Kemlayan, adalah salah satu kelurahan di wilayah
Surakarta. Kemlayan memiliki sebuah sejarah, yakni merupakan kampung para
pengrwait. Tapi sekarang tidak !
Mengapa di
negaraku segala hal baik selalu tidak berlanjut?
Kemlayan adalah salah satu bukti bahwa pemerintahan yang
berkuasa dulu telah memahami pentingnya kebudayaan. Dibuatlah sebuah kampung
laborat gamelan dengan mengumpulkan para seniman karawitan di berbagai desa
untuk hidup dan dihidupi oleh keraton.
Dari kebijakan tersebut maka seniman dapat fokus untuk
menciptakan karya yang berkualitas. Maka berkembang hebatlah gamelan yang lahir
dari kebudayaan kita sendiri.
Melihat
sejarah itu dan menilik keadaan sekarang, membuat saya bertanya, “kenapa kita
tidak mau mengambil hal baik dari pendahulu kita?
Orang berbeda-beda, maka berbeda pula bakatnya, tentu
akan berbeda lagi profesinya. Seniman berbeda dengan pedagang, maka seniman
jangan dipaksa bertahan hidup dengan dagang. Karena akan sama halnya dengan
pedagang yang disuruh latihan kesenian, tentu keteteran bisnisnya.
Tapi sungguh teramat sudah kapitalis negeriku ini, bahkan
lebih kapitalis dari negara-negara yang melahirkan ideologi kapitalis. Segala
orang di negeriku harus jadi pedagang kalau mau bertahan hidup. Entah ia
pedagang, politikus, budayawan, seniman, semua harus dagang kalau mau makan.
Maka, yang
terjadi sekarang seniman yang dianggap berhasil ialah yang menguasai 90% bisnis
dan 10% seni.
Saya tidak ingin menilai keberhasilan kesenimanan dari
materi yang didapatkan. Tapi permasalahannya adalah kualitas seni yang akhirnya
terbanting habis-habisan. Seniman-seniman yang idealis jadi terkikis, entah tak
lahir lagi atau hijrah ke arah entertain. Alasannya mengikuti selera pasar,
artinya mengikuti apa yang diinginkan kebanyakan orang, artinya bukan lagi
proses kreatif seni dong, itu proses kreatif dodolan!
Lhoh! Apa
artinya berpikir jika tuntutannya hanya sekedar kepinginan banyak orang. Lalu
apa ada yang akan ditawarkan untuk kehidupan?
Saya kasih contoh kasus nyata. Ada dua orang seniman
tari, yang satu idealis yang satu punya strategi bisnis. Si idealis masih
berkesenian sampai sekarang tetapi hanya dalam satu lingkup kecil, maka
kesenian yang terepresentasi darinya hanya didapat oleh masyarakat dalam lingkup
kecil. Sedang si bisnis, ia pentas kemana-mana, bikin sanggar di mana-mana,
program dimana-mana. Si bisnis mampu menjadi representasi kesenian dalam
lingkup besar dibanding si idealis. Padahal jika kita mau mengkritisi cara
berkesenian dalam prespektif kualitas, atau bahkan laku keseharian (si bisnis
tiap hari mabuk!) tentu akan kita katakan bahwasanya Si idealis lebih total
dalam berkesenian bila dibanding si Bisnis. Tapi apa? Lebih banyak masyarakat
yang belajar kesenian pada si Idealis.
Yang
terjadi terjadilah, maka jangan banyak berharap kebudayaan akan berkembang ke
arah yang lebih baik
Siapa yang bersalah? Tentu pemerintah! Karena cara
pemerintah mengolah kebudayaan salah kaprah. Perkembangan global memang
memuncakkan aspek ekonomi di atas segala aspek, dan salah kaprah jika
pemerintah hanya menimpakan keadaan internasional kepada masyarakat begitu saja
tanpa mengolah dan bersifat melindungi. Jika tidak, apa gunanya kita bayar
pajak untuk membayar mereka?
Kita lihat Korea Selatan! Kesenian hasil dari kebudayaan
mereka telah berhasil bersaing dengan Amerika dan Jepang. Jangan hanya menyebut
itu keberuntungan jaman, itu hasil kerja keras menahun. Pemerintah Korea
Selatan mempunyai kebijakan untuk membiayai seniman mereka secara
besar-besaran. Maka profesi seniman menjadi pilihan, dan para seniman bisa
fokus pada proses kreatifnya tanpa dipusingkan proses jualannya. Akhirnya kini
telah mereka petik sistem kebijakan yang tepat itu. Kini banyak negara-negara
asia yang menjadi konsumen kesenian mereka.
Sejarah kebijakan keraton dengan membuat laboratorium
karawitan di Kampung Kemlayan dan keberhasilan Korea Selatan, dan kita yang
masih begini-begini saja. Sementara perang kebudayaan semakin dahsyat karena
arus informasi dunia maya yang semakin berkembang.
Strategi kebudayaan harus segera disusun, karena kita
sudah terlalu terlambat. Jika masih berpikir bahwasanya pentingnya kebudayaan
berada di bawah aspek ekonomi, maka kau benar-benar pemerintah purba di dunia
modern ini. Atau sebenarnya kau adalah pedagang yang sedang menjabat di
pemerintahan?
28 Maret 2016
No comments:
Post a Comment