Saturday, 18 April 2020

Mangkel


Mangkel.

“ Kalau sampai grobak saya ini diangkut, saya siap kalau memang harus perang, Mas. Saya tidak bisa harus di rumah saja, mau makan apa anak istri saya. Grobak ini diangkut, awas saja, saya titeni orangnya, di rumah saya ada bedil manuk tak tembak orangnya. Saya ini sudah miskin kok mau dimiskinkan lagi ”

Pernyataan di atas tidak dibuat-buat, dilontarkan langsung oleh seorang pedagang angkringan. Di situasi begini ( pandemic covid 19 ), orang-orang yang paling tidak punya nilai tawar adalah para kelas bawah, mereka sangat dirugikan. Kapan itu saya mampir di angkringan, pedagang mengaku pendapatannya turun setengah daripada biasanya. Sebab yang biasanya Ia berdagang dari siang sampai malam, harus terpaksa tutup kurang dari jam sembilan malam, karena lebih dari jam sembilan, para petugas akan datang dan menyuruh para pedagang untuk segera tutup. Ia merasa tidak adil, sebab kalau Ia harus di rumah saja tidak ada penjaminan tentang hidup Ia dan keluarganya.
Sementara itu selama lebih dari satu bulan ini semua penanganan hanya bersifat anjuran, anjuran untuk memakai masker, anjuran untuk dirumah saja, tidak ada aturan hukum yang bersifat memaksa. Kabarnya semua itu dilakukan agar para kelas bawah tidak terdampak atas kejadian ini, tapi tidak, itu semua justru sama dengan membunuh para kelas bawah dengan pisau tumpul, tidak segera mati, antara hidup segan mati tak mau. Dan jelas aturan yang hanya bersifat anjuran itu semata-mata ketakutan pemerintah atau malah mungkin cara pemerintah untuk menghindari tanggungjawabnya untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya. Semenjak dulu, sebelum ada kejadian ini pemerintah memang tidak pernah memikirkan tentang apa yang terjadi pada rakyatnya, semua keputusan hanya berdasar pada ekonomi, investasi dan juga jalur perdagangan. Jangankan kesejahteraan rakyat, kesehatan atau bahkan jaminan hidup tenang saja pemerintah tidak pernah bisa memberikan kepastian.
Masyarakat kelas menengah kebawah Indonesia sudah terbiasa sendirian tanpa adanya pemerintah, berjuang atas hidupnya sendiri, menghidupi dirinya sendiri, ya sebenarnya mereka itu tanpa pemerintah ya ndak patheken. Tapi ini sangat kelewatan, sebab segala akses yang miliki dan dipegang oleh pemerintah, data, akses, dan APBN, tapi sekan semua diserahkan pada masyrakat, masyarakat yang harus urunan tiap waktu, dari hari ke hari. Ini Negara atau badan amal ?!
Ada yang bilang ke saya
 “ kamu bisanya cuma ngritik, pemerintah itu sudah berupaya, di situasi ini harusnya kita dukung pemerintah ”
Semenjak awal siapa yang memampangkan dirinya di baliho-baliho, mencitrakan dirinya sebagai orang baik dan layak untuk dipilih, ngumbar janji dengan ngotot dan ngemis minta dipilih, masuk ke gang gang, melempar senyum dan juga amplop yang isinya dari sepuluh ribu, duapuluh ribu sampai seratus ribu. Ini adalah konsekwensi yang logis, masyarakat menuntut, mengkritik, geram, bahkan murka menyumpahi yang jelek-jelek. Jadi akan sangat tidak wajar kalau rakyat harus terus mencoba mengerti pemerintah, sedang pemerintah tidak pernah mengerti rakyatnya, kalau di ibaratkan pacaran, anak-anak muda masa kini menamai ini adalah hunungan yang toksic.

Den Bagus
Klaten, 18 April 2020.


No comments:

Post a Comment