Teruntuk
kebudayaan selfie.
Sampailah
kita pada masa dimana dunia seni yang ceriwis tetapi sepi nilai. Keadaan yang
diakibatkan pelaku seninya sendiri, sebab telah tak percaya pada nilai seni itu
sendiri. Sehingga terhamparlah di hadapan zaman; karya-karya yang minder jika
tidak turut menjadi bagian dari pendapat dan kecenderungan umum. Dunia seni
menjadi sepi nilai; intelektual, gagasan, sudut pandang, dan perspektif. Sebenarnya
mereka tidak lupa pada hapalan mengenai betapa pentingnya nilai seni itu
sendiri untuk masyarakat, sebab hapalan itu akan sering diulang-ulang oleh
latar belakang masalah proposal-proposal mereka, badan undangan-undangan
workshop mereka, pidato pejabat ketika membuka acara mereka (kemudian pamit
pulang lebih dulu), juga ketika mereka ‘umuk’
pada anak-anak baru yang ingin mengincipi dunia seni.
Bagaimanapun
kesenian adalah dunia pemikiran, tanpa pemikiran kesenian hanyalah hiburan, seremonial,
karnaval, kondangan, burung kutut, kuda poni dan hobi pembunuh waktu senggang. Berpikir,
mengamati, mempertanyakan, mengkritik, mengantitesis, menelaah adalah hal-hal
yang akrab pada keseharian seniman, yang kemudian berlanjut pada hasrat
penyampaian gagasannya melalui jalan artistik dan tersebutlah sebagai karya.
Tanpa
gagasan para pencipta karya baiknya menyebut dirinya sebagai golongan yang berkarya
(tapi tak usah disingkat) daripada seniman. Bukan maksud melarang-larang,
maksudku agar tak kabur istilah yang mendangkalkan kanal kebudayaan. Meskipun kamu
pun sering kabur, kan? dari predikat seniman ketika intelektualmu dituntut
dengan mengatakan, “ah saya bukan seniman, kok!” padahal berikutnya aku tahu
kau rutin meminta bantuan dengan mengatasnamakan diri sebagai seniman, dan yang
lain hanya akan mendiamkan karena mereka pun seiman.
Sebuah
karya seni lahir karena ada gagasan yang ingin disampaikan, bukan membuat karya
agar dirimu ‘digagas’ atau
diperhatikan. Memang sedang menjadi nasib bersama, seniman kita musti hidup di
tengah masyarakat yang buta nilai pada seni. Keuntungan menurut mereka adalah
untung uang. Mendapatkan, menurut mereka adalah income rupiah. Sehingga tips
menjadi kaya tentu akan lebih menarik perhatian mereka ketimbang karya-karya
seni yang berisi.
Memang sedang begini,
orang-orang lebih tertarik tipografi ketimbang isi, lebih terpukau pada
lanscape-nya ketimbang fenomenanya. Lebih membenci terorisme ketimbang
ketimpangan.
Tetapi
hendaknya jangan lupa, bahwa kepada siapa karya seni berbicara tidak teruntuk
masa sekarang saja sebab mungkin pula lintas generasi, juga jangan lupa
bagaimana seniman berbicara tidak melulu harus melalui ketenaran atau
ke-viral-an. Karya seni adalah benih, benih tak tumbuh di mall, pasar, stasiun
televisi, dan hiruk pikuk. Benih lebih tumbuh di tempat yang jauh dari hingar
bingar pasar, jauh dari pemerintah, dan jauh dari sorotan kamera.
Saya
tahu ketidakpercayaan diri seniman pada nilai seni sendiri bukan salah watak dan
pribadi seniman semata. Ini juga merupakan perkara eksistensi seluruh umat
manusia di era informatika. Juga perkara tatanan negara yang buta terhadap nilai-nilai
yang bersifat visioner. Sialnya nilai seni biasanya seperti ramalan jauh-jauh
hari yang tak sanggup digarap oleh negara untuk menjadi sebuah kebijakan. Maka
seperti sia-sia saja; sajak ‘Pulau Bali’ Rendra yang jauh sebelum persoalan
masa kini seperti; reklamasi dan bentrokan penduduk asli dengan para bule yang
mabuk lalu kurang ajar. Juga ramalan
Joko Bibit Santoso sebelum meninggal; mengenai salah satu puncak permasalahan
dari arus globalisasi akan terjadi di 2020. Itu semua ternyata memang terjadi,
dan rumusan-rumusan; peringatan-peringatan dari seniman-seniman melalui
gagasannya yang visioner; seperti hanya enak didengarkan tetapi menjadi gagal
untuk mencegah keadaan yang menakutkan. Ini akibat dari negara yang hanya
mendasarkan kebijakan pada ahli ekonom dan neraca pembangunan saja!
Gambaran
tersebut merupakan faktor yang menggerogot mental seniman kita, sehingga mereka
pun jadi tak percaya pada makna nilai seni itu sendiri. Sehingga nilai seni
mereka tukar dengan nilai-nilai eksistensi yang berwujud karya-karya yang dalam
rangka turut menjadi bagian dari pendapat dan kecenderungan umum. Bahkan mereka
takut dianggap tidak memiliki kepedulian, padahal perihal ‘peduli’ bagi seniman
harusnya sudah merupakan hal yang tak perlu dibicarakan lagi. Mana mungkin
kekaryaan lahir tanpa kepedulian? Tetapi yang terjadi masih saja gila citra
untuk peduli, sama saja dengan politisi, sama saja dengan Raffi-Gigi, mereka
turut pula bertata-cara mengunjukkan diri di hadapan masyarakat kepedulian
mereka dengan bendera kesenimannya. Menawarkan karya dengan embel-embel; dalam
rangka bla-bla-bla hasil penjualan akan bla-bla-bla! Lalu apa tawaran gagasan
intelektual dan visi di dalam nilai karya senimu itu sendiri, selain kalau
nanti sudah jadi uang akan disumbangkan? Nol kah? Lha kok macam badan Amil Zakat,
departemen sosial, juga lembaga-lembaga kebaikan begitu?
Apa
setelah permasalahan yang ramai ini tak ada masa depan yang perlu dijangkau
oleh visi karya seni lagi?
Idnas
Aral
Sukoharjo,
10 April 2020
No comments:
Post a Comment