Friday, 10 April 2020

SENIMAN KITA TAK PERCAYA PADA NILAI SENI


Teruntuk kebudayaan selfie.

Sampailah kita pada masa dimana dunia seni yang ceriwis tetapi sepi nilai. Keadaan yang diakibatkan pelaku seninya sendiri, sebab telah tak percaya pada nilai seni itu sendiri. Sehingga terhamparlah di hadapan zaman; karya-karya yang minder jika tidak turut menjadi bagian dari pendapat dan kecenderungan umum. Dunia seni menjadi sepi nilai; intelektual, gagasan, sudut pandang, dan perspektif. Sebenarnya mereka tidak lupa pada hapalan mengenai betapa pentingnya nilai seni itu sendiri untuk masyarakat, sebab hapalan itu akan sering diulang-ulang oleh latar belakang masalah proposal-proposal mereka, badan undangan-undangan workshop mereka, pidato pejabat ketika membuka acara mereka (kemudian pamit pulang lebih dulu), juga ketika mereka ‘umuk’ pada anak-anak baru yang ingin mengincipi dunia seni.  

Bagaimanapun kesenian adalah dunia pemikiran, tanpa pemikiran kesenian hanyalah hiburan, seremonial, karnaval, kondangan, burung kutut, kuda poni dan hobi pembunuh waktu senggang. Berpikir, mengamati, mempertanyakan, mengkritik, mengantitesis, menelaah adalah hal-hal yang akrab pada keseharian seniman, yang kemudian berlanjut pada hasrat penyampaian gagasannya melalui jalan artistik dan tersebutlah sebagai karya.

Tanpa gagasan para pencipta karya baiknya menyebut dirinya sebagai golongan yang berkarya (tapi tak usah disingkat) daripada seniman. Bukan maksud melarang-larang, maksudku agar tak kabur istilah yang mendangkalkan kanal kebudayaan. Meskipun kamu pun sering kabur, kan? dari predikat seniman ketika intelektualmu dituntut dengan mengatakan, “ah saya bukan seniman, kok!” padahal berikutnya aku tahu kau rutin meminta bantuan dengan mengatasnamakan diri sebagai seniman, dan yang lain hanya akan mendiamkan karena mereka pun seiman.


Sebuah karya seni lahir karena ada gagasan yang ingin disampaikan, bukan membuat karya agar dirimu ‘digagas’ atau diperhatikan. Memang sedang menjadi nasib bersama, seniman kita musti hidup di tengah masyarakat yang buta nilai pada seni. Keuntungan menurut mereka adalah untung uang. Mendapatkan, menurut mereka adalah income rupiah. Sehingga tips menjadi kaya tentu akan lebih menarik perhatian mereka ketimbang karya-karya seni yang berisi.

Memang sedang begini, orang-orang lebih tertarik tipografi ketimbang isi, lebih terpukau pada lanscape-nya ketimbang fenomenanya. Lebih membenci terorisme ketimbang ketimpangan.

Tetapi hendaknya jangan lupa, bahwa kepada siapa karya seni berbicara tidak teruntuk masa sekarang saja sebab mungkin pula lintas generasi, juga jangan lupa bagaimana seniman berbicara tidak melulu harus melalui ketenaran atau ke-viral-an. Karya seni adalah benih, benih tak tumbuh di mall, pasar, stasiun televisi, dan hiruk pikuk. Benih lebih tumbuh di tempat yang jauh dari hingar bingar pasar, jauh dari pemerintah, dan jauh dari sorotan kamera.

Saya tahu ketidakpercayaan diri seniman pada nilai seni sendiri bukan salah watak dan pribadi seniman semata. Ini juga merupakan perkara eksistensi seluruh umat manusia di era informatika. Juga perkara tatanan negara yang buta terhadap nilai-nilai yang bersifat visioner. Sialnya nilai seni biasanya seperti ramalan jauh-jauh hari yang tak sanggup digarap oleh negara untuk menjadi sebuah kebijakan. Maka seperti sia-sia saja; sajak ‘Pulau Bali’ Rendra yang jauh sebelum persoalan masa kini seperti; reklamasi dan bentrokan penduduk asli dengan para bule yang mabuk lalu kurang ajar.  Juga ramalan Joko Bibit Santoso sebelum meninggal; mengenai salah satu puncak permasalahan dari arus globalisasi akan terjadi di 2020. Itu semua ternyata memang terjadi, dan rumusan-rumusan; peringatan-peringatan dari seniman-seniman melalui gagasannya yang visioner; seperti hanya enak didengarkan tetapi menjadi gagal untuk mencegah keadaan yang menakutkan. Ini akibat dari negara yang hanya mendasarkan kebijakan pada ahli ekonom dan neraca pembangunan saja!

Gambaran tersebut merupakan faktor yang menggerogot mental seniman kita, sehingga mereka pun jadi tak percaya pada makna nilai seni itu sendiri. Sehingga nilai seni mereka tukar dengan nilai-nilai eksistensi yang berwujud karya-karya yang dalam rangka turut menjadi bagian dari pendapat dan kecenderungan umum. Bahkan mereka takut dianggap tidak memiliki kepedulian, padahal perihal ‘peduli’ bagi seniman harusnya sudah merupakan hal yang tak perlu dibicarakan lagi. Mana mungkin kekaryaan lahir tanpa kepedulian? Tetapi yang terjadi masih saja gila citra untuk peduli, sama saja dengan politisi, sama saja dengan Raffi-Gigi, mereka turut pula bertata-cara mengunjukkan diri di hadapan masyarakat kepedulian mereka dengan bendera kesenimannya. Menawarkan karya dengan embel-embel; dalam rangka bla-bla-bla hasil penjualan akan bla-bla-bla! Lalu apa tawaran gagasan intelektual dan visi di dalam nilai karya senimu itu sendiri, selain kalau nanti sudah jadi uang akan disumbangkan? Nol kah? Lha kok macam badan Amil Zakat, departemen sosial, juga lembaga-lembaga kebaikan begitu?
Apa setelah permasalahan yang ramai ini tak ada masa depan yang perlu dijangkau oleh visi karya seni lagi?

Idnas Aral
Sukoharjo, 10 April 2020 

No comments:

Post a Comment