Monday, 22 January 2018

Ibu bertanya, aku menjawab.

Sebagaimana pagi-pagi sebelumnya, disela-sela sarapan pagi bersama Ibu, terselip obrolan-obrolan ringan seputar hari-hari yang kemarin dilalui serta hari yang akan di tuntaskan. Tapi tiba-tiba Ibu bertanya yang wagu.

"Le, Internet-Banking kui opo?"

Lah iki pertanyaan opo ? Kok wagu, kok aneh, Ibu yang kalau mau ambil uang ke mesin ATM selalu gagal kok tiba-tiba tanya soal Internet Banking. Kan wagu, kan aneh. Ya respon pertama saya langsung nguyu sejadi jadinya, sampai tersedak, sampai muka Ibu merah bercampur antara malu dan mau marah diketawain anaknya. Setelah selesai kewata dan tersedak saya, langsung Ibu saya tanyai terus menerus, kok tanya soal Internet Banking, buat apa, siapa yang cerita, dan kok ya kepikiran sampai tanya ke anaknya. Karena ini bahaya, kalau sampai pada pernyataan "Le, buatkan Ibu Internet Banking, Le Ibu diajari Internet Banking". Lha wong diajari copy-paste tulisan di Whatsapp saja selalu lupa, diajari bagaimana cara swafoto saja selalu bertanya lagi kok, ini malah aneh-aneh Internet Banking.

Setelah diusut sebagaimana film-film detektif mencari informasi, jebul pengetahuan Ibu soal Internet Banking berasal dari omongan tetangga yang lebih muda dari Ibu, juga lebih konsumtif bila dibanding Ibu. Katanya begini, "mBa, bikin Internet Banking aja, minta tolong anaknya, nanti belanja-belanja online jadi gampang, tinggal milih sambi tiduran, beberapa hari barangnya sudah dateng". Wah gila ! Ibu harus segera diselamatken, diamanken, dan ditatar, karena akan sangat berbahaya!
Meminjam kata-kata orangtua yang melarang anaknya berkesenian. Ya saya bilang,

"Ndak usah Bu, itu ndak ada gunanya, membawa pengaruh buruk! Nanti menganggu fokus kuliah Ibu, eh buka toko"

Wah bahaya, pikir saya. Ibu yang sudah mencapai usia 50an tahun, dan sudah terlalu jauh tertinggal zaman, kalau sekarang harus mengikuti zaman dikit demi sedikit, ya jelas bisa terbawa arus, kentir hanyut sampai jauh.

Hari ini adalah hari dimana aku dan kita semua akan perlahan menuju pada zaman dunia maya, keterlibatan dan kehadiran fisik sudah akan tidak begitu di butuhkan lagi. Dimulai dari media-media cetak yang terganti oleh online, lalu pada media percakapan juga sudah tergantikan lewat percakapan dengan aplikasi seperti Line, Bbm, Whatsapp dan lain sebagainya. Pun hari ini uang secara fisik telah perlahan tergantikan oleh uang virtual, sebelumnya menggunakan kartu ATM, kemudian sekarang, hanya dengan gawai kita dapat mengakses segala yang akan kita beli dari memang karena butuh sampai pada hanya kita inginkan. Rebahan di atas kasur, memagang gawai, melihat sempak denim, kok sepertinya lucu dan mungkin nyaman dipakai, ya beli, kok melihat kaos tokoh yang dibikin paragraf bagus ya langsung beli, melihat linimasa instagramnya kutubbuku kok bagus-bagus ya langusung pesan, langsung bayar lewat Internet Banking. Tidak usah beranjak, tidak usah kemanapun, segala keinginan tandas dikasur. Ya antara baik dan tidak, antara menguntungkan dan merugikan, tinggal darimana sudut pandang dan bagaimana cara menyikapi. Tapi ya, ini adalah perkara dimana uang bila dikonversi ke arah virtual akan menuju pada tidak sadarnya kita dalam memenjemn uang, hla bagaimana, wong uangnya kita ndak pegang dan hanya melihat, seratus duaratus dan tigaratus rupiah berkurang kan ya tidak terasa. Tapi itu kan ya uang, dan lagi sikap pengendalian diri untuk tidak harus pergi kemanapun membikin semakin pendek arah pikiran, kaget, tidak ada rem, gasssss terusss, beliiii terusssss, konsumsiii terusssss. Was wuss ewes ewees bablas kesaranya.

Lebih lagi dimana-mana sekarang banyak layanan penyedia kredit diluar Bank, yang memang nanti pembayarannya yang dipotong dari kartu kredit maupun debit kita di bank. Dengan segala adanya kemudahan yang terpampang nyata didepan mata kita, bagaimana dapat menolak, bagaimana dapat kita mangkir, selain daripada memotong segala sifat dasar manusia yang kepingin melebihi orang lain, atau sekurang-kurangnya sama dengan orang lain. Ya kalau lingkungan sekitar mendukung itu, kalau lingkungan sekitar malah menuntut kita untuk menjadi lebih dan lagi. Waaaah ! Gasswaaaat! Pertama sudah hilangnya kontrol uang yang kita miliki, dengan cara semua pembayaran lewaf virtual sehingga kita tidak dapat mengawasi uang keluar dan masuk dalam artian berapa ratus atau ribu rupiah dari potongan blablabla. Eee ditambah lagi segala hutang cicilan yang menumpuk dari segala ingin yang harus kita bayar.

Ah lalu saya lekas-lekas mendoa, agar Ibu menjadi manusia zaman old, dan jangan sampai mengerti tentang hidup zaman now, sebagaimana tetangga-tetangga yang mulai renggang akibat grenengan, ngomongin tetangga lain di facebook dan jebul konangan, ketahuan. Kan malah serba repot dan wagu.



Klaten 22 Januari 2018

Thursday, 18 January 2018

Subsidi apus apus

"Met, tadi pagi aku melihat sepasang kekasih bertengkar di pinggir jalan, perempuan menangis sejadi-jadinya, ee hla malah laki-lakinya meninggalkan, pergi nyatater motornya. Ealah, lanang kok ora nglanangi, Met. Mbok ya itu ditiru penyair gombal si Mas Bei itu hlo Met. Puisi-puisinya semua jatuh cinta dan menghargai wong wedok, meninggikan drajate wong wedok, nyunggi wong wedok. Laki-laki kok malah pergi melihat perempuannya menangis, padahal hlo Met, waktu aku masih muda, nonton genting rumah perempuan yang aku cintai itu rasanya sudah ayem hlo, mengintip, bersembunyi dan menguntit. Itu kerjaan laki-laki zamanku Met. Asyik Met. Ya seperti dipuisinya Mas Bei 'menguntit bukan berarti cinta' jan sip tenan kok puisinya Mas Bei itu, kalau aku perempuan sudah tak lamar itu Mas Bei Met, prejengane gagah, kayak burung gagak"

Sembari meniknati sebatang rokok dan secangkir kopi, Lik Tilem metap ke arah lagit dari lapak bukunya di kios pasar.

"Yaaaaah waktu memang berjalan Met, dan memang musti banyak berubah Met, tapi mbokya jangan begini pesat dan cepat to Met, aku kalau harus ngoyak zaman now, ya gak kuat, megap megap ngos ngosan, laju zaman bergulir begini cepat Met, menuntut banyak orang untuk terus berlari dan berlari mengikuti perkembangannya, sedangkan perkembangan ini memang sudah di setting Met, untuk supaya orang-orang terus saling mengejar dan berlomba! Ah hidup kok berlomba yo Met ? Kan edan, wong burung di lombakan saja sudah ndak wajar, hla kok ini manusia di suruh berlomba, dipecuti oleh modernitas, yang kedudukannya itu sama sekali tidak jelas. Hla bagaimana jelas, modern itu yang bagaimana saja tidak ada kesepakatan soal itu, malah kita disuruh mengejar, kan gila ! Ini gila Met. Tapi kalau gila ya kita bisa apa ? Hla siapa kita Met ?

Apa kita ini termasuk penduduk yang dihitung oleh yang maha pemerintah, wong paling mentok kita itu dianggap ada kalau mau menerima yang dikata bantuan dari yang maha pemerintah. Wong itu hak kita sebagai warga negara kok, malah diwacanakan sebagai bantuan dari pemerintah, terus apa itu...subsidi ? Hla kok subsidi, kan yo ngawur! Hla masa harga tabung gas murah terus itu dikata subsidi, bantuan, logikanya orang membantu itu kan memberikan atas darmanya, atas kebaikan hatinya, atas niat baiknya, dan dikatakan bantuan itu ya milik pribadi yang membantu lalu diberikan kepada orang yang hendak dibantu. Hla kok ini enggak, uang ya uang rakyat, itu hak rakyag banyak. Hla kok diberi embel embel bantuan. Hla pemerintah itu abdinya rakyat kok, yang bener itu rakyat membantu perekonomian orang-orang yang bekerja untuk negara. Hla kok ini loginya dibalik. Seakan-akan segala banda Negara Republik Indonesia itu milik pemerintah, yang harusnya milik negara, milik rakyat, dan sakpenak udele dewe dikasih lebel subsidi, bantuan. Rak ngawur yo Met!

Elah, malah nglantur, wong ngomongin pemuda zaman now yang meninggalkan perempuannya yang nangis kok sampai negara, pemerintah. Eh, tapi ada hubunganya hlo Met, kalau pemuda zaman now saja kelakuannya macam itu, hla bagaimana kelanjutan bangsa ini, negara ini, yang sudah pasti dan tentu akan di pegang generasimu Met, generasi zaman now"

"Eh rokokku entek, Met, minta rokokmu yo ?"

Lik Tilem menoleh ke belakang, ke arah tempat dimana Slamet duduk.

"Woooooo asuuuuuu, bajingan tengik, gembel, dobol, kere, mbel!!! Malah micek, orang cap apa kamu ini ! Diajak ngomong malah micek, hla apa aku ini aktor monolog. Pemuda taek kon iku Met!!!"


Klaten, 18 Januari 2018

Wednesday, 17 January 2018

Kentut pemberontakan Mas Bei

Belum lagi kentut pertama hilang dari pendengaran, lagi kentut kedua, ketiga dan sampai terakhir ke tujuh saling menyusul seakan tak mau ketinggalan. Begitulah kebiasaan Mas Bei, penulis puisi yang telah di bukukan dengan judul "Petaka kata" eh "Petapa Kata". Mengangkat bokong dan membunyikan suara kentutnya ditengah obrolan dengan senyaring mungkin yang Ia bisa lakukan adalah kegiatan yang tidak bisa tidak di lakukan bilamana telah akrab dengan Mas Bei.

Tapi pun, tak sembarang orang akan menerima kentut Mas Bei sebagaimana orang yang telah akrab dengannya, ada yang akan marah-marah dan merasa jijik dengan kentut Mas Bei, berlaku sok sopan dan santun, seakan-akan kentut adalah hal yang perlu dan wajib dikutuki bilamana terdengar oleh orang lain. Kentut adalah penggambaran sederhana dari bentuk sok sopan dan santunnya diri kita dari cara menanggapinya, hlo apa yang salah dari kentut ? Wong itu adalah reaksi lambung, yang memang wajar terjadi bila di dalam lambung terdapat banyak gas asam dan harus di keluarkan. Tapi kok kita selalu merasa jijik dan aneh bilamana ada orang yang sengaja kentut didepan umum ? kentut itu akan menjadi salah kalau dikeluarkan didepan muka orang lain, atau dibunyikan saat berada diwarung makan, tapi kalau kentut dibunyikan dikalangan pergaulan orang-orang yang telah akrab, apa salahnya ? wong cuma kentut kok. Tapi kenapa sebagian banyak dari kita merasa itu hal aneh dan tidak sopan ?

 Mungkin, yang pertama adalah rasa traumatik kita terhadap bau yang dihasilkan oleh kentut yang sebenarnya tidak semua kentut akan berbau seperti got mampet, atau telur busuk, atau apa saja yang mirip-mirip dengan bau tidak sedap. Tapi belum lagi bau itu hadir, sebagian dari kita menjadi snewen dan lekas menjauh atau sekurang-kurangnya menutup hidung dan mengumpati orang kentut.

Atau mungkin, kemungkinan yang kedua, kebiasaan, dari sebagian kita mungkin sedari kecil telah dididik oleh orang tua untuk bersopan santun, dan menjaga sikap terhadap orang lain, termasuk kalau-kalau hendak kentut didepan umum haruslah ditahan, atau sekurang-kurangnya diminimalisir bunyi daripada kentut itu, kesopan santunan yang demikian yang akhirnya menjadi kebiasaan bahwa kentut didepan orang lain hukumnya ; HARAM ! jadi tidak heran kita akan selalu menutup-nutupi segala yang jujur dari diri kita atas nama kesopan-santunan, menjaga nama baik, menjaga orang lain, atau agar tidak dikutuki oleh orang-orang sekitar kita. Sebab itulah Mas Bei memberontak terhadap kebiasaan yang latah, dimulai dari kentut, dan membiasakan diri kentut di mana saja Ia mau dan masih dalam tataran empan papan.

Wong dari kentut saja kita sudah mengekor dari kebiasaan yang ada, latah dan tidak pernah berfikir panjang tentang hal itu. Apalagi hal-hal lain, yang dikata orang banyak adalah adat, adalah sopan satun, budi pekerti, dan banyak hal lain yang kita telah mengekor pada kebiasaan sebelumnya, tanpa pernah berinisiatif untuk ngonceki. Ah kenapa harus berfikir soal ngonceki kebudayaan sebelumnya, wong segala kebudayaan arab dan barat telah dimakan mentah-mentah oleh muda-mudi zaman now, tanpa saringan, masuk secara wutuh didalam diri samapai-sampai yang keluar juga sama persis dan tidak ada seujung incipun berbeda. Sedang simbah-simbah kita selalu mengadaptasi dan mecocokan budaya luar dengan kepribadian sekitarnya, sekurang-kurangnya bakmi dari negri cina yang telah diadaptasi menjadi bakmi Jawa.

Klaten 18 Januari 2018

Linier

Ya lumrah, cara mlakuku cen beda ora lurus kaya sampeyan, ora linier kaya awakmu, mlakuku muser muser, mubeng mubeng, menggak menggok, mbeker mbeker, ndhudhuk lemah, keblasuk, mblasuk, mlunjak mlunjak, ngesot, lhaya lumrah awakku kalah dhisik tekane, tur aku weruh luwih akeh!!
(Dari kutipan facebook ‘Sandilara’)

Betapa telah begitu jauh aku dari nenek moyangku, betapa telah tak mampu lagi genarasiku kenali siapa akarnya. Apa yang telah ditemukan oleh nenek moyangnya telah dianggap sebagai sebuah klenik, peninggalan masa silam yang tak lagi mampu di aplikasikan dengan peradaban masa kini. Ini salah ! jelas dan nyata ini keblinger ! tak nalar dan tak lagi masuk di akal !

Telah ratusan juta taun peradaban berlangsung, telah pula diselesaikan oleh pendahulu kita dengan gemilang, dengan keseriusan berfikir, mencari hingga menemukan. Temukan thesis, muncul anti thesis dan terus berulang, terus berfikir, dan mencari, atas nama keterbatasan, ketidaktahuan dan kegelisahaan. Para nenek moyang telah temukan pengetahuan dengan jalan ilmu, apa yang mereka mampu dan bisa. Meski tak tertulis dalam sebuah teori, atau legitimasi pengetahuan. Tapi itu tetap temuan, dari proses berfikir kreatif nenek moyang.

Sedang hari ini, para generasiku sibuk pelajari pengetehauan-pengetahuan dari negeri barat dan arab, mengaplikasikannya dalam ilmu keseharian, meyakini sebagai sebuah tuntunan. Betapa telah durhaka pada akarnya, pada siapa sebenarnya mereka, pada nenek moyangnya, melupakan falsafah kedaerahannya, menganggap rendah segala yang berbau dari dirinya sendiri, menghinakan segala yang telah ditemukan oleh para pendahulunya dari daerah masing-masing. Dan paling mentok, segala yang berbalut peninggalan, disalah pahami dalam kacau perayaan, dalam riuh atas nama melestarikan, tanpa pernah pelajari hakekatnya, kebenarannya, makna dibalik ajaran-ajarannya. Ah betapa pandir aku dan generasiku, ini ngawur, ngawur bukan karena ingin mencari kebenaran lain, alternatif lain, tapi ngawur dalam segmentasi benar-benar ngawur, yang tanpa landasan berfikir.

Maka mungkin generasi zaman now telah akan meninggalkan dirinya, meninggalkan Jawanya, Sumatranya, Kalimantanya, Papuanya. Yang saya ketahui pola berfikir nenek moyang adalah pola yang tidak linier, memandang sesuatu tidak hanya lurus kedepan, tidak seperti kacamata kuda, yang meninggalkan sisi kanan kiri dan belakang. Karena kalau pola pemikiran nenek moyang adalah linier tidak akan mungkin terjadi kebudayaan yang begini megah dan ajaib di nusantara, tidak akan mungkin tersusun alat musik gamelan, tidak akan mungkin ada persinggungan dunia kasat mata dan tak kasat mata, tidak akan ditemukan berbagai macam hal yang hingga kini masih bertahan dan ada.

Sedang generasi zaman now, telah berfikir dengan pola linier, lahir, bersekolah, bekerja di korporasi atau sekurang-kuranya menjadi abdi negara yang mengabdi pada nafsu pribadi, menikah, membangun keluarga yang dikira baik-baik saja, mekredit rumah, mobil dan menghabiskan pendapatan untuk mengkonsumsi segala yang bermerk asing, dan akhirnya tua, dan selesailah pada lubang yang ukuranya tak lebih besar dari jamban pasar. Tidak ada keberanian untuk memandang yang lain selain yang dikira adalah masa depan, sedang masa depan bangsa ini letaknya sudah berada dibelakang dan harus kita putar arah kapal untuk kembali melihat apa yang telah ditemukan oleh nenek moyang. Jangankan memandang ke nenek moyang, bercermin dan menanyakan siapa dirinya saja sudah tidak ada lagi keinginan, mempertanyakan kenapa Ia lahir di Klaten misalnya, kenapa tidak di Sumatra atau di Amerika, apakah sekedar takdir belaka, atau mungkin Tuhan iseng. Ah malah melompat jauh ke Tuhan, apa ya masih percaya terhadap Tuhan para generasi zaman now ?  

Klaten 18 Januari 2018