Tuesday, 27 February 2018

TEATER SANDILARA : KEMBALI MEMENTASKAN MONOLOG “CAHAYA DAN SAMPAH” KARYA EMHA AINUN NADJIB





Naskah monolog dari Emha Ainun Nadjib yang berjudul Cahaya dan Sampah sudah pernah kami pentaskan sebanyak tiga kali, semuanya di sanggar Teater Tesa, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pertama pada Oktober 2014 di acara ulang tahun Teater Tesa, kedua pada bulan Agustus 2015 menjelang keberangkatan kami ke Makassar untuk mengikuti festival monolog, sedangkan yang ketiga di tahun 2017 (dipentaskan oleh Idham bersama beberapa anggota Teater Tesa).

Berdasarkan hitungan jari tangan kiri, pentas yang  rencananya akan kami selenggarakan pada hari Jumat dan sabtu, tanggal 23-24 Maret 2018 di sanggar Kenthoet-Roedjito (Teater Ruang) merupakan kali keempat naskah “Cahaya Dan Sampah” ini kami pentaskan. Seminggu setelahnya akan kami pentaskan lagi di Bojonegoro untuk menghadiri dan berpartisipasi pada acara peresmian Sanggar Seni Sayap Jendela, bangunan baru yang telah selesai pengerjaannya, menjadi tempat baru bagi kawan-kawan kami di Bojonegoro untuk proses berkesenian.

Barangkali bagi anda yang kebetulan pernah menyaksikan pementasan kami sebelumnya dengan naskah yang sama, mungkin akan bertanya, mengapa dipentaskan lagi? Apa tidak ada naskah lain? Apakah tidak mampu lagi menulis naskah sendiri? Apa ada perbedaan dengan garapan sebelumnya?

               
Mengapa “Cahaya dan Sampah” kembali Kami Pentaskan?

Menurut kami tidak ada salahnya mengulang apa yang pernah dilakukan, pada kesempatan waktu yang berbeda dengan tempat pentas berbeda, calon penonton berbeda, dan orang yang terlibat di dalam proses penggarapan juga berbeda, maka tidak akan sama bagaimana rasa dan kesan sebuah pementasan meskipun dengan naskah yang sama. Bahwasanya kesenian, khususnya teater menurut kami hanyalah sebuah wadah atau cara untuk menyampaikan wacana, ide, gagasan, atau sebuah pandangan.

Seorang pendakwah akan menyampaikan ayat-ayat Tuhan dengan ceramah di mimbar menghadap para jamaah, seorang guru dengan caranya masing-masing mentransfer pengetahuan kepada muridnya, atau yang lebih sederhana saja, dilingkungan pertemanan, dua atau lebih individu yang sedang berkumpul, satu sama lain akan saling berkomunikasi menyampaikan maksud, satu bicara yang lain mendengar, mencoba memahami semampunya, menanggapi, masa bodoh tidak peduli, atau bilamana perlu angkat kaki sebab merasa jenuh tidak lagi memiliki kesamaan selera tema obrolan. Karena memilih teater, maka pementasan menjadi cara kami untuk berkomunikasi, menyampaikan apa yang ingin kami sampaikan kepada anda sekalian yang berkenan hadir pada pementasan kami.

Wacana yang terkandung dalam sebuah naskah rasanya teramat sayang jika hilang begitu saja ditelan lupa. Seperti yang terjadi pada umumnya, sejauh pengetahuan kami (semoga tidak benar, sebab kami tidak pernah srawung, grudag-grudug, ubyang-ubyung, menjalin “jaringan” dengan kelompok-kelompok lain), para pemilik (bagi yang memiliki kelompok) laboratorium teater di Surakarta ini tidak banyak yang mencoba menggali lebih jauh lagi sebuah wacana atau persoalan yang selesai diangkat ke panggung pertunjukan. Ada isu baru beredar di masyarakat segera diikuti, digarap untuk dipentaskan, kemudian setelah selesai mendapat tepuk tangan para penonton sebagai bentuk adat kebiasaan turun-temurun usai menyaksikan pentas, lalu dibahas, didiskusikan, ditanggapi, dipuji, dikritik, dicela, atau “dibantai” para pakar. Setelah penonton pulang anggota kelompok beres-beres peralatan pentas. Besoknya para pelakunya kapok berteater, pamit mengundurkan diri dari kelompok, sedangkan yang masih bertahan sesegera mungkin memikirkan program kerja baru, mencari naskah baru, melupakan apa yang baru saja mereka pentaskan, perihal “kegelisahan” terhadap isu yang tetuang pada naskah sebelumnya. Begitu seterusnya berulang-ulang.

Baiklah, itu tidak perlu kita bahas lebih jauh, memang setiap kelompok memiliki cara masing-masing memandang dan menyikapi kesenian, yang menganggap seni untuk seni, silakan, seni untuk pergerakan dan gerilya, boleh juga, seni untuk cari makan, sah-sah saja, seni untuk mengisi kegiatan hidup menunggu mati seperti kami misalnya? pastinya juga diperbolehkan. Semua bebas memilih yang terpenting sebisa mungkin berusaha jelas kemana arah pandang dan tujuan sebuah kelompok dengan serangkaian kegiatan, asalkan tidak melanggar larangan agama dan pemerintah.


Apa bedanya dengan pementasan sebelumnya?
               
Pada pementasan kali ini kami mengajak turut serta partisipasi kawan-kawan baru, mereka adalah orang-orang baik hati yang bersedia berteman dan bergabung bersama Teater Sandilara pada pementasan kali ini, kebetulan mereka sedang merintis karir sebagai “penata” di bidang masing-masing, kecuali Mas Bei yang pada pamflet tertulis sebagai penata gedhing atau iringan musik bersama Keluarga Karawitan Kurawa yang semua anggotanya perempuan remaja. Mas Bei sebenarnya seorang tukang tipu yang menjadikan latihan gamelan rutin sebagai kedok misi pribadi “berburu dan merayu”. Adapun yang terlibat pada pementasan Teater Sandilara dengan naskah karya Emha Ainun nadjib “Cahaya dan Sampah” antara lain : Idam sebagai pemain, masih sama seperti pementasan naskah ini sebelumnya, Angga sebagai penata cahaya, Jalu sebagai penata sampah, Senja Ari sebagai penata busana, Rikho sebagai penata penonton, Rizal “Item” sebagai penata motor melanjutkan karir profesionalnya sejak Teater Sandilara lahir, kemudian Ihsan Roh sebagai penata poster.

Kami tidak menjanjikan pementasan kali ini lebih menarik atau lebih baik dari sebelumnya (bagi yang sudah pernah menyaksikan), sebab kami bukan ahli nujum yang tahu masa depan, kami hanya menawarkan sebuah tontonan dan wacana yang tertuang dalam pementasan bagi semua kalangan untuk dapat dibicarakan bersama sesudahnya, atau cukup direnungkan dalam diri masing-masing. Siapa kami hendak menggiring cara pandang anda. Seperti biasanya, sederhana saja. Kami mempersilakan anda sekalian yang berkenan hadir untuk menyaksikan pementasan monolog “Cahaya Dan Sampah”, sekadar iba terhadap usaha kami, senang menyaksikan seni pertunjukan, mengsi waktu luang datang menonton, atau nantinya membicarakan bersama wacana yang termuat dalam naskah. Silakan bebas sesuai kebutuhan anda pribadi.




Surakarta, 28 Februari 2018

Joko Lelur
Mantri Carik di Teater Sandilara

Friday, 23 February 2018

SEBUAH LANGKA DI DALAM KELANGKAAN


SEBUAH LANGKA DI DALAM KELANGKAAN

Penunjukan terhadap saya oleh penulis untuk mengisi pengantar di buku ini adalah karena saya pernah melihat naskah ini dipentaskan tempo waktu. Tetapi setelah menimbang di dalam diri, akhirnya saya putuskan; buku ini akan saya hantarkan sebagai karya sastra.

Maka tulisan ini lepas; dari pengalaman saya melihat pertunjukanya kala itu.
Memang biar begini.


Dalam upaya pembukuan sebuah naskah lakon, bagi saya adalah upaya pelebaran sayap gagasan penulis lakon. Sehingga gagasan memiliki alternatif di luar harus menunggu teks mengalami proses penggarapan oleh sebuah kelompok, lalu mewujud sebagai sebuah pertunjukan dan baru disampaikan sebagai tontonan. Ini adalah tentang membuka kemungkinan, maka saya rangkakan tulisan ini untuk mendukung daya mungkin itu.

Saya melihat kebanyakan bentuk fisik naskah lakon yang tersebar berupa kertas foto copy-an, dijilid sederhana dengan steples, dan baru digunakan ketika akan digarap sebagai sebuah pertunjukan. Cara membacanya pun biasanya dengan dibaca keras atau malah dengan berteriak-muncrat—karena berada didalam rangkaian latihan teater. Maka tak heran jika kan kita jumpai arsip naskah-naskah lakon dalam wujud mengenaskan, seakan usai berperang.

Sebagai sebuah buku, naskah lakon harapan saya ialah sanggup berdiri sejajar dengan buku puisi maupun novel, dengan menawarkan cita rasa pembacaan sendiri. Sebagaimana kita tahu banyak penulis-penulis besar yang juga menulis naskah lakon selain menulis puisi atau novel, meski secara jumlah tetap lebih sedikit. Meski sedikit, tetapi selalu ada di setiap zaman, kenapa? Anda akan memiliki jawaban sendiri setelah membacanya.

Membaca naskah lakon ialah membuat pertunjukan di dalam diri.
Ketika membaca sebuah teks lakon, otomatis kita mereka-reka adegan demi adegan yang telah dituliskan oleh penulis. Pertunjukan itu pun menjadi pertunjukan ideal bagi kita, bahkan bisa jadi merupakan representasi diri kita ketika berdiri sebagai sutradara pertunjukan. Meskipun di dalam praktik perwujudannya sebagai pertunjukan adalah rumusan yang berbeda dan toh bukanlah keharusan. Jadi membacanya lalu selesai, dan sudah adalah mungkin dan memiliki tawaran tersendiri.

Bajing Ketapang karya Oki Dwi Cahyo
Sebuah lakon yang diangkat dari novel Max Havelar karya Multatuli ini ialah sebuah karya yang bisa dikata “langka di dalam kelangkaan”. Saya kata langka sebab, proses adaptasi dari sebuah novel merupakan perjalanan menulis dengan “napas panjang”. Semakin saya kata lebih, sebab novel Max Havelar merupakan novel yang beberapa kali gagal saya selesaikan membacanya. Bukan lantaran ketebalannya, tetapi (meski belum saya yakini) ada alih bahasa yang tidak berhasil merebut keberlanjutan saya untuk menyelesaikan. Sedang Oki tidak hanya telah menyelesaikan membacanya, tetapi juga menghasilkan karya sastra yang didapat setelah pembacaan. Terlepas dari pengalaman ketidakselesaian saya dengan “Max Havelar”, dalam adaptasi terhadap novel memang memerlukan “nafas-panjang”, sebab meskipun batasan adaptasi itu bebas tetapi “koridor-tataran” adaptasi itu tentu tetap menjadi semacam rambu-rambu pertanggung-jawaban karya di ranah pribadi sekalipun. Maka saya sebut ini adalah sebuah hasil dari “nafas panjang” penulis, sebab semacam pilihan kekaryaan yang memilih jalan panjang yang berambu-rambu adaptasi. 
“Nafas panjang sebagai penulis” saya sebut langka, sebab menilik penulis ialah generasi yang tumbuh di era SMS dan berlanjut Chatting. Sebuah zaman yang serba cepat menyampaikan; tak perlu pikir panjang; tak perlu membaca dengan seksama terlebih dahulu; tak perlu berpanjang lebar; segalanya menghamba pada kecepatan-kecepatan. Maka macam karya tersebut ialah langka di dalam kelangkaan. “Di dalam kelangkaan”, sebagaimana yang telah saya sebutkan bahwa kemunculan naskah lakon baru adalah sedikit. Tetapi karena ini adalah sebuah karya yang baru kelangkaan tersebut bisa menuju “kebaruan” tergantung bagaimana nanti karya ini dinilai oleh zamannya.
Ada kemerdekaan di dalam rambu-rambu.

Selain rambu-rambu konteks adaptasi, tidak lupa juga bahwa naskah ini dibuat untuk memungkinkan terealisasi di dalam sebuah pertunjukan. Meski saya telah menyebut di atas; bahwa naskah lakon bisa dinikmati sebagai bacaan dan selesai. Tetapi di dalam niatan menulis naskon tetap tak bisa dipungkiri soal-soal terealisasikannya naskah di dalam pertunjukan. Berbeda dengan novel, yang memungkinkan penulisnya menuangkan gagasannya melalui kata-kata yang melimpah dan berkenes-kenes. Naskah lakon selalu mengingat batas-batas panggung, baik durasi maupun pilihan kata untuk lisan dan kata untuk tulisan.

Justru dalam keterbatasan tersebut biasanya lahirlah daya kreatif penulis lakon. Sebagaimana di dalam lakon “Bajing Ketapang” yang merupakan adaptasi dari novel tersebut, penulis meraih kemerdekaannya; sehingga tidak hanya Max Havelar dengan setting masa kolonial, tetap ada Munir, ada Whatssap, ada Line dan ada kebebasan di dalam batasan.

Sebab telah sampai pada soal kemerdekaan dan kebebasan, tulisan ini harus segera diakhiri. Sehingga saya persilahkan pembaca untuk segera merdeka dan bebas untuk menikmati buku ini.

Selamat membaca dan menyaksikan “Bajing Ketapang” karya Oki Dwi Cahyo di dalam diri!

Idnas Aral
Pasar Bubrah, 4 Januari 18

Thursday, 22 February 2018

WEDANGAN TEATER II MASIH BERLANGSUNG DI DALAM CATATAN


WEDANGAN TEATER II MASIH BERLANGSUNG DI DALAM CATATAN

Catatan 2 (seusai membaca tulisan Yudi Dodok dan Imamah)

Senang rasanya mendapati kesudian kedua orang tersebut menuliskan peristiwa wedangan kemarin. Tulisan mereka tidak mengada-ada, sebab keduanya hadir di peristiwa yang dituliskannya. Sebab rasa senang tersebut, saya baca beberapa kali lalu saya menulis catatan ini.

Begini.

Ketika saya menyebut kata Tuhan, itu bukanlah Tuhan, hanya sekedar persepsi saya mengenai Tuhan. Begitu pula ketika saya ketik di tulisan ini kata ‘kursi’, deretan huruf tersebut bukan lah kursi, hanya sekedar simbol yang kita sepakati untuk menunjuk sebuah benda yang sering difungsikan untuk tempat duduk. Maka ketika saya menyebut soal “realitas, identitas, Gigok Anurogo, Wedangan, dan Teater”, itupun tentu bukanlah “realitas, identitas, Gigok Anurogo, Wedangan, dan Teater” tetapi hanya persepsi saya mengenai hal-hal tersebut. Tetapi sebab kita musti berkomunikasi, persepsi-persepsi tersebut tidak bisa untuk tidak disampaikan untuk menunjuk pada hal yang sedang dibicarakan. Terlebih di dalam konteks Wedangan Teater yang salah satu titik tumpunya ialah komunikasi.

Adalah sebuah “ketidakmungkinan” untuk kita mampu untuk mengungkapkan suatu abstraksi sosial yang bernilai universal dan esensial. Tetapi pada saat yang sama kita takkan sanggup menghindarkan diri untuk memperkatakan persoalan tersebut. Untuk itulah ada dialog untuk menjembatani “ketidakmungkinan” itu. Sebab itu saya pun juga setuju kepada mas Dodok bahwa identitas tidak akan bersifat esensial dan universal.

Saya membuka dengan tulisan di atas tanpa pusing dan saya anggap sebagai cara saya berterimakasih terhadap kesudian bung dan nona menuliskan acara wedangan teater dan inilah dialog saya.

Rasanya masih berwedangan teater.

Saya tidak tahu apakah tulisan dari mas Dodok dan Imamah lahir setelah melalui persinggungan dengan tulisan-tulisan saya sebelumnya. Yang jelas, tulisan saya kali ini lahir sebab kedua tulisan tersebut. Tulisan mas Dodok, adalah bagian dari dialog wedangan teater, meski telah berada di luar jam acara. Sebagaimana juga tulisan dari notulen acara, yakni Imamah, yang juga saya baca malam ini. Juga beberapa komentar panjang yang menanggapi tulisan saya (mas Popo, mas Pur, mas Bei, dll). Dialog-dialog tersebut saya dapati berwujud tulisan yang memiliki sifat yang membawa sebuah peristiwa di satu masa ke beberapa masa yang berbeda (sekarang dan esok). Itulah pemaknaan saya terhadap dialog-dialog di dalam catatan tersebut. Ini kali pertama saya merasakan situasi seperti ini di dalam konteks perteateran Surakarta.

Bukan berarti adalah klaim bahwa ini pertama kali.

Sudah pasti akan ada yang berkata “dulu itu sudah pernah”. Sebagaimana sekitar 3 tahun yang lalu pernah saya mengunjungi seorang penulis untuk menyampaikan harapan; agar kawan-kawan penulis sudi menjadikan teater sebagai salah satu wilayah tulisannya. Tetapi jawaban yang saya dapat; dulu itu sudah pernah. Maka saya pulang dan menyampaikan pada kelompok saya untuk membuat blog dan menuliskan sendiri catatan teaternya. Dan dalam kesempatan catatan ini, saya sampaikan, mari kita menuliskan catatan teater di sekitar kita.

Begitu juga, tentang wacana Wedangan Teater, tanggapan berupa “dulu sudah pernah” juga muncul. Bukan berarti menutup diri dengan sejarah, tetapi setahu saya, saat ini perlu dicari lagi formula dialog penjembatan untuk merayakan perbedaan-perbedaan persepsi mengenai teater secara terbuka dan sehat dengan artikulasi zaman ini. Dan pemaknaan terbuka dan sehat tersebut saya kembalikan kepada Wedangan Teater dan benak masing-masing untuk bebarengan mencarinya.

Salah satu usaha tersebut barangkali, melalui catatan.

Berangkat dari sifat wedangan teater yakni membuka kemungkinan. Maka salah satu kemungkinan tersebut yang ternyata lahir adalah catatan-catatan. Sebagaimana tulisan-tulisan dari orang-orang yang saya sebut di atas, maka kemungkinan yang mungkin bisa berlanjut adalah dimulainya dialog-dialog teater berupa catatan. Seperti halnya tulisan ini yang berdialog dengan tulisan mas Dodok. Saya rasa itupun masih merupakan wedangan teater yang telah lepas secara ruang dan waktu tetapi masih tetap konteks, dan berangkat dari hal yang sama.

Wedangan Teater dapat berupa dialog melalui catatan.

Jika tidak boleh dikatakan sebagai wadah dari catatan-catatan teater, setidaknya bisa kita ambil polanya saja. Yakni saling mencatat dan menanggapi peristiwa atau gagasan teater di wilayah Surakarta dalam bentuk tulisan. Jika hal tersebut dapat berlanjut dan tidak menutup kemungkinan untuk berkembang mengangkat tema lain. Sehingga pertukaran pikiran dan gagasan dapat terus berlangsung di luar sebuah acara tetapi tetap berada di dalam iklim teater Surakarta. Bermanfaat atau tidaknya biar mahkamah waktu yang memutuskan.

Demikian catatan kedua saya, adalah berupa tanggapan dan harapan. Meskipun nilainya teramat subjektif, tetap berani saya utarakan sebagai dukungan saya atas perayaan persepsi-persepsi yang berbeda. Dan kutulis dengan perasaan bahagia, sebagaimana kata pak Gigok kemarin yang mengajak kita belajar Teater dengan senang dan bahagia.

Mari bahagia bung!

Pasar Bubrah, 22 Feb. 18
Idnas Aral  

Monday, 19 February 2018

Wedangan Teater II, Catatan 1

Catatan ini tidak dalam rangka berjanji pada siapapun dan juga tidak untuk menunjukkan bahwa wedangan teater melahirkan sebuah catatan. Hanya saya senang mencatat dan banyak mendapatkan manfaat dari catatan untuk saya pribadi dan kelompok. Sebab sebagaimana pilihan saya yang setuju untuk mengadakan Wedangan Teater ialah berdasarkan senang dan merdeka, bukan program kerja.

Maka.
Wedangan Teater, ketika hanya sekedar menjadi obrolan dan tidak melahirkan apapun, adalah tidak masalah bagi saya. Saya sedang tidak berada dalam posisi yang berkewajiban untuk mejanjikan apapun atau memprogramkan apapun di jagat perteateran Solo. Apalagi menyangkut urusan benak masing-masing yang hadir, biar merdeka saja. 

Sebab siapa saya? Kenapa saya harus menanggung janji manfaat dari obrolan? Kenapa saya harus mengambil beban di pundak untuk janji melahirkan ‘sesuatu’ dari obrolan antar kawan teater yang bernama Wedangan Teater?

Tetapi saya heran.
Ketika sebuah obrolan disebut sekedar obrolan, saya heran. Sebab, tidak hanya di ranah Wedangan Teater, saya kok selalu mendapatkan sesuatu dari sebuah obrolan. Entah itu dengan tukang duplikat kunci, tukang tambal ban, penjual kembang, orang gila. Saya tidak berniat untuk mewancarai atau bahasa kerennya observasi, hanya sekedar mengobrol, tanpa tendensi apapun. Tetapi selalu saya pada akhirnya mendapatkan pandangan baru, memperluas cakrawala saya. Termasuk beberapa hal dari dialog dengan Pak Gigok semalam.  

Begini saja.
Silahkan tidak mengambil apapun dari sebuah obrolan. Tetapi jangan pula mengira orang sebagaimana anda. Apa yang ada di dalam benak itu tak nampak. Tidak bisa kita menilai bahwa orang yang diam saja tidak mencatat dalam dirinya. Ah anda salah kira, bahwa situasi interaksi dialog itu hanya sekedar tertuang dalam lisan saja. Saat Pak Gigok berbicara, saat itu pula ada dialog dalam diri masing-masing, yang terpatik dari dialog Pak Gigok. Kan juga tidak harus orang menandakan dirinya paham atau mendapat sesuatu dengan semisal; mengangguk-anggukkan kepala atau mengungkapkan pertanyaan atau berteriak; saya dapat sesuatu!

Maka dari itu, saya tetap dalam pendirian saya; untuk tidak mendikte benak masing-masing. Jika datang untuk mengisi waktu luang, silahkan. Untuk menuntaskan ibadah srawung, ayo. Membunuh pekewuh, sumangga. Ingin belajar sesuatu, sangat mungkin! Dan jika ingin menjadikan obrolan itu sekedar obrolan, ya terserah.

Mari merdeka bung!

20 Feb. 18, 4.10 AM

Idnas Aral