Tuesday, 2 October 2018

PEREMPUAN BERKALUNG SAMPUR VS OLEH-OLEH HEGEMONI BARAT


Adikku, perempuan berkalung sampur.

Tempo hari kamu pacu Scopy-mu dari Semarang untuk datang ke Solo, untuk menghadiri Tancap Layar di Sanggar Teater Tesa. Motormu sempat mogok di Ungaran, dan kamu sampai ke acara tetap tidak terlambat. Dan kau pun sampai untuk kita kembali berbincang-bincang.

Atas itu semua dan hal-hal yang sudah menjadi ikatan sejarah kita, ingin kumaknai hal-hal itu dengan tulisan ini.


Kita memang harus memaknai sendiri apa yang kita senangi dan yakini. Sebagaimana aku dengan teaterku dan kamu dengan tarimu. Mengharapkan penghargaan dari orang lain adalah bunuh diri yang tidak disadari. Selalu itu kusampaikan pada orang-orang satu kelompok denganku. Kita musti mempersiapkan diri untuk memasuki medan tempur berupa PERANG MAKNA.

Dalam satu rombongan kita, yang berlatih untuk mendapatkan pujian atas kemampuan aktingnya, akan musnah paling awal. Bagi yang hanya suka pentas, akan mampus dikoyak-koyak sepi. Bagi yang ketagihan UANG TRANSPORT, akan lumpuh paling dulu. Ya, seperti itulah, kebenaran kita. Dan kita pun selalu tahu bahwa kebenaran kita bukanlah satu-satunya. Di dalam hidup ini orang memiliki kebenarannya masing-masing. Kebenaran yang selama ini kita pakai sebagai benteng atas gempuran terhadap akal sehat, kalau bukan kita yang memaknai, siapa lagi?

Oleh karena hal-hal tersebut, tulisan ini mencoba ingin memaknai.

Di hadapanku, kau pun bercerita mengenai ketidaksetujuanmu kepada pendapat seorang penari kebanggaan negeri ini, yang seringkali mengharumkan nama Indonesia di kancah pertarian Internasional. Kau tidak setuju pada ceramahnya, waktu ia mengatakan bahwa tari tradisi adalah barang mati. Ditambah pula pendapatnya yang notabene terhegemoni oleh penari bule yang mengatakan padanya “bahwa ketika kamu menarikan tari tradisi Jawa, kamu seperti seorang perempuan.”

Lalu entah karena yang mengatakan itu seniman Bule atau karena mental penari kebanggan kita itu yang masih terjajah, serta merta ia meyakini “kebenaran” yang dikatakan teman bulenya. Kemudian ia pulang membawa oleh-oleh hegemoni tersebut, sebagai seorang penari yang “sukses” tentu suaranya didengar, diyakini oleh banyak orang. Dan kebenaran yang mengatakan, “bahwa tari tradisi pria Jawa geraknya seperti seorang banci” dia reproduksi sebagai kebenaran ingin ia tularkan.

Kepadamu juga, penari itu ingin menularkan kebenarannya melalui sebuah ceramah yang mendudukkanmu sebagai seorang murid yang lumrahnya akan selalu manthuk-manthuk.
Tetapi kau berani melawan kebenaran itu di dalam pikiranmu yang berkata, “bukankah di dalam tari tradisi lebih jelas perbedaannya antara perempuan dan laki-laki. Bahkan di dalam tari laki-laki ada pembagian antar alusan dan gagahan.”

Di dalam pikiranmu kamu berani memberontak, “bukankah justru tari Balet yang banya mengeksplorasi pantat itu terlihat lebih ber-perempuan ketimbang tari Jawa ketika diperankan oleh seorang pria.”

Meski kau tidak berdiri dan melisankan pendapatmu untuk mendebat seniormu yang internasional itu, meski kau tidak melakukan konfrontasi dengan meninggalkan ruangan. Setidaknya kau telah melawan di dalam pikiranmu. Dan di dalam pikiranmu, kebenaranmu sejajar dengan kebenaran penari itu yang notabene kebenaran kawan bulenya.

Atas semua itu, tulisan ini kuhaturkan untuk memaknainya.

Kau memang telah bertambah dewasa dibandingkan dengan 4 tahun silam, ketika kamu harus pulang latihan sebelum jam 9 malam. Cakrawalamu pun bertambah luas, pergaulanmu meluas, persinggungamu bertambah. Tak kusangka masih kau ingat tentang keyakinan kita untuk terus memaknai apa yang kita “miliki”.

Kau juga telah sudah mengerti bahwa pendapatmu akan sia-sia jika kau sampaikan pada kawanmu yang juga telah terhegemoni oleh pendapat seniornya yang sukses. Maka kau cukup diam dan melawan penjajahan itu di dalam dirimu. Keadaan memang sudah sedemikian seperti ini, dik, orang-orang berduyun-duyun mengejar matahari yang terbenam itu. Orang-orang takut terhadap malam yang sunyi tanpa riuh tepuk tangan dan penghargaan-penghargaan. Orang-orang takut tak berdiri di bawah lampu eksistensi.

Orang-orang terus lari ke barat dan lupa bahwasanya dari arah timurlah matahari akan terbit.

Atas semua itu, dengan tulisan ini aku ingin berpesan.

Sebagaimana tradisi yang sebenarnya juga terus tumbuh dan tidak mati seperti pendapat banyak orang. Kebenaran kita pun juga terus tumbuh. Tidak ada yang abadi, kecuali perubahan itu sendiri. Segala hal musti dinamis, tetapi penggiringan opini, penjejalan kebenaran, penyeragaman nilai-nilai, tetap harus terus dilawan. Setidak-tidaknya melawan di dalam diri sendiri.

Hal ini kusampaikan, sebab melihat kemampuanmu, perkembangan karirmu, dan caramu berdisiplin, bukan tidak mungkin kau akan sampai pada persinggungan kancah internasional. Dan saat sampai pada ketika itu, kau harus lebih siap untuk menghadapi pilihan, antara; menawarkan nilai-nilai kita atau justru sekedar kulakan dan terhegemoni oleh nilai-nilai dari luar.

Bersiaplah, selamat datang di dalam kancah Perang Makna!

Idnas Aral
Pasar Bubrah, 2 Oktober 2018

Sunday, 30 September 2018

Kedaulatan Nasi Goreng



Setyo termangu-mangu, kertas dan alat gambar berserakan di sekitarnya. Sudah beberapa hari Setyo menghabisken waktu dengan menggambar, menggambar, menggambar, tapi tak lupa merokok dan makan, pun juga minum. Meski terlihat sebagai seorang yang depresi, sebab telah hilang raut bahagia dari diri Setyo, ia tetap kuat makan, merokok dan juga minum. 

Sudah beberapa hari Setyo tidak pulang ke indekosnya. Ia memilih tidur bersama Lèk Tilem di kios buku. Tanpa sepatah kata pun, Setyo membuka mulut hanya untuk merokok, makan, dan minum. Dan yang cukup aneh, selama beberapa hari semenjak Setyo termenung dengan kertas gambarnya, Lèk Tilem tidak pernah melihat Setyo ke kamar mandi, tidak kencing, tidak buang air besar, dan pula tidak mandi. Bau tubuhnya memang belum begitu mengganggu bagi Lèk Tilem dan juga Slamet. Tapi... kentutnya yang naudzubillah kurang ajar, tiada bunyi, tetapi benar menusuk hidung, betul-betul jahanam. 

Tapi pun, Lèk Tilem dan juga Slamet segan untuk memaksa Setyo ke kamar mandi. Mereka mencoba maklum. Tapi Slamet diam-diam mencari tahu, apa penyebab Setyo sampai begitu, menggambar sepanjang waktu. Sebab setahu Slamet, pun Lèk Tilem, Setyo tidak memiliki kecenderungan terhadap karya rupa. Ia lebih sering menghabiskan waktunya untuk wara-wiri, jalan-jalan, makelaran, atau kadang-kadang bermusik di waktu luang. Ia lebih suka guyonan, bercerita tidak jelas, bahkan sedih baginya adalah orang lain. 

Lèk Tilem dan Slamet mencoba berprasangka baik. Siapa tahu, ndilalah Setyo jatuh cinta dengan sebuah karya seni rupa sehabis melihat pameran lukis atau ke museum lukis, dan tiba-tiba Setyo memutuskan untuk menjadi seorang perupa mutakhir, kenamaan. Tapi kok wagu, seni ya seni, mandi dan buang air itu kan juga manusiawi, masa iya pekerja seni tidak manusiawi. 

Usut di usut benang yang kusut, eee ternyata Setyo ini sedang patah hati. Slamet menemui kenyataan pahit, perempuan yang digandrungi Setyo telah dipangku, dipeluk, dicium oleh mas mas nyeni. Dasarnya mbaknya yang digandrungi Setyo ini nyentrik bin nyeni, ya seperti tutup ketemu tumbu, sambel ketemu lele dan nasi. Ya saling melengkapi dan klop. Sebab itulah muasal Setyo berusaha belajar menggambar, menggambar, menggambar sepanjang waktunya, karena dendam kesumat sama mas-mas nyeni yang memiliki pengikut sampai ribuan di media sosial. Setyo berusaha untuk tidak menjadi dirinya, dalam arti, ia lari dari bakatnya, kecenderungannya, kesukaannya, dan kecintaannya. 

Aduh, kok sampai begini tragis si Setyo, pikir Slamet dan Lèk Tilem. Setelah mendengar cerita yang dituturkan Slamet dari hasil investigasinya, Lèk Tilem pun putar otak, cari cara untuk menghibur hati Setyo yang gundah gulana. Pelan-pelan Lèk Tilem mengumpulken kenekatannya.... 

"Ealaaaah, Tyooo... Setyoo, kok cuma urusan perempuan saja bikin kamu limbung setengah mati, apa yang kamu lakukan itu kalah jauh sama tukang nasi goreng..." 

Hening, diam, usaha Lèk Tilem sepertinya akan berbuah gagal. Setyo diam, tapi... lamat-lamat ia memandang Lèk Tilem, wajahnya berubah merah, Setyo seperti hendak marah. 

"Hlooo iya, bener itu kalah sama tukang nasi goreng.... Ah cemen, masalah remeh begitu kok..." Slamet berusaha, kini pandangan Setyo menuju Slamet. Slamet sedikit tegang, tatapan Setyo makin dalam, "duh mati aku," pikir Slamet. 

"Begini hlo, Tyo... Setyo... maksudnya, coba kamu perhatikan tukang nasi goreng di pinggiran jalan, ada nasi goreng surabaya, tegal, china, atau chinesefood, beragam, ta. Tapi mereka jualnya di Solo, di Jawa Tengah. Mereka itu berdaulat, atau sekurang-kurangnya nasi gorengnya yang berdaulat. Meski di daerah lain, nasi goreng itu tetap setia pada dirinya, teguh, teteg, dan tatag. Tidak meninggalkan surabayanya, tegalnya, cinanya. Meski bahan pokok tetap sama; nasi, cabe, dan bumbu-bumbu yang hampir mirip, tapi yang membedakan takarannya, cara pengolahan, bahkan wajannya. Dan nasi goreng itu berdaulat, tidak gentar dan takut meski di Solo, tapi tetep ngeyel membawa cita rasa tegal, misalnya. Sebab, Set, selera itu akan menemukan pasangannya, selera tidak akan berdiri sendiri.

Hla kamu itu mbok ya o niru nasi goreng ta, berdaulat sama Setyomu, bersetia sama dirimu, kecenderunganmu, sebagai Setyo. Nanti ta, kamu pasti akan menemukan orang yang cocok dengan cita rasa yang kamu miliki. Begitu pula nasi goreng, yang berdaulat atas dirinya sendiri, membawa dirinya tetap dan ajek sebagai dirinya, kemana pun nasi goreng itu pergi. Tidak luntur dan malah ikut lebur menjadi yang selain dirinya. Jadi, kamu itu kalau tidak suka dengan menggambar ya ndak usah, itu gambarmu dilihat malah seperti setan semua, malah dikira orang kamu sedang menerawang kios ini, mencari-cari dedemit untuk diusir. Sudah, ta... sudah, Tyo...." 

Wajah Setyo perlahan berubah. Tiba-tiba ia terkekeh, ngguyu, ngakak, terbahak-bahak. 

"Sampean hlo, Lèk, kok lucu menasihati saya. Apa tadi? Kalah sama nasi goreng? Setiap rasa akan menemukan jodohnya? Selera tidak berdiri sendiri? Hla sampean itu sudah berapa lama tidak ditemukan siapa pun, sesama kere kok menasihati!" 

Den Bagus
Klaten, 30 September 2018 

Tuesday, 25 September 2018

Secuil Kisah Perjalanan Kakatuah




     Kakatuah adalah sebuah grup kecil yang beranggotan dua orang. Angka dua adalah batas minimal sebuah grup dapat disebut grup, apabila tidak ingin dikatakan pemain tunggal. Terbentuk pada 30 Desember 2017 di sebuah kedai kopi milik sahabat dan mulai berproses saat itu juga. Sebulan sebelum akhirnya memutuskan berdua saja, sempat terpikir untuk membuat formasi empat orang, di saat orang ketiga bergabung dan orang keempat tidak juga muncul, maka rancangan proses dengan formasi tiga orang tercipta. Namun, di awal jalan gugur satu. Akhirnya, dengan berdua saja mereka melangkah. Mereka menyadari, di usia manusia yang mulai menginjak kepala dua atau lebih, membuat sebuah kelompok tidaklah mudah. Tidak seperti ketika SMA. Dengan ini, dimulailah perjalanan Ihsan Roh dan Laras Sahita.   
    
       Ihsan yang sudah sejak 2014 gemar memusikalisasi puisi tersadar bahwa pendokumentasian karya adalah hal yang penting. Kalau sastra dapat didokumentasikan menjadi buku atau bentuk tulisan cetak yang lain, musik dapat didokumentasikan lewat bentuk rekaman suara. Bersama Laras, Ihsan mulai merekam lagu-lagunya satu per satu. Bukan suatu yang mudah memang, dengan perlatan mereka sendiri dan studio yang mereka desain sendiri, beberapa buah lagu tersusun rapi dalam bentuk rekaman suara dan akan terus berproses untuk menetaskan lagu-lagu berikutnya. Sepenggal lirik Silampukau berjudul Doa 1 mungkin sedikit dapat menggambarkan tentang mereka, “Dana pas-pasan pokonya bikin rekaman”. Terlepas dari semua itu, proses ini bukanlah sekadar berbicara mengenai penghargaan  nilai historis suatu karya sendiri. Tetapi membuat dokumentasi hasil karya bisa menjadi jejak refleksi diri. Syukur-syukur karya yang terdokumentasi juga dapat dinikmati oleh orang lain. Karena bagi mereka, dokumentasi adalah hal yang perlu diutamakan. Dan tidak terlupakan bahwa, dokumentasi juga harus diikuti langkah selanjutnya, yaitu, menelaah, memaknai, dan menciptakan karya baru untuk tetap menjaga kewarasan dan kesadaran diri.
        
     Latar belakang apa yang membuat mereka memilih musik sebagai kegiatan?
     “Dengan melihat peristiwa di sekitar kami, kami jadi tahu, banyak saudara-saudara kita baik dengan senang maupun dengan terpaksa melakukan kegiatan agar sama dengan orang-orang di sekitarnya, agar dapat ikut nimbrung ke dalam obrolan suatu perkumpulan, atau agar tidak disebut ketinggalan jaman. Misalnya, seorang teman yang gemar menggambar tiba-tiba ikut bermain Mobile Legend hanya dikarenakan setiap dia berjumpa dengan orang-orang di komunitasnya selalu terdengar perbincangan seputar Mobile Legend. Dia yang saat itu belum ikut bermain, tidak paham apa yang diperbincangkan oleh teman sekumpulannya. Agar dapat tetap nyambung dengan teman-temannya, akhirnya dia memutuskan ikut bermain permainan online tersebut. Betapa menyedihkan, kegemaran menggambar akhirnya dikesampingkan. Berkuranglah satu pelukis muda Indonesia.
     Itulah mengapa kami bermain musik. Hanya sekadar menjaga kegemaran yang memang timbul dari dalam diri sendiri, dimana pada kebanyakan orang, kegemaran muncul karena terdominasi oleh tren. Seperti yang kita ketahui, tren akan selalu berubah setiap waktunya. Dan apakah kita akan selalu berpindah kegemaran karena tren? Apakah kita tidak boleh memiliki kegemaran yang tetap? Kebetulan, kami berdua mempunyai kegemaran yang sama, yaitu: berteater, menggambar, juga bermusik”, tutur Ihsan.

     Dalam berproses, Kakatuah telah berafiliasi dengan Teater Sandilara dan Keluarga Karawitan Kurawa. Meskipun tidak dengan sesama grup musik akustik, tetapi mereka merasa memiliki pandangan atau pola pikir yang sama dengan kedua kelompok tersebut. Kakatuah banyak belajar mulai dari pemaknaan tentang indie, masyarakat, pasar, atau sekadar memaknai persahabatan. Bersama dengan Teater Sandilara dan Keluarga Karawitan Kurawa, Kakatuah mendapatkan kekuatan besar untuk menyokong daya kreativitas dan produktivitas mereka. Ini adalah sumbangan besar bagi perjalanan Kakatuah. Bukan sokongan dana atau materi yang terpenting, tapi tawaran pemikiran, ide-ide kreatif, pemaknaan nilai-nilai, dan wacana dari kedua saudaranya itulah yang membuat Kakatuah terlahir dan tumbuh sampai sekarang.

     Beberapa karya Kakatuah yaitu: Sebermula Hanyalah Kabut, Seperti Jatuh Cinta, Orang yang Bulan dari puisi Kriapur, Bangku Kesepian dan Sajak Ungu dari puisi Olen Saddha, dan Meninabobokkan Luka dari puisi A. Della Nurhatika.        

     Mari belajar!


Roh
Rabu, 26 September 2018

Sunday, 23 September 2018

MEMBANGUN LABORATORIUM INDIE DI TENGAH KEBUDAYAAN INSTAN DAN SERAGAM


              Sebagai seorang muda yang masih memiliki banyak waktu untuk mengembangkan diri, pernahkah terlintas dipikiran kita untuk membaca kembali atau mencari tahu, hal apa saja yang sebenarnya menjadi kegemaran, minat, dan tentunya mengukur kapasitas diri. Sudah jamak lumrahnya dalam memulai kita akan mencari kawan baru atau kenalan untuk dapat menjalankannya bersama. Di antara sekian banyak orang pastinya tidak semua memiliki cara pandang sesuai dengan apa yang kita mau, tapi paling tidak tentu ada beberapa yang dapat dijadikan sebagai rekan satu kelompok, dan sekali lagi dapat dipastikan, jumlahnya tentu tidak akan melebihi banyaknya anggota di lingkungan yang sudah memiliki nama besar sebagai penyelenggara acara.

                Rata-rata dari mereka yang memutuskan diri untuk memilih jalur indie bukanlah “manusia pasaran”, artinya mereka tidak memiliki pandangan dan pola pikir seperti orang-orang umum, mulai dari selera musik, buku bacaan, acara yang dihadiri, komunitas yang dipilihnya sebagai lingkungan pergaulan dan tidak sekadar berkunjung atau “mencicipi masakan” yang tersaji, tapi memang disadari sebagai kebutuhan mengapa merasa perlu menggabungkan diri pada kelompok tertentu. Kemudian seseorang tersebut akan mulai berproses mengembangkan dirinya dengan dukungan rekan-rekan yang lain, pastinya tidak sekadar menjalani rutinitas teknis berkesenian, kepenulisan, atau kegiatan apa yang ada pada kelompok atau komunitas itu, tapi akan terjadi pula tukar pikiran antar teman, perdebatan wacana, perbincangan soal isu-isu sosial di lingkungan sekitar, dan masih banyak lagi kegiatan non-teknis yang akhirnya membentuk pandangan baru dan pola pikir pribadi dari seseorang tersebut. Akhirnya di dalam ia berkarya, baik secara pribadi maupun kolektif, apa yang ia peroleh dari lingkungannya tadi akan tercermin pada karya-karya yang dihasilkan.

                Hal ini dapat dikatakan sebagai kekuatan, menimbulkan dampak baik bagi produktifitas pribadinya maupun kelompoknya, memberi sumbangan besar bagi keberlangsungan suatu kelompok dan komunitas, tidak hanya pada kuantitas karya, mampu memproduksi berapa karya dalam setahun misalnya, tapi soal muatan cita-cita dan wacana bersama yang pernah diobrolkan antar teman dalam suatu kelompok indie terwadahi dalam karyanya. Sebab bukan komunitas atau kelompok (indie) namanya, jika tidak memiliki tawaran pemikiran yang berbeda, kalau hanya seragam seperti orang-orang kebanyakan rasanya tidak perlu repot-repot memilih jalur mandiri, cukup menggabungkan diri mengikuti tempat-tempat yang sudah “jadi”, yang biasanya lebih gampang menarik massa, atau terkesan mudah diterima masyarakat segala macam tawarannya apapun itu, dengan kata lain lebih laku keras di pasaran. 



                Ya, wajar saja, sebab isi kepala para konsumen telah terpengaruh industri mayor, sehingga anggapan mereka soal karya yang baik adalah berdasarkan atas apa yang disukai oleh orang-orang kebanyakan, yang dibentuk, diproduksi, dan dipromosikan oleh industri besar tersebut, selera pasar yang didukung oleh kaum-kaum instan tadi akhirnya selalu gampang menyedot massa bila dibanding dengan produk-produk indie yang tentunya akan memilih konsumennya sendiri, konsumen yang juga menolak bentuk-bentuk penyeragaman selera yang tanpa disertai muatan wacana dan pemikiran tersebut, yang asal laku, asal senang, asal-asalan tidak masalah, sebab sudah dapat dipastikan produknya laku karena telah berhasil menancapkan pengaruhnya ke dalam pikiran masayarakat kebanyakan dengan berbagai cara.

Membangun Dan Menjaga Keberlangsungan Laboratorium

                Menurut saya, hal pertama yang perlu diperhatikan ketika hendak membangun suatu perkumpulan adalah sumber daya manusianya, mengingat ini merupakan kerja kolektif yang berlandaskan visi dan misi tertentu, maka sudah seharusnya memastikan setiap kepala yang terlibat, apakah mereka kutu loncat atau benar-benar memahami arah tujuan bersama. Sepele memang, tapi biasanya menjadi malapetaka di kemudian hari. Seiring berjalannya waktu, satu per satu tumbang meninggalkan cita-cita yang sudah disusun, tidak lain akibat gagal paham mengenai jalur indie.

                Kebanyakan dari orang-orang yang pernah menggabungkan diri ke dalam komunitas indie tidak mengerti, semata berkawan dengan kelompok lain hanya untuk “berbisnis” atau menentukan standar harga barang yang di produksi, harapan mereka sebatas menjaga kestabilan harga jual dengan mengajak golongan yang dirasa satu pemahaman untuk sama-sama memikirkan kondisi pasar indie, tapi kebanyakan lupa pada nilai-nilai dan wacana yang perlu diangkat bersama sebagai tawaran pemikiran, perlawanan terhadap keseragaman, kritik sosial, dan pastinya pemahaman yang diyakini bersama untuk diberikan kepada masyarakat luas.

                Mengapa menjaga laboratorium kelompok menjadi persoalan penting bagi para pegiat indie sebelum memasarkan dan mencari sekutu? Ya, itu perlu, ruang lingkup paling kecil adalah kelompok, jika pada titik ini arah tujuan masing-masing individu masih rancu, maksudnya hal-hal mendasar yang menjadi garis besar tidak dipahami rasanya mustahil, tidak mungkin tercipta sebuah laboratorium untuk merealisasikan semua rencana ketika kelompok itu berdiri. Jika urusan ini selesai angin segar akan berhembus, tidak repot lagi memikirkan urusan menyamakan persepsi, mengadakan rapat besar, setiap individu yang memutuskan diri untuk bergabung memiliki kesadaran untuk mencermati hal-hal kecil dan penting. Setelah itu organisme kelompok akan terbentuk secara otomatis, struktur kerja formal tidak perlu dijalankan seperti orang umum, namanya juga indie, kalau masih repot seperti orang kebanyakan apa gunanya memilih jalur ini. Ya, persoalan-persoalan teknis yang sering menyita waktu dapat teratasi dengan mencari jalan lain.

                Apabila urusan-urusan kecil dalam menjalankan kelompok masih belum selesai, mustahil para anggotanya bisa memikirkan karya, mengingat lingkungan ideal setiap kelompok pasti berbeda-beda, tergantung bagaimana orang-orangnya. Laboratorium merupakan tempat mencari, meramu, merumuskan, mencoba, menguji, mengevaluasi, membicarakan dan banyak hal yang berkaitan dengan penggarapan karya kelompok. Selain itu kekuatan kelompok akan terbentuk dan tumbuh dengan baik pada laboratorium yang terjaga “kebersihan” dan “steril dari kuman yang mengancam”, ganguan dari luar tidak akan menggoyahkan pendirian, sebab masing-masing saling menguatkan, gangguan dari dalam yang dibawa dari luar lingkungan oleh seorang anggota dapat dideteksi dengan cepat, gelagat busuk dapat tercium seiring wawasan dan pemahaman setiap individu terhadap cita-cita bersama semakin meningkat.

Kebudayaan Instan Dan Seragam Di Kalangan Pemuda

                Dua hal yang saya kira menjadi “musuh” kaum indie, bahkan pada beberapa kasus menjadi faktor atau alasan bagi orang-orang yang memilih jalur “bawah tanah” yaitu budaya instan dan seragam. Jaman sekarang segala hal dibuat praktis, mulai dari transportasi, perdagangan, transfer uang, dan banyak lagi. Segala yang instan dan seragam itu tidak sehat, yang satu cepat saji yang satunya pembunuhan jati diri. Jika kita mau jujur dan merenung, meskipun masih berusia muda, pastinya memiliki kegemaran, selera seni, bentuk ekspresi, minat kegiatan yang berbeda-beda. Tapi kita sering menipu diri hanya demi diterima oleh lingkungan pergaulan, mulai dari cara berpakaian, kegiatan yang diikuti, kelompok seni yang dituju, film, bahkan gaya bicara. Awalnya tidak nyaman, tapi lama kelamaan jadi terbiasa dan mati sudah daya pilihnya, tidak mampu mengenali dan memutuskan apa yang menjadi kehendak pribadinya, golongan semacam ini jumlahnya selalu lebih besar, digiring untuk memilik selera yang seragam tanpa mereka sadari.

                Setelah habis kepercayaan diri, maka orang itu akan bingung memenuhi kebutuhan “unjuk diri”, akhirnya kesana kemari jadi pengekor orang atau kelompok lain, bisa jadi gejala semacam ini sudah terjadi secara perlahan tanpa disadari, sehingga mereka selalu menjadi “mangsa pasar”, baik sebagai konsumen produk yang ditawarkan, maupun menjadi pendukung program kerja. Orang yang sudah lenyap rasa percaya dirinya kehilangan arah dan tujuan, gagal mengenali minatnya sendiri dan sudah dapat dipastikan ia tidak pula memiliki daya untuk membangun kelompok, di kepalanya hanya ada perhitungan untung-rugi materi, cenderung memilih “jalan pintas” yang instan, yang penting baginya tercukupi kebutuhan eksistensi diri, memburu pengakuan semu.

                Akhirnya banyak dari kawan-kawan kita yang sebenarnya memiliki kemampuan dibidangnya, andai saja ia tidak lekas menyerah dalam berkelompok, tapi nyatanya mereka lebih memilih menjadi “budak” acara-acara besar, jadi alas kaki kepentingan orang lain yang tidak mereka mengerti kemana akan menuju, yang penting tidak perlu repot seperti mengelola kelompok mandiri, gampang untuk bergabung dan tugasnya ringan, selain itu merasa lebih berbobot dan terpandang sebab acaranya berskala besar. Ya, tidak akan sadar, sebab standar dikepalanya adalah standar “pasaran” yang besar yang bagus, pikirannya yang seragam sudah buntu mencerna tawaran wacana dari kawan sendiri yang menerimanya dengan persamaan kedudukan untuk tumbuh dan berkembang bersama dalam satu wadah yang harus dijaga dan dibagun bersama pula.

                Jika para pegiat indie kuat dalam mempertahankan pendirian kelompoknya masing-masing, hari depan yang dicita-citakan sedikit demi sedikit akan terwujud, generasi mendatang akan memiliki tawaran lain tidak hanya menelan produk-produk industri mayor, apapun itu. Tapi rasanya memang tidak mudah, bagaimana mau memberi tawaran apabila kaum indie sendiri masih setengah-setengah dalam melangkah di jalurnya, atau malah sekadar numpang nampang menjadikan komunitas indie sebagai ajang promosi dan batu loncatan agar namanya terkenal, bukan berkawan sebab sama-sama paham, bahwa ada sesuatu yang perlu untuk diperjuangkan bersama melalui jalur yang sama, melawan segala yang instan dan seragam sebab itu tidak sehat.



                Surakarta, 23 September 2018

 
Joko Lelur
Mantri Carik Di Teater Sandilara

FAKIR WACANA DAN MISKIN PENDIRIAN DIPELIHARA OLEH ANGGARAN!!

             Bisa jadi itu hanya pendapat sinis dari golongan orang yang tidak mendapat jatah tempat untuk ikut berbisnis, seperti saya dan kawan-kawan yang sok-sokan mandiri dan menolak tawaran membuat proposal pengajuan dana kegiatan, baik kepada instansi pemerintahan maupun pihak swasta yang bersedia memberikan sponsor dengan syarat dan ketentuan berlaku. Rasanya di hari ini sudah menjadi kewajaran segala macam bentuk pengajuan dana bantuan operasional, baik untuk kegiatan seni maupun kegiatan lain yang sifatnya melibatkan partisipasi massa. Memang yang seperti  ini sudah dianggap sah dan tidak menyalahi hukum selama berjalan sesuai prosedur, tapi bukan masalah persaingan lahan bisnis tadi yang ingin saya persoalkan, itu urusan kakus dan dapur, hal paling mendasar bagi setiap insan ciptaan Tuhan, cara bagaimana orang bertahan hidup dan memilih atau menjadikan suatu kegiatan sehari-hari sebagai mata pencaharian, apapun cara yang dapat ditempuhnya termasuk mengais rejeki dari sisa dana anggaran pemerintah.


                Saya tidak membahas urusan benar-salah menyikapi dana anggaran, setiap kepala yang setuju atau yang menolak pasti memiliki dalih sendiri mengenai program kerja kesenian yang ditopang dana bantuan dari pemerintah maupun swasta. Sekali lagi, urusan kakus dan kesejahteraan hidup bukan alasan yang perlu dibicarakan ketika kita bicara soal dampak sosial masyarakat, terlalu klise, sebagaimana secara kemanusiaan kita akan menganggap maklum tindakan seorang pencuri, pengemis, atau juga pencopet karena alasan sulit mendapat uang untuk makan.

                Barangkali ada yang bertanya, “apa salahnya mengambil dana bantuan yang ditawarkan pemerintah? Bukankah itu adalah hak kita sebagai warga negara? bukankah itu juga uang rakyat? Berasalah dari pajak yang juga diperoleh dari masyarakat? Dan bukankah itu juga kita gunakan untuk membiayai acara yang ditujukan bagi masyarakat pula? Kalau itu bisa sekalian sebagai penghidupan di mana salahnya? toh kita tidak maling”. Pernah saya menjumpai pendapat semacam ini, jadi sebelum anda melanjutkan untuk membaca, jika anda juga memiliki pandangan yang sama seperti kasus yang saya sebutkan di atas, maka ada baiknya tidak perlu anda lanjutkan mendengar pembicaraan saya meskipun melalui tulisan.

                Terlalu luas dan terlalu tinggi kalau kita bicara soal kebudayaan hari depan, bagaimana rentetan kasus-kasus di masa lalu yang akhirnya membentuk lingkungan sosial-budaya di hari ini menjadi seperti sekarang, dan pastinya apa yang terjadi dan dilakukan di hari ini perlahan-lahan akan membentuk hari depan seperti apa. Ya, itu terlalu panjang dan lebar, meski sebenarnya penting, sebab tumbuh-kembang kesenian tidak lepas dari cara pandang para pelakunya, angin politik yang sedang berhembus, kebijakan pemerintah, dan banyak faktor non-seni yang menjadi unsur-unsur kebudayaan dan berpengaruh pula pada kemasan dan muatan sebuah kelompok seni yang sedang tumbuh pada masa tersebut.



Selera Pasar Di Pengaruhi Oleh Simbiosis Mutualisme Antara Pemodal dan Seniman

                Terkadang saya ingin bertanya pada orang-orang yang selalu mengaku dirinya, kelompoknya atau komunitasnya sebagai pejuang kebudayaan, atau yang tidak ambil pusing masalah perbedaan pandangan semacam ini yang penting pementasannya berjalan lancar, persetan terhadap fenomena sekitar, merasa lebih mementingkan estetika yang sifatnya relatif dan cenderung ke selera pasar, atau mereka yang menganggap tidak perlu membicarakan wacana. Ya, silakan, itu hak masing-masing, tapi kita bernapas pada udara yang sama, seperti catatan dari seorang kawan yang menjadi sekutu dan rekan bagi saya dalam satu kelompok, seperti ini bunyinya di akun facebook Idnas Aral :

“Kesenian yang dekat dengan kekuasaan dan modal sudah jamaknya lebih subur dari kesenian yang senantiasa menjaga jarak dengan keduanya. Meski tidak sesubur tanaman yang ditunjang oleh pupuk sintetis dan pestisida, tanaman organik selalu lebih sehat dan bergizi.
Dan keduanya, sama-sama tidak bisa hidup tanpa udara yang bernama masyarakat.
Kau ingin subur atau bergizi adalah hakmu. Tetapi menjaga udara dari polusi birokrasi dan industri adalah kewajiban bersama. (Catatan Gumam, 27 Agustus 2018)

                Kalimat yang saya cetak tebal, kiranya merupakan sebuah perumpamaan tentang kesenian yang hidup sebagaimana tumbuhan. Ya, tumbuhan sama seperti makhluk hidup lainnya, membutuhkan udara untuk keberlangsungan hidupnya. Pada persoalan ini adalah kesenian, bagaimana ia memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sebagai sasaran dan tujuan segala macam produk yang dihasilkan, tentunya bukan hanya sebagai konsumen pasif, mereka (masyarakat) akan merasakan dampak dan memberi timbal balik kepada para pelaku seni yang bersinggungan dengannya, artinya begini masyarakat penikmat seni akan memenuhi kebutuhan dirinya terhadap produk-produk kesenian, bisa jadi kebutuhan akan seni tergolong kebutuhan abstrak, bisa pula kita katakan sebagai kebutuhan rohani.

                Selera tiap individu terhadap jenis kesenian apa yang dipilihnya dipengaruhi oleh lingkungan sosial, pandangan hidup, ideologi, dan beberapa hal yang akhirnya berkaitan dengan pembentukan selera. Masyarakat yang bertindak sebagai massa pasif, atau yang hanya sebagai penikmat bukan sampai mengamati lebih dalam setiap karya seni hingga bagaimana muatan-muatan wacana, isu-isu dan latar belakang kelompok-kelompok kesenian yang pernah mereka saksikan. Penikmat seni golongan ini memiliki jumlah paling besar, sehingga akan menarik minat para pemodal untuk membiayai kelompok kesenian yang mau menuruti selera pasar tersebut.

                Pada kasus ini terjadi simbiosis mutualisme antara pemodal (baik itu pemerintah maupun swasta) dengan para pelaku seni yang mau bekerjasama memenuhi keinginan mereka. Pemodal sekaligus pemilik kepentingan dengan mengucurkan dana akhirnya tertolong urusannya, misal soal sosialisasi politik, penggiringan selera massa untuk niatan tertentu, atau yang paling umum soal dagang. Sementara para pelaku seni juga diuntungkan dari kerjasama ini, baik dari segi kesejahteraan pribadi maupun keberlangsungan operasional kelompoknya, maksudnya tidak perlu lagi repot-repot mencari sumber pembiayaan untuk menghasilkan karya seni, pada skala yang lebih besar untuk mengadakan acara, festival seni misalnya, atau perlombaan.

                Parahnya lagi, sering saya melihat acara-acara besar di kota ini yang hanya sebatas perayaan, malah kadang tidak sambung antara wacana yang diangkat dengan yang terjadi di lapangan. Bilangnya untuk memberi pengetahuan tentang kesenian kepada warga kota, tapi ujung-ujungnya sekadar program kerja, begitu selesai dan sukses diadakan (maksudnya banyak dihadiri penonton) besok sudah ganti kegiatan, seperti itu seterusnya berulang-ulang, dan selalu mangatasnamakan masyarakat, tapi tidak pernah ada kelanjutan karena memang tidak memiliki niatan untuk benar-benar membina masyarakat. Golongan semacam ini terus tumbuh subur dengan dukungan massa pasaran yang sudah terbentuk dan lumayan mapan sebab cara pandang mereka dari waktu ke waktu sudah terpengaruh bentuk-bentuk tawaran semacam itu.



Ketergantungan Si Fakir Wacana Miskin Pendirian Pada Pemilik Sumber Modal

                Keduanya memiliki kepentingan yang sama, menuju masyarakat. Satu memiliki dana dan yang satunya butuh dana, satu butuh dibantu keperluannya melalui sarana kesenian, yang satunya butuh sokongan biaya untuk tetap eksis menyalurkan minatnya berpentas atau tampil sebagai seniman dihadapan masyarakat luas. Akhirnya produktifitas dan acara-acara yang menyedot perhatian massa pasaran tadi terbentuk. Ada individu maupun kelompok yang memang berorientasi bisnis sejak awal berdiri, ada pula yang awalnya memiliki cita-cita luhur dan mempunyai sikap kritis terhadap berbagai permasalahan masyarakat menjadi luntur dan berbelok arah, meninggalkan wacana dan arah tujuan kelompok kesenian seperti yang pernah mereka yakini. Alasan mereka tidak lain dan tidak bukan bahwa orang harus realistis, seniman butuh rokok, butuh makan, butuh ini, butuh itu, kalau tidak mana bisa berkesenian. Preeekkkk Su!! Lagi-lagi kembali pada urusan kakus.

                Kalau sudah demikian cara berpikirnya, ya sudah, tidak perlu lagi ada tawar-menawar maupun obrolan soal kesenian yang kritis dan memberi tawaran berpikir kepada masyarakat, tidak perlu lagi menjalin kerjasama dengan orang-orang semacam ini, terlebih lagi membicarakan masalah lingkungan sosial dan kesenian untuk hari depan, sudah jelas mereka sekadar mencari uang atau eksistensi apapun dalihnya, bagaimana mau kritis kalau pendirian para pelakunya sudah tumbang akibat keadaan tanpa berusaha mencari jalan lain, bagaimana mau mengajak diskusi kalau yang dituju arahnya berbeda, buang-buang waktu percuma, sebab mana mungkin memiliki tawaran wacana jika waktunya sudah habis untuk menyusun program kerja yang tidak pernah berkelanjutan. Perlahan-lahan dari waktu ke waktu para pelaku seni yang menggantungkan keberlangsungan hidup pribadi dan kelompoknya pada dana anggaran akan menjadi piaraan pemilik modal, baik secara langsung maupun tidak langsung.

                Saya tidak asal tuduh, hanya memaparkan beberapa kejadian yang menurut saya terasa ganjil tapi jamak dan mulai dimaklumi sebagian besar orang, rasanya tidak perlu saya sebut satu per satu sebab terlalu banyak contoh nyata yang saya temui. Kelumpuhan dan kemacetan yang terjadi akibat tidak ada dana. Ketergantungan pada pemodal itu nyata terjadi bagi mereka yang tidak siap atau yang sekadar berkesenian dengan motif bisnis. Buktinya banyak yang tidak akan mengadakan acara-acara berbau kesenian jika tanpa membuat proposal, tidak jalan kegiatan kelompoknya jika tidak kebagian jatah anggaran, tidak berangkat latihan jika tidak dibayar, tidak melanjutkan wacana yang pernah diobrolkan tentang memberi pengetahuan atau pelatihan seni kepada masyarakat jika tidak didanai pemerintah, dan jika demikian, lalu di mana tanggung jawab moral kita sebagai pelaku seni? masyarakat mana lagi yang akan kita dustai?



Surakarta, 23 September 2018



Joko Lelur
Mantri Carik Di Teater Sandilara