Friday, 23 February 2018

SEBUAH LANGKA DI DALAM KELANGKAAN


SEBUAH LANGKA DI DALAM KELANGKAAN

Penunjukan terhadap saya oleh penulis untuk mengisi pengantar di buku ini adalah karena saya pernah melihat naskah ini dipentaskan tempo waktu. Tetapi setelah menimbang di dalam diri, akhirnya saya putuskan; buku ini akan saya hantarkan sebagai karya sastra.

Maka tulisan ini lepas; dari pengalaman saya melihat pertunjukanya kala itu.
Memang biar begini.


Dalam upaya pembukuan sebuah naskah lakon, bagi saya adalah upaya pelebaran sayap gagasan penulis lakon. Sehingga gagasan memiliki alternatif di luar harus menunggu teks mengalami proses penggarapan oleh sebuah kelompok, lalu mewujud sebagai sebuah pertunjukan dan baru disampaikan sebagai tontonan. Ini adalah tentang membuka kemungkinan, maka saya rangkakan tulisan ini untuk mendukung daya mungkin itu.

Saya melihat kebanyakan bentuk fisik naskah lakon yang tersebar berupa kertas foto copy-an, dijilid sederhana dengan steples, dan baru digunakan ketika akan digarap sebagai sebuah pertunjukan. Cara membacanya pun biasanya dengan dibaca keras atau malah dengan berteriak-muncrat—karena berada didalam rangkaian latihan teater. Maka tak heran jika kan kita jumpai arsip naskah-naskah lakon dalam wujud mengenaskan, seakan usai berperang.

Sebagai sebuah buku, naskah lakon harapan saya ialah sanggup berdiri sejajar dengan buku puisi maupun novel, dengan menawarkan cita rasa pembacaan sendiri. Sebagaimana kita tahu banyak penulis-penulis besar yang juga menulis naskah lakon selain menulis puisi atau novel, meski secara jumlah tetap lebih sedikit. Meski sedikit, tetapi selalu ada di setiap zaman, kenapa? Anda akan memiliki jawaban sendiri setelah membacanya.

Membaca naskah lakon ialah membuat pertunjukan di dalam diri.
Ketika membaca sebuah teks lakon, otomatis kita mereka-reka adegan demi adegan yang telah dituliskan oleh penulis. Pertunjukan itu pun menjadi pertunjukan ideal bagi kita, bahkan bisa jadi merupakan representasi diri kita ketika berdiri sebagai sutradara pertunjukan. Meskipun di dalam praktik perwujudannya sebagai pertunjukan adalah rumusan yang berbeda dan toh bukanlah keharusan. Jadi membacanya lalu selesai, dan sudah adalah mungkin dan memiliki tawaran tersendiri.

Bajing Ketapang karya Oki Dwi Cahyo
Sebuah lakon yang diangkat dari novel Max Havelar karya Multatuli ini ialah sebuah karya yang bisa dikata “langka di dalam kelangkaan”. Saya kata langka sebab, proses adaptasi dari sebuah novel merupakan perjalanan menulis dengan “napas panjang”. Semakin saya kata lebih, sebab novel Max Havelar merupakan novel yang beberapa kali gagal saya selesaikan membacanya. Bukan lantaran ketebalannya, tetapi (meski belum saya yakini) ada alih bahasa yang tidak berhasil merebut keberlanjutan saya untuk menyelesaikan. Sedang Oki tidak hanya telah menyelesaikan membacanya, tetapi juga menghasilkan karya sastra yang didapat setelah pembacaan. Terlepas dari pengalaman ketidakselesaian saya dengan “Max Havelar”, dalam adaptasi terhadap novel memang memerlukan “nafas-panjang”, sebab meskipun batasan adaptasi itu bebas tetapi “koridor-tataran” adaptasi itu tentu tetap menjadi semacam rambu-rambu pertanggung-jawaban karya di ranah pribadi sekalipun. Maka saya sebut ini adalah sebuah hasil dari “nafas panjang” penulis, sebab semacam pilihan kekaryaan yang memilih jalan panjang yang berambu-rambu adaptasi. 
“Nafas panjang sebagai penulis” saya sebut langka, sebab menilik penulis ialah generasi yang tumbuh di era SMS dan berlanjut Chatting. Sebuah zaman yang serba cepat menyampaikan; tak perlu pikir panjang; tak perlu membaca dengan seksama terlebih dahulu; tak perlu berpanjang lebar; segalanya menghamba pada kecepatan-kecepatan. Maka macam karya tersebut ialah langka di dalam kelangkaan. “Di dalam kelangkaan”, sebagaimana yang telah saya sebutkan bahwa kemunculan naskah lakon baru adalah sedikit. Tetapi karena ini adalah sebuah karya yang baru kelangkaan tersebut bisa menuju “kebaruan” tergantung bagaimana nanti karya ini dinilai oleh zamannya.
Ada kemerdekaan di dalam rambu-rambu.

Selain rambu-rambu konteks adaptasi, tidak lupa juga bahwa naskah ini dibuat untuk memungkinkan terealisasi di dalam sebuah pertunjukan. Meski saya telah menyebut di atas; bahwa naskah lakon bisa dinikmati sebagai bacaan dan selesai. Tetapi di dalam niatan menulis naskon tetap tak bisa dipungkiri soal-soal terealisasikannya naskah di dalam pertunjukan. Berbeda dengan novel, yang memungkinkan penulisnya menuangkan gagasannya melalui kata-kata yang melimpah dan berkenes-kenes. Naskah lakon selalu mengingat batas-batas panggung, baik durasi maupun pilihan kata untuk lisan dan kata untuk tulisan.

Justru dalam keterbatasan tersebut biasanya lahirlah daya kreatif penulis lakon. Sebagaimana di dalam lakon “Bajing Ketapang” yang merupakan adaptasi dari novel tersebut, penulis meraih kemerdekaannya; sehingga tidak hanya Max Havelar dengan setting masa kolonial, tetap ada Munir, ada Whatssap, ada Line dan ada kebebasan di dalam batasan.

Sebab telah sampai pada soal kemerdekaan dan kebebasan, tulisan ini harus segera diakhiri. Sehingga saya persilahkan pembaca untuk segera merdeka dan bebas untuk menikmati buku ini.

Selamat membaca dan menyaksikan “Bajing Ketapang” karya Oki Dwi Cahyo di dalam diri!

Idnas Aral
Pasar Bubrah, 4 Januari 18

No comments:

Post a Comment