Menjadi pengamat memang menyenangkan.
Selain dapat menikmati suatu tontonan bisa memberi komentar. Atau bisa juga
merenungkan hasil pengamatan. Ya, boleh dibilang, merenung adalah hal yang
cocok untuk mengisi waktu senggang dan saat-saat kesepian. Untung saja,
akhir-akhir ini beberapa peristiwa yang terjadi tidak hanya lewat begitu saja.
Ada yang masih menyangkut di kepala. Banyak pertanyaan dari diri sendiri yang
muncul. Sampai saat tulisan ini mulai diketik, rasa-rasanya misteri yang
menjadi pokok bahasan tulisan ini belum rampung
termaknai dengan baik. Karena, dirasa membutuhkan sumber bacaan dan sumber lisan
yang sangat banyak. Maka dari itu, tulisan ini sesungguhnya lebih condong untuk
‘mempertanyakan’.
Selama hampir tujuh bulan tahun 2018
berjalan banyak peristiwa kesenian yang terjadi, mulai dari musik, rupa,
sastra, teater, dan lainnya. Dengan tema yang beraneka ragam, seperti: tema
budaya, tema anak-anak, dan tema-tema yang lain. Dari tema budaya sendiri
menampilkan tajuk yang berbeda-beda, ada Kethoprak, Karawitan, Wayang Kulit,
Wayang Orang, dan Macapat. Kepada Kethoprak, Karawitan, dan Wayang sedikit banyak
saya dapat memahaminnya mengenai bentuk dan estetikanya. Berbeda halnya dengan Macapat,
banyak ketidakmampuan saya untuk memahaminya.
Saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya apa sih Macapat itu? Apakah sesuatu yang
mistis? Sesuatu yang sakral? Apakah Macapat diciptakan tiba-tiba langsung
mempunyai kekuatan yang dahsyat? Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan
mengenai misteri ini. Akhirnya sedikit demi sedikit saya menyelidikinya. Dan
berharap investigasi sederhana ini bisa menjadi bahan diskusi bersama.
Pertama kali mendengar Macapat adalah saat
duduk di bangku SD, guru saya memperkenalkan tembang Mijil.
Dedalane
guna lawan sekti
Kudu
andhap asor
Wani
ngalah luhur wekasane
Tumung
kula yen dipun dukani
Bapang
den simpangi
Ana
catur mungkur
Saya
tidak begitu memahami maknanya. Tetapi, sampai sekarang, baik syair maupun
nadanya saya masih dapat mengingatnya. Beberapa Macapat seperti Durma, Pangkur,
dan Pucung saya dapati saat SD. Struktur Macapat juga dikenalkan oleh guru SD
saya.
Saat SMP pemahaman tentang Macapat saya
bertambah. Dikatakan oleh guru SMP saya bahwa, kesebelas Macapat mengandung
filosofi siklus kehidupan. Setiap judul mempunyai makna sendiri-sendiri. Mulai
dari bayi dalam kandungan, lahir, hidup, dan akhirnya mati. Wow, menarik sekali, meskipun sedikit
menyeramkan. Memasuki SMA, pemahaman-pemahaman tentang Macapat tidak banyak
berubah, hanya saja watak-watak Macapat turut diperkenalkan.
Ketika menjalani masa-masa perkuliahan,
saya tidak banyak bersinggungan dengan Macapat. Barulah saat memasuki tahun
2017 saya mulai mendengar, membaca, diperdengarkan, dan dibacakan kembali
dengan Macapat oleh teman-teman saya, selain mendapatinya dalam peristiwa dan
wacana pertunjukan tentunya. Kala itu, saya mulai mengenal jenis Macapat lain
yang belum pernah saya pelajari sebelumnya. Selain itu, saya jadi tahu bahwa
ada beraneka syair pada tiap-tiap judul, ada beraneka nada lagu pada tiap-tiap
judul. Ada syair yang ketika dimaknai tidak terkait dengan filosofi siklus
kehidupan seperti pemahaman saya waktu SMP. Dan ternyata, banyak sekali jumlah
syair-syair Macapat dengan makna dan tujuan penulisan yang bervariasi.
Mulai saat itu penasaran saya mengenai Macapat
semakin menjadi-jadi. Sebenarnya apa sih Macapat
itu? Secara umum, wujud Macapat berbentuk tulisan dan pembacaannya dapat
dilagukan. Jadi, garis besarnya, Macapat mempunyai dua unsur, yaitu sastra dan
musik. Mari kita ulas satu per satu.
Macapat sebagai Karya Sastra
Layaknya karya sastra yang lain, Macapat
mempunyai struktur khusus. Misalnya, pantun mempunyai aturan bersajak a-b-a-b,
baris pertama dan kedua berisi sampiran, dan baris ketiga dan keempat berisi
isi. Aturan pada Macapat menyangkut jenis huruf vokal pada tiap akhir baris
yang disebut guru lagu, jumlah suku
kata di setiap baris yang disebut guru
wilangan, dan jumlah baris atau baris itu sendiri disebut gatra. Guru lagu, guru wilangan, dan
guru gatra setiap tembang Macapat berbeda, bait disebut dengan istilah pada. Macapat merupakan karya sastra yang
pernah mengalami masa keemasan sekitar abad ke-18. Serat Jawa atau buku-buku
kuno seperti Centhini, Wedhatama, Tripama, Babad Tanah Jawi, Sri Karongron, dan
sebagainya adalah karya sastra yang ditulis dalam bentuk Macapat. Pada
penulisannya, mengandung sanepa,
paribasan, wangsalan, purwakanthi, dan parikan.
Selain itu, dapat juga berisi dongeng atau cerita sejarah atau babad. Pengungkapan
babad berbentuk narasi. Kandungan isi Macapat yang terdapat pada serat dan
babad sangat beraneka ragam. Seperti halnya Sri Karongron yang menceritakan
sejarah Karawitan pada masa Paku Buwana X. Dalam hal ini, Macapat merupakan
sebuah karya sastra yang berfungsi sebagai sumber informasi tulisan.
Bahasa yang digunakan dalam penulisan Macapat
pada umumnya adalah bahasa Jawa, seperti ngoko,
krama, krama inggil, atau penggabungan ketiganya. Sebagai karya sastra,
selain berfungsi sebagai penyampai pesan, penulisan Macapat pada umumnya juga
mempertimbangkan keindahan atau estetika. Maka dari itu, banyak dijumpai
menggunakan bahasa Jawa Kuno. Sehubungan dengan adanya aturan atau kaidah guru lagu, guru wilangan, dan guru
gatra, maka penulisan Macapat harus disesuaikan. Ada beberapa trik untuk
menulis Macapat, diantaranya: (1) Memilih atau mengganti kata-kata yang searti
atau sinonim untuk mencapai guru lagu,
dalam bahasa Jawa ada istilah dasanama,
(2) Menambah suku kata pada kata tertentu, dalam Bahasa Jawa terdapat ater-ater dan seselan, menghilangkan suku kata tertentu, dan menggabungkan dua
kata tertentu untuk mencapai guru
wilangan. Wah, siapa saja kalau
mau bisa loh menulis Macapat.
Judul-judul Macapat diantaranya:
1.
Maskumambang
2.
Pucung
3.
Megatruh
4.
Gambuh
5.
Balabak
6.
Wirangron
7.
Mijil
8.
Kinanthi
9.
Durma
10.
Asmaradhana
11.
Jurudemung
12.
Pangkur
13.
Girisa
14.
Sinom
15.
Dhandhanggula
Balabak,
Wirangron, Jurudemung, Girisa sudah jarang dikenal atau ditembangkan. Termasuk
saya sendiri, masih belum terlalu mengenal mereka. Banyak juga penyebutan
sekarang ini Macapat berjumlah 11. Untuk kebenaran yang pasti saya masih belum
mengetahuinya.
Dari kesebelas Macapat yang dikenal
sekarang, dikatakan bahwa setiap judul mengandung filosofi siklus kehidupan.
Namun, mengingat tata cara penulisan, urutan yang berbeda-beda, dan serat-serat
yang pernah ditulis dalam bentuk Macapat, kandungan filosofi siklus kehidupan
tersebut tidaklah mutlak. Atau malah tidak terlalu menjadi bahan pertimbangan.
Seperti contoh Pangkur pupuh 26 yang
terdapat pada Sri Karongron berikut:
Sareng wus wanci jam sanga
Pra niyaga kasepuhan sumiwi
Wiraswara lawan badhut
Taledhek sampun pepak
Papan nyelak gangsa kang tinatu wau
Anyekel tabuh gya munya
Gendhing gedhe solan-salin.
Dibanding
pendekatan filosofi siklus kehidupan, Pangkur yang berarti ‘mungkur’ atau pergi meninggalkan hawa
nafsu dan angkara murka, Pangkur tersebut lebih mengacu pada penceritaan
sejarah, dimana sifat cerita dan bentuk penceritaannya condong pada watak
Pangkur: bergairah, gagah, perkasa. Sebelum menyinggung kajian musikal, bisa
dibilang isi tulisan Macapat akan terasa lebih serasi apabila teks disesuaikan
dengan watak Macapat yang bersangkutan.
Macapat sebagai Karya Musik
Karena berbentuk tulisan, Macapat bisa
disebut sebagai bahan bacaan. Namun, membaca Macapat tidak seperti membaca
tulisan biasa pada umumnya, tetapi dibaca dengan menggunakan lagu atau
dinadakan, bisa juga disebut ditembangkan. Macapat yang ditembangkan inilah
yang dinamai Sekar Waosan. Dengan
kata lain, aktivitas membaca serat atau babad yang ditembangkan disebut Sekar Waosan. Ketika Macapat berfungsi
sebagai Sekar Waosan, selain terikat guru lagu, guru wilangan, dan guru gatra, konsep penyajiannya memakai
kaidah lagu winengku ing sastra.
Artinya, kejelasan makna syair lebih diutamakan daripada keindahan nadanya.
Nada hanya sebagai jembatan atau perantara untuk menyampaikan kandungan tulisan.
Biasanya ditembangkan dengan lugu
atau polos, tidak banyak menggunakan luk atau
improvisasi nada. Dalam menembangkan Macapat
sebagai Sekar Waosan, sangat
mempertimbangkan teknik pernafasan dan teknik pemenggalan kata atau kalimat.
Sehingga, makna dapat tersampaikan dengan baik.
Pada paragraf ke-6 di atas, disebutkan
bahwa banyak nada lagu yang berbeda pada tiap-tiap judul Macapat, inilah yang
disebut dengan cengkok. Dalam hal ini
cengkok yaitu susunan nada yang
membentuk pola lagu. Cengkok disusun
berdasarkan gaya perorangan, kelompok, atau daerah tertentu sehingga
menciptakan suasana, nuansa, kesan dan rasa yang khas. Pemilihan pemakaian cengkok dapat disesuikan dengan teks Macapatnya.
Dari 11 judul Macapat, berkembang menjadi 235 cengkok, yaitu:
1.
Maskumambang berkembang menjadi 11 cengkok, diantaranya:
a.
Maskumambang Dhadhapan Laras Pelog
Pathet Nem
b.
Maskumambang Buminatan Laras Slendro
Pathet Sanga
c.
Maskumambang Natakusuman Laras Pelog
Pathet Barang
2.
Pucung berkembang menjadi 28 cengkok, diantaranya:
a.
Pucung Sumirat Laras Slendro Pathet Sanga
b.
Pucung Kagok Katonan Laras Slendro
Pathet Manyura (Miring)
c.
Pucung Klenthung Laras Pelog Pathet
Barang
3.
Megatruh berkembang menjadi 10 cengkok, diantaranya:
a.
Megatruh Tejamaya Laras Pelog Pathet
Nem
b.
Megatruh Kocak Laras Pelog Pathet Nem
c.
Megatruh Gagatan Laras Pelog Pathet
Barang
4.
Gambuh berkembang menjadi 21 cengkok, diantaranya:
a.
Gambuh Mangkubumen Laras Pelog
Pathet Nem
b.
Gambuh Tunjungseta Laras Slendro
Pathet Sanga
c.
Gambuh Gonjing Laras Slendro Pathet Manyura
5.
Mijil berkembang menjadi 27 cengkok, diantaranya:
a.
Mijil Gagatan Laras Slendro Pathet Sanga
b.
Mijil Maskentar Laras Pelog Pathet Nem
c.
Mijil Sulastri Laras Pelog Pathet
Barang
6.
Kinanthi berkembang menjadi 29 cengkok, diantaranya:
a.
Kinanthi Amongjiwa Laras Slendro
Pathet Sanga
b.
Kinanthi Sandhung Laras Pelog Pathet
Nem
c.
Kinanthi Pangukir Laras Slendro
Pathet Manyura
7.
Durma berkembang menjadi 22 cengkok, diantaranya:
a.
Durma Tinjomaya Laras Pelog Pathet Nem
b.
Durma Rangsang Laras Slendro Pathet Sanga
c.
Durma Linduran Laras Pelog Pathet
Barang
8.
Asmaradhana berkembang menjadi 17 cengkok, diantaranya:
a.
Asmaradhana Mangkubumen Laras
Slendro Pathet Sanga
b.
Asmaradhana Slobog Laras Pelog
Pathet Nem
c.
Asmaradhana Jakalola Laras Pelog
Pathet Barang
9.
Pangkur berkembang menjadi 15 cengkok, diantaranya:
a.
Pangkur Paripurna Laras Slendro
Pathet Sanga
b.
Pangkur Dhudhakasmaran Laras Pelog
Pathet Nem
c.
Pangkur Kembangtiba Laras Pelog
Pathet Barang
10.
Sinom berkembang menjadi 26 cengkok, diantaranya:
a.
Sinom Kalulut (Parijatha) Laras
Pelog Pathet Nem
b.
Sinom Pangrawit Laras Slendro Pathet
Sanga
c.
Sinom Grandhel Lulut Laras Pelog
Pathet Barang
11.
Dhandhanggula berkembang menjadi 29 cengkok, diantaranya:
a.
Dhandhanggula Panglejar Laras Pelog
Pathet Nem
b.
Dhandhanggula Buminatan Laras
Slendro Pathet Sanga
c.
Dhandhanggula Rugmikentir Laras
Pelog Pathet Barang
Seiring perkembangan jaman, cengkok-cengkok Macapat yang berfungsi sebagai Sekar Waosan dikembangkan ke dalam bentuk garap Karawitan yang
berpacu dari Macapat itu sendiri. Macapat yang semula berfungsi sebagai Sekar Waosan, menjelma menjadi gendhing yang dalam penyajiannya
menggunakan seperangkat gamelan baik slendro maupun pelog. Gendhing-gendhing yang
tercipta kemudian digunakan untuk berbagai macam keperluan seperti Klenengan,
pementasan Wayang, pementasan Kethoprak, dan lain-lain. Saat berfungsi sebagai
bentuk sajian musikal bersama gamelan, nilai estetika musik lebih diutamakan.
Sehingga konsep penyajiannya berubah menjadi sastra winengku ing lagu. Beberapa pengembangan garap Karawitan
terhadap Macapat diantaranya:
1.
Pengembangan Macapat menjadi bentuk
Ketawang
Ketawang yang dibentuk dari Macapat selalu
terdapat sindhenan dan atau gerongan yang berasal dari Macapat yang
menjadi dasar dari pembentukannya. Lagu sindhenan
dan gerongan dari Macapat inilah
yang menunjukkan ciri khas dari Ketawang tersebut. Beberapa contohnya adalah:
a.
Ketawang Mijil Wigaringtyas yang
dikembangkan dari cengkok Mijil
Rencasih (Wigaringtyas)
b.
Ketawang Sinom Parijatha yang
dikembangkan dari cengkok Sinom
Kalulut (Parijatha)
c.
Ketawang Pangkur Dhudhakasmaran yang
dikembangkan dari cengkok Pangkur
Dhudhakasmaran
2.
Pengembangan Macapat menjadi bentuk
Ladrang
Sama halnya dengan Ketawang, pembentukan sindhenan dan gerongan pokok dan balungan ladrang juga mengacu pada alur lagu
dari cengkok Macapat. Beberapa
contohnya adalah:
a.
Ladrang Pangkur yang dikembangkan
dari cengkok Pangkur Paripurna
b.
Ladrang Subasiti yang dikembangkan
dari cengkok Dhandhanggula Subasiti
c.
Ladrang Asmaradhana yang
dikembangkan dari cengkok Asmaradhana
3.
Pengembangan Macapat menjadi bentuk
Palaran
4.
Pengembangan Macapat sebagai bawa
dan andhegan gendhing
5.
dan lain-lain
Setelah mengulas bentuk Macapat, akhirnya
ditemukan sebuah benang merah, yaitu Macapat adalah suatu bentuk karya seni
untuk mewadahi karya sastra. Dimana di dalamnya mengandung banyak sekali
nasehat, cerita, dan beragam informasi. Judul-judul Macapat adalah nama-nama
untuk mengategorisasikan struktur dan watak dari Macapat. Selain menjabat
sebagai karya sastra, Macapat mendapatkan posisi yang penting dalam karya
musik. Baik sebagai karya sastra ataupun sebagai karya musik, Macapat mempunyai
peranan dan fungsi yang sangat banyak. Gambaran filosofi siklus kehidupan yang
termaknai pada kesebelas judul Macapat hanyalah sedikit bagian yang kecil dari Macapat,
ternyata di dalamnya banyak sekali terkandung estetika dan keragaman budaya.
Inilah yang mungkin kurang banyak dipahami oleh pelaku seni (terutama anak
muda) yang membawakan Macapat sebagai gagasan pertunjukan.
Sangat disayangkan apabila Macapat hanya
dipenggal judulnya saja. Padahal kalau saja kita mau mempelajarinya lebih
lanjut, akan banyak sekali yang diperoleh. Akhirnya, ketahuan, sebenarnya apa sih Macapat itu? Apakah sesuatu yang
mistis? Sesuatu yang sakral? Apakah Macapat diciptakan tiba-tiba langsung
mempunyai kekuatan yang dahsyat? Hmmm...?
Yah, kalau dibilang Macapat adalah
sebuah karya seni yang mempunyai capaian yang luar biasa memang benar adanya.
Terbukti bahwa nenek moyang kita telah merumuskan sesuatu yang bisa langgeng
keberadaannya yaitu bentuk karya sastra yang dapat dilagukan. Sehingga, selain
mudah diingat akan lebih menarik untuk dipelajari. Penuturan nasehat, cerita
sejarah, dan lainnya akhirnya sampai pada kita. Kembali lagi, sangat
disayangkan apabila kita hanya memenggal judulnya. Bagaimana dengan serat
Centhini, Wedhatama, Tripama, Babad Tanah Jawi, Sri Karongron, dan yang
lainnya? Bagaimana dengan sanepa,
paribasan, wangsalan, puurwakanthi, dan parikan?
Bagaimana dengan guru lagu, guru wilangan,
dan guru gatra? Bagaimana dengan slendro
dan pelog? Bagaimana dengan ke-235 cengkok
yang masih dapat terlacak? Bagaimana dengan Ketawang, Ladrang, Palaran, dan
lain-lainnya? Yang semuanya itu dapat dipelajari dan dapat dikenali lewat Macapat.
Walaupun boleh-boleh saja dan sah-sah saja Macapat hanya dimaknai bagian
judulnya saja. Tetapi saya rasa, apabila kita ingin mengenali, memperkenalkan,
mempelajari, membelajarkan, memaknai, memberi pemaknaan, mewartakan, dan
sebagainya baik melalui sanggar-sanggar, pendidikan formal, atau pertunjukan
atau tontonan atau yang lainnya akan lebih mengasyikkan dengan cara membedah
sastra ataupun bentuk musikal dari Macapat itu sendiri.
Apabila kita terbiasa mengambil kulit
tanpa tahu dalamnya, membaca sampul buku tanpa melihat isinya, memaknai Macapat
hanya pada judulnya, lama-kelamaan, turun-temurun bisa saja suatu saat nanti
yang tersisa Macapat hanyalah kesebelas judul itu tanpa ada kandungan apapun di
dalamnya, sama halnya apabila kita terbiasa memainkan gamelan hanya diambil
saron atau demungnya dan dicampur dengan musik yang lain, gamelan akan dikenali
sebagai saron, dan saron sama dengan gamelan, bukan lagi saron adalah salah
satu instrumen yang terdapat pada gamelan. Sangat disayangkan.
Oh
iya, tulisan ini bermula dari perenungan pribadi yang diobrolkan bersama teman
yang kemudian disesuaikan dengan beberapa sumber bacaan, seperti: buku Macapat
dan Santiswara yang ditulis oleh Darusuprapto, buku Macapat 1-2-3 yang dihimpun
oleh Gunawan Sri Hastjarjo, buku Keberadaan Karawitan di Keraton Surakarta pada
Masa Pemerintahan PB X yang ditulis oleh Rustopo, jurnal Tembang Macapat Dalam
Pengembangan Bentuk Musikalnya yang ditulis oleh Darsono, dan makalah Macapat
yang ditulis oleh Sugimin. Terimakasih telah membaca sampai akhir.
Mari belajar!
Roh
Sabtu, 28 Juli
2018