Saturday, 2 April 2016

Kampung Kemlayan dan Korea Selatan (Idnas Aral)

Kemlayan, adalah salah satu kelurahan di wilayah Surakarta. Kemlayan memiliki sebuah sejarah, yakni merupakan kampung para pengrwait. Tapi sekarang tidak !
Mengapa di negaraku segala hal baik selalu tidak berlanjut?

Kemlayan adalah salah satu bukti bahwa pemerintahan yang berkuasa dulu telah memahami pentingnya kebudayaan. Dibuatlah sebuah kampung laborat gamelan dengan mengumpulkan para seniman karawitan di berbagai desa untuk hidup dan dihidupi oleh keraton.
Dari kebijakan tersebut maka seniman dapat fokus untuk menciptakan karya yang berkualitas. Maka berkembang hebatlah gamelan yang lahir dari kebudayaan kita sendiri.
Melihat sejarah itu dan menilik keadaan sekarang, membuat saya bertanya, “kenapa kita tidak mau mengambil hal baik dari pendahulu kita?
Orang berbeda-beda, maka berbeda pula bakatnya, tentu akan berbeda lagi profesinya. Seniman berbeda dengan pedagang, maka seniman jangan dipaksa bertahan hidup dengan dagang. Karena akan sama halnya dengan pedagang yang disuruh latihan kesenian, tentu keteteran bisnisnya.
Tapi sungguh teramat sudah kapitalis negeriku ini, bahkan lebih kapitalis dari negara-negara yang melahirkan ideologi kapitalis. Segala orang di negeriku harus jadi pedagang kalau mau bertahan hidup. Entah ia pedagang, politikus, budayawan, seniman, semua harus dagang kalau mau makan.
Maka, yang terjadi sekarang seniman yang dianggap berhasil ialah yang menguasai 90% bisnis dan 10% seni.
Saya tidak ingin menilai keberhasilan kesenimanan dari materi yang didapatkan. Tapi permasalahannya adalah kualitas seni yang akhirnya terbanting habis-habisan. Seniman-seniman yang idealis jadi terkikis, entah tak lahir lagi atau hijrah ke arah entertain. Alasannya mengikuti selera pasar, artinya mengikuti apa yang diinginkan kebanyakan orang, artinya bukan lagi proses kreatif seni dong, itu proses kreatif dodolan!
Lhoh! Apa artinya berpikir jika tuntutannya hanya sekedar kepinginan banyak orang. Lalu apa ada yang akan ditawarkan untuk kehidupan?
Saya kasih contoh kasus nyata. Ada dua orang seniman tari, yang satu idealis yang satu punya strategi bisnis. Si idealis masih berkesenian sampai sekarang tetapi hanya dalam satu lingkup kecil, maka kesenian yang terepresentasi darinya hanya didapat oleh masyarakat dalam lingkup kecil. Sedang si bisnis, ia pentas kemana-mana, bikin sanggar di mana-mana, program dimana-mana. Si bisnis mampu menjadi representasi kesenian dalam lingkup besar dibanding si idealis. Padahal jika kita mau mengkritisi cara berkesenian dalam prespektif kualitas, atau bahkan laku keseharian (si bisnis tiap hari mabuk!) tentu akan kita katakan bahwasanya Si idealis lebih total dalam berkesenian bila dibanding si Bisnis. Tapi apa? Lebih banyak masyarakat yang belajar kesenian pada si Idealis.
Yang terjadi terjadilah, maka jangan banyak berharap kebudayaan akan berkembang ke arah yang lebih baik
Siapa yang bersalah? Tentu pemerintah! Karena cara pemerintah mengolah kebudayaan salah kaprah. Perkembangan global memang memuncakkan aspek ekonomi di atas segala aspek, dan salah kaprah jika pemerintah hanya menimpakan keadaan internasional kepada masyarakat begitu saja tanpa mengolah dan bersifat melindungi. Jika tidak, apa gunanya kita bayar pajak untuk membayar mereka?
Kita lihat Korea Selatan! Kesenian hasil dari kebudayaan mereka telah berhasil bersaing dengan Amerika dan Jepang. Jangan hanya menyebut itu keberuntungan jaman, itu hasil kerja keras menahun. Pemerintah Korea Selatan mempunyai kebijakan untuk membiayai seniman mereka secara besar-besaran. Maka profesi seniman menjadi pilihan, dan para seniman bisa fokus pada proses kreatifnya tanpa dipusingkan proses jualannya. Akhirnya kini telah mereka petik sistem kebijakan yang tepat itu. Kini banyak negara-negara asia yang menjadi konsumen kesenian mereka.
Sejarah kebijakan keraton dengan membuat laboratorium karawitan di Kampung Kemlayan dan keberhasilan Korea Selatan, dan kita yang masih begini-begini saja. Sementara perang kebudayaan semakin dahsyat karena arus informasi dunia maya yang semakin berkembang.
Strategi kebudayaan harus segera disusun, karena kita sudah terlalu terlambat. Jika masih berpikir bahwasanya pentingnya kebudayaan berada di bawah aspek ekonomi, maka kau benar-benar pemerintah purba di dunia modern ini. Atau sebenarnya kau adalah pedagang yang sedang menjabat di pemerintahan?  

28 Maret 2016

No comments:

Post a Comment