dialog antara tokoh Nyonya dan 4 pemain  berompi tudung (seperti kotum sekte) berada pada wilayah pergulatan Nyonya dengan kenangannya. Dialog-dialog cepat yang pilihan kata-nya pun tak mudah untuk seketika dicerna mewarnai babak 1. Wilayah perasaan pada dialog tersebut pun tak tergambar pada pendialogannya. Babak tersebut selesai tanpa saya berhasil mendapatkan jawaban tentang “mengancam” dan tentang “kenangan”, hanya kelam yang saya dapat.
Lampu babak 1 padam, saya belum berhasil ikut memiliki idiom “mengancam kenangan”, dan saya sudah lelah mengernyitkan dahi.
Pada babak berikutnya saya berharap akan segera ada sebuah peristiwa lugas. Siapa tahu menolongku. Karena saya takut jika tak segera, pertanyaan-pertanyaan yang terpercik oleh babak 1, mati tanpa terjawab. Tetapi kembali saya bertemu dengan idiom-idiom baru bagi saya,
Akhirnya saya putuskan untuk menikmati pertunjukan tersebut sebagai fragmen-fragmen.
Setelah saya lepaskan segala tendensi saya untuk menangkap makna secara utuh, saya mulai bisa menikmati adegan. Yaitu pada adegan lelaki berkemeja putih yang berbincang dengan wanita bergaun abu-abu (gaunnya bagus), terutama oleh pendialogan si aktor lelaki. Kali itu pendialogan si lelaki menggunakan pendekatan dialog realis.
Di tengah-tengah pertunjukan yang penuh pendialogan diklamatis, aktor berkemeja putih berdialog realis, sebuah hal yang biasa jadi nampak menarik.
Sebab itu (mungkin), untuk adegan tersebut saya terlibat dalam  kilatan peristiwa itu. Selanjutnya saya memilih menikmati permainan tanpa peduli pada sebab dan akibat. Sajian visual lebih menyita perhatian saya, sedang dialog-dialog hanya tertangkap ke-puitikan-nya.
Mungkin dialog-dialog itu adalah jenis sastra yang musti saya baca sendiri baru saya mengerti
Lalu pada adegan menjelang akhir terdapat sebuah adegan yang berpotensi untuk menarik (sangat). Yaitu ketika aktor berkemeja putih memeluk boneka tubuh yang tergantung lalu menikamkan pisau di perut boneka, lalu pecah air (darah). Tetapi sayang, lampu merebut potensi puncak tersebut.
Kenapa harus cahaya merah terlebih dahulu? Kenapa tidak membiarkan si aktor untuk “memerahkan” benak penonton dengan adegannya?
Permainan Teater Tikar pada malam itu rapi. Rapi saya artikan sebagai permainan yang selamat dari dinamika permainan yang mengganggu. Musik, aktor dan skenografi berjalan secara harmonis.
Saya menangkap sebuah keindahan yang tak bermakna, keindahan yang gagal membenak.
Tulisan ini sengaja saya lembarkan sebelum melakukan pembacaan naskah yang telah berhasil saya dokumenkan. Sengaja, karena saya batasi pada interpretasi pertunjukan, mungkin lain kali saya akan menulis khusus untuk naskah “mengancam kenangan”.
Dengan hanya melihat pertunjukannya tanpa pembacaan naskah, saya merasa pertunjukan tersebut justru nampak sebagai objek kenangan. “Mengancam”  adalah sebuah kata kerja, sedang aktor pada pertujukan malam itu terkesan sebagai objek yang justru diusik oleh kenangan.
Mereka justru nampak diancam oleh kenangan.
Untuk mengakhiri tulisan,
Ada kalanya Lionel Messi meliuk-liuk menggocek bola, tetapi pda akhirnya Messi musti menendang lugas ke arah gawang untuk sebuah gol !
 


No comments:

Post a Comment