Tatkala Lik Tilem masih
khusyuk dengan dirinya yang sedang
menari-nari di pinggir sungai mengikuti suara alam, tapi tiba tiba kekhusukannya
terganggu oleh beberapa orang tengah
beradu mulut berjarak tak jauh dari tempat Lik Tilem berdiri. Dengan sigap,
gagah, dan berani, sejurus Lik Tilem sampai pada tempat adu mulut tersebut.
“Ada apa to iniiii !!!!
ndak tau ada orang sedang bercinta dengan angin dan matahari ? lagi khusyuk hlo
saya ini, kok kalian teriak-teriak, apa dunia ini Cuma milik kalian ? begitu rumangsamu su ?”
teriak Lik Tilem memecah
suasana panas adu mulut.
“Ini hlo, nyetrum ikan
di kali, kan namanya merusak alam, aliran listrik kalau di aliri di kali, semua
ikan yang masih kecil ataupun sudah besar semua kan mati, apa saja mati, itu
namanya merusak lingkungan, merusak alam, mbok
ya dipikir”
Setelah mendengar
penjelasan cukup lama, ternyata adu mulut terjadi diantara kelompok pemuda dan
dua orang yang pekerjaannya nyetrum ikan-ikan di kali untuk besoknya dijual
dipasar. Cek cok tersebut dikarenakan ketidakterimaan sekelompok pemuda
terhadap tukang setrum karena kegiatan itu dapat merusak ekosistem yang ada di
sungai.
“Betul itu, merusak
ekosistem, anak ikan bisa ikut mati tersetrum, dan akibatnya tidak ada
regenerasi ikan nantinya, terus nanti anak cucu kita tidak akan bisa melihat
ikan-ikan di kali, mungkin ikan hanya akan di lihat ditelepisi, betul... betul
itu Pak, sudahi saja kegiatan strum listriknya...betul...betul, bagus ini
pikiran pemuda-pemuda ini, cakap dan cerdas...” sambung Lik Tilem
“Tapi Pak... ini satu
satunya cara kami untuk terus hidup, untuk melangsungkan hidup, mencari nafkah
dengan menyetrum ikan di kali...”
Sela dua orang tukang
setrum ikan...
“Tapi kan masih ada
kerjaan lain ! masih ada sumber nafkah lain, tidak harus menyetrum ikan di kali
!! “
Adu mulut kembali
terjadi antara kelompok pemuda dan tukang setrum.
“Eh
kok, malah mulai lagi, sudah sudah sudah !”
Lik
tilem berada ditengah keduanya, setengah melerai setengah mengeluarkan jurus
yang tak tentu arah.
“Sebentar,
sebentar… Bapak yang nyetrum ikan ini juga ada benarnya, sementara ini memang
yang hanya mereka ketahui untuk mencukupi kebutuhan hidupnya nyetrum ikan di
kali, itu juga ada benarnya, toh nyatanya kita hidup pada kubangan najis, tapi
sebentar, kalian berdua ini apa tendensinya ? pecinta alam ? LSM lingkungan ?
pamong desa sini ? atau pemuda yang memang mencintai alam ? konservator ? atau…”
“kami
sedang mincing, Pak, ya terganggu to, kami jadi tidak dapat ikan dari tadi,
ternyata penyebabnya tukang setrum…”
“Mancing
? untuk kebutuhan sehari hari ? untuk keluarga kalian dirumah ? hlo ya jadi
sama dong kepentingannya dengan Bapak setrum ini ? “
“Hobi
Pak …”
“Heh
apa ? apa ? Hobi ? woooo hla asu, bajindul, tengik, sudal, kere, maling,
asuuuuuuuuu!!! Tak kira kalian ini orang yang memang mencintai alam ! pemuda
yang perduli dengan kelangsungan alam bangsa kita ini ! pemuda yang tangkas dan
cerdas, ngomong soal kelangsungan kali ini kedepannya ! ealah jebul, ternyata
kalian teriak teriak ini karena kepentingan pribadi kalian terganggu, pemuasan
terhadap diri sendiri, mincing, hoby, taek ! hoby ya sudah hoby saja !
Kalian
berteriak seakan akan membawa wacana besar yang baik dan bagus, ternyata wacana
itu kalian tunggangi untuk pemuas nafsu, hoby, lari dari rutinitas kalian yang
stres, kalian tidak ada sama sekali keberanian untuk mengakui bahwa hoby ini
adalah pelarian, adalah cara kalian untuk merasa menang atas ikan yang kalian
tangkap, setelah kalian tidak sadar kalah terhadap kenyataan, terhadap
pekerjaan kalian yang terus di tekan tanpa sempat untuk melawan bahkan keluar !
asu ! pemuda taek kon iku ! ini namanya kalian geser macan untuk kalian macani
sendiri, mengusir orang cari nafkah, cari penghasilan, untuk kalian puaskan
kepentingan pribadi kalian sendiri ! ah ! rugi rugi ! rugi saya buang banyak
tenaga seperti ini ! rugi !
Ah
kalian sama saja dengan orang besar itu, membawa wacana yang sepertinya bagus,
ealah ternyata untuk menggesar kuasa sebelumnya, untuk mereka kemudia berkuasa
sendiri, menang sendiri !”
Sembari
terus ngrundel ngalor ngidul, Lik Tilem pergi meninggalkan orang-orang itu,
lagaknya berjoget seperti orang yang sedang tersetrum aliran listrik.
Yogyakarta,
27 September 2017