Pentas Produksi Teater Tikar (Semarang)
Naskah: Mengancam Kenangan, Karya: Iruka Danishwara
Pimpinan Produksi: Alif Noormansyah,
Asisten Pimpinan Produksi: Meitha Prihastuti
Sutradara: Ibrahim
Asisten Sutradara: Bintang Al Huda
Pemain: Solekhah Nur H W, Reza Akbar P, Elina Zahra Y, Imam
Machfudz, Siti Maghfiroh
Stage Manager: Adik Bayu S
Tata Panggung: Nahar, Gozi Prayudin N
Tata Cahaya: M Khoirun Nadzif
Tata Musik : Dodo Rangga B
Dokumentasi : Faisal Ibrahim, Aldy Purwanto B
Mengancam
Kenangan
Jika
yang disebut sebagai pertunjukan teater adalah sebuah peristiwa laku dramatik
aktor di ruang-hadap penonton. Maka dengan adanya aktor, ruang (panggung), dan
penonton, sebuah peristiwa sudah bisa disebut sebagai pertunjukan. Tetapi saya
adalah yang sepakat menambahkan satu unsur lagi, yakni “pesan” (apa yang ingin disampaikan kepada
penonton). Pesan adalah nilai yang terdistribusi
dalam komunikasi pertunjukan dengan penontonnya.
Paragraf
di atas adalah sikap saya ketika menghadiri sebuah pertunjukan. Sebagai pribadi
saya lebih menyukai pertunjukan yang mampu untuk saya mengerti. Terlepas dari
apakah salah saya sendiri karena tidak mengerti, ada sebuah hak dari penonton
teater yaitu membawa pulang “sesuatu”. Dan wilayah hak itu berada pada
kewajiban penyuguh pertunjukan.
Saya awali tulisan kritik ini dengan
dialektika di atas adalah karena ketidakmampuan saya (sebagai penonton
“Mengancam Kenangan”) menangkap pesan secara “utuh”.
Musik
dan tata panggung menyambut saya dengan suasana yang terbaca “kelam”. Barangkali
memang kesan tersebut yang ingin dibangun oleh adegan pertama. Lalu dialog
antara tokoh Nyonya dan 4 pemain berompi
tudung (seperti kotum sekte) berada pada wilayah pergulatan Nyonya dengan
kenangannya. Dialog-dialog cepat yang pilihan kata-nya pun tak mudah untuk
seketika dicerna mewarnai babak 1. Wilayah perasaan pada dialog tersebut pun
tak tergambar pada pendialogannya. Babak tersebut selesai tanpa saya berhasil
mendapatkan jawaban tentang “mengancam” dan tentang “kenangan”, hanya kelam
yang saya dapat.
Lampu babak 1 padam, saya belum berhasil ikut
memiliki idiom “mengancam kenangan”, dan saya sudah lelah mengernyitkan dahi.
Pada
babak berikutnya saya berharap akan segera ada sebuah peristiwa lugas. Siapa
tahu menolongku. Karena saya takut jika tak segera, pertanyaan-pertanyaan yang
terpercik oleh babak 1, mati tanpa terjawab. Tetapi kembali saya bertemu dengan
idiom-idiom baru bagi saya,
Akhirnya saya putuskan untuk menikmati
pertunjukan tersebut sebagai fragmen-fragmen.
Setelah
saya lepaskan segala tendensi saya untuk menangkap makna secara utuh, saya
mulai bisa menikmati adegan. Yaitu pada adegan lelaki berkemeja putih yang
berbincang dengan wanita bergaun abu-abu (gaunnya bagus), terutama oleh
pendialogan si aktor lelaki. Kali itu pendialogan si lelaki menggunakan
pendekatan dialog realis.
Di tengah-tengah pertunjukan yang penuh pendialogan
diklamatis, aktor berkemeja putih berdialog realis, sebuah hal yang biasa jadi nampak
menarik.
Sebab
itu (mungkin), untuk adegan tersebut saya terlibat dalam kilatan peristiwa itu. Selanjutnya saya
memilih menikmati permainan tanpa peduli pada sebab dan akibat. Sajian visual
lebih menyita perhatian saya, sedang dialog-dialog hanya tertangkap ke-puitikan-nya.
Mungkin dialog-dialog itu adalah jenis
sastra yang musti saya baca sendiri baru saya mengerti
Lalu
pada adegan menjelang akhir terdapat sebuah adegan yang berpotensi untuk
menarik (sangat). Yaitu ketika aktor berkemeja putih memeluk boneka tubuh yang
tergantung lalu menikamkan pisau di perut boneka, lalu pecah air (darah).
Tetapi sayang, lampu merebut potensi puncak tersebut.
Kenapa harus cahaya merah terlebih dahulu?
Kenapa tidak membiarkan si aktor untuk “memerahkan” benak penonton dengan
adegannya?
Permainan
Teater Tikar pada malam itu rapi. Rapi saya artikan sebagai permainan yang
selamat dari dinamika permainan yang mengganggu. Musik, aktor dan skenografi
berjalan secara harmonis.
Saya menangkap sebuah keindahan yang tak
bermakna, keindahan yang gagal membenak.
Tulisan
ini sengaja saya lembarkan sebelum melakukan pembacaan naskah yang telah
berhasil saya dokumenkan. Sengaja, karena saya batasi pada interpretasi
pertunjukan, mungkin lain kali saya akan menulis khusus untuk naskah “mengancam
kenangan”.
Dengan
hanya melihat pertunjukannya tanpa pembacaan naskah, saya merasa pertunjukan
tersebut justru nampak sebagai objek kenangan. “Mengancam” adalah sebuah kata kerja, sedang aktor pada
pertujukan malam itu terkesan sebagai objek yang justru diusik oleh kenangan.
Mereka justru nampak diancam oleh kenangan.
Untuk
mengakhiri tulisan,
Ada kalanya Lionel Messi meliuk-liuk
menggocek bola, tetapi pda akhirnya Messi musti menendang lugas ke arah gawang
untuk sebuah gol !
No comments:
Post a Comment