Naskah monolog dari Emha Ainun
Nadjib yang berjudul Cahaya dan Sampah sudah pernah kami pentaskan sebanyak
tiga kali, semuanya di sanggar Teater Tesa, Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sebelas Maret Surakarta. Pertama pada Oktober 2014 di acara ulang tahun Teater
Tesa, kedua pada bulan Agustus 2015 menjelang keberangkatan kami ke Makassar
untuk mengikuti festival monolog, sedangkan yang ketiga di tahun 2017
(dipentaskan oleh Idham bersama beberapa anggota Teater Tesa).
Berdasarkan hitungan jari tangan
kiri, pentas yang rencananya akan kami
selenggarakan pada hari Jumat dan sabtu, tanggal 23-24 Maret 2018 di sanggar
Kenthoet-Roedjito (Teater Ruang) merupakan kali keempat naskah “Cahaya Dan
Sampah” ini kami pentaskan. Seminggu setelahnya akan kami pentaskan lagi di
Bojonegoro untuk menghadiri dan berpartisipasi pada acara peresmian Sanggar
Seni Sayap Jendela, bangunan baru yang telah selesai pengerjaannya, menjadi
tempat baru bagi kawan-kawan kami di Bojonegoro untuk proses berkesenian.
Barangkali bagi anda yang
kebetulan pernah menyaksikan pementasan kami sebelumnya dengan naskah yang
sama, mungkin akan bertanya, mengapa dipentaskan lagi? Apa tidak ada naskah
lain? Apakah tidak mampu lagi menulis naskah sendiri? Apa ada perbedaan dengan
garapan sebelumnya?
Mengapa “Cahaya
dan Sampah” kembali Kami Pentaskan?
Menurut kami tidak ada salahnya
mengulang apa yang pernah dilakukan, pada kesempatan waktu yang berbeda dengan
tempat pentas berbeda, calon penonton berbeda, dan orang yang terlibat di dalam
proses penggarapan juga berbeda, maka tidak akan sama bagaimana rasa dan kesan
sebuah pementasan meskipun dengan naskah yang sama. Bahwasanya kesenian,
khususnya teater menurut kami hanyalah sebuah wadah atau cara untuk
menyampaikan wacana, ide, gagasan, atau sebuah pandangan.
Seorang pendakwah akan
menyampaikan ayat-ayat Tuhan dengan ceramah di mimbar menghadap para jamaah,
seorang guru dengan caranya masing-masing mentransfer pengetahuan kepada
muridnya, atau yang lebih sederhana saja, dilingkungan pertemanan, dua atau
lebih individu yang sedang berkumpul, satu sama lain akan saling berkomunikasi
menyampaikan maksud, satu bicara yang lain mendengar, mencoba memahami
semampunya, menanggapi, masa bodoh tidak peduli, atau bilamana perlu angkat
kaki sebab merasa jenuh tidak lagi memiliki kesamaan selera tema obrolan. Karena
memilih teater, maka pementasan menjadi cara kami untuk berkomunikasi,
menyampaikan apa yang ingin kami sampaikan kepada anda sekalian yang berkenan
hadir pada pementasan kami.
Wacana yang terkandung dalam
sebuah naskah rasanya teramat sayang jika hilang begitu saja ditelan lupa. Seperti
yang terjadi pada umumnya, sejauh pengetahuan kami (semoga tidak benar, sebab
kami tidak pernah srawung, grudag-grudug,
ubyang-ubyung, menjalin “jaringan” dengan kelompok-kelompok lain), para
pemilik (bagi yang memiliki kelompok) laboratorium teater di Surakarta ini
tidak banyak yang mencoba menggali lebih jauh lagi sebuah wacana atau persoalan
yang selesai diangkat ke panggung pertunjukan. Ada isu baru beredar di
masyarakat segera diikuti, digarap untuk dipentaskan, kemudian setelah selesai
mendapat tepuk tangan para penonton sebagai bentuk adat kebiasaan turun-temurun
usai menyaksikan pentas, lalu dibahas, didiskusikan, ditanggapi, dipuji,
dikritik, dicela, atau “dibantai” para pakar. Setelah penonton pulang anggota
kelompok beres-beres peralatan pentas. Besoknya para pelakunya kapok berteater,
pamit mengundurkan diri dari kelompok, sedangkan yang masih bertahan sesegera
mungkin memikirkan program kerja baru, mencari naskah baru, melupakan apa yang
baru saja mereka pentaskan, perihal “kegelisahan” terhadap isu yang tetuang
pada naskah sebelumnya. Begitu seterusnya berulang-ulang.
Baiklah, itu tidak perlu kita bahas
lebih jauh, memang setiap kelompok memiliki cara masing-masing memandang dan
menyikapi kesenian, yang menganggap seni untuk seni, silakan, seni untuk
pergerakan dan gerilya, boleh juga, seni untuk cari makan, sah-sah saja, seni
untuk mengisi kegiatan hidup menunggu mati seperti kami misalnya? pastinya juga
diperbolehkan. Semua bebas memilih yang terpenting sebisa mungkin berusaha jelas
kemana arah pandang dan tujuan sebuah kelompok dengan serangkaian kegiatan,
asalkan tidak melanggar larangan agama dan pemerintah.
Apa bedanya
dengan pementasan sebelumnya?
Pada pementasan kali ini kami
mengajak turut serta partisipasi kawan-kawan baru, mereka adalah orang-orang
baik hati yang bersedia berteman dan bergabung bersama Teater Sandilara pada
pementasan kali ini, kebetulan mereka sedang merintis karir sebagai “penata” di
bidang masing-masing, kecuali Mas Bei yang pada pamflet tertulis sebagai penata
gedhing atau iringan musik bersama Keluarga Karawitan Kurawa yang semua
anggotanya perempuan remaja. Mas Bei sebenarnya seorang tukang tipu yang menjadikan
latihan gamelan rutin sebagai kedok misi pribadi “berburu dan merayu”. Adapun
yang terlibat pada pementasan Teater Sandilara dengan naskah karya Emha Ainun
nadjib “Cahaya dan Sampah” antara lain : Idam sebagai pemain, masih sama seperti
pementasan naskah ini sebelumnya, Angga sebagai penata cahaya, Jalu sebagai
penata sampah, Senja Ari sebagai penata busana, Rikho sebagai penata penonton,
Rizal “Item” sebagai penata motor melanjutkan karir profesionalnya sejak Teater
Sandilara lahir, kemudian Ihsan Roh sebagai penata poster.
Kami tidak menjanjikan pementasan
kali ini lebih menarik atau lebih baik dari sebelumnya (bagi yang sudah pernah
menyaksikan), sebab kami bukan ahli nujum yang tahu masa depan, kami hanya
menawarkan sebuah tontonan dan wacana yang tertuang dalam pementasan bagi semua
kalangan untuk dapat dibicarakan bersama sesudahnya, atau cukup direnungkan
dalam diri masing-masing. Siapa kami hendak menggiring cara pandang anda. Seperti
biasanya, sederhana saja. Kami mempersilakan anda sekalian yang berkenan hadir
untuk menyaksikan pementasan monolog “Cahaya Dan Sampah”, sekadar iba terhadap
usaha kami, senang menyaksikan seni pertunjukan, mengsi waktu luang datang
menonton, atau nantinya membicarakan bersama wacana yang termuat dalam naskah. Silakan
bebas sesuai kebutuhan anda pribadi.
Surakarta, 28 Februari 2018
Joko Lelur
Mantri Carik di Teater
Sandilara