Wednesday, 10 May 2017

Teater piatu yang mencari Ibu. ( Slamet )

Teater Sandilara, ini adalah kali ke empat mereka mencoba berpentas di luar desa-desa. Setelah sebelumnya mementaskan lakon Lelayu di Teater Id Psikologi UNS, lakon Pada Suatu Ketika di Sanggar Teater Tesa UNS , dan yang terakhir Lakon Mlarat yang juga dipentaskan di Sanggar Teater Tesa UNS. Lakon Sri (Sebuah Mencari) kini dipilih oleh mereka menjadi sebuah jembatan pengghubung antara mereka dengan penonton. Lakon Sri (Sebuah Mencari) yang ditulis oleh Idham ‘Idnas Aral’, merupakan sebuah upaya pencarian Sri. Dewi Sri aau Dewi Shri (Bahasa Jawa), Nyai Pohaci Sanghyang Asri ( Bahsa Sunda ), adalah Dewi pertanian, Dewi pado dan sawah, serta Dewi kesuburan di pulau Jawa dan Bali.


Estetika Sri
Perempuan kerap dikaitkan dengan lambang-lambang kesuburan, pertanian bahkan Bumi,  mungkin karena wataknya yang asih dan asuh itulah penyabab keterkaitan bumi dengan perempuan, per-watakan bumi yang meski dicangkul diinjak dan diungkit tetap menumbuhkan tetumbuhan-tetumbuhan, hampir sama dengan watak seorang Ibu yang rela mangandung seorang anak dalam perutnya selama berbulan-bulan. Watak tersebutlah juga menjadi watak sesosok Dewi Sri, rasa asih dan asuh. Perempuan khususnya Ibu begitu estetik dengan perwatakan yang sedemikian rupa, begitu penuh dengan rasa sayang dan cinta. Hal tersebutlah yang kemudian akan dicari oleh Tetater Sandilara dalam Lakon Sri ( Sebuah Mencari). Hilangya estetika antar manusia dengan manusia, manusia dengan alam serta manusia dengan Sang Penciptanya, kemudian akan dicari, sebuah rasa kemesraan, penuh cinta dan bukan dengan gairah perkosaan-perkosaan, yang sebabkan luka-luka pada tiap hubungan tersebut. Perwatakan yang menjelma dalam Dewi Sri, yang pergi meninggalkan diriku, dirimu dan mungkin diri kita semua, akan diupayakan oleh Tetater Sandilara untuk dicari. Pencarian itu tidak akan muluk-muluk, tidak pada pusat perbelanjaan, pada tempat-tempat mewah, tidak lari kemana pun jua, karena tidak akan ditemukan perwatakan itu di sebuah tempat. Namun, pencarian mereka akan tertuju pada dada mereka, pada dadamu, pada dada kita. Sebab perginya Sri tidak pada suatu tempat, tapi Sri telah pergi dalam diri kita sendiri. Kini mereka dalam sebuah prosesi pencarian Sri tertuju pada diri mereka, pada tiap kali proses latihan Tetaer, pencarian tersebut dengan metode gerak, irama, dan mungkin pada sebuah obrolan-obrolan seusai latiahan, atau mungkin pada pertanyaan ke dada mereka sendiri.
Lakon pencarian mereka yang tersesat
Saat derasnya arus informasi global yang berusaha menjadikan antar individu bahkan kelompok menjadi berbenturan, mereka yang tersesat itu mencoba menepi, berusaha sekuat apapun tidak terseret arus dan kemudian menggali lagi akar dalam diri mereka sendiri. Ketersesatan dalam pencarian Sri, akibat sistem, akibat norma, fanatisme agama, dan kewajaran sekitar itulah yang menjadikan prosesi pencarian Sri terasa berat. Sistem, norma, fanatisme agama, dan kewajaran, seakan menjadi jerat dalam prosesi pencarian Sri. Estetika Sri yang lembut, asih-asuh seakan telah termakan oleh norma yang brutal, pencarian dianggap pengangguran, seorang yang tengah mencari sebuah penelitian dianggap menganggur, akhirnya pupus dan ikut arus menjadi pegawai kantoran agar tidak terus menerus di buru norma-norma kewajaran sekitar, bekerja tanpa cinta tanpa estetika, betapa akan menjadi pemakan segala. Seorang yang tengah mencari jati dirinya dituduh gila, subversif, dan patut untuk diasingkan dari sekitar. Hal-hal tersebutlah yang mewujud menjadi jerat, dan mereka tengah terkepung, tersesat oleh aturan-aturan kewajaran dan keharusan yang sama sekali tidak masuk dalam hitungan logika. Meminjam kata dari Rendra “kebudayaan kasur tua” bikin sakit setiap yang rebah diatasnya, sakit-sakitan dan menjadi penyakit yang menjangkiti aku, kamu dan kita kasur tua itulah akan mereka urai satu persatu, menjadi sebuah kasur baru, yang akan nyaman dipakai untuk rebahan. Lakon ketersesatan mereka ini adalah pula untuk melapas satu persatu jerat yang telah mengakar dalam diri mereka yang mungkin tanpa sadar, yang kini telah berubah sedikit demi sedikit menjadi kesadaran.

Perginya estetika Sri yang mereka sadari itulah yang kini menyebabkan perasaan piatu pada diri mereka, kehilangan Ibu, kehilangan keindahan. Meski dengan sehelai bulu dari ayah, mereka masih mampu menerbangkan mimpi dan angan menjulang ke langit. Maka Teater yang piatu ini mengajak dan mengundang siapa saja untuk turut mencari Sri, dalam pencarian mereka pada tanggal 16 dan 17 Mei di Sanggar Tetater Ruang Surakarta. Tataplah mereka saat pementasan, jangan tunduk juga mendongak. Hadapi tiap kenyataan kata yang muncrat dari mulut-mulut lara mereka. Sebab laralah yang mengajarkan mereka menjadi sampai pada 4 tahun Teater Sandilara kini !

Slamet

10 Mei 2017