Saturday, 18 April 2020

LAMBANG-LAMBANG HANTU DI LEPAS DI JALAN-JALAN

Kalau kekuasaan sudah kehilangan wibawa, mereka lalu akal-akalan bikin lambang-lambang hantu yang dilepas di jalan-jalan, mitos-mitos yang dekstruktif, agar masyarakat ketakutan dan minta perlindungan.

Menciptakan musuh bersama yang untuk menghadapinya hanya bisa dengan tata cara yang diinstruksikan dan dilaksanakan melalui sebuah kerja sama dengan format; pembesar dan kawula.

Sejak dulu cara itu terbukti ampuh untuk melanggengkan kekuasaan. Machiaveli pernah mengatakan bahwa masyarakat yang sedang takut lebih bisa dikendalikan dan dikuasai. 

Ketertiban yang diharap kekuasaan itu bisa berupa kericuhan-kericuhan di mata kita, tetapi sejatinya memiliki pola dimana pangkal ujungnya bisa berupa kematian dan keuntungan. 

Politik kekuasaan akan menciptakan ilusi (yang merupakan chemistri dari kebodohan) untuk mensukseskan permainannya. 

 "Ilusi bagaimana, permainan bagaimana, lhawong korban jatuhnya nyata!" 

Terkadang kepolosan kita masih juga bisa sangsi, masak bisa setega itu negara? Nalar berdasar histori kita memang pendek seperti chattingan. Sampai kita lupa bahwa negara itu adalah sistem, ia bukan manusia yang berhati, dimana di dalam algoritmanya; warga adalah angka-angka yang boleh dikurangi, boleh dikurung, boleh dibagi, boleh dipecah seenak kepalanya untuk sama dengan kekuasaan berjalan. 


Sejak dulu dan akan menjadi selamanya jika daulat rakyat tetap tidak ada begini. Baru ketika rezim selesai, akuntansi kejinya bisa kita nikmati di sejarah-sejarah tandingan dan panggung-panggung romantika ngritis kesenian. Tetapi di saat kita menyoroti dosa rezim yang telah bangkai, kita lupa kepada bahaya rezim baru yang sedang berkuasa mulai memainkan playrole nya. Begitu sejak orde baru sampai orde yang kian baru, masyarakat selalu terlambat teriak; saya ditipu! 

 Kematian memang jujur, tetapi angka dan datanya belum tentu. Kesakitan memang nyata, tetapi diagnosa dan datanya belum tentu. Korban berjatuhan memang ada, tetapi dipihak siapa, warga atau jajaran elit negara? Kerugian jelas ada, tapi siapa yang nyata secara langsung menanggung bebannya? Jika ini memang bencana untuk semua, kenapa tetap saja ada yang beruntung di atas sendi-sendi hidup kita yang buntung, founder Ruang Guru misalnya, IMF misalnya, bakul-bakul hand sanitizer dan masker mah hanya mengail upil di udara yang keruh. Tetapi modal-modal raksasa tetap jaya di langit kita. 

Kapitalisme yang hampir macet sedang berevolusi ke bentuk baru, kita dipaksa setuju dengan jalan penumbalan-penumbalan. Tata cara biadab akan selalu lebih efektif karena tidak memerlukan pernak-pernik nilai-nilai kebudayaan. Ini nanti akan seperti apa bentuknya, kita yang selamat akan menyaksikanny. 

Catatan ini hanya tawaran untuk eling dan terlebih waspada, tapi harusnya tidak usah dipercaya. Percayalah saja pada yang berkuasa, juga kepada pejabatnya, ulamanya, wartawannya, para ahlinya, senimannya, buzernya, influenzernya, militernya, polisinya, sebab kepada mereka kita lebih terbiasa untuk harus! Disitu kita lebih mungkin beja di zaman edan. 



 Catatan Gumam, 19 April 2020

Mangkel


Mangkel.

“ Kalau sampai grobak saya ini diangkut, saya siap kalau memang harus perang, Mas. Saya tidak bisa harus di rumah saja, mau makan apa anak istri saya. Grobak ini diangkut, awas saja, saya titeni orangnya, di rumah saya ada bedil manuk tak tembak orangnya. Saya ini sudah miskin kok mau dimiskinkan lagi ”

Pernyataan di atas tidak dibuat-buat, dilontarkan langsung oleh seorang pedagang angkringan. Di situasi begini ( pandemic covid 19 ), orang-orang yang paling tidak punya nilai tawar adalah para kelas bawah, mereka sangat dirugikan. Kapan itu saya mampir di angkringan, pedagang mengaku pendapatannya turun setengah daripada biasanya. Sebab yang biasanya Ia berdagang dari siang sampai malam, harus terpaksa tutup kurang dari jam sembilan malam, karena lebih dari jam sembilan, para petugas akan datang dan menyuruh para pedagang untuk segera tutup. Ia merasa tidak adil, sebab kalau Ia harus di rumah saja tidak ada penjaminan tentang hidup Ia dan keluarganya.
Sementara itu selama lebih dari satu bulan ini semua penanganan hanya bersifat anjuran, anjuran untuk memakai masker, anjuran untuk dirumah saja, tidak ada aturan hukum yang bersifat memaksa. Kabarnya semua itu dilakukan agar para kelas bawah tidak terdampak atas kejadian ini, tapi tidak, itu semua justru sama dengan membunuh para kelas bawah dengan pisau tumpul, tidak segera mati, antara hidup segan mati tak mau. Dan jelas aturan yang hanya bersifat anjuran itu semata-mata ketakutan pemerintah atau malah mungkin cara pemerintah untuk menghindari tanggungjawabnya untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya. Semenjak dulu, sebelum ada kejadian ini pemerintah memang tidak pernah memikirkan tentang apa yang terjadi pada rakyatnya, semua keputusan hanya berdasar pada ekonomi, investasi dan juga jalur perdagangan. Jangankan kesejahteraan rakyat, kesehatan atau bahkan jaminan hidup tenang saja pemerintah tidak pernah bisa memberikan kepastian.
Masyarakat kelas menengah kebawah Indonesia sudah terbiasa sendirian tanpa adanya pemerintah, berjuang atas hidupnya sendiri, menghidupi dirinya sendiri, ya sebenarnya mereka itu tanpa pemerintah ya ndak patheken. Tapi ini sangat kelewatan, sebab segala akses yang miliki dan dipegang oleh pemerintah, data, akses, dan APBN, tapi sekan semua diserahkan pada masyrakat, masyarakat yang harus urunan tiap waktu, dari hari ke hari. Ini Negara atau badan amal ?!
Ada yang bilang ke saya
 “ kamu bisanya cuma ngritik, pemerintah itu sudah berupaya, di situasi ini harusnya kita dukung pemerintah ”
Semenjak awal siapa yang memampangkan dirinya di baliho-baliho, mencitrakan dirinya sebagai orang baik dan layak untuk dipilih, ngumbar janji dengan ngotot dan ngemis minta dipilih, masuk ke gang gang, melempar senyum dan juga amplop yang isinya dari sepuluh ribu, duapuluh ribu sampai seratus ribu. Ini adalah konsekwensi yang logis, masyarakat menuntut, mengkritik, geram, bahkan murka menyumpahi yang jelek-jelek. Jadi akan sangat tidak wajar kalau rakyat harus terus mencoba mengerti pemerintah, sedang pemerintah tidak pernah mengerti rakyatnya, kalau di ibaratkan pacaran, anak-anak muda masa kini menamai ini adalah hunungan yang toksic.

Den Bagus
Klaten, 18 April 2020.


Friday, 10 April 2020

SENIMAN KITA TAK PERCAYA PADA NILAI SENI


Teruntuk kebudayaan selfie.

Sampailah kita pada masa dimana dunia seni yang ceriwis tetapi sepi nilai. Keadaan yang diakibatkan pelaku seninya sendiri, sebab telah tak percaya pada nilai seni itu sendiri. Sehingga terhamparlah di hadapan zaman; karya-karya yang minder jika tidak turut menjadi bagian dari pendapat dan kecenderungan umum. Dunia seni menjadi sepi nilai; intelektual, gagasan, sudut pandang, dan perspektif. Sebenarnya mereka tidak lupa pada hapalan mengenai betapa pentingnya nilai seni itu sendiri untuk masyarakat, sebab hapalan itu akan sering diulang-ulang oleh latar belakang masalah proposal-proposal mereka, badan undangan-undangan workshop mereka, pidato pejabat ketika membuka acara mereka (kemudian pamit pulang lebih dulu), juga ketika mereka ‘umuk’ pada anak-anak baru yang ingin mengincipi dunia seni.  

Bagaimanapun kesenian adalah dunia pemikiran, tanpa pemikiran kesenian hanyalah hiburan, seremonial, karnaval, kondangan, burung kutut, kuda poni dan hobi pembunuh waktu senggang. Berpikir, mengamati, mempertanyakan, mengkritik, mengantitesis, menelaah adalah hal-hal yang akrab pada keseharian seniman, yang kemudian berlanjut pada hasrat penyampaian gagasannya melalui jalan artistik dan tersebutlah sebagai karya.

Tanpa gagasan para pencipta karya baiknya menyebut dirinya sebagai golongan yang berkarya (tapi tak usah disingkat) daripada seniman. Bukan maksud melarang-larang, maksudku agar tak kabur istilah yang mendangkalkan kanal kebudayaan. Meskipun kamu pun sering kabur, kan? dari predikat seniman ketika intelektualmu dituntut dengan mengatakan, “ah saya bukan seniman, kok!” padahal berikutnya aku tahu kau rutin meminta bantuan dengan mengatasnamakan diri sebagai seniman, dan yang lain hanya akan mendiamkan karena mereka pun seiman.


Sebuah karya seni lahir karena ada gagasan yang ingin disampaikan, bukan membuat karya agar dirimu ‘digagas’ atau diperhatikan. Memang sedang menjadi nasib bersama, seniman kita musti hidup di tengah masyarakat yang buta nilai pada seni. Keuntungan menurut mereka adalah untung uang. Mendapatkan, menurut mereka adalah income rupiah. Sehingga tips menjadi kaya tentu akan lebih menarik perhatian mereka ketimbang karya-karya seni yang berisi.

Memang sedang begini, orang-orang lebih tertarik tipografi ketimbang isi, lebih terpukau pada lanscape-nya ketimbang fenomenanya. Lebih membenci terorisme ketimbang ketimpangan.

Tetapi hendaknya jangan lupa, bahwa kepada siapa karya seni berbicara tidak teruntuk masa sekarang saja sebab mungkin pula lintas generasi, juga jangan lupa bagaimana seniman berbicara tidak melulu harus melalui ketenaran atau ke-viral-an. Karya seni adalah benih, benih tak tumbuh di mall, pasar, stasiun televisi, dan hiruk pikuk. Benih lebih tumbuh di tempat yang jauh dari hingar bingar pasar, jauh dari pemerintah, dan jauh dari sorotan kamera.

Saya tahu ketidakpercayaan diri seniman pada nilai seni sendiri bukan salah watak dan pribadi seniman semata. Ini juga merupakan perkara eksistensi seluruh umat manusia di era informatika. Juga perkara tatanan negara yang buta terhadap nilai-nilai yang bersifat visioner. Sialnya nilai seni biasanya seperti ramalan jauh-jauh hari yang tak sanggup digarap oleh negara untuk menjadi sebuah kebijakan. Maka seperti sia-sia saja; sajak ‘Pulau Bali’ Rendra yang jauh sebelum persoalan masa kini seperti; reklamasi dan bentrokan penduduk asli dengan para bule yang mabuk lalu kurang ajar.  Juga ramalan Joko Bibit Santoso sebelum meninggal; mengenai salah satu puncak permasalahan dari arus globalisasi akan terjadi di 2020. Itu semua ternyata memang terjadi, dan rumusan-rumusan; peringatan-peringatan dari seniman-seniman melalui gagasannya yang visioner; seperti hanya enak didengarkan tetapi menjadi gagal untuk mencegah keadaan yang menakutkan. Ini akibat dari negara yang hanya mendasarkan kebijakan pada ahli ekonom dan neraca pembangunan saja!

Gambaran tersebut merupakan faktor yang menggerogot mental seniman kita, sehingga mereka pun jadi tak percaya pada makna nilai seni itu sendiri. Sehingga nilai seni mereka tukar dengan nilai-nilai eksistensi yang berwujud karya-karya yang dalam rangka turut menjadi bagian dari pendapat dan kecenderungan umum. Bahkan mereka takut dianggap tidak memiliki kepedulian, padahal perihal ‘peduli’ bagi seniman harusnya sudah merupakan hal yang tak perlu dibicarakan lagi. Mana mungkin kekaryaan lahir tanpa kepedulian? Tetapi yang terjadi masih saja gila citra untuk peduli, sama saja dengan politisi, sama saja dengan Raffi-Gigi, mereka turut pula bertata-cara mengunjukkan diri di hadapan masyarakat kepedulian mereka dengan bendera kesenimannya. Menawarkan karya dengan embel-embel; dalam rangka bla-bla-bla hasil penjualan akan bla-bla-bla! Lalu apa tawaran gagasan intelektual dan visi di dalam nilai karya senimu itu sendiri, selain kalau nanti sudah jadi uang akan disumbangkan? Nol kah? Lha kok macam badan Amil Zakat, departemen sosial, juga lembaga-lembaga kebaikan begitu?
Apa setelah permasalahan yang ramai ini tak ada masa depan yang perlu dijangkau oleh visi karya seni lagi?

Idnas Aral
Sukoharjo, 10 April 2020 

Saturday, 4 April 2020

PUASA PENTAS LEBIH AWAL SEBELUM DATANG BULAN RAMADHAN


Sebelumnya marilah kita, para hadirin yang jumlahnya tidak sampai setengah lusin, berdoa bersama-sama seraya menundukkan kepala untuk sejenak mengenang “arwah” pamflet-pamflet pementasan teater yang “gugur” sebelum hari pementasan tiba, yang mana pada akhirnya dinyatakan gagal pentas sesuai waktu yang dijadwalkan akibat negara kita sedang dilanda malapetaka wabah berbahaya. Semoga tidak benar-benar diundur dalam waktu yang relatif lama, agar para pekerjanya tidak kehilangan mata pencaharian, agar proyek-proyek yang sudah direncakan tidak menderita kerugian terlalu besar, dan pemerintah tidak perlu memberikan dana kompensasi demi keberlangsungan hidup “seniman”. Amiin...

-Sambutan Kepala Redaksi Pada Acara Ulang Tahun ke-2 Koran Medan Prihatin-


                Siapa sangka siapa kira, tahun ini kita dihebohkan dengan wabah yang memberi dampak bagi semua aspek dan sektor kehidupan, satu sama lain saling terkait, pendidikan, kebudayaan, kesenian, ekonomi, barangkali juga politik.  Pemerintah memberi himbauan kepada masyarakat untuk tidak melakukan aktivitas di luar rumah. Tentunya tidak terkecuali untuk kegiatan seni dan budaya. Solo, kota yang memiliki predikat sebagai barometer peristiwa besar di negara ini telah memulai program tersebut, terhitung sejak hari sabtu tanggal 14 Maret 2020 walikota menetapkan status KLB (kejadian luar biasa), hingga hari ini status darurat penyakit menular tersebut belum dicabut. Kegiatan seni di kota ini secara otomatis tertunda, sebab kebijakan tersebut melarang adanya pengumpulan massa. Sementara kesenian sudah barang tentu termasuk kegiatan yang sifatnya melibatkan banyak orang untuk berkumpul pada suatu tempat. Di media sosial pamflet-pamflet pementasan teater yang sudah terlanjur dipublikasikan kemudian diposting ulang dengan disertai stempel “ditunda untuk waktu yang tidak ditentukan”. Ya, mau tidak mau, suka tidak suka, harus sama-sama kita terima kenyataan ini.

                Pada musim-musim normal (tidak ada isu wabah), antara bulan Maret hingga minggu terakhir sebelum bulan puasa (untuk tahun ini jatuh pada pertengahan bulan April) biasanya banyak kelompok teater yang sudah merencanakan pementasan mereka. Pamflet pemberitahuan disebarluaskan, penjualan tiket mulai dibuka, jadwal dan porsi latihan bagi para pemain semakin diperketat, dan urusan keproduksian ditata sebaik mungkin. Tetapi tahun ini, tidak sedikit pula kelompok teater yang hendak mengadakan pentas harus gigit jari. Rata-rata dari mereka ternyata bersikap bijak dan sebagai pekerja seni memberikan contoh yang baik kepada masyarakat, yakni dengan tidak menggerutu kepada keadaan, tampak bahagia dalam situasi sulit dan terpaksa mempersempit ruang gerak. Rajin dan ikut andil membantu pemerintah dalam kegiatan sosialisasi kebijakan lockdown melalui akun jejaring sosial mereka. Menyusun kata-kata himbauan, membuat video-video dengan tema seputar fenomena wabah, dan tentunya sambil putar otak atur strategi demi eksistensi diri dan kelompok masing-masing.



Memilih Berpuasa Pentas Untuk Sementara Atau Mencari Alternatif Media Berekspresi

                Puasa berpentas bukan berarti puasa atau libur latihan, secara total melepas segala sesuatu yang sudah dipersiapkan. Proses garapan naskah sebisa mungkin tetap berlangsung, seminimal mungkin sesuai keadaan masing-masing anggota, sambil menunggu situasi kembali normal untuk kemudian menata ulang jadwal. Berat memang, bersabar dan menahan diri, menanti sesuatu yang tidak pasti dan mungkin saja seperti melakukan perjudian, mempertaruhkan keutuhan garapan dari berbagai segi. Bisa jadi nantinya semakin matang dan solid atau malah bubar, gagal total ditinggalkan para anggotanya yang harus segera menjalani jadwal kegiatan lain di luar kelompok. Mengingat sekarang ini kesibukan setiap orang semakin padat, baik yang masih kuliah maupun yang sudah bekerja.

                Manusia sebagai makhluk sosial memiliki kebutuhan unjuk diri agar eksistensi serta peran hidup yang dipilihnya tetap tersalurkan, identitas diri yang coba dirintisnya tetap terjaga, dan untuk itu seseorang akan menempuh banyak jalan sesuai porsi masing-masing, melakukan berbagai macam cara yang dapat dilakukan. Perkembangan teknologi komunikasi di jaman serba canggih ini memberi banyak jalan untuk setiap individu memeroleh sarana memenuhi kebutuhan tersebut. Beberapa hari semenjak lockdown diberlakukan, media sosial banjir postingan yang lain dari hari biasanya. Ada yang mengunggah video-video pendek yang kurang lebih terkait dengan isu terkini, ada yang membagikan ulang unggahan lama berisi dokumentasi pementasan, ada pula yang mengupload foto-foto kenangan masa silam.

                Gejala serentak dan kompak berjamaah ini menurut kaca mata kami (Teater Sandilara) adalah indikasi dini pergeseran cara berekspresi di kemudian hari atau mungkin akan dimulai pada masa darurat seperti sekarang. Gencarnya arus teknologi telah banyak mengambil alih berbagai macam hajat hidup manusia, memudahkan dan mempraktiskan urusan, teramat lekat dan erat mencengkeram hari-hari kita. Sedikit demi sedikit masuk dan memberi sumbangan besar terhadap cara pandang kita. Bisa jadi, pada suatu ketika pementasan teater cukup disiarkan melalui youtube, lewat status WA, unggahan Facebook, postingan instagram, atau diedarkan dalam keping DVD yang cukup sekali pentas dan rekaman tersebut dapat digandakan hingga akhir jaman sampai tujuh turunan bahkan lebih.

                Tetapi ini hanya prediksi, sebagaimana ramalan judi togel yang bisa saja benar bisa juga salah. Pada hakekatnya teater memiliki bentuk komunikasi tersendiri antara produsen, dalam hal ini para pelakunya atau pekerjanya (bagi yang mencari penghidupan disini) dengan para konsumen (penonton atau para penikmat, penggemar dlsb). Bentuk media tersebut sudah barang tentu tidak lain dan tidak bukan adalah dengan menggelar pementasan, tatap muka secara langsung dalam keadaan seperti apapun. Sama-sama seni peran atau drama, tapi tentunya lain dengan film, sinetron, iklan layanan masyarakat, atau dokumentasi pementasan yang diunggah ulang di media sosial. Bagaimana serangkaian peristiwa tidak berlangsung dan hadir di depan mata. Berjarak baik secara ruang maupun waktu.

                Sekali lagi anggap saja ini ramalan, sonji judi Tjap Tjie Kie, atau prediksi skor pertandingan sepak bola. Setiap individu maupun kelompok akan memilih cara terbaiknya dalam berteater, menentukan kemasan yang paling tepat untuk menggelar “barang dagangan”, termasuk memilih jalan untuk memenuhi kebutuhan eksistensi dalam rangka meramaikan khasanah perteateran. Pada akhirnya nanti terjadi atau tidak bukanlah tentang salah benar, tetapi tentunya akan ada dampak yang turut menyertai setiap keputusan, dan pastinya tidak lepas dari cara pandang, cerminan ideologi, ketahanan mental, serta pengaruh kebudayaan yang lebih besar yang hari ini dianut oleh masyarakat kebanyakan, di masa wabah, di jaman digitalisasi, di era perburuan legitimasi dan eksistensi.




Surakarta, Minggu Legi, 5 April 2020
11 Sya’ban 1441 H / 11 Rejeb 1953 Wawu,
Mangsa Kasadasa, Wuku Marakeh




Joko Lelur
Mantri Carik Teater Sandilara