Mangkel.
“ Kalau
sampai grobak saya ini diangkut, saya siap kalau memang harus perang, Mas. Saya
tidak bisa harus di rumah saja, mau makan apa anak istri saya. Grobak ini
diangkut, awas saja, saya titeni orangnya,
di rumah saya ada bedil manuk tak tembak
orangnya. Saya ini sudah miskin kok mau dimiskinkan lagi ”
Pernyataan
di atas tidak dibuat-buat, dilontarkan langsung oleh seorang pedagang
angkringan. Di situasi begini ( pandemic covid 19 ), orang-orang yang paling
tidak punya nilai tawar adalah para kelas bawah, mereka sangat dirugikan. Kapan
itu saya mampir di angkringan, pedagang mengaku pendapatannya turun setengah
daripada biasanya. Sebab yang biasanya Ia berdagang dari siang sampai malam,
harus terpaksa tutup kurang dari jam sembilan malam, karena lebih dari jam
sembilan, para petugas akan datang dan menyuruh para pedagang untuk segera
tutup. Ia merasa tidak adil, sebab kalau Ia harus di rumah saja tidak ada
penjaminan tentang hidup Ia dan keluarganya.
Sementara
itu selama lebih dari satu bulan ini semua penanganan hanya bersifat anjuran,
anjuran untuk memakai masker, anjuran untuk dirumah saja, tidak ada aturan
hukum yang bersifat memaksa. Kabarnya semua itu dilakukan agar para kelas bawah
tidak terdampak atas kejadian ini, tapi tidak, itu semua justru sama dengan
membunuh para kelas bawah dengan pisau tumpul, tidak segera mati, antara hidup
segan mati tak mau. Dan jelas aturan yang hanya bersifat anjuran itu
semata-mata ketakutan pemerintah atau malah mungkin cara pemerintah untuk
menghindari tanggungjawabnya untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya. Semenjak
dulu, sebelum ada kejadian ini pemerintah memang tidak pernah memikirkan
tentang apa yang terjadi pada rakyatnya, semua keputusan hanya berdasar pada
ekonomi, investasi dan juga jalur perdagangan. Jangankan kesejahteraan rakyat,
kesehatan atau bahkan jaminan hidup tenang saja pemerintah tidak pernah bisa
memberikan kepastian.
Masyarakat
kelas menengah kebawah Indonesia sudah terbiasa sendirian tanpa adanya
pemerintah, berjuang atas hidupnya sendiri, menghidupi dirinya sendiri, ya
sebenarnya mereka itu tanpa pemerintah ya ndak
patheken. Tapi ini sangat kelewatan, sebab segala akses yang miliki dan
dipegang oleh pemerintah, data, akses, dan APBN, tapi sekan semua diserahkan
pada masyrakat, masyarakat yang harus urunan
tiap waktu, dari hari ke hari. Ini Negara atau badan amal ?!
Ada yang
bilang ke saya
“ kamu bisanya cuma ngritik, pemerintah itu
sudah berupaya, di situasi ini harusnya kita dukung pemerintah ”
Semenjak
awal siapa yang memampangkan dirinya di baliho-baliho, mencitrakan dirinya
sebagai orang baik dan layak untuk dipilih, ngumbar janji dengan ngotot dan
ngemis minta dipilih, masuk ke gang gang, melempar senyum dan juga amplop yang
isinya dari sepuluh ribu, duapuluh ribu sampai seratus ribu. Ini adalah konsekwensi
yang logis, masyarakat menuntut, mengkritik, geram, bahkan murka menyumpahi
yang jelek-jelek. Jadi akan sangat tidak wajar kalau rakyat harus terus mencoba
mengerti pemerintah, sedang pemerintah tidak pernah mengerti rakyatnya, kalau
di ibaratkan pacaran, anak-anak muda masa kini menamai ini adalah hunungan yang
toksic.
Den Bagus
Klaten, 18 April 2020.
No comments:
Post a Comment