SEBUAH LANGKA DI DALAM KELANGKAAN
Penunjukan
terhadap saya oleh penulis untuk mengisi pengantar di buku ini adalah karena
saya pernah melihat naskah ini dipentaskan tempo waktu. Tetapi setelah menimbang
di dalam diri, akhirnya saya putuskan; buku ini akan saya hantarkan sebagai
karya sastra.
Maka
tulisan ini lepas; dari pengalaman saya melihat pertunjukanya kala itu.
Memang
biar begini.
Dalam
upaya pembukuan sebuah naskah lakon, bagi saya adalah upaya pelebaran sayap
gagasan penulis lakon. Sehingga gagasan memiliki alternatif di luar harus
menunggu teks mengalami proses penggarapan oleh sebuah kelompok, lalu mewujud
sebagai sebuah pertunjukan dan baru disampaikan sebagai tontonan. Ini adalah
tentang membuka kemungkinan, maka saya rangkakan tulisan ini untuk mendukung
daya mungkin itu.
Saya
melihat kebanyakan bentuk fisik naskah lakon yang tersebar berupa kertas foto
copy-an, dijilid sederhana dengan steples, dan baru digunakan ketika akan
digarap sebagai sebuah pertunjukan. Cara membacanya pun biasanya dengan dibaca
keras atau malah dengan berteriak-muncrat—karena berada didalam rangkaian
latihan teater. Maka tak heran jika kan kita jumpai arsip naskah-naskah lakon
dalam wujud mengenaskan, seakan usai berperang.
Sebagai
sebuah buku, naskah lakon harapan saya ialah sanggup berdiri sejajar dengan
buku puisi maupun novel, dengan menawarkan cita rasa pembacaan sendiri. Sebagaimana
kita tahu banyak penulis-penulis besar yang juga menulis naskah lakon selain
menulis puisi atau novel, meski secara jumlah tetap lebih sedikit. Meski
sedikit, tetapi selalu ada di setiap zaman, kenapa? Anda akan memiliki jawaban
sendiri setelah membacanya.
Membaca
naskah lakon ialah membuat pertunjukan di dalam diri.
Ketika
membaca sebuah teks lakon, otomatis kita mereka-reka adegan demi adegan yang
telah dituliskan oleh penulis. Pertunjukan itu pun menjadi pertunjukan ideal
bagi kita, bahkan bisa jadi merupakan representasi diri kita ketika berdiri
sebagai sutradara pertunjukan. Meskipun di dalam praktik perwujudannya sebagai pertunjukan
adalah rumusan yang berbeda dan toh bukanlah keharusan. Jadi membacanya lalu
selesai, dan sudah adalah mungkin dan memiliki tawaran tersendiri.
Bajing Ketapang karya Oki Dwi Cahyo
Sebuah
lakon yang diangkat dari novel Max Havelar karya Multatuli ini ialah sebuah
karya yang bisa dikata “langka di dalam kelangkaan”. Saya kata langka sebab,
proses adaptasi dari sebuah novel merupakan perjalanan menulis dengan “napas
panjang”. Semakin saya kata lebih, sebab novel Max Havelar merupakan novel yang
beberapa kali gagal saya selesaikan membacanya. Bukan lantaran ketebalannya,
tetapi (meski belum saya yakini) ada alih bahasa yang tidak berhasil merebut
keberlanjutan saya untuk menyelesaikan. Sedang Oki tidak hanya telah menyelesaikan
membacanya, tetapi juga menghasilkan karya sastra yang didapat setelah
pembacaan. Terlepas dari pengalaman ketidakselesaian saya dengan “Max Havelar”,
dalam adaptasi terhadap novel memang memerlukan “nafas-panjang”, sebab meskipun
batasan adaptasi itu bebas tetapi “koridor-tataran” adaptasi itu tentu tetap
menjadi semacam rambu-rambu pertanggung-jawaban karya di ranah pribadi
sekalipun. Maka saya sebut ini adalah sebuah hasil dari “nafas panjang”
penulis, sebab semacam pilihan kekaryaan yang memilih jalan panjang yang
berambu-rambu adaptasi.
“Nafas
panjang sebagai penulis” saya sebut langka, sebab menilik penulis ialah
generasi yang tumbuh di era SMS dan berlanjut Chatting. Sebuah zaman yang serba cepat menyampaikan; tak perlu
pikir panjang; tak perlu membaca dengan seksama terlebih dahulu; tak perlu
berpanjang lebar; segalanya menghamba pada kecepatan-kecepatan. Maka macam
karya tersebut ialah langka di dalam kelangkaan. “Di dalam kelangkaan”,
sebagaimana yang telah saya sebutkan bahwa kemunculan naskah lakon baru adalah
sedikit. Tetapi karena ini adalah sebuah karya yang baru kelangkaan tersebut
bisa menuju “kebaruan” tergantung bagaimana nanti karya ini dinilai oleh
zamannya.
Ada
kemerdekaan di dalam rambu-rambu.
Selain
rambu-rambu konteks adaptasi, tidak lupa juga bahwa naskah ini dibuat untuk
memungkinkan terealisasi di dalam sebuah pertunjukan. Meski saya telah menyebut
di atas; bahwa naskah lakon bisa dinikmati sebagai bacaan dan selesai. Tetapi
di dalam niatan menulis naskon tetap tak bisa dipungkiri soal-soal
terealisasikannya naskah di dalam pertunjukan. Berbeda dengan novel, yang
memungkinkan penulisnya menuangkan gagasannya melalui kata-kata yang melimpah
dan berkenes-kenes. Naskah lakon selalu mengingat batas-batas panggung, baik
durasi maupun pilihan kata untuk lisan dan kata untuk tulisan.
Justru
dalam keterbatasan tersebut biasanya lahirlah daya kreatif penulis lakon.
Sebagaimana di dalam lakon “Bajing Ketapang” yang merupakan adaptasi dari novel
tersebut, penulis meraih kemerdekaannya; sehingga tidak hanya Max Havelar
dengan setting masa kolonial, tetap ada Munir, ada Whatssap, ada Line dan ada
kebebasan di dalam batasan.
Sebab
telah sampai pada soal kemerdekaan dan kebebasan, tulisan ini harus segera
diakhiri. Sehingga saya persilahkan pembaca untuk segera merdeka dan bebas
untuk menikmati buku ini.
Selamat
membaca dan menyaksikan “Bajing Ketapang” karya Oki Dwi Cahyo di dalam diri!
Idnas Aral
Pasar Bubrah, 4 Januari 18
No comments:
Post a Comment