Sunday, 25 October 2015

Daniel Soekarno: Membina Orang-Orang Bermasalah Sebagai Anaknya

Daniel Soekarno

Pada awalnya saya mendatangi rumahnya untuk mengetahui lebih banyak mengenai kesenian Wayang Rakyat yang ia geluti. Namun ternyata Wayang Rakyat hanyalah salah satu dari sekian banyak pengabdiannya untuk masyarakat.

Daniel Soekarno, kelahiran Sukoharjo,  14 Maret 1960 sedang menyirami tanamannya ketika ditemui di rumahnya. Rumah yang ia tinggali bersama keluarganya sejak tahun 2000 silam itu terletak di Gabahan, Kel. Sonorejo, Kec. Sukoharjo, Sukoharjo.
Dusun Gabahan merupakan sentra industri wayang kulit, namun Daniel melihat anak muda di wilayah tersebut kurang tertarik terhadap kesenian wayang kulit. Berawal dari kegelisahan tersebut , ia pun berinisiatif menciptakan wayang dengan tokoh-tokoh dari kehidupan sehari-hari. Di dalam wayangnya terdapat tokoh anak Punk, Pak Haji, Pak Hansip dll.
Dengan bermediakan wayang Daniel mendongeng untuk menyampaikan pesan-pesan sosial kepada anak-anak. Anak-anak tertarik karena tokoh-tokoh dibuat berdasar orang-orang yang dekat dengan mereka. Selain itu, bahasa dan penceritaan yang sederhana membuat anak-anak udah menikmati.
 “ Saya lebih senang kalau wayang saya ini dinamakan wayang rakyat, karena dekat dengan masyarakat kecil.” ungkapnya ketika ditanya mengenai nama wayangnya.
Sempat ia diberi tahu oleh orang, bahwa dahulu sudah ada wayang semacam itu dan bernama Wayang Suluh. Meskipun ia bingung dengan nama wayangnya, banyak orang menamakan wayang rayat dan ia lebih senang dengan istilah tersebut.
Ketika melihat koleksi wayang rakyatnya, ternyata saya juga melihat Wayang Purwa. Ternyata kepemilikan wayang tersebut itu berawal dari jalan-jalan di klitikan dan melihat wayang-wayang tersebut.
“Waktu saya di Klithikan Semanggi, wayang-wayang itu umpel-umpelan ra karuan. Dari situlah saya melihat wayang kok enggak dihargai, lalu saya beli.” ungkapnya.
Wayang sak umbruk itu hanya ia beli 30ribu, lalu ia perbaiki wayang-wayang tersebut. Semenjak kejadian tersebut setiap ia melihat wayang di klithikan ia beli, ia perbaiki, namun ia enggan menjualnya kembali.
Latar belakang sosok Daniel bukanlah dalang, ia adalah pendeta yang memutuskan untuk keluar dari gereja dan total mengabdikan diri di masyarakat. Wayang Rakyat hanyalah salah satu dari sekian pengabdian sosialnya. Di rumahnya yang sederhana tersebut ia memberikan pelayanan dengan menampung orang-orang yang bermasalah.
“Saya itu pekerja sosial. Sebenarnya saya rohaniawan tetapi ternyata jiwa sosial saya lebih dominan.”
Ia sering ke penjara-penjara memberikan pelayanan rohani. Dari situ ia melihat bahwa nasib keluarga narapidana yang ditinggalkan ternyata lebih terpuruk.
“Yang dipenjara itu kalau mau menerima kenyataan tetep bisa hidup karena diopeni oleh negara, tetapi keluarga yang ditinggalkan itu lebih menderita lho.” ungkapnya.
Yang ia maksudkan adalah istri para narapidana harus tetap menghidupi keluarga, dikucilkan masyarakat, bahkan terkadang harus berhadapan dengan dekoleptor, hakim, jaksa, dan polisi.
Melihat kompleksitas permasalahan tersebut, ia memperluas pelayanannya tidak hanya pada si narapidana tetapi juga kepada keluarganya. Tidak hanya sekedar memberi penyuluhan permasalahan keluarga napi, ia juga menampung para mantan napi dan juga keluarga napi yang terlantar. Diantaranya adalah Alex dan Dika, yang saat ini masih tinggal di rumahnya. Alex kini ia ajari membuka wedangan di desa tersebut sedang Dika  sedang dalam proses mengurus ijasah yang hilang untuk melanjutkan pendidikannya.


Keluarga mendukung penuh dan siap menanggung resiko

Bersama istri

Totalitas Daniel dalam kegiatan sosialnya tersebut mendapat dukungan penuh dari keluarganya. Istri dan tiga anaknya telah menganggap anak binaan sebagai keluarga sendiri.“ Sudah tidak ada istilah ini urusan sosial bapak ini urusan keluarga. Jadi semua kami lakukan bersama, hati sudah sama. Pada akhirnya hati anak-anak juga bisa memahami.” ungkap bu Daniel ketika ditanya pendapatnya mengenai kegiatan suaminya.

“Setelah mereka masuk di rumah ini, sudah bukan orang asing. Di meja makan tidak ada yang dibedakan sama sekali.” tambah Daniel.
Selain Alex, telah banyak orang-orang dengan berbagai macam latar belakang dan usia yang ia bimbing di rumahnya. Banyak yang telah berhasil kembali di tengah masyarakat dan berkeluarga tetapi ada pula yang justru membawa kabur harta dan motornya.
“Resiko pelayanan itu juga ada, kan saya nampung anak itu tidak semua orang baik. Pernah saya dihabiskan entek-entekan.” ungkapnya.
Kejadian tersebut terjadi ketika seluruh keluarga ada acara dan si pelaku mengaku sakit dan memilih tinggal di rumah. Padahal si pencuri itu sudah tinggal di rumahnya selama satu tahun. Hal semacam itu terjadi berulang kali, bahkan ada anak binaan yang berani mencuri di rumah tetangga. Dan keluarga Daniel sering mengganti dengan uang dan meminta maaf.
“Urusan uang sudah selesai, tetapi malunya itu lho mas.” ungkap Bu Daniel.
Meskipun resiko tersebut sangat memungkinkan untuk terulang lagi tetapi Daniel mengaku tidak kapok. Ia tetap menerima siapapun dengan latar belakang apapun dan juga dari agama apapun.
“Saya harus pandai-pandai, yang namanya sponsor tidak ada.” ungkapnya ketika ditanya mengenai pendanaan kegiatan tersebut..
Sekarang marak bisnis di balik kegiatan sosial. Daniel tahu adanya fenomena tersebut dan tahu seluk beluknya tetapi ia memilih tidak mengikuti hal tersebut. Secara pendanaan dia merasa masih sanggup untuk mencukupi keluarga besarnya tersebut.

 “ Masyarakat sekarang cenderung apatis terhadap hal-hal sosial. Saya ingin masyarakat saling memperhatikan satu dengan yang lain. Agar generasi selanjutnya tidak kehilangan kasih dan sayang lalu tersesat.” ungkapnya di akhir wawancara. 

wawancara: 31 September 2015

Saturday, 3 October 2015

KESENIAN ADALAH ADIK AGAMA

“Tuhan menciptakan Agama maka manusia menciptakan kesenian.” ucap Idnas (temanku yang agak sinting)

Kata-kata yang langsung disambut tawa oleh segenap manusia yang hadir di tongkrongan itu. Nasib sebuah kata-kata yang sebenarnya berpotensi besar untuk menjadi filsafat. Tapi naas nasib kata-kata itu, karena lahir dari seorang bapak yang menyandang predikat agak miring. 

Mungkin kata-kata itu akan menjadi perenungan ketika lahir dari seorang Mario Teguh atau Dedy Corbuzer, karena dua sosok itu memang telah disetting oleh industri televisi sebagai orang bijak dengan kata-kata klise-nya. Toh, klise lebih prospektif (untuk industri) dari filsafat di negeri berbudaya ini. Selain itu  kita memang seringkali condong pada siapa yang bicara bukan pada apa yang dibicarakan. 

Kita lihat fenomena Vicky-isasi, nasib kata yang sama namun bernasib sangat berbeda karena bapaknya. Kata konspirasi hati yang diucapkan Vicky Prasetyo menjadi bahan tertawaan hampir seluruh penduduk negeri ini. Dan lagi-lagi industri TV mengemasnya untuk dijual. Sedang idiom itu misal diungkapkan oleh Putu Wijaya, niscaya disebutlah sebagai sastra. 

Tapi bukan itu yang ingin saya bicarakan, diri ini ingin sok-sok an menjadi orang yang tidak mau terbawa arus yang condong pada “siapa…” tapi pada “apa..”. Saya ingin berbicara tentang kata-kata Idnas, kawanku.

Kawanku yang baru saja anak rohaninya dibunuh itu kembali melahirkan anak lagi. Ia berkata lagi, ”Kesenian adalah adik kandung dari agama.”

Tawa kembali meledak lebih dasyat dan aku pura-pura ikut tertawa karena takut dianggap sinting.
Tuhan mencipta Agama maka manusia mencipta kesenian dan Kesenian adalah adik dari agama. Dua jenazah anak rohani dari kawanku itu saya bawa pulang, daku ingin mengotopsinya di rumah.

Tuhan mencipta Agama maka manusia mencipta kesenian.

Pada ungkapan yang pertama, ia sebutkan bahwa Tuhan mencipta Agama, itu di anggap benar, lalu ia sebutkan manusia mencipta kesenian, juga benar dan dipilih kata penghubung “maka”. 

Manusia yang merupakan substansi dari Tuhan di dunia, ketika sedang berada pada tugas itu tentunya merasa berkewajiban mengusahakan kehidupan yang lebih baik. Tuhan menciptakan agama agar kehidupan dunia berjalan baik, lalu manusia yang merupakan khalifah mencipta kesenian untuk sebuah estetika berkehidupan. Kurang lebih itulah interpretasi saya dari ungkapan kawanku itu.

Kesenian memang telah dilahirkan oleh manusia jauh sebelum seniman-seniman kita sekarang, bahkan ketika belum ada sebutan seniman. Karya-karya seni telah lahir ribuan tahun yang lalu, hasil dari kebudayaan manusia yang tentunya dengan campur tangan Tuhan.

Kita ambil contoh: Manusia lahir di dunia ini dengan telanjang maka desainer purba kita menciptakan baju pada masa itu, alhasil kebudayaanpun melahirkan pakaian. Kalau saja budaya hak cipta sudah ada pada masa itu, pastinya ahli waris seniman itu telah menjadi manusia terkaya di dunia. Manusia yang pertama menciptakan baju itu tentunya bukan karena dorongan materi tapi perasaan kegelisahan jika terus-terusan manusia saling berinteraksi dengan telanjang. Entah didorong oleh rasa malu atau  terlalu sering ia masuk angin maka terciptalah pakaian dan hidup menjadi lebih baik. 

Demikian halnya dengan bahasa, rumah, musik, tari, teater,… tentunya lahir karena suatu kegelisahan. Kita benar-benar wajib bersyukur karena ide hak cipta tidak tercetus pada masa itu. Bayangkan kalau bahasa diberi label Hak Cipta? Betapa mahalnya hidup kita.

Hak Cipta

Label hak cipta pada bidang kesenian diciptakan manusia tentunya atas dorongan perasaan berhak atas sesuatu. Seperti halnya tanah, rumah diciptakan akta, sebuah peristiwa hukum yang mengukuhkan seseorang dengan peraturan bahwa berhak atas sesuatu. 

Hak cipta bukanlah bagian dari bidang kesenian tetapi bidang ekonomi. Dorongan dari asas ekonomi untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dalam wujud materi. Sarjana ekonomi tentunya tidak bisa membenarkan bahwa keuntungan itu adalah kepuasan hati, ketentraman hati. Maka bidang ekonomi mengajak bidang hukum untuk menjadikan kesenian sebuah komoditas.

Maka terciptalah Hak Cipta sebuah kolaborasi apik antara kesenian, ekonomi, dan hukum oleh composer handal nan rakus. 

Hlah, kok saya jadi ngganggu macan gendut yang tidur gini, bisa-bisa saya disebut anti kapitalis ! Komunis! Marxis! Padahal kan tadi tentang ungkapan kawan saya yang agak sinting itu. 

Tapi memang ternyata ungkapan “Tuhan mencipta agama maka manusia mencipta kesenian” memang telah membawa saya pada perenungan tentang bidang kesenian, letak kesenian, fungsi kesenian. 

Sebuah karya dibajak, satu-satunya bidang yang merasa dirugikan pada si seniman itu hanyalah bidang ekonomi. Bidang kesenian pada seniman sendiri itu tidak merasa dirugikan, karena karya itu tentunya makin tersebar dan bermanfaat bagi banyak orang.

Selain itu, apakah kita memang benar-benar berhak atas apa yang kita ciptakan? 

Adakah karya yang benar-benar tidak terinspirasi dari karya-karya seniman terdahulu? 

Adakah karya yang terlepas dari andilnya orang lain, kehidupan, alam, peristiwa? 

Lantas siapa yang berhak atas sebuah karya? 

Apakah bisa kita benar-benar meng-iya-kan bahwa yang berhak adalah yang lebih dahulu mendaftarkan karya tersebut sebagai hak cipta? 

Mungkin kebudayaan seniman-seniman purba belum sampai kepada pemikiran brilian tentang hak cipta, tapi mungkin juga seniman purba yang menciptakan pada masa purba itu telah sampai lebih dahulu pada pertanyaan-pertanyaan di atas sebelum benar-benar merasa berhak atas karyanya. Lalu siapakah yang lebih purba kalau begitu?

Kesenian adalah adik dari agama

Ada rasa ketakutan ketika mencoba berbicara tentang ungkapan kedua, “Kesenian adalah adik dari agama.” Karena akhir-akhir ini para pemilik agama banyak yang sedang menstruasi. Jadinya seringkali sensitif jika menyangkut tentang agama. Masih mending kalau disebut gila, bisa-bisa kawan saya disebut nabi palsu, sesat, atau melecehkan Tuhan. 

Semoga saja tidak, karena memang saya yakin bukan tentang agama yang ia bicarakan tetapi lebih kepada kesenian. 

Bukan tentang: kalau kesenian adik dari agama lalu siapa bapaknya? Adik laki-laki atau perempuan? Tapi letak dan fungsi kesenian dalam kehidupan. 

Agama telah dilletakkan dan telah di-iya-kan (bagi yang percaya) sebagai penyelaras kehidupan secara vertical atau horizontal. Lalu bagaimana dengan adiknya? 

Tuhan juga menciptakan kitab suci sebagai buku panduan untuk beragama. Lalu bagaiman dengan adiknya? 

Si kesenian tercipta di dunia tentunya karena campur tangan Tuhan melalui manusia yang merupakan perpanjangan tangan dari Tuhan. Sebuah peristiwa telah merangsang manusia yang dipilih untuk mencipta karya lalu berguna untuk sesama. Tentunya Tuhan tidak meng-hak-cipta karya kecil itu, tapi manusia entah karena proses sejarah apa dengan sangat sigap mengambil peluang untuk sebuah keuntungan pribadi. 

Apakah harus ada yang membuat buku panduan berkesenian terlebih dahulu agar kesenian tidak menjadi adik yang “salah asuhan” seperti Hanafi nya Abdoel Moeis?

Lalu tentunya tak ada satupun manusia yang berhak untuk menentukan bagaimana harus berkesenian. Semuanya akan serba subjektif, yang dipengaruhi beberapa faktor. Banyak seniman-seniman yang karyanya penuh dengan kritik sosial ngambek karena pembajakan tidak lagi terkendali. Sedang seniman-seniman panggung enggan mengambil kesempatan untuk karyanya menjadi manfaat karena tidak dibayar. Seperti yang saya sampaikan di atas tentang hak cipta dan ada-tidaknya bayaran hanyalah akan berpengaruh pada satu bidang yaitu bidang ekonomi kita. Kini pertanyaannya tinggal,“apakah bidang ekonomi telah menjadi bidang terpokok dalam hidup kita?”

Segala interpretasi dan hal-hal yang saya sismpulkan ini saya jamin sangat subjektif, apalagi saya sedang benar-benar sentimen. Karena baru saja kegiatan kesenian yang bersifat sosial atau tanpa dibayar atau sambatan di kesampingkan dan ditinggal begitu saja oleh seorang rekan. Apresiasi dalam bentuk materi dianggap utama sedangkan estetika kehidupan berkesenian adalah sekunder. 

Mungkin memang pandangan manfaat hanyalah dalam bentuk materi telah teriklimkan sejak di fakultas kita. Kuliah jurusan hukum, sastra, keguruan, pertanian, kesenian adalah penjurusan-penjurusan dari Universitas yang bernama “ekonomi”. Kalau kata orang amerika Everything is buisness ! kalo kata orang Jawa “Sing penting peye !”Maka lahirlah kebudayaan Sing Penting Njoget !

Oleh: Idham Ardi N
Sukoharjo, 6 Februari’14
Dua hari menjelang pentas di Dusun Ndawan

Thursday, 1 October 2015

Sandilara

Sebuah gambaran singkat :

Adalah Teater Sandilara, sebuah kelompok sandiwara yang mulai ber-proses pada 17 Oktober 2013. 

Proses tersebut bermula dari permintaan Desa Pabrik, Sukoharjo Kepada Idham Ardi untuk mengisi acara Bazar yang tengah berlangsung di Desa tersebut. Dari sebab itu, Idham mengajak beberapa kawan dari berbagai lintas profesi dan latar belakang akademis untuk berproses dalam sebuah pementasan lakon yang akan di tampilkan pada Bazar tersebut. 

Nama Sandilara dipilih, hasil dari kesepakatan bersama di tengah proses penggarapan naskah “Geng Toilet” karya Sosiawan Leak. 

Sejak pentas pertama tersebut, individu-individu yang tergabung dalam Sandilara bersepakat, bahwa Sandilara adalah sebuah teater yang tirakat utamanya  berpentas dari desa ke desa dengan lakon-lakon berbahasa jawa. 

Kesepakatan tersebut muncul karena adanya kesdaran kolektif bahwa kesenian serius (khususnya:teater), semakin meninggalkan masyarakatnya.

Untuk mendekat dan menjadi milik masyarakat dalam proses kreatifnyanya Sandilara berupaya mencari idiom-idiom yang sanggup diterima masyarakat luas.

Tirakat tersebut yang hingga kini masih dipegang teguh oleh Teater Sandilara sebagai sebuah semangat berkesenian, terus melakukan suatu pencarian-pencarian hal baru untuk menyuguhkan suatu pementasan yang apik dan tidak terkesan ‘apa adanya’ untuk masyarakat secara luas khususnya di desa-desa. 

Meskipun tujuan utama Teater Sandilara adalah memasuki kesunyian-kesunyuian desa yang tidak tersentuh oleh gemerlap lampu panggung “mega-proyek”  kebudayaan. Teater Sandilara juga tetap akan berpentas di luar cakupan desa-desa. Hal tersebut adalah upaya Teater Sandilara dalam mencari sebuah bentuk-bentuk baru. 

Kritik dan Saran dari pelaku kesenian lain merupakan satu hal penting dalam pilar kesenian yang ingin Tetar Sandilara capai. 

Sebagai komunitas kreatif, Teater Sandilara mencoba dinamis dalam keanggotaan. Keanggotaan Teater Sandilara hanya 'diikat' oleh kebersamaan dalam melakukan pencarian idiom dan nilai-tuju  teatrikal yang ideal.

Sikap Sandilara kepada anggotanya adalah silahkan hadir silahkan pergi.
 
Tidak mengherankan, apabila banyak anggotanya yang kemudian keluar masuk, berganti-ganti personil. Yang jelas, sampai sekarang beberapa personil Teater Sandilara terus berupaya membangun soliditas kelompok dengan terus melakukan proses bersama. 

Salah satu upaya dalam membangun soliditas grup dilakukan dengan menjadikan Tater Sandilara sebagai suatu rumah tak berpintu, namun menuntut kedewasaan berproses anggotanya. Dimana para angota (yang baru maupun yang lama) terus melakukan proses dan pencarian bersama untuk menemukan idiom-idiom teater yang segar untuk keberlangsungan pementasan berikutnya. 

Karya-karya Teater Sandilara:

(2013) Geng Toilet, Karya dari Sosiawan Leak:

    Dipentaskan, di Dukuh Pabrik dan Dukuh Ndwan.

 (2014) Lelayu, Karya dari Idham Ardi :

    Dipentaskan di :      - Desa Karangpandan
-    Ndawan,
-    Madegondo, Grogol, Solobaru,
-    dan Sanggar Teater Id.

 Mengisi Ulang tahun Tetaer DELiK

 Mengisi Acara Delik Expo di Teater DELiK 

 Mengisi acara “Pray for Gaza”



Ditulis Oleh : 
Rizal Bagus P. dan Idham Ardhi 

Thursday, 17 September 2015

Kritik Pertunjukan


Kritik
Kita mengenal makna kata “kritik” sebagai sebuah “hal” yang disampaikan oleh si penyampai kritik terhadap objek kritik  akibat sebuah keadaan kurang ideal menurut tataran penyampai kritik. Dari makna tersebut maka kritik bisa masuk kedalam kategori pencelaan. Kritik dalam wilayah ini bisa kita sebut secara lugas adalah penghakiman.
Selanjutnya kita akan mengenal istilah “kritik yang membangun”, yaitu masukan yang akan dijadikan penerima kritik sebagai ruang instropeksi. Tetapi ruang instropeksi sebagai akibat dari kritik, hanya akan terbentuk jika si penerima kritik menerima kritikan dengan legawa  (positif). Keadaan penerimaan secara positif ataupun negatif terbentuk oleh dua faktor, yaitu psikologis penerima kritik dan cara penyampaian kritik.

Istilah kritik yang ter-urai di atas tidaklah salah. Kritik sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu krites yang berarti “hakim”. Tetapi kritik bisa dan sangat boleh kita maknakan lebih luas untuk tujuan yang lebih banyak. Sehingga kritik sebagai penghakiman adalah bagian dari kritik dan bukanlah keseluruhan. 

Dalam lembaran ini, setiap kata kritik yang saya tuliskan adalah tirakat saya dalam mendokumentasikan objek kritik dengan dokumentasi tulis. Objek kritik saya batasi pada pertunjukan teater. Dokumentasi tulis yang akan saya lembarkan adalah pembedahan saya terhadap pertunjukan tersebut dengan subjektivitas saya. 

Subjektivitas, saya garis-bawahi karena mengingat segala usaha saya dalam membedah ataupun menginterpretasi hanyalah berdasar pengalaman (praktik dan pustaka) yang terbatas. Sangat naif bila saya menganggapnya sebagai keadaan objektiv sedang yang mutlak adalah subjektivitas.   

Kritik Pertunjukan Teater : perlu !
Pertunjukan teater saya kategorikan ke dalam kesenian serius. Serius karena idealnya bukanlah sekedar menghibur. Serius karena idealnya menyediakan ruang intim kepada penonton dan menghantar katarsis (idealnya !) 

Ruang intim adalah suatu peristiwa yang (mungkin) akan lebih berhasil terdokumentasikan dengan kata. Maka, tulisan adalah usaha saya untuk mengabadikan ruang tersebut untuk orang-orang yang tidak hadir dalam durasi pertunjukan (objek kritik).  

Kritik pertunjukan adalah usaha saya, sekali lagi hanyalah sekedar (usaha!) untuk memperpanjang usia wacana yang dilahirkan oleh para pekerja teater agar tidak mati ketika pertunjukan selesai.

Kritik Pertunjukan
Idham Ardi N
iardinurcahyo@yahoo.com

Surat Untuk Sahabat Mahasiswa

Surat Untuk Sahabat Mahasiswa
“adakah estetika mahasiswa kita ?”

Oleh: Idham Ardi Nurcahyo

Sahabatku,
Aku tulis  ini untuk sahabatku yang tak pernah aku paksa untuk pula memanggilku sahabat. Pertemuan kita kali ini sengaja aku awali dengan menyebutmu sahabat, sebagai lamaran untuk terjalin hubungan yang mengandung manfaat antara kita. 

Sahabatku, setelah beberapa tahun aku berkuliah di kampus, aku mencoba menyimpulkan apa yang aku alami, lihat, dengar, rasa. Kesimpulan coba aku lahirkan, malahan pertanyaan yang kudapat. Pertanyaan yang lahir, lumayan membuat gelisah. Tidak ada ancaman mati atau DO jika tak terjawab pertanyaan-pertanyaan oleh dan atas diriku sendiri tersebut.
Tapi! sebutan mahasiswa atas diri kita ternyata membuat kita maha-bertanya-tanya. Pertanyaan yang semakin lama semakin mem-beban. Tidak ada niatan membagi beban pertanyaan ini dengan kau. Maksudku begini, ketika aku sampaikan pertanyaan – pertanyaan ini kepadamu siapa tahu kau dapat menjawab. Atau paling tidak kau ikut bertanya. Semakin banyak manusia di bumi yang bertanya semakin besar kemungkinan langit buat menjawab, kira kira begitu.

Sahabatku yang semakin sedikit ketika telah sampai pada paragraf ini,  terima kasih sebelumnya karna adalah yang  belum membuang tulisan ini. Saya lanjutkan ke pokok.
Begini sahabatku: marahkah dirimu atau bisakah kau beri aku jawaban atau  meludah kah kau,  ketika aku bertanya : “adakah estetika berkehidupan sebagai manusia dalam kita menjalani status mahasiswa kita ?” 

Tiba-tiba seorang mahasiswa di sebelahku berbicara “orang-orang yang sok mempertanyakan estetika adalah orang yang kalah saingan!!!” 

Aku beri tiga tanda seru karna waktu dia ngomong itu ludahnya muncrat. Setelah dia ngomong, ia pergi begitu saja. Mahasiswa yang ngomongnya muncrat itu, mungkin telah memberi jawaban dari pertanyaanku. Karna benar, aku kalah saingan dalam kehidupan bermahasiswa. Tak pernah aku menjadi mahasiswa papan atas dalam papan prestasi selama aku menjadi mahasiswa. Malahan jika berkuliah dianggap sebagai persaingan atau turnamen, dapat dipastikan aku masuk pada kategori kalah. Karna skor pertandinganku yang biasa kita sebut IP, lebih dekat angka nol dari pada angka sempurna. 

Tapi bukankah kita tidak sedang bertanding, bersaing, atau menang-menangan? 

Kita sama-sama mencari ilmu, kita sama-sama bertanya, berdiskusi, memperoleh jawaban bersama, terkadang juga menjadi jodoh. Bolehlah, jika aku disebut melakukan pembenaran atas diriku karna tak menerima jawaban dari mahasiswa yang berbicara dengan pohon beringin itu. Tapi aku kemukakan itu bukan untuk menggiring kau berpikir sepertiku tetapi hanya mencoba mengajak menyamakan nada dasar agar tidak menjadikan saling salah menyalahkan karna ada yang bersuara sumbang di tengah pembicaraan kita nanti.
Pastilah semakin sedikit sahabatku karna sudah jelas, mahasiswa yang berdaya saing tinggi enggan melanjutkan dialog ini. 

Bukankah kita lelah terus menerus dipersaingkan antara satu dengan yang lain dalam masa studi kita dari SD hingga SMA. Pada akhirnya melahirkan diskusi-diskusi yang lebih mendekati perdebatan untuk mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah. Maka dari itu sahabatku, pada lembar tulisan ini saya mengajak kita untuk beristirahat dari persaingan tetapi tetap berproses untuk mendapatkan jawaban. 

Setujukah kau jika persaingan itu aku sebut jauh dari estetika berkehidupan sebagai manusia? 

Lagi-lagi aku munculkan pertanyaan, tetapi mungkin kita memang harus membedah beberapa lapisan dulu dengan pisau-pisau pertanyaan untuk sampai pada pertanyaan inti. Bukan maksudku menganggap pertanyaanku adalah pertanyaan yang sangat penting hingga aku harus bertele-tele seperti ini tetapi ternyata memang harus repot benar untuk menjadi benar-benar sahabat. Tapi boleh juga kau sebut aku tidak siap menjanjikan apa-apa ketika kau sudi berpikir bersama atau memberikan jawaban. Karna aku pun juga tak mengerti apa yang akan kita dapat bila pertanyaan itu terjawab selain kepuasan rasa ingin tahu kita.
Dua belas tahun dari SD sampai SMA kita berada pada sistem yang jauh dari proses mencari estetika. 

Bukan salah bunda mengandung tentunya, itu menurut saya. Saya argumenkan untuk siap disanggah atau dibenarkan: Sistem rangking yang berdasarkan nilai akademik melahirkan sistem kasta modern yang  membagi manusia-manusia di sekolah menjadi manusia jenis 1, jenis 2, dan seterusnya. Manusia jenis 1 dianggap lebih baik dari manusia jenis-2, jenis-2 lebih baik dari jenis-3. 

Klasifikasinya cukup dangkal, hanya berdasarkan nilai akademik kita. Manusia-manusia berstatus siswa itu pun terdorong untuk naik kasta dan tentunya takut untuk turun kasta, maka mereka berlomba-lomba untuk menaikkan nilai akademik. Stigma bodoh yang tentunya merendahkan, membuat manusia-manusia itu melakukan apa saja untuk menghindari nilai akademik yang aspek dan sistem penilaian sangat jauh dari cukup untuk berhak menentukan manusia bodoh atau pintar. 

Jadi bagaimana menurut kalian? 

Demikianlah surat ini mohon untuk kalian balas sahabat.