Showing posts with label wedangan. Show all posts
Showing posts with label wedangan. Show all posts

Thursday, 22 February 2018

WEDANGAN TEATER II MASIH BERLANGSUNG DI DALAM CATATAN


WEDANGAN TEATER II MASIH BERLANGSUNG DI DALAM CATATAN

Catatan 2 (seusai membaca tulisan Yudi Dodok dan Imamah)

Senang rasanya mendapati kesudian kedua orang tersebut menuliskan peristiwa wedangan kemarin. Tulisan mereka tidak mengada-ada, sebab keduanya hadir di peristiwa yang dituliskannya. Sebab rasa senang tersebut, saya baca beberapa kali lalu saya menulis catatan ini.

Begini.

Ketika saya menyebut kata Tuhan, itu bukanlah Tuhan, hanya sekedar persepsi saya mengenai Tuhan. Begitu pula ketika saya ketik di tulisan ini kata ‘kursi’, deretan huruf tersebut bukan lah kursi, hanya sekedar simbol yang kita sepakati untuk menunjuk sebuah benda yang sering difungsikan untuk tempat duduk. Maka ketika saya menyebut soal “realitas, identitas, Gigok Anurogo, Wedangan, dan Teater”, itupun tentu bukanlah “realitas, identitas, Gigok Anurogo, Wedangan, dan Teater” tetapi hanya persepsi saya mengenai hal-hal tersebut. Tetapi sebab kita musti berkomunikasi, persepsi-persepsi tersebut tidak bisa untuk tidak disampaikan untuk menunjuk pada hal yang sedang dibicarakan. Terlebih di dalam konteks Wedangan Teater yang salah satu titik tumpunya ialah komunikasi.

Adalah sebuah “ketidakmungkinan” untuk kita mampu untuk mengungkapkan suatu abstraksi sosial yang bernilai universal dan esensial. Tetapi pada saat yang sama kita takkan sanggup menghindarkan diri untuk memperkatakan persoalan tersebut. Untuk itulah ada dialog untuk menjembatani “ketidakmungkinan” itu. Sebab itu saya pun juga setuju kepada mas Dodok bahwa identitas tidak akan bersifat esensial dan universal.

Saya membuka dengan tulisan di atas tanpa pusing dan saya anggap sebagai cara saya berterimakasih terhadap kesudian bung dan nona menuliskan acara wedangan teater dan inilah dialog saya.

Rasanya masih berwedangan teater.

Saya tidak tahu apakah tulisan dari mas Dodok dan Imamah lahir setelah melalui persinggungan dengan tulisan-tulisan saya sebelumnya. Yang jelas, tulisan saya kali ini lahir sebab kedua tulisan tersebut. Tulisan mas Dodok, adalah bagian dari dialog wedangan teater, meski telah berada di luar jam acara. Sebagaimana juga tulisan dari notulen acara, yakni Imamah, yang juga saya baca malam ini. Juga beberapa komentar panjang yang menanggapi tulisan saya (mas Popo, mas Pur, mas Bei, dll). Dialog-dialog tersebut saya dapati berwujud tulisan yang memiliki sifat yang membawa sebuah peristiwa di satu masa ke beberapa masa yang berbeda (sekarang dan esok). Itulah pemaknaan saya terhadap dialog-dialog di dalam catatan tersebut. Ini kali pertama saya merasakan situasi seperti ini di dalam konteks perteateran Surakarta.

Bukan berarti adalah klaim bahwa ini pertama kali.

Sudah pasti akan ada yang berkata “dulu itu sudah pernah”. Sebagaimana sekitar 3 tahun yang lalu pernah saya mengunjungi seorang penulis untuk menyampaikan harapan; agar kawan-kawan penulis sudi menjadikan teater sebagai salah satu wilayah tulisannya. Tetapi jawaban yang saya dapat; dulu itu sudah pernah. Maka saya pulang dan menyampaikan pada kelompok saya untuk membuat blog dan menuliskan sendiri catatan teaternya. Dan dalam kesempatan catatan ini, saya sampaikan, mari kita menuliskan catatan teater di sekitar kita.

Begitu juga, tentang wacana Wedangan Teater, tanggapan berupa “dulu sudah pernah” juga muncul. Bukan berarti menutup diri dengan sejarah, tetapi setahu saya, saat ini perlu dicari lagi formula dialog penjembatan untuk merayakan perbedaan-perbedaan persepsi mengenai teater secara terbuka dan sehat dengan artikulasi zaman ini. Dan pemaknaan terbuka dan sehat tersebut saya kembalikan kepada Wedangan Teater dan benak masing-masing untuk bebarengan mencarinya.

Salah satu usaha tersebut barangkali, melalui catatan.

Berangkat dari sifat wedangan teater yakni membuka kemungkinan. Maka salah satu kemungkinan tersebut yang ternyata lahir adalah catatan-catatan. Sebagaimana tulisan-tulisan dari orang-orang yang saya sebut di atas, maka kemungkinan yang mungkin bisa berlanjut adalah dimulainya dialog-dialog teater berupa catatan. Seperti halnya tulisan ini yang berdialog dengan tulisan mas Dodok. Saya rasa itupun masih merupakan wedangan teater yang telah lepas secara ruang dan waktu tetapi masih tetap konteks, dan berangkat dari hal yang sama.

Wedangan Teater dapat berupa dialog melalui catatan.

Jika tidak boleh dikatakan sebagai wadah dari catatan-catatan teater, setidaknya bisa kita ambil polanya saja. Yakni saling mencatat dan menanggapi peristiwa atau gagasan teater di wilayah Surakarta dalam bentuk tulisan. Jika hal tersebut dapat berlanjut dan tidak menutup kemungkinan untuk berkembang mengangkat tema lain. Sehingga pertukaran pikiran dan gagasan dapat terus berlangsung di luar sebuah acara tetapi tetap berada di dalam iklim teater Surakarta. Bermanfaat atau tidaknya biar mahkamah waktu yang memutuskan.

Demikian catatan kedua saya, adalah berupa tanggapan dan harapan. Meskipun nilainya teramat subjektif, tetap berani saya utarakan sebagai dukungan saya atas perayaan persepsi-persepsi yang berbeda. Dan kutulis dengan perasaan bahagia, sebagaimana kata pak Gigok kemarin yang mengajak kita belajar Teater dengan senang dan bahagia.

Mari bahagia bung!

Pasar Bubrah, 22 Feb. 18
Idnas Aral  

Monday, 19 February 2018

Wedangan Teater II, Catatan 1

Catatan ini tidak dalam rangka berjanji pada siapapun dan juga tidak untuk menunjukkan bahwa wedangan teater melahirkan sebuah catatan. Hanya saya senang mencatat dan banyak mendapatkan manfaat dari catatan untuk saya pribadi dan kelompok. Sebab sebagaimana pilihan saya yang setuju untuk mengadakan Wedangan Teater ialah berdasarkan senang dan merdeka, bukan program kerja.

Maka.
Wedangan Teater, ketika hanya sekedar menjadi obrolan dan tidak melahirkan apapun, adalah tidak masalah bagi saya. Saya sedang tidak berada dalam posisi yang berkewajiban untuk mejanjikan apapun atau memprogramkan apapun di jagat perteateran Solo. Apalagi menyangkut urusan benak masing-masing yang hadir, biar merdeka saja. 

Sebab siapa saya? Kenapa saya harus menanggung janji manfaat dari obrolan? Kenapa saya harus mengambil beban di pundak untuk janji melahirkan ‘sesuatu’ dari obrolan antar kawan teater yang bernama Wedangan Teater?

Tetapi saya heran.
Ketika sebuah obrolan disebut sekedar obrolan, saya heran. Sebab, tidak hanya di ranah Wedangan Teater, saya kok selalu mendapatkan sesuatu dari sebuah obrolan. Entah itu dengan tukang duplikat kunci, tukang tambal ban, penjual kembang, orang gila. Saya tidak berniat untuk mewancarai atau bahasa kerennya observasi, hanya sekedar mengobrol, tanpa tendensi apapun. Tetapi selalu saya pada akhirnya mendapatkan pandangan baru, memperluas cakrawala saya. Termasuk beberapa hal dari dialog dengan Pak Gigok semalam.  

Begini saja.
Silahkan tidak mengambil apapun dari sebuah obrolan. Tetapi jangan pula mengira orang sebagaimana anda. Apa yang ada di dalam benak itu tak nampak. Tidak bisa kita menilai bahwa orang yang diam saja tidak mencatat dalam dirinya. Ah anda salah kira, bahwa situasi interaksi dialog itu hanya sekedar tertuang dalam lisan saja. Saat Pak Gigok berbicara, saat itu pula ada dialog dalam diri masing-masing, yang terpatik dari dialog Pak Gigok. Kan juga tidak harus orang menandakan dirinya paham atau mendapat sesuatu dengan semisal; mengangguk-anggukkan kepala atau mengungkapkan pertanyaan atau berteriak; saya dapat sesuatu!

Maka dari itu, saya tetap dalam pendirian saya; untuk tidak mendikte benak masing-masing. Jika datang untuk mengisi waktu luang, silahkan. Untuk menuntaskan ibadah srawung, ayo. Membunuh pekewuh, sumangga. Ingin belajar sesuatu, sangat mungkin! Dan jika ingin menjadikan obrolan itu sekedar obrolan, ya terserah.

Mari merdeka bung!

20 Feb. 18, 4.10 AM

Idnas Aral

Friday, 10 November 2017

Wedangan Teater

Sederhana saja hendaknya
Kami mengundang saudari/a, untuk menghadiri “Wedangan Teater”
Wedangan Teater adalah nama yang akhirnya kami sepakati untuk menyebut acara tersebut. Nama tersebut dipilih sebagai penanda waktu, tempat, dan peristiwa dialog teater yang akan diselenggarakan pada tanggal 12 November 2017, 19.30 WIB, di Sanggar Teater Soekamto Unisri.
Satu-satunya identitas dari acara tersebut ialah nama acara itu sendiri, yakni Wedangan Teater. Sehingga “Wedangan Teater” hendaknya dipahami secara sangat sederhana, dan dihadiri dengan pundak yang sederhana pula. Barangkali seperti sebuah niatan untuk ngobrol di wedangan dengan kawan kita. Sebab tujuan dari kami menggelar acara ini pun sangat sederhana, yakni sekedar menciptakan kemungkinan dari sebuah persinggungan. Persinggungan tersebut berbentuk sebuah obrolan antar kawan. Melalui tulisan ini, kami mengundang kawan-kawan penggiat teater di Surakarta – siapa saja yang berkenan.
Sekedar Pengantar.

Peristiwa ini bukan hendak mewakili kelompok, perhimpunan, organisasi, lembaga atau apapun. Bukanlah pula sebuah usaha pembentukan jaringan atau wadah baru, ialah sekedar usaha untuk kian berkawan. Yakni saling mengenal (tambah mengenal) antar pribadi-pribadi penggiat teater di Surakarta melalui sebuah perbincangan santai, dan sangat tidak ingin berasa formal. Boleh dikata; “Wedangan Teater” digelar dalam rangka “Wedangan Teater” itu sendiri. Maka yang kami tawarkan dari hasil atau apa yang diperoleh dari peristiwa itu nantinya bukanlah berupa suatu pengerucutan pendapat atau semacam keputusan. Semua akan kembali menjadi pilihan masing-masing pribadi yang menghadirinya. Sebab; kami memang hanya menawarkan kemungkinan. 

Kami disini ialah pribadi-pribadi yang menyepakati dan mengawali untuk memulai. Pada perkembangannya ‘kami’ disini bertambah lagi, yakni seorang kawan yang setuju untuk mendokumentasikan peristiwa tersebut secara literasi. Lalu pada beberapa pihak hal itu kami sampaikan.

Helmi Prasetya dan Budi “Bodhot” Riyanto menyanggupi untuk menjadi pemantik obrolan pada malam itu nantinya. Keduanya berkenan untuk menjadi pemantik obrolan dengan menceritakan pengalaman berteater masing-masing. Lalu teater Soekamto menyanggupi untuk menjadi tuan rumah. Selajutnya tentu saudari/a, sudikah meluangkan waktu dan hati untuk datang dan menciptakan “kemungkinan” bersama kami?

Demikianlah undangan, sekedar pengantar, dan sekedar nada dasar yang kami tawarkan. Harapannya ialah peristiwa ini dapat tergelar secara berkelanjutan dan menjadi ‘waktu dan tempat’ yang mempersilahkan kawan-kawan perteateran Surakarta untuk saling berbicara. Mungkin.


Surakarta, 5 November 2017