Thursday, 26 May 2016

Kota Badut (Okek Antagonis)



Menimbun sampah dan kesesakan demi citra positif. Agar nama menjadi baik, kita perlu aktif beriklan dan mengadakan karnaval. Berkiblat pada arah gerak jaman, kita men-tuhankan popularitas! Kita perlu promosi dalam kadar tinggi, mengemasnya dalam kantong plastik perayaan demi menarik minat para pembeli. Sampai disini semua bermuara pada perdagangan dan pencitraan.

Warga senang saja, larut dalam kebanggaan karena kota semakin ramai pertunjukan. Mereka menjadi badut dan penonton badut--yang diupah dan diberi suguhan-- dalam perayaan, tanpa tahu makna dari setiap acara. 

Asal senang, asal tertawa, pulang kenyang, pengakuan pun datang.

Baiklah, semua adil sesuai porsi pemikiran masing-masing kepala. Sebagian orang butuh tontonan, sebagian butuh pasang tampang, sebagian butuh berdagang, dan sebagian butuh pengakuan. 


Tidak ada yang salah, karena kita warga kota badut pemuja arak-arakan penggemar pesta besar, persetan dengan makna dan simbol, acuh terhadap arti yang lebih dalam. Selamat berpesta warga kota badut.
-031013-

Sunday, 22 May 2016

Kaos Trendi Tahun Ini: 65! (Idnas Aral)


Yang Lalu Biar Berlalu! Tapi Jangan Berlalu Begitu Saja!
Ya, sedang marak di kalangan anak muda kita tren kesadaran akan sejarah. Sejarah tandingan dari sejarah formal muncul di permukaan dan menjadi hangat diperbincangkan para kawula muda. Tetapi dasar darah muda, darah birahi, darah gelora buah kuldi! Gejala pereduksian kesadaran sejarah yang sedang terjadi ini teramat keterlaluan, yakni sekadar menjadi life style!
Ya! Setiap manusia ingin menunjukkan eksitensinya. Si A mengatakan dirinya Punk. Si B mengatakan dirinya Vegetarian. Si C berkata bahwa ia Nasionalis. Dan Si ‘yang sedang tren’ mengatakan bahwa ia adalah orang yang sangat peduli dan harus memperjuangkan kebenaran terhadap luka masa lalu bangsa yang mendalam itu.
Ya! Mereka katakan itu. Lalu mereka tunjuk-tunjukkan kepeduliannya dengan membuat kaos, slogan, event, dan segala apapun, yang tentunya akan menunjukkan dan memperlihatkan kepada dunia bahwa ia peduli. Apa tujuan dari segala itu? Saya sangat yakin bahwasanya mereka tulus, tidak berharap apa, dan sangat suci itu mereka punya gerakan.
Ya! Saya percaya itu. Tetapi kenapa tidak engkau renungkan terlebih dahulu wahai para generasi penerus bangsa? Kenapa tidak engkau bedah mendalam terlebih dahulu peristiwa itu? Kenapa tidak mencoba untuk bijaksana meski kita tahu bahwasanya untuk bijaksana itu memang sulit?
Kenapa tidak berpikir panjang, bahwasanya belajar mengenai luka adalah untuk tidak terulang itu luka!
Ya! Saya teramat yakin pada keyakinan saya ini, bahwasanya belajar mengenai luka sejarah adalah untuk tidak terulang itu luka. Tapi apa yang kini terjadi? Kita kutuk peristiwa itu, tetapi kembali memercikkan gesekan-gesekan ideologi. Kita sayangkan sejarah itu, tetapi sembari menabuh genderang bentrok pandangan.
Apa kalian ingin ungkap sejarah kelam itu dengan me-reka ulang kekelaman sejarah itu?
Apa ingin kalian ingatkan sejarah berdarah itu dengan kembali menumpahkan darah?
Tidak! Kalian pasti tidak berpikir seperti itu! Saya sangat yakin bahwa kalian tidak ingin degradasi kemanusiaan itu berulang. Tetapi yang saya takutkan ialah gelora eksistensi anak muda yang sering menjauhkan kita dari esensi sebuah pergerakan. Pula gairah membuncah yang menyeret kita pada gelanggang perdebatan untuk perdebatan. Slogan untuk slogan. Kepalan tangan untuk kepalan tangan, lalu akhirnya jatuh pada kekacauan yang akan dimanfaatkan oleh golongan pencari keuntungan.
Sedang kita tahu, bahwasanya darah yang telah tumpah akan menjelma luka dan dendam tumbuh di sana.
Tidak! Saya tidak ingin itu semua terjadi kembali. Saya sungguh seorang yang takut terhadap kekacauan massa. Saya sungguh penakut di hadapan amuk massa. Saya sungguh akan menangis dan terkencing-kencing jika harus hidup pada sebuah masa--di mana sejarah kelam itu terulang. Maka, sungguh saya berteriak di setiap ‘ya’ dan ‘tidak’ pada tulisan lirih ini.
Maka, dengan sungguh saya memohon. Berpikirlah semilyar kali, untuk ‘kaos keren’ mu kali ini!
15 Mei 2016

Kepada Kawan (Idnas Aral)



Berapa umur Soekarno ketika memutuskan untuk melawan penjajah? Berapa umur Syahrir, Hatta ketika memulai iktikad untuk merumuskan negara? Berapa umur Sidharta ketika memutuskan untuk keluar dari istana? Berapa umur kita sekarang? Dan keputusan besar apa yang telah kita putuskan di umur kita yang sekarang?
 
Kita lahir sebagai bayi. Laki-laki atau perempuan bukan kita yang tentukan. Oleh orang tua kita, kita mendapat nama, tanpa menyepakati atau menolak kita pun menyandang nama itu. Berbarengan dengan nama, masih tanpa bertanya kepada kita. Seketika kita dipeluk oleh agama orang tua kita.
Jadi jangan terburu-buru mengatakan agama apa yang kita peluk. Apakah benar kita memeluknya ataukah sekadar ketika bayi—oleh orang tua—kita dipeluk oleh agama mereka.
Sebenarnya, sungguh saya sedang tidak ingin berbicara mengenai agama, karena di negeri kita yang tentram ini sungguh telah kehilangan dialektika yang sehat mengenai agama. Seakan-akan agama itu tak boleh tersentuh kritik dan tabu untuk dibicarakan. Selalu saja berakhir dengan pertikaian yang mengarah pada kehancuran dan degradasi.  Jadi, tolong kendorkan kuda-kudamu kawan dan sarungkan golokmu. Tentang agama, mari kita bicara dengan kepala dingin.
Dialektika tentang bagaimana kita memutuskan agama, saya rasa perlu untuk dihadirkan, karena peristiwa itu ialah kali pertama kita yang masih suci mulai berinteraksi dengan dogma.
“Agama bukan dogma!”
Ya, saya sangat setuju bahwasanya agama bukanlah dogma. Tetapi selalu akan menjadi dogma ketika praktik pemelukkan agama terhadap kita tanpa melalui kemampuan kesadaran penerima (bayi). Itulah hal pertama yang menjangkit kita bagaimana ide berbeda dengan praktik.
Dan kita pun beragama hingga dewasa, tanpa memutuskan apa-apa. Sebuah kaprah menahun. Toh kita tidak peduli karena semua orang seperti itu.
Setelah kita berumur cukup—oleh orang tua—kita didaftarkan ke sekolah-sekolah. Tentu keputusan itu diambil oleh orang tua demi masa depan kita. Tetapi apakah sempat orang tua kita mengkritisi, apakah benar pendidikan formal adalah baik untuk masa depan kita? Tidak ada kesempatan untuk pilihan lain, karena kewajaran yang berkembang ialah bahwasanya orang tua yang baik ialah yang mempunyai iktikad untuk menyekolahkan anaknya. Apalagi kita yang masih kanak-kanak, tentu kita juga akan terpojok jika memutuskan untuk tidak mengambil pendidikan formal.
Dari situlah kita mulai dilepas oleh orang tua kita di sebuah arus, yang dikata sebuah kewajaran.
Ah kewajaran! Selalu kita dididik untuk menjadi orang sewajarnya dan dilarang untuk tidak wajar. Kewajaran ialah arus. Berawal dari arus kecil selokan, arus sungai kecil, arus deras sungai besar, lalu sampailah pada gelombang raksasa samudra. Itulah narasi kewajaran yang dibebankan kepada setiap anak untuk diperankan. Jika kau ingin berada pada titik aman, pula dijanjikan titik nyaman. Sebuah peran kewajaran yang menyudutkan kita untuk tidak berkeputusan.
Kita tahu bahwa hari esok ialah abstrak. Tetapi telah lahir paradigma yang teramat kokoh di setiap orang tua. Yakni, untuk masa depan di dunia ialah pendidikan, masa depan di akhirat ialah agama. Pokoknya dua hal itu baik, itu cukup dan tak usah neko-neko!
Tapi nyatanya, gairah anak tidaklah cukup hanya tersalurkan oleh dua tema itu. Kehidupan terlalu kompleks dan manusianya pun teramat berbeda-beda. Jadi, penyederhanaan yang sering dilakukan oleh norma kewajaran teramat mengebiri kemanusian. Namun seringkali kita justru memilih untuk menjadi anak baik yang patuh terhadap ‘tuan kewajaran’, karena iming-iming titik aman dan titik nyaman yang dijanjikan. Dan dengan senang hati, kita persilakan segala bentuk pengebirian kepada kita sendiri.
Jika semuanya seperti itu, tidak akan lahir Soekarno, tidak akan lahir Gandhi.
Mengenai sebuah keputusan, harus senantiasa berdasarkan kesadaran-kesadaran. Kenapa saya berbicara mengenai keputusan kepadamu? Karena dewasa ini Indonesia dalam keadaan darurat keputusan.
Indonesia akan seperti apa, segera generasi muda putuskan. Tentunya bukanlah keputusan yang gamang, keputusan yang terlalu bermain aman, tetapi keputusan yang berdasarkan kesadaran penuh dan objektivitas akal sehat.
Keputusan berdasarkan akal sehat adalah keputusan yang lahir dari pola pikir yang matang untuk berkeputusan. Tetapi sayangnya, pendidikan tentang mengambil keputusan tidak pernah menjadi prioritas untuk sebuah generasi. Pendidikan hanya menekankan kepatuhan dan kepatuhan. Pendidikan semacam itu tidak lain dan tidak bukan ialah alat cetak buruh dan karyawan.
Akibatnya, ketika seorang muda mengalami gejolak pribadi, ia akan lari pada buku-buku motivasi, ia akan lari pada google dan bertanya tentang tips-tips menghadapi sesuatu.
Fenomena krisis kepercayaan diri yang dialami generasi muda adalah satu dari empat dimensi krisis. Krisis kepercayaan diri itu akibat dari krisis mental. Krisis kepercayaan akan mengakibatkan krisis ekonomi, lalu krisis ekonomi lahirkan krisis kebudayaan. Jadi secara umum kita mengalami empat dimensi krisis, yakni krisis mental, krisis kepercayaan, krisis ekonomi, dan krisis kebudayaan.
Memang tidak mudah untuk mencoba menjadi ‘kata’ yang sumbang di dalam narasi besar penghancuran kebudayaan kita ini. ‘Kata’ yang sumbang akan mendapat cela, dari ‘kata’ yang wajar. Tetapi kewajaran yang tidak wajar ini harus segera diwajarkan. Ya, harus segera kita putuskan.

Sebelum ajal mendekat dan mengkhianant,
mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada darah serta
rasa,

belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,
tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
layar merah berkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri !

Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak member pamit pada siapa saja !
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!
(Kepada Kawan, Chairil Anwar)

Tuesday, 17 May 2016

Bahasa Jawa itu salah satu bahasa asing! (Bagus Prakoso)

“ Saudara bisa mengusai berapa bahasa asing ?”

Slamet yang tengah mengikuti sebuah tes wawancara di perusahaan diajukan pertanyaan semacam itu, dengan setengah lugu Slamet menjawab.

“ Bahasa Jawa, Pak”

“ Hlo kok… yang serius Mas, Bahasa jawa kok bahasa asing? Kamu jangan bercanda ya

“ Saya tidak bercanda Pak, saya serius. Bapak berasal dari mana ? “

“ Semarang Mas “

“ Pas !! Bahasa jawanya malu apa Pak ? “

“ Isin Mas “

“ Selain itu ?  “

“ Tidak tau Mas “

Wirang, Pak, malu itu wirang, Bapak tidak tahu kan ? Asing tidak ditelinga Bapak ? Hlo katanya orang semarang, asli semrang ? kok bahasa sesederhana itu tidak mahfum ? Asing itu ketika sesuatu bahasa tersebut terdengar aneh kan Pak ? Ketika tidak terbiasa kan Pak ? itu kan Pak definisi dari asing ?

Saat ini, Pak, bahasa daerah itu terdegar asing di telinga anak muda, Pak, kenapa terdengar asing Pak ? karena sudah jarang yang memakai, orangtua mereka akan lebih bangga mengajarkan anak-anaknya dengan bahasa Indonesia, atau bahkan Inggris. Bukan, bukan berarti Bahasa Indonesia, Inggris itu buruk Pak, bukan, Bahasa Indonesia itu kan memudahkan kita dalam berkomunikasi dengan orang-orang lain dengan bahsa daerah lain to Pak.  Tetapi Pak, itu kan bahasa warisan kebudayaan nenek moyang kita to ? harus di uri-uri, dilestarikan, warisan bahasa itu bukan sekedar bahasa, tapi ada banyak pelajaran dari kebahasaan daerah itu, mempelajari bahasa daerah adalah salah satu cara mempelajari betapa besarnya nenek moyang kita dahulu, Pak, betapa hebatnya mereka dalam menemukan pola-pola aksara dan tata bahasa yang begitu kaya. Itu bukan main-main hlo, Pak, itu dipikir dan dirasakan juga, bukan sembarangan Pak. Bukan asal-asalan. 

Dan lagi, Pak, dari bahasa-bahasa daerah itu kita akan menemukan betapa luasnya dan lapangnya pikiran nenek moyang kita dahulu, lewat tambang-tembangnya, lewat geguritannya, lewat filsafatnya, seperti ‘menang tanpa ngasorake’, menang tanpa merendahkan. Betapa gagahnya filsafat itu Pak ? yang kalau kita tidak mengerti apa artinya, itu akan hanya menjadi sebuah warisan yang tanpa makna, Pak.

Hlo kok malah sekarang kita sudah asing dengan bahasa daerah itu, Pak, dan yang lebih parahnya Pak, anak-anak muda yang berpacaran di era modern ini lebih suka memakai bahasa Indonesia. Padahal sama-sama orang jawa tulen, mereka mungkin malu, Pak ! atau apa ya Pak ? Jijik mungkin ya Pak ? Bahasa derah itu kan katrok Pak kalau kata telepishi, ndeso, tidak modern, jadi harus dilupakan, jangan di pakai, mungkin begitu ya Pak pikiran mereka ?

Kalau suatu saat suriname mematenkan bahasa jawa adalah bahasa asli suriname, mungkin orang-orang jawa itu baru marah Pak, baru akan mengakui kembali bahwa itu bahasa mereka Pak ? begitu kan orang-orang kita Pak, kalau sudah direbut baru marah kan Pak ?”

Slamet tiba-tiba seperti kesurupan seorang budayawan yang tengah berpidato tentang warisan nenek moyang. Seorang yang tadi mewawancarai Slamet hanya bengong, kemudian tersadar dan geleng-geleng kepala. Slamet tersadar dan juga bingung oleh kata-katanya sendiri.

“ Mas silahkan keluar dulu, nanti tunggu pengumuman Mas diterima atau tidak di perusahaan ini “

Slamet keluar rungan dengan lemas, jelas dia akan tidak diterima di perusahaan itu, karena jelas seseorang yang diinginkan oleh perusahaan tersebut bukan ahli budaya, melainkan seorang buruh!

Klaten, 17 Mei 2016