Friday, 29 September 2017

Lik Tilem kesetrum. (Slamet0

Tatkala Lik Tilem masih khusyuk dengan dirinya yang sedang  menari-nari di pinggir sungai mengikuti suara alam, tapi tiba tiba kekhusukannya  terganggu oleh beberapa orang tengah beradu mulut berjarak tak jauh dari tempat Lik Tilem berdiri. Dengan sigap, gagah, dan berani, sejurus Lik Tilem sampai pada tempat adu mulut tersebut.

“Ada apa to iniiii !!!! ndak tau ada orang sedang bercinta dengan angin dan matahari ? lagi khusyuk hlo saya ini, kok kalian teriak-teriak, apa dunia ini Cuma milik kalian ? begitu rumangsamu su ?”

teriak Lik Tilem memecah suasana panas adu mulut.

“Ini hlo, nyetrum ikan di kali, kan namanya merusak alam, aliran listrik kalau di aliri di kali, semua ikan yang masih kecil ataupun sudah besar semua kan mati, apa saja mati, itu namanya merusak lingkungan, merusak alam, mbok ya dipikir”

Setelah mendengar penjelasan cukup lama, ternyata adu mulut terjadi diantara kelompok pemuda dan dua orang yang pekerjaannya nyetrum ikan-ikan di kali untuk besoknya dijual dipasar. Cek cok tersebut dikarenakan ketidakterimaan sekelompok pemuda terhadap tukang setrum karena kegiatan itu dapat merusak ekosistem yang ada di sungai.

“Betul itu, merusak ekosistem, anak ikan bisa ikut mati tersetrum, dan akibatnya tidak ada regenerasi ikan nantinya, terus nanti anak cucu kita tidak akan bisa melihat ikan-ikan di kali, mungkin ikan hanya akan di lihat ditelepisi, betul... betul itu Pak, sudahi saja kegiatan strum listriknya...betul...betul, bagus ini pikiran pemuda-pemuda ini, cakap dan cerdas...” sambung Lik Tilem

“Tapi Pak... ini satu satunya cara kami untuk terus hidup, untuk melangsungkan hidup, mencari nafkah dengan menyetrum ikan di kali...”

Sela dua orang tukang setrum ikan...

“Tapi kan masih ada kerjaan lain ! masih ada sumber nafkah lain, tidak harus menyetrum ikan di kali !! “

Adu mulut kembali terjadi antara kelompok pemuda dan tukang setrum.

“Eh kok, malah mulai lagi, sudah sudah sudah !”

Lik tilem berada ditengah keduanya, setengah melerai setengah mengeluarkan jurus yang tak tentu arah.

“Sebentar, sebentar… Bapak yang nyetrum ikan ini juga ada benarnya, sementara ini memang yang hanya mereka ketahui untuk mencukupi kebutuhan hidupnya nyetrum ikan di kali, itu juga ada benarnya, toh nyatanya kita hidup pada kubangan najis, tapi sebentar, kalian berdua ini apa tendensinya ? pecinta alam ? LSM lingkungan ? pamong desa sini ? atau pemuda yang memang mencintai alam ? konservator ? atau…”

“kami sedang mincing, Pak, ya terganggu to, kami jadi tidak dapat ikan dari tadi, ternyata penyebabnya tukang setrum…”

“Mancing ? untuk kebutuhan sehari hari ? untuk keluarga kalian dirumah ? hlo ya jadi sama dong kepentingannya dengan Bapak setrum ini ? “

“Hobi Pak  …”

“Heh apa ? apa ? Hobi ? woooo hla asu, bajindul, tengik, sudal, kere, maling, asuuuuuuuuu!!! Tak kira kalian ini orang yang memang mencintai alam ! pemuda yang perduli dengan kelangsungan alam bangsa kita ini ! pemuda yang tangkas dan cerdas, ngomong soal kelangsungan kali ini kedepannya ! ealah jebul, ternyata kalian teriak teriak ini karena kepentingan pribadi kalian terganggu, pemuasan terhadap diri sendiri, mincing, hoby, taek ! hoby ya sudah hoby saja !

Kalian berteriak seakan akan membawa wacana besar yang baik dan bagus, ternyata wacana itu kalian tunggangi untuk pemuas nafsu, hoby, lari dari rutinitas kalian yang stres, kalian tidak ada sama sekali keberanian untuk mengakui bahwa hoby ini adalah pelarian, adalah cara kalian untuk merasa menang atas ikan yang kalian tangkap, setelah kalian tidak sadar kalah terhadap kenyataan, terhadap pekerjaan kalian yang terus di tekan tanpa sempat untuk melawan bahkan keluar ! asu ! pemuda taek kon iku ! ini namanya kalian geser macan untuk kalian macani sendiri, mengusir orang cari nafkah, cari penghasilan, untuk kalian puaskan kepentingan pribadi kalian sendiri ! ah ! rugi rugi ! rugi saya buang banyak tenaga seperti ini ! rugi !

Ah kalian sama saja dengan orang besar itu, membawa wacana yang sepertinya bagus, ealah ternyata untuk menggesar kuasa sebelumnya, untuk mereka kemudia berkuasa sendiri, menang sendiri !”

Sembari terus ngrundel ngalor ngidul, Lik Tilem pergi meninggalkan orang-orang itu, lagaknya berjoget seperti orang yang sedang tersetrum aliran listrik.



Yogyakarta, 27 September 2017