Tulisan
ini saya haturkan sebagai wujud penawaran bukan permintaan. Kusebut penawaran
sebab tujuan yang diharapkan ialah terbentuknya perkawanan dalam konteks
ikhtiar kebudayaan (Surakarta khususnya). Pun hasil dari kerja yang didapat pun
bukan berupa hal-ikhwal yang dapat termanfaatkan praktis oleh saya secara pribadi,
tetapi untuk generasi berikutnya, yang tentunya mencakup ‘berikutku’ dan ‘berikutmu’.
Sebab dalam peng-iya-an yang saya tuju, bukanlah lahir dari rasa ewuh pekewuh
atau rasa kasihan. Inginku jika diiyakan itu karena kesadaran yang didapat dari
dialektika antara saya dengan anda.
Begini.
Soal
keterkaitan sastra dan teater telah banyak para ahli yang membicarakannya,
sebab tanpa dibicarakan pun mereka (sastra dan teater) telah terkait sejak
dalam kandungan. Ketika orang menggagas sebuah pertunjukan teater, sastra telah
seketika ada di dalam penguraian gagasan yang ingin disuguhkan dalam
pertunjukkannya.
Teater
perlu sastra, tapi apakah sastra perlu teater?
Itu
adalah pertanyaan yang akan muncul di dalam masyarakat yang bergerak menuju
kotak-kotak kardus kemasan. Nyatanya itulah kita saat ini. Tetapi di dalam
masyarakat berwatak komunal yang cepat-cepat akan kita tinggalkan, unsur-unsur
yang terkait di dalam pertunjukan seni, tidak akan mempertanyakan keterkaitan
itu, mana yang membutuhkan dan mana yang dibutuhkan. Unsur-unsur itu lebur, dan
soal manfaat apa yang didapat dari sisi penggiat teater dan sisi penggiat
sastra, berada pada wilayah abstrak masing-masing. Tetapi untuk kepentingan
tulisan ini, saya berikan contoh kasus berikut.
Pada
masa pendahulu kita, penulis-penulis ternama pada masa itu cenderung memiliki
keterkaitan dengan teater di dalam biografinya. Sebab apa kecenderungan itu
ada? Saya hanya bisa menerka, sebab saya tidak hidup di masa itu, saya hidup di
masa yang sudah begini (tak lagi begitu). Bahkan lebih luas lagi, pergaulan
penggiat seni yang diwadahi teater juga mencakup bidang-bidang selain sastra
(seni rupa, musik, tari, dll). Hal itu lumrah jika kita melihat teater di dalam
kaca mata ideal, yakni merupakan kesenian pertunjukan yang memadukan berbagai
unsur seni. Lumrah jika ideal, dan itu terjadi pada masa sebelum sekarang. Kenapa
tidak berlanjut?
Keadaan
‘lumrah jika ideal’ itu saya baca di dalam dokumentasi literasi. Sungguh
beruntung saya mendapati dokumentasi berbentuk literasi mengenai perteateran
pada masa itu yang tersebar di berbagai media pada masa tersebut. Alangkah
beruntung saya mendapatkan gambaran keadaan di luar panggung, lalu apakah generasi setelah saya akan
seberuntung saya, jika mereka ingin tahu mengenai gambaran perteateran di masa
saya?
Kembali
ke soal sastra dan pertunjukan. Pertanyaan pada akhir paragraf di atas, adalah
kegelisahan saya. Sehingga ketika saya diberi kesempatan berbicara mengenai
keterkaitan sastra dan teater, poin itu yang akan saya sampaikan dalam wujud
tawaran; bagaimana jika pertunjukan
teater menjadi wilayah bahan yang ditulis oleh penggiat sastra di Surakarta?
Bagaimana?
Meskipun
alat pendokumentasian foto dan video telah mampu dihadirkan oleh penggiat
teater sendiri di dalam pertunjukkannya, tetapi dokumentasi sastra belum. Kritik
pertunjukan (teater), belum meramaikan khasanah teater dan sastra di Surakarta.
Resensi, ulasan, juga karya sastra yang lahir dari melihat pertunjukan, kritik
pertunjukan tidak saya dapati menjadi sesuatu yang ambil bagian, jika dilihat
dari sudut pandang saya sebagai penggiat teater. Jika melihat dari banyaknya dokumentasi
tertulis di masa yang dulu hal tersebut telah terjadi bahkan terjalin, kenapa
tidak berlanjut? Bukankah itu hal yang baik? Dan sayang sekali jika
pertanyaan-pertanyaan itu hanya dijawab dengan; “Saya sudah pernah
melakukannnya dulu!”
Pada
kesempatan ini, saya ingin membagi pengalaman pribadi saya terkait dengan
soal-soal di atas. Saya sama sekali belum pernah melihat pertunjukan Teater
Gapit. Tetapi tulisan Umar Kayam pada pengantar buku kumpulan naskah Bambang
Widoyo SP (sutradara dan penulis naskah teater Gapit), membuat semangat,
spirit, gagasan, dan sikap teater tersebut dapat sampai pada saya. Semangat,
spirit, serta gagasan tersebutlah yang pada akhirnya menular serta mempengaruhi
saya dan kawan satu kelompok untuk mendirikan teater Sandilara, yang
menggunakan bahasa jawa dan intens berpentas keliling desa. Sebab siapa saya dan
kelompok saya terpengaruh oleh teater Gapit? Sebab Bambang Widoyo SP atau sebab
Umar Kayam? Bukan salah satunya tetapi keduanya yang telah terjalin.
Tentunya
akan terlalu banyak jika harus saya uraikan satu per satu manfaat yang saya
dapat sebagai generasi sekarang melalui perjumpaan saya dengan dokumentasi
tulis pertunjukan-pertunjukan lampau. Sekurang-kurangnya, dapat saya simpulkan
sebagai berikut. Sebuah pertunjukan teater memuat banyak sekali aspek tetapi
daya jangkaunya sangat terbatas secara ruang dan waktu. Dokumentasi video dan
foto dapat menembus batas tersebut melalui rekaman visual dan suara. Tetapi dokumentasi
tulis lah yang pada akhirnya mampu menyampaikan ide, gagasan, spirit suatu
pertunjukan kepada khalayak yang lebih banyak (lintas ruang dan waktu).
Sudut
pandang saya sebagai penggiat teater.
Perlu
saya tegaskan, bahwasanya yang terurai ini merupakan subjektivitas dari sudut
penggiat teater. Lebih sempit lagi sudut itu berada dalam wilayah ‘berteater
saya’ yang berada di dalam wilayah Surakarta. Maka yang terurai di atas hanya
berkisar pada kemungkinan manfaat yang didapat penggiat teater jika, jalinan penggiat
sastra dan teater kembali erat. Tetapi saya tetap meyakini bahwasanya manfaat
yang akan didapat dari pihak penggiat sastra pun pasti ada. Apalagi jika kita
melihatnya sebagai usaha bersama pembentukan kebudayaan yang tentunya tidak
selesai oleh satu generasi, tetapi berlanjut dan minta dilanjutkan. Sebab,
kerja seni di setiap masa memiliki capaian masing-masing, sayang sekali jika
hasil capaian tersebut tidak bisa menjadi bahan untuk dilanjutkan oleh generasi
berikutnya. Tulisan ini pun merupakan sebuah capaian meskipun tak bersambut.
Saya
sudahi tulisan ini karena jika dilanjutkan saya takut terlalu meluas dan malah
mengaburkan maksud. Mungkin ada baiknya dilaektika ini berlanjut di sebuah
warung kopi lalu anda yang menuliskannya, jika berkenan.
Terima
Kasih!
Idnas Aral
No comments:
Post a Comment