Thursday, 24 March 2016

PUISI PUISI OBIN

Aku tak lagi mampu menulis sajak

Aku tak lagi mampu menulis sajak, ketika di depan mataku kulihat anak-anak berjuta
Dari balita hingga umur remaja menenteng kaleng kecil, berisikan recehan . .
Meminta belas kasih dan uluran tangan dermawan yang tak sengaja melintasi jalanan

Sementara disebelahnya anak-anak seumuran berjalan beriringan
Dengan seragam dan perangkat sekolah yang lengkap
Menjejakkan kaki di bumi yang sama dengan harapan dan cita-cita

Apakah berlebihan jika aku merindukan belaian lembut seorang ayah atau ibunda?
Apakah berlebihan jika aku memiliki harapan, cita-cita, juga janji kehidupan yang baik?
Apakah berlebihan jika aku merasa sendiri, terkucilkan, dan tertolak oleh hidup ini?

Aku tak kuasa menahan segala pedih perih
Dan kini sudah mulai jerih, aku jalani hidup ini
Aah, sungguh aku tak lagi mampu menulis sajak

Ketika para demonstran, menjahit mulutnya sendiri, protes! Mogok makan!
Dan akhirnya terkulai lemas, tanpa daya, tanpa tujuan hidup, dan tanpa apa-apa
Sebab . . birokrat negara terlalu aniaya, selalu mengedepankan ego dan ambisi semata

Aku tak lagi mampu menulis sajak, saat kulihat . .
Beribu-ribu rakyat negeri ini, antre! menunggu jatah sembako yang tak seberapa
Sementara hari esok, masih jadi misteri, dan menimbulkan pertanyaan senada . .
Besok antre dimana lagi yaa?
Besok, mau makan sisa-sisa siapa yaa?
Besok, kita bisa makan, atau harus lagi berpuasa?

Alangkah tak berdayanya aku . . jika dihadapkan pada realita hidup di negeri ini
Apa lagi yang bisa dilakukan seorang penyair, jika kata-kata diuapkan di udara
Jadi polusi, dan limbah ibukota . . tak ada lagi yang bisa kami lakukan untukmu

Kecuali, ikut antre bersama-mu . .
Ikut berpuasa hingga batas waktu yang belum ditentukan, kapan berbukanya?
Kemudian, orang-orang berdasi itu merayu, membujuk, dan menampakkan kepedulian

“Iyaa, tunggulah sebentar lagi! Kami akan berupaya agar semua membaik”.
“Pemerataan kehidupan yang layak akan diraih dengan pembangunan”.
“Yang harus dilakukan, hanyalah bersabar, tinggal sedikit lagi”. Tai Kucing!!

Maaf, bukan bermaksud mengumpat dan mengutuki sistem dan tata aturan yang ada
Hanya saja, saya sudah tak tahan menahan kentut di celana, dan ingin segera berak
Iyaa? agar tidak menjadi penyakit tentunya, sebab kotoran itu . . harus segera dibuang

Iyaa! Supaya fisik kita sehat, psikis kita tidak terganggu, dan . .
Pencernaan kita lancar! Selanjutnya kita terbebas dari yang namanya sakit perut
Kemudian menari, melompat kegirangan, sampai terjatuh, dan akhirnya . . ma-ti

HA-HA-HA! Alangkah dungu dan tak bergunanya aku, Aku butuh berak-walau sejenak
Aku tak lagi mampu menulis sajak, tika para gadis dijajakan, dan hilang kehormatannya
Para lelaki bertubuh kekar tak berdaya, hanya dijadikan robot bernyawa yang diperah
Sedang diriku? Turut serta diperah sumber hidupnya tuk kemudian ditelantarkan, lagi??

Aku tak lagi mampu menulis sajak, saat tembok-tembok kardus dirubuhkan
Dan anak kecil beserta para wanita di barisan depan, menolak penggusuran
Setelahnya, berdirilah mal-mal metropolis yang menawarkan gemerlap dunia

Sungguh silau mata ini . . sungguh lemah jiwa ini . . sungguh, tak berguna aku ini . .
Hanya mampu memotret kehidupan kelam yang tergusur oleh gemerlapnya dunia indah
Hanya dapat menonton dan mengelus dada (simbol keprihatinan), hanya bisa diam . .

Diam? Ayolah . . kalian juga tau mulutku hingga berbusa memperjuangkan itu
Kalian juga lihat aku berdiri di garis depan, mengepalkan tangan kiriku
Tapi apa guna itu semua, hanya menguap di udara, jadi umpatan tak berdaya

Aku tak lagi mampu menulis sajak, tika para koruptor dibebaskan berwisata
Mengunjungi tempat-tempat hiburan, menghibur diri mereka hingga puas, tertawa-tawa!
Sementara, para penegak hukum hanya mampu melihat dan umbar pencitraan

Tapi sudahlah, tak ada baiknya juga aku berterus terang . .
Sebab sudah tak ada lagi terang yang bisa menjadi baik di negeri ini . .
Akhirnya sampailah aku pada simpulan dari gelisah yang menderaku ini, bahwa:
. . . Aku tak lagi mampu menulis sajak . . .

Kartasura, 12 Agustus 2015

TUHAN, KENAPA KAU ANUGERAHKANKU CINTA?
Pernahkah kau merasa mati, sendiri, dan ingin pergi? Semua rasa sakit yang mendera tak pernah bisa menghilang begitu saja
Kau tau aku sangat mencintaimu, namun seketika itu juga kau membunuhku dengan perasaan yang sama
Cinta dan benci, sungguh tipis sekali beda dua hal yang bertentangan itu
Bersamamu seperti menjadi orang yang sekarat, yang berbahagia sebelum perginya
Kamu memang satu-satunya orang yang kucintai, mungkin hingga saat ini
Dan kamu juga orang yang menyelamatkanku dengan cara membunuh hatiku
Kau adalah racun, sekaligus juga penawarnya
Apa yang selama ini ditawarkan cinta? Apa buah dari percintaan kita selama ini?
Dan apakah itu cinta sejati?
Mencintaimu itu . . mungkin merupakan sebuah kutukan
Iyaa, kutukan karena siapapun yang pernah mencintaimu pada akhirnya mereka mati karenamu, mati olehmu, atau mati sebab melindungimu . .
Beberapa dari mereka memang benar-benar mati, kau tau? Mati raganya, dan sukmanya menuju nirwana . .
Ada juga yang mati hati dan perasaannya, jiwanya telah menghilang, dan sekarang dia hanya jadi seorang mayat hidup yang tak punya tujuan, dan tak menginginkan apa-apa, kecuali membalaskan dendam kepadamu karena sudah kau bunuh
Kau tau seberapa besar inginku memuliakanmu, melindungimu, menjagamu, memelukmu setiap harinya, mengecupmu mesra sebelum mengawali kegiatan, dan tidur disampingmu memberikan mimpi indah padamu setiap hari, sedang kau bersandar di pundakku dengan tersenyum semanis bidadari
Hahahahaha, alangkah bodohnya aku ini, tolol, dungu, idiot, tak punya otak
Memang benar aku orang bodoh,karena hanya orang bodohlah yang masih mempertahankan cintanya padamu, sementara kau sendiri telah menghunuskan sembilu ke dalam dadanya, menancapkannya dalam-dalam lantas pergi meninggalkannya
Memang benar aku ini orang tolol, orang tolol yang masih percaya bahwa kita masih bisa hidup berbahagia, padahal kamu telah merenggut semua kebahagian kita, mengatainya impian tolol, sampah, omong kosong, tak berguna, lantas membuangnya ke comberan
Memang benar aku ini orang dungu, yang selalu menungguimu di temapt ini berharap suatu saat nanti kau akan kembali, padahal kau yang telah membuat kita tak bisa bertemu lagi, kau hidup di bumi sedang aku telah lama mati, kaubunuh!
Aku memang orang idiot, orang idiot yang tidak sadar dan tidak menegrti bahwa dia telah terbunuh, jiwanya mengembara sendirian, sedang jasadnya hidup di dunia menjadi zombie
Dan mungkin aku ini tak punya otak, karena saat itu aku hanya diam dan menerima semua pisau dan sembilu yang kau tanjapkan, malah menggenggamnya erat-erat
Sungguh, kau telah mengakhiri hidupku tanpa perlu menembak hancur kepalaku, sungguh racun yang kau tusukkan pada waktu itu telah membunuhku perlahan-lahan dan sekarang hanya masalah waktu aku kan benar-benar mati nantinya
Aku tak mempunyai harapan apa-apa lagi, aku merasa tak berguna lagi hidupku ini, aku hanya menunggui kematianku dating menghampiri
Tuhan? Apakah kau mendengarkanku? Apakah kau masih peduli padaku?
Apakah aku boleh berbahagia? Apakah ada kehidupan yang membahagiakan sedang menungguku? Apakah aku boleh memohon padamu? Apakah aku layak tuk berbahagia? Apakah dosaku hingga kau menghukumku dengan hukuman yang sanggup kutanggung sendirian? Apakah amalanku hingga kau mengujiku dengan ujian yang aku tak sanggup membawanya sendirian? Apakah dunia ini hanya cercaan, sebuah kefanaan, fatamorgana yang menyilaukan pandangan mata saja? Apakah kebahagiaan itu palsu, semu, dan tidak benar-benar ada? Lantas untuk tujuan pap kau mempermainkan hambamu seperti ini? Ada maksud apa kau menyiksanya hingga sedemikian ini?
Dan kenapa kau sangat tega memberikan kami luka-luka, terus saja memberikan banyak luka, dan memberi sedikit penawarnya, menunda kematian kami, tuk kemudian kau menyiksanya lagi, mengujinya lagi, hingga kami tak mau lagi hidup, hingga kami menyerah dan tak punya lagi tujuan hidup, dan setelah manusia merasakan itu, kau memberinya obat yang berupa kabahagiaan semu lagi, tapi kami sudah kebal dengan obatmu, kami sudah kebal dan penyakit kami hanya tinggal menunggu waktu, kami sebentar lagi mati, tapi kau menyiksa kami dengan memberikan kebahagiaan semu, menjebak pemikiran kami.
Meminumkan sedikit madu dan memberitahu bahwa kami akan sembuh, lalu kemudian saat kami percaya kau tidak berbohong, dan kau bukanlah pendusta, saat kami percaya bahwa kau maha adil dan memebrikan pelajaran yang baik bagi hidup kami, saat kami percaya bahwa harapan dan cita-cita yang kami anggap palsu itu akhirnya akan kau wujudkan, di saat itulah kau mencabut nyawa kami, melemparkannya ke jurang keputusasaan yang terdalam, membuat kami kembali membuka mata kami, bahwa ini hanya permainan dan olok-olokan semata . . Kami tahu, kau adalah penguasa kami, pelindung kami, kau adalah pemeberi kehidupan pada kami, kami tau kau juga yang menjamin rezeki kami, kau juga telah menentukan jalan dan takdir kami . . Kau adalah segala-galanya bagi kami, kami tau hal itu, kami juga tau dan percaya bahwa kau adalah dzat yang maha kuasa, maha adil dan bijaksana . . Tapi, jika kau memang berkuasa, jika kau memang maha segalanya dank au maha memiliki apapun di langit dan bumi ini, bahkan kamipun hanya hambamu yang tak mempunyai daya apa-apa, jika itu semua benar, kenapa kau mempermainkan kami, apa tujuanmu yang sebenarnya dengan menciptakan kami, kenapa kau menghidupkan kami menyuruhnya belajar, menyuruhnya bekerja, menyuruhnya mencari mimpi-mimpi, kemudian menjatuhkannya ke dalam jurang keputusasaan, apa yang sebenarnya kau lakukan kepada kami, apakah kami hanya mainan bagi pertunjukkanmu yang luar biasa spektakuler? Apakah hidup kami berharga, kau maha berkuasa lantas apa tujuanmu mempermainkan kami, apa tendesimu menciptakan kami, apa yang kau inginkan dari kami, apa yang ingin kau buktikan, apa? Bahwa kau luar biasa, bahwa kau maha kuasa, bahwa kau pemilik segalanya, bahwa saat kau berkehendak apapun itu, itulah yang akan terjadi, bahwa kau yang memegang kunci pementasan ini, bahwa kau adalah sang maha sutradara?
Iyaa!!! Kami tau itu, kami sungguh-sungguh tau itu, bahwa kau pemilik kami, kau maha berkuasa, terhadapa kami, kau bebas mau memperlakukan kami seperti apa juga? Tapi, apakah itu layak, apakah itu pantas, kami sadar kami hanyalah hambamu, yang tidak memiliki daya apappun bahkan pada hidup kami sendiri, jika begitu kenapa ada sakit, jika seperti itu kenapa harus ada bahagia, kenapa harus ada surga dan neraka? Kenapa? Kenapa? Kami harus punya harapan, kenapa? Kenapa kami harus hidup, kenapa? Kenapa kami harus mati, kenapa? Kenapa kami harus mendapatkan penyiksaanmu kenapa? Kenapa kami harus menerima kebahagiaan darimu kenapa?
Kenapa harus ada kami, kenapa kau ciptakan kami, hanya untuk saling melukai satu sama lain, dan kenapa cinta kami kau jadikan sebuah penguburan, kenapa?
Kenapa kau jadikan cinta sebagai alat pembunuh yang paling indah, kenapa? Kenapa?
Kartasura, 14 Agustus 2015


Maha Cintaku
Oh Penyayangku
                                                                                    Oh Pelindungku
                                                                        Oh Pemilik Hatiku
                                                            Oh Penguasa Jiwaku
                                                Oh Pemberi Rezekiku
                                    Oh Maha Pemurahku, Hidupku
                        Oh Pemilik Seluruh Pengetahuanku
                                    Oh Maha Mengetahui Keadaanku
                                                Oh Keinginanku, Harapanku
                                                            Oh Maha Pengabul Do’a-do’aku
                                                                        Oh Nuraniku, Kalbuku, Sukmaku
                                                                                    Oh Kebahagiaanku, Kesedihanku
                                                                        Oh Pengampunku, Rajaku
                                                            Oh Semestaku, Duniaku
                                                Oh Pemilik Kekuasaanku
                                    Oh Penggenggam Takdirku
Oh Sumber Kekuatanku
            Oh Penciptaku, Pemeliharaku
                        Oh Gustiku, Puang Ta’alaku
                                    Oh Cahayaku, Kegelapanku
                                                Oh Surgaku, Kesenanganku
Oh Cintaku, Maha Cintaku
. . Tunjukkanlah terang-Mu kepadaku, terangilah hatiku dengan Maha Cahya-Mu . .
. . Duhai Pembolak-balik hatiku, tetapkanlah kalbuku senantiasa mengabdi pada-Mu . .
. . Wahai Segalaku, Daya dan Upayaku, Tuntunlah Jiwaku masuk kedalam Surgamu . .
Kartasura, 13 Agustus 2015



Secangkir Jahe di Pagi Buta

Yaang?
Masihkah kau ingat aroma jahe pagi itu?
Tika itu kau baru saja bangun
Dan akupun masih bertelanjang dada

Pergulatan kita malam hari tadi, sungguh menguras energi kehidupanku
Untunglah ada kamu, dan kamu memang tidak pernah terlambat . . jika saja kamu terlambat
Aku tidak tahu akan berakhir di belahan bumi yang mana lagi, diriku ini?
Atau cukuplah bagiku berakhir di belahan dadamu saja? Sembari . .
Mendendangkan puisi romansa, yang selanjutnya membuat adrenalinmu terpacu kencang

Yaang? Terlalu kekanak-kanakan kah? tika kupanggili kamu dengan intonasi yang manja?
Maaf! jikaku selalu merindumu, setiap jam,tiap menit, dan tiap detiknya . .
Semoga hal itu tidak membuat kamu marah dan tidak pula memberatkanmu . .
Andaikata kamu memarahiku? aku tidak keberatan, aku bahagia kamu menaruh perhatian . .
Sejurus memandangmu! Aku tercenung dan jadi bego melihat sikapmu yang demikian, tapi . .
Kemudian kamu nangis sesenggukan, nampaklah raut wajah cemberutmu itu dihadapanku
Biasanya aku mencibirmu, dan mengataimu “anak cengeng!” tapi jauh di dalam hatiku . .

Aku bersyukur, sungguh sangat bersyukur memiliki kamu yang waktu itu . .
Kamu? Iya kamu? Dan hanya kamu seorang! . . aku tak berharap punya wanita, kecuali kamu
Jika mengingatnya aku ingin tertawa lebar-bebas, melepas semuanya
Kemudian kembali menangis tergugu diatas pusaramu, yang kini berjamur dan tlah berlumut
Aku Rindu Kamu! Hidupku sungguh Absurd tanpa kamu mengisi hari-hariku
Napas hidupku-pun serasa pergi kau bawa lari, dosakah aku bila ingin hidup bersamamu?
Tolong sampaikan maafku kepada Tuhan, karena aku melihat wajah-Nya dalam dirimu
Aah, memandangi senja slalu buatku merasa hampa . . tak tau kenapa?
Mungkin bahagia? Mungkin juga bersimbah darah? Sebab merinduimu tlah menjadi hobiku
Kebiasaan itu tak berubah, dan membuatku sakit-sakitan . . hingga sekarang
Sepoi angin di petamanan membelaiku mesra aku terdiam! Tapi, di ulu hati ada yang berdesir
Sungguh keadaan ini membuatku kurus kering, daya hidupku-pun hanya tinggal sisa-sisa . .
Kemudian aku bangkit! Aku kembali bergairah! Aku bergairah, untuk mencarimu!
Iyaa! Aku mencarimu! Mencarimu dimana-mana! Mencarimu, kemanapun juga!
Namun aku gagal, aku tak menemukanmu dimana-mana, aku tak menemukanmu dimanapun!

Kamu hilang! Kamu pergi! Kamu tidak ada! Kamu benar-benar, sungguh tidak ada!
Namun, aku tak berhenti, aku tetap mencarimu . . dan suatu ketika semesta menangis
Semesta menangis dan memohon maaf padaku, karena telah mengambilmu lebih dulu
Barulah kusadari, semuanya tlah berakhir . . sesaat, aku menjadi terlalu mati tuk merasa sakit
Kini aku tahu mengapa setiap aku keluar rumah, hujan selalu turun membasahi jalanan
Ternyata, alam mengabarkan padaku bahwa kamu telah menguap menjadi partikel berjuta
Menyatu bersama udara yang kuhirup setiap harinya, melebur di keabadian, jadi semesta . .

Yaang? Masihkah kau memujaku?
Masih bergelorakah hasratmu tuk mencumbuku semalam suntuk?
Hanya sekedar informasi, aku kini tak lagi tampan . .
Rambutku yang dulu lebat, kini mengalami kebotakan . .
Kulitku yang segar dan kuning langsat - berubah menjadi gelap, kurus kering, dan memucat
Jika itu benar, masihkah kau menginginkanku, sama seperti pertama kali kita berjumpa dulu?
Hhmmm . . Aku kembali teringat hari itu, hari dimana aroma jahe menjadi berjuta perasaan
Benar, Aroma Jahe di Pagi Buta itu? Aroma mewangi yang mengantarmu ke Hadirat-Nya . .
Kartasura, 11 Agustus 2015

No comments:

Post a Comment