Teater Sandilara, ini adalah
kali ke empat mereka mencoba berpentas di luar desa-desa. Setelah sebelumnya
mementaskan lakon Lelayu di Teater Id Psikologi UNS, lakon Pada Suatu Ketika di
Sanggar Teater Tesa UNS , dan yang terakhir Lakon Mlarat yang juga dipentaskan
di Sanggar Teater Tesa UNS. Lakon Sri (Sebuah Mencari) kini dipilih oleh mereka
menjadi sebuah jembatan pengghubung antara mereka dengan penonton. Lakon Sri
(Sebuah Mencari) yang ditulis oleh Idham ‘Idnas Aral’, merupakan sebuah upaya
pencarian Sri. Dewi Sri aau Dewi Shri (Bahasa Jawa), Nyai Pohaci Sanghyang Asri
( Bahsa Sunda ), adalah Dewi pertanian, Dewi pado dan sawah, serta Dewi
kesuburan di pulau Jawa dan Bali.
Estetika Sri
Perempuan kerap dikaitkan
dengan lambang-lambang kesuburan, pertanian bahkan Bumi, mungkin karena wataknya yang asih dan asuh
itulah penyabab keterkaitan bumi dengan perempuan, per-watakan bumi yang meski
dicangkul diinjak dan diungkit tetap menumbuhkan tetumbuhan-tetumbuhan, hampir
sama dengan watak seorang Ibu yang rela mangandung seorang anak dalam perutnya
selama berbulan-bulan. Watak tersebutlah juga menjadi watak sesosok Dewi Sri,
rasa asih dan asuh. Perempuan khususnya Ibu begitu estetik dengan perwatakan
yang sedemikian rupa, begitu penuh dengan rasa sayang dan cinta. Hal
tersebutlah yang kemudian akan dicari oleh Tetater Sandilara dalam Lakon Sri (
Sebuah Mencari). Hilangya estetika antar manusia dengan manusia, manusia dengan
alam serta manusia dengan Sang Penciptanya, kemudian akan dicari, sebuah rasa
kemesraan, penuh cinta dan bukan dengan gairah perkosaan-perkosaan, yang
sebabkan luka-luka pada tiap hubungan tersebut. Perwatakan yang menjelma dalam
Dewi Sri, yang pergi meninggalkan diriku, dirimu dan mungkin diri kita semua, akan
diupayakan oleh Tetater Sandilara untuk dicari. Pencarian itu tidak akan
muluk-muluk, tidak pada pusat perbelanjaan, pada tempat-tempat mewah, tidak
lari kemana pun jua, karena tidak akan ditemukan perwatakan itu di sebuah
tempat. Namun, pencarian mereka akan tertuju pada dada mereka, pada dadamu,
pada dada kita. Sebab perginya Sri tidak pada suatu tempat, tapi Sri telah
pergi dalam diri kita sendiri. Kini mereka dalam sebuah prosesi pencarian Sri
tertuju pada diri mereka, pada tiap kali proses latihan Tetaer, pencarian
tersebut dengan metode gerak, irama, dan mungkin pada sebuah obrolan-obrolan
seusai latiahan, atau mungkin pada pertanyaan ke dada mereka sendiri.
Lakon pencarian mereka yang
tersesat
Saat derasnya arus informasi
global yang berusaha menjadikan antar individu bahkan kelompok menjadi
berbenturan, mereka yang tersesat itu mencoba menepi, berusaha sekuat apapun
tidak terseret arus dan kemudian menggali lagi akar dalam diri mereka sendiri. Ketersesatan
dalam pencarian Sri, akibat sistem, akibat norma, fanatisme agama, dan
kewajaran sekitar itulah yang menjadikan prosesi pencarian Sri terasa berat.
Sistem, norma, fanatisme agama, dan kewajaran, seakan menjadi jerat dalam
prosesi pencarian Sri. Estetika Sri yang lembut, asih-asuh seakan telah termakan
oleh norma yang brutal, pencarian dianggap pengangguran, seorang yang tengah
mencari sebuah penelitian dianggap menganggur, akhirnya pupus dan ikut arus
menjadi pegawai kantoran agar tidak terus menerus di buru norma-norma kewajaran
sekitar, bekerja tanpa cinta tanpa estetika, betapa akan menjadi pemakan
segala. Seorang yang tengah mencari jati dirinya dituduh gila, subversif, dan
patut untuk diasingkan dari sekitar. Hal-hal tersebutlah yang mewujud menjadi
jerat, dan mereka tengah terkepung, tersesat oleh aturan-aturan kewajaran dan
keharusan yang sama sekali tidak masuk dalam hitungan logika. Meminjam kata
dari Rendra “kebudayaan kasur tua” bikin sakit setiap yang rebah diatasnya,
sakit-sakitan dan menjadi penyakit yang menjangkiti aku, kamu dan kita kasur
tua itulah akan mereka urai satu persatu, menjadi sebuah kasur baru, yang akan
nyaman dipakai untuk rebahan. Lakon ketersesatan mereka ini adalah pula untuk
melapas satu persatu jerat yang telah mengakar dalam diri mereka yang mungkin
tanpa sadar, yang kini telah berubah sedikit demi sedikit menjadi kesadaran.
Perginya estetika Sri yang
mereka sadari itulah yang kini menyebabkan perasaan piatu pada diri mereka,
kehilangan Ibu, kehilangan keindahan. Meski dengan sehelai bulu dari ayah,
mereka masih mampu menerbangkan mimpi dan angan menjulang ke langit. Maka
Teater yang piatu ini mengajak dan mengundang siapa saja untuk turut mencari
Sri, dalam pencarian mereka pada tanggal 16 dan 17 Mei di Sanggar Tetater Ruang
Surakarta. Tataplah mereka saat pementasan, jangan tunduk juga mendongak.
Hadapi tiap kenyataan kata yang muncrat dari mulut-mulut lara mereka. Sebab
laralah yang mengajarkan mereka menjadi sampai pada 4 tahun Teater Sandilara
kini !
Slamet
10 Mei 2017