Kalau kekuasaan sudah kehilangan wibawa, mereka lalu akal-akalan bikin lambang-lambang hantu yang dilepas di jalan-jalan, mitos-mitos yang dekstruktif, agar masyarakat ketakutan dan minta perlindungan.
Menciptakan musuh bersama yang untuk menghadapinya hanya bisa dengan tata cara yang diinstruksikan dan dilaksanakan melalui sebuah kerja sama dengan format; pembesar dan kawula.
Sejak dulu cara itu terbukti ampuh untuk melanggengkan kekuasaan. Machiaveli pernah mengatakan bahwa masyarakat yang sedang takut lebih bisa dikendalikan dan dikuasai.
Ketertiban yang diharap kekuasaan itu bisa berupa kericuhan-kericuhan di mata kita, tetapi sejatinya memiliki pola dimana pangkal ujungnya bisa berupa kematian dan keuntungan.
Politik kekuasaan akan menciptakan ilusi (yang merupakan chemistri dari kebodohan) untuk mensukseskan permainannya.
"Ilusi bagaimana, permainan bagaimana, lhawong korban jatuhnya nyata!"
Terkadang kepolosan kita masih juga bisa sangsi, masak bisa setega itu negara? Nalar berdasar histori kita memang pendek seperti chattingan. Sampai kita lupa bahwa negara itu adalah sistem, ia bukan manusia yang berhati, dimana di dalam algoritmanya; warga adalah angka-angka yang boleh dikurangi, boleh dikurung, boleh dibagi, boleh dipecah seenak kepalanya untuk sama dengan kekuasaan berjalan.
Sejak dulu dan akan menjadi selamanya jika daulat rakyat tetap tidak ada begini. Baru ketika rezim selesai, akuntansi kejinya bisa kita nikmati di sejarah-sejarah tandingan dan panggung-panggung romantika ngritis kesenian. Tetapi di saat kita menyoroti dosa rezim yang telah bangkai, kita lupa kepada bahaya rezim baru yang sedang berkuasa mulai memainkan playrole nya. Begitu sejak orde baru sampai orde yang kian baru, masyarakat selalu terlambat teriak; saya ditipu!
Kematian memang jujur, tetapi angka dan datanya belum tentu.
Kesakitan memang nyata, tetapi diagnosa dan datanya belum tentu.
Korban berjatuhan memang ada, tetapi dipihak siapa, warga atau jajaran elit negara?
Kerugian jelas ada, tapi siapa yang nyata secara langsung menanggung bebannya?
Jika ini memang bencana untuk semua, kenapa tetap saja ada yang beruntung di atas sendi-sendi hidup kita yang buntung, founder Ruang Guru misalnya, IMF misalnya, bakul-bakul hand sanitizer dan masker mah hanya mengail upil di udara yang keruh. Tetapi modal-modal raksasa tetap jaya di langit kita.
Kapitalisme yang hampir macet sedang berevolusi ke bentuk baru, kita dipaksa setuju dengan jalan penumbalan-penumbalan. Tata cara biadab akan selalu lebih efektif karena tidak memerlukan pernak-pernik nilai-nilai kebudayaan. Ini nanti akan seperti apa bentuknya, kita yang selamat akan menyaksikanny.
Catatan ini hanya tawaran untuk eling dan terlebih waspada, tapi harusnya tidak usah dipercaya. Percayalah saja pada yang berkuasa, juga kepada pejabatnya, ulamanya, wartawannya, para ahlinya, senimannya, buzernya, influenzernya, militernya, polisinya, sebab kepada mereka kita lebih terbiasa untuk harus! Disitu kita lebih mungkin beja di zaman edan.
Catatan Gumam, 19 April 2020
Saturday, 18 April 2020
Mangkel
Mangkel.
“ Kalau
sampai grobak saya ini diangkut, saya siap kalau memang harus perang, Mas. Saya
tidak bisa harus di rumah saja, mau makan apa anak istri saya. Grobak ini
diangkut, awas saja, saya titeni orangnya,
di rumah saya ada bedil manuk tak tembak
orangnya. Saya ini sudah miskin kok mau dimiskinkan lagi ”
Pernyataan
di atas tidak dibuat-buat, dilontarkan langsung oleh seorang pedagang
angkringan. Di situasi begini ( pandemic covid 19 ), orang-orang yang paling
tidak punya nilai tawar adalah para kelas bawah, mereka sangat dirugikan. Kapan
itu saya mampir di angkringan, pedagang mengaku pendapatannya turun setengah
daripada biasanya. Sebab yang biasanya Ia berdagang dari siang sampai malam,
harus terpaksa tutup kurang dari jam sembilan malam, karena lebih dari jam
sembilan, para petugas akan datang dan menyuruh para pedagang untuk segera
tutup. Ia merasa tidak adil, sebab kalau Ia harus di rumah saja tidak ada
penjaminan tentang hidup Ia dan keluarganya.
Sementara
itu selama lebih dari satu bulan ini semua penanganan hanya bersifat anjuran,
anjuran untuk memakai masker, anjuran untuk dirumah saja, tidak ada aturan
hukum yang bersifat memaksa. Kabarnya semua itu dilakukan agar para kelas bawah
tidak terdampak atas kejadian ini, tapi tidak, itu semua justru sama dengan
membunuh para kelas bawah dengan pisau tumpul, tidak segera mati, antara hidup
segan mati tak mau. Dan jelas aturan yang hanya bersifat anjuran itu
semata-mata ketakutan pemerintah atau malah mungkin cara pemerintah untuk
menghindari tanggungjawabnya untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya. Semenjak
dulu, sebelum ada kejadian ini pemerintah memang tidak pernah memikirkan
tentang apa yang terjadi pada rakyatnya, semua keputusan hanya berdasar pada
ekonomi, investasi dan juga jalur perdagangan. Jangankan kesejahteraan rakyat,
kesehatan atau bahkan jaminan hidup tenang saja pemerintah tidak pernah bisa
memberikan kepastian.
Masyarakat
kelas menengah kebawah Indonesia sudah terbiasa sendirian tanpa adanya
pemerintah, berjuang atas hidupnya sendiri, menghidupi dirinya sendiri, ya
sebenarnya mereka itu tanpa pemerintah ya ndak
patheken. Tapi ini sangat kelewatan, sebab segala akses yang miliki dan
dipegang oleh pemerintah, data, akses, dan APBN, tapi sekan semua diserahkan
pada masyrakat, masyarakat yang harus urunan
tiap waktu, dari hari ke hari. Ini Negara atau badan amal ?!
Ada yang
bilang ke saya
“ kamu bisanya cuma ngritik, pemerintah itu
sudah berupaya, di situasi ini harusnya kita dukung pemerintah ”
Semenjak
awal siapa yang memampangkan dirinya di baliho-baliho, mencitrakan dirinya
sebagai orang baik dan layak untuk dipilih, ngumbar janji dengan ngotot dan
ngemis minta dipilih, masuk ke gang gang, melempar senyum dan juga amplop yang
isinya dari sepuluh ribu, duapuluh ribu sampai seratus ribu. Ini adalah konsekwensi
yang logis, masyarakat menuntut, mengkritik, geram, bahkan murka menyumpahi
yang jelek-jelek. Jadi akan sangat tidak wajar kalau rakyat harus terus mencoba
mengerti pemerintah, sedang pemerintah tidak pernah mengerti rakyatnya, kalau
di ibaratkan pacaran, anak-anak muda masa kini menamai ini adalah hunungan yang
toksic.
Den Bagus
Klaten, 18 April 2020.
Friday, 10 April 2020
SENIMAN KITA TAK PERCAYA PADA NILAI SENI
Teruntuk
kebudayaan selfie.
Sampailah
kita pada masa dimana dunia seni yang ceriwis tetapi sepi nilai. Keadaan yang
diakibatkan pelaku seninya sendiri, sebab telah tak percaya pada nilai seni itu
sendiri. Sehingga terhamparlah di hadapan zaman; karya-karya yang minder jika
tidak turut menjadi bagian dari pendapat dan kecenderungan umum. Dunia seni
menjadi sepi nilai; intelektual, gagasan, sudut pandang, dan perspektif. Sebenarnya
mereka tidak lupa pada hapalan mengenai betapa pentingnya nilai seni itu
sendiri untuk masyarakat, sebab hapalan itu akan sering diulang-ulang oleh
latar belakang masalah proposal-proposal mereka, badan undangan-undangan
workshop mereka, pidato pejabat ketika membuka acara mereka (kemudian pamit
pulang lebih dulu), juga ketika mereka ‘umuk’
pada anak-anak baru yang ingin mengincipi dunia seni.
Bagaimanapun
kesenian adalah dunia pemikiran, tanpa pemikiran kesenian hanyalah hiburan, seremonial,
karnaval, kondangan, burung kutut, kuda poni dan hobi pembunuh waktu senggang. Berpikir,
mengamati, mempertanyakan, mengkritik, mengantitesis, menelaah adalah hal-hal
yang akrab pada keseharian seniman, yang kemudian berlanjut pada hasrat
penyampaian gagasannya melalui jalan artistik dan tersebutlah sebagai karya.
Tanpa
gagasan para pencipta karya baiknya menyebut dirinya sebagai golongan yang berkarya
(tapi tak usah disingkat) daripada seniman. Bukan maksud melarang-larang,
maksudku agar tak kabur istilah yang mendangkalkan kanal kebudayaan. Meskipun kamu
pun sering kabur, kan? dari predikat seniman ketika intelektualmu dituntut
dengan mengatakan, “ah saya bukan seniman, kok!” padahal berikutnya aku tahu
kau rutin meminta bantuan dengan mengatasnamakan diri sebagai seniman, dan yang
lain hanya akan mendiamkan karena mereka pun seiman.
Sebuah
karya seni lahir karena ada gagasan yang ingin disampaikan, bukan membuat karya
agar dirimu ‘digagas’ atau
diperhatikan. Memang sedang menjadi nasib bersama, seniman kita musti hidup di
tengah masyarakat yang buta nilai pada seni. Keuntungan menurut mereka adalah
untung uang. Mendapatkan, menurut mereka adalah income rupiah. Sehingga tips
menjadi kaya tentu akan lebih menarik perhatian mereka ketimbang karya-karya
seni yang berisi.
Memang sedang begini,
orang-orang lebih tertarik tipografi ketimbang isi, lebih terpukau pada
lanscape-nya ketimbang fenomenanya. Lebih membenci terorisme ketimbang
ketimpangan.
Tetapi
hendaknya jangan lupa, bahwa kepada siapa karya seni berbicara tidak teruntuk
masa sekarang saja sebab mungkin pula lintas generasi, juga jangan lupa
bagaimana seniman berbicara tidak melulu harus melalui ketenaran atau
ke-viral-an. Karya seni adalah benih, benih tak tumbuh di mall, pasar, stasiun
televisi, dan hiruk pikuk. Benih lebih tumbuh di tempat yang jauh dari hingar
bingar pasar, jauh dari pemerintah, dan jauh dari sorotan kamera.
Saya
tahu ketidakpercayaan diri seniman pada nilai seni sendiri bukan salah watak dan
pribadi seniman semata. Ini juga merupakan perkara eksistensi seluruh umat
manusia di era informatika. Juga perkara tatanan negara yang buta terhadap nilai-nilai
yang bersifat visioner. Sialnya nilai seni biasanya seperti ramalan jauh-jauh
hari yang tak sanggup digarap oleh negara untuk menjadi sebuah kebijakan. Maka
seperti sia-sia saja; sajak ‘Pulau Bali’ Rendra yang jauh sebelum persoalan
masa kini seperti; reklamasi dan bentrokan penduduk asli dengan para bule yang
mabuk lalu kurang ajar. Juga ramalan
Joko Bibit Santoso sebelum meninggal; mengenai salah satu puncak permasalahan
dari arus globalisasi akan terjadi di 2020. Itu semua ternyata memang terjadi,
dan rumusan-rumusan; peringatan-peringatan dari seniman-seniman melalui
gagasannya yang visioner; seperti hanya enak didengarkan tetapi menjadi gagal
untuk mencegah keadaan yang menakutkan. Ini akibat dari negara yang hanya
mendasarkan kebijakan pada ahli ekonom dan neraca pembangunan saja!
Gambaran
tersebut merupakan faktor yang menggerogot mental seniman kita, sehingga mereka
pun jadi tak percaya pada makna nilai seni itu sendiri. Sehingga nilai seni
mereka tukar dengan nilai-nilai eksistensi yang berwujud karya-karya yang dalam
rangka turut menjadi bagian dari pendapat dan kecenderungan umum. Bahkan mereka
takut dianggap tidak memiliki kepedulian, padahal perihal ‘peduli’ bagi seniman
harusnya sudah merupakan hal yang tak perlu dibicarakan lagi. Mana mungkin
kekaryaan lahir tanpa kepedulian? Tetapi yang terjadi masih saja gila citra
untuk peduli, sama saja dengan politisi, sama saja dengan Raffi-Gigi, mereka
turut pula bertata-cara mengunjukkan diri di hadapan masyarakat kepedulian
mereka dengan bendera kesenimannya. Menawarkan karya dengan embel-embel; dalam
rangka bla-bla-bla hasil penjualan akan bla-bla-bla! Lalu apa tawaran gagasan
intelektual dan visi di dalam nilai karya senimu itu sendiri, selain kalau
nanti sudah jadi uang akan disumbangkan? Nol kah? Lha kok macam badan Amil Zakat,
departemen sosial, juga lembaga-lembaga kebaikan begitu?
Apa
setelah permasalahan yang ramai ini tak ada masa depan yang perlu dijangkau
oleh visi karya seni lagi?
Idnas
Aral
Sukoharjo,
10 April 2020
Saturday, 4 April 2020
PUASA PENTAS LEBIH AWAL SEBELUM DATANG BULAN RAMADHAN
Sebelumnya marilah kita,
para hadirin yang jumlahnya tidak sampai setengah lusin, berdoa bersama-sama
seraya menundukkan kepala untuk sejenak mengenang “arwah” pamflet-pamflet
pementasan teater yang “gugur” sebelum hari pementasan tiba, yang mana pada
akhirnya dinyatakan gagal pentas sesuai waktu yang dijadwalkan akibat negara
kita sedang dilanda malapetaka wabah berbahaya. Semoga tidak benar-benar
diundur dalam waktu yang relatif lama, agar para pekerjanya tidak kehilangan
mata pencaharian, agar proyek-proyek yang sudah direncakan tidak menderita
kerugian terlalu besar, dan pemerintah tidak perlu memberikan dana kompensasi demi
keberlangsungan hidup “seniman”. Amiin...
-Sambutan Kepala Redaksi Pada Acara Ulang Tahun ke-2 Koran
Medan Prihatin-
Siapa
sangka siapa kira, tahun ini kita dihebohkan dengan wabah yang memberi dampak
bagi semua aspek dan sektor kehidupan, satu sama lain saling terkait,
pendidikan, kebudayaan, kesenian, ekonomi, barangkali juga politik. Pemerintah memberi himbauan kepada masyarakat
untuk tidak melakukan aktivitas di luar rumah. Tentunya tidak terkecuali untuk
kegiatan seni dan budaya. Solo, kota yang memiliki predikat sebagai barometer
peristiwa besar di negara ini telah memulai program tersebut, terhitung sejak hari
sabtu tanggal 14 Maret 2020 walikota menetapkan status KLB (kejadian luar
biasa), hingga hari ini status darurat penyakit menular tersebut belum dicabut.
Kegiatan seni di kota ini secara otomatis tertunda, sebab kebijakan tersebut
melarang adanya pengumpulan massa. Sementara kesenian sudah barang tentu
termasuk kegiatan yang sifatnya melibatkan banyak orang untuk berkumpul pada
suatu tempat. Di media sosial pamflet-pamflet pementasan teater yang sudah
terlanjur dipublikasikan kemudian diposting ulang dengan disertai stempel “ditunda
untuk waktu yang tidak ditentukan”. Ya, mau tidak mau, suka tidak suka, harus
sama-sama kita terima kenyataan ini.
Pada
musim-musim normal (tidak ada isu wabah), antara bulan Maret hingga minggu terakhir
sebelum bulan puasa (untuk tahun ini jatuh pada pertengahan bulan April)
biasanya banyak kelompok teater yang sudah merencanakan pementasan mereka. Pamflet
pemberitahuan disebarluaskan, penjualan tiket mulai dibuka, jadwal dan porsi latihan
bagi para pemain semakin diperketat, dan urusan keproduksian ditata sebaik
mungkin. Tetapi tahun ini, tidak sedikit pula kelompok teater yang hendak
mengadakan pentas harus gigit jari. Rata-rata dari mereka ternyata bersikap
bijak dan sebagai pekerja seni memberikan contoh yang baik kepada masyarakat,
yakni dengan tidak menggerutu kepada keadaan, tampak bahagia dalam situasi
sulit dan terpaksa mempersempit ruang gerak. Rajin dan ikut andil membantu
pemerintah dalam kegiatan sosialisasi kebijakan lockdown melalui akun jejaring sosial mereka. Menyusun kata-kata
himbauan, membuat video-video dengan tema seputar fenomena wabah, dan tentunya
sambil putar otak atur strategi demi eksistensi diri dan kelompok masing-masing.
Memilih Berpuasa
Pentas Untuk Sementara Atau Mencari Alternatif Media Berekspresi
Puasa berpentas bukan
berarti puasa atau libur latihan, secara total melepas segala sesuatu yang
sudah dipersiapkan. Proses garapan naskah sebisa mungkin tetap berlangsung, seminimal
mungkin sesuai keadaan masing-masing anggota, sambil menunggu situasi kembali
normal untuk kemudian menata ulang jadwal. Berat memang, bersabar dan menahan
diri, menanti sesuatu yang tidak pasti dan mungkin saja seperti melakukan
perjudian, mempertaruhkan keutuhan garapan dari berbagai segi. Bisa jadi
nantinya semakin matang dan solid atau malah bubar, gagal total ditinggalkan
para anggotanya yang harus segera menjalani jadwal kegiatan lain di luar
kelompok. Mengingat sekarang ini kesibukan setiap orang semakin padat, baik
yang masih kuliah maupun yang sudah bekerja.
Manusia sebagai makhluk
sosial memiliki kebutuhan unjuk diri agar eksistensi serta peran hidup yang
dipilihnya tetap tersalurkan, identitas diri yang coba dirintisnya tetap terjaga,
dan untuk itu seseorang akan menempuh banyak jalan sesuai porsi masing-masing,
melakukan berbagai macam cara yang dapat dilakukan. Perkembangan teknologi
komunikasi di jaman serba canggih ini memberi banyak jalan untuk setiap
individu memeroleh sarana memenuhi kebutuhan tersebut. Beberapa hari semenjak lockdown diberlakukan, media sosial
banjir postingan yang lain dari hari biasanya. Ada yang mengunggah video-video
pendek yang kurang lebih terkait dengan isu terkini, ada yang membagikan ulang
unggahan lama berisi dokumentasi pementasan, ada pula yang mengupload foto-foto
kenangan masa silam.
Gejala
serentak dan kompak berjamaah ini menurut kaca mata kami (Teater Sandilara)
adalah indikasi dini pergeseran cara berekspresi di kemudian hari atau mungkin akan
dimulai pada masa darurat seperti sekarang. Gencarnya arus teknologi telah
banyak mengambil alih berbagai macam hajat hidup manusia, memudahkan dan
mempraktiskan urusan, teramat lekat dan erat mencengkeram hari-hari kita. Sedikit
demi sedikit masuk dan memberi sumbangan besar terhadap cara pandang kita. Bisa
jadi, pada suatu ketika pementasan teater cukup disiarkan melalui youtube, lewat
status WA, unggahan Facebook, postingan instagram, atau diedarkan dalam keping
DVD yang cukup sekali pentas dan rekaman tersebut dapat digandakan hingga akhir
jaman sampai tujuh turunan bahkan lebih.
Tetapi
ini hanya prediksi, sebagaimana ramalan judi togel yang bisa saja benar bisa juga
salah. Pada hakekatnya teater memiliki bentuk komunikasi tersendiri antara produsen,
dalam hal ini para pelakunya atau pekerjanya (bagi yang mencari penghidupan
disini) dengan para konsumen (penonton atau para penikmat, penggemar dlsb). Bentuk
media tersebut sudah barang tentu tidak lain dan tidak bukan adalah dengan
menggelar pementasan, tatap muka secara langsung dalam keadaan seperti apapun. Sama-sama
seni peran atau drama, tapi tentunya lain dengan film, sinetron, iklan layanan
masyarakat, atau dokumentasi pementasan yang diunggah ulang di media sosial. Bagaimana
serangkaian peristiwa tidak berlangsung dan hadir di depan mata. Berjarak baik
secara ruang maupun waktu.
Sekali
lagi anggap saja ini ramalan, sonji
judi Tjap Tjie Kie, atau prediksi skor pertandingan sepak bola. Setiap individu
maupun kelompok akan memilih cara terbaiknya dalam berteater, menentukan kemasan
yang paling tepat untuk menggelar “barang dagangan”, termasuk memilih jalan
untuk memenuhi kebutuhan eksistensi dalam rangka meramaikan khasanah
perteateran. Pada akhirnya nanti terjadi atau tidak bukanlah tentang salah
benar, tetapi tentunya akan ada dampak yang turut menyertai setiap keputusan,
dan pastinya tidak lepas dari cara pandang, cerminan ideologi, ketahanan
mental, serta pengaruh kebudayaan yang lebih besar yang hari ini dianut oleh masyarakat
kebanyakan, di masa wabah, di jaman digitalisasi, di era perburuan legitimasi
dan eksistensi.
Surakarta,
Minggu Legi, 5 April 2020
11
Sya’ban 1441 H / 11 Rejeb 1953 Wawu,
Mangsa
Kasadasa, Wuku Marakeh
Joko Lelur
Mantri
Carik Teater Sandilara
Subscribe to:
Posts (Atom)