Friday, 4 May 2018

KITA ADALAH SUNGAI YANG SEDANG KERUH OLEH SEPAK TERJANG ASUMSI SENDIRI (Idnas Aral)


Sejak kapankah ujaran kebencian menjadi semacam ciri komunikasi bangsaku di dalam pergaulannya?

Seingat dan setahu saya, sejak sekolah dasar hingga menjadi penganggur sekarang ini, tidak kujumpai ujaran kebencian atau intoleransi menjadi warna yang begitu mendominasi di dalam pergaulan antar pribadi. Apakah memang kehidupan saya yang terlalu steril dan beruntung, ataukah virus-virus intoleransi itu sebetulnya tidak tumbuh alami dari kehidupan nyata?


Bahwasanya konflik beserta korbannya itu memang nyata.

Tetapi darimanakah keadaan itu tumbuh? Angin darimana kebencian itu terhembus? Apakah berangkat dari pergaulan antar pribadi, ataukah sebaliknya; pergaulan antar pribadi yang justru bergeser orientasinya oleh angin yang entah oleh siapa dihembus tersebut?
Saya menulis ini berdasarkan ingatan saya dan hendaklah pula orang berangkat menulis atau berpendapat berdasarkan ingatannya sendiri. Sebab saya tahu banyak orang yang membangun asumsi dan perasaannya tidak dari apa yang nyata ia lihat, tetapi dari persinggungannya di dunia maya.

Tanpa mau menimbang bahwasanya kabar atau pendapat itu ia dapat dari sekedar beranda (meminjam istilah facebook). Sekedar beranda, bukan ruang tengah, bukan kamar tidur, atau dapur seseorang. Sesuatu yang dinampakkan di beranda adalah hal yang ingin dinampakkan oleh pemilik beranda.

Kita lupa atau tak peduli bahwa di belakang beranda ada ruang yang tidak nampak, katakanlah dapur, dimana orang atau sekelompok koki bisa saja menggaramkan racun untuk makanan  ‘wacana’ yang akan dihidangkan.

Makanan berupa artikel, gambar, video, atau apapun tersebut, dikonsumsi begitu saja oleh orang-orang yang sedang bosan dengan rutinitas hariannya sebagai angka-angka di dalam perusahaan, pabrik, instansi, lembaga, juga negara. Oleh pencernaan mereka yang terburu-buru oleh kehidupan yang mengutamakan kecepatan daripada ketepatan dan mengutamakan kuantitas ketimbang kualitas ini, tanpa sempat menimbang, mereka menjadi agen reproduksi wacana tersebut.

Kepentingan mereka tentu tidak sama dengan kepentingan koki wacana, juga berbeda dengan si pembayar koki. Tetapi di beranda, mereka kan nampak seolah adalah segolongan yang bersatu padu untuk satu kepentingan ‘yang atas nama’ tersebut. Kumpulan yang seolah-olah segolongan tersebut kemudian bersatu menjadi gelombang kebencian yang siap berbenturan dengan golongan lain yang juga ‘seolah-olah’.

Seorang Foucault telah menelurkan sebuah teori yang disebut kuasa-wacana. Sebuah wacana diproduksi oleh suatu kekuasan untuk sebuah tujuan di dalam pelanggengan kekuasaan. Untuk melanggengkan kekuasaan dan mengamankan kepentingannya, keadaan harus didisiplinkan melalui sebuah wacana.

Disiplin di dalam konteks ini tidaklah sebagaimana disiplin yang kita kenal di sekolah dasar dulu. Disiplin justru bisa berupa kekacauan, kekeruhan, konflik, bahkan perang. Jadi situasi kacau oleh ujaran kebencian saat ini, sangat mungkin merupakan kondisi ‘disiplin’ yang diciptakan oleh si pemilik kepentingan. Sebab disiplin disini artinya kondisi dimana kepentingan dan tujuan pemilik kepentingan tidak terganggu, tidak terusik, tidak tergugat, bahkan tidak terjamah oleh keadilan. Jadi kekacauan oleh kebencian ini adalah sebuah kondisi ‘disiplin’ untuk suatu kepentingan.

Kita semua tentu tidak lupa dengan politik devide et impera, cara adu domba untuk kepentingan perdagangan. Kita pun juga telah memiliki peribahasa, “mengail di sungai yang keruh”, dimana selalu saja ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari sebuah kekacauan.

Kita adalah sungai yang sedang keruh oleh sepak terjang asumsi-asumsi kita sendiri, kegagalan pikir panjang kita sendiri, emosi-emosi luapan frustasi ekonomi. Dan semua itu diciptakan dan dirumuskan untuk membutakan pandangan kita pada eksploitas-eksploitasi perdagangan berskala internasional yang masih belum kepengin berhenti.

Devide et impera terus berulang diciptakan, melalui wacana pengobar kebencian dengan cara-cara yang semakin mutakhir, dan korban pun selalu nyata. Bahkan mayat-mayat yang telah meregang pun melalui video atau tulisan dapat diletakkan sebagai pupuk yang semakin menyuburkan kebencian.

Memang tidak mudah untuk menilai diri sendiri sedang berdiri sebagai apa di tengah kekacauan adu domba ini, sebagai pion kah, kuda, benteng, mentri, ster, ataukah raja? 
Kalaupun sempat menjadi raja, kita tetap bukanlah orang yang sedang berdiri di depan papan catur. Kita tetaplah bidak yang sedang menunggu untuk giliran dikorbankan.
Sebagaimana catur, semua dibuat menjadi hitam dan putih. Agar terjadi sebuah aduan dibuatlah dua kubu. Bagaimana bentuk kubu tersebut akan bergantung pada musimnya. Kita digerakkan dan dikotakkan oleh suatu wacana, setuju dan tidak setuju, A lawan B, seakan tidak ada kemungkinan untuk menjadi C atau “setuju dengan tetapi” atau “tidak setuju asalkan...”.

Tetapi kita dipaksa untuk terburu dan sepakat terkotak dan leburlah sudah kita di dalam sebuah permainan catur.

Sebagai sesama bidak, saya tidak berkeinginan untuk melawanmu atau mengalahkanmu. Impian saya adalah sebisa mungkin untuk keluar dari papan percaturan ini sebelum memakan ataupun dimakan. Lalu kusampaikan bahwasanya di luar rumusan hitam-putih papan catur, saya selalu menjumpai pergaulan antar pribadi yang penuh toleransi dan kepengertian.

Jika kujumpai satu ujaran kebencian, selalu sebelum dan sesudahnya juga kujumpai ujaran kerukunan, kasih sayang, dan cinta dengan jumlah yang lebih banyak. Sebab itulah yang kujumpai di dalam pergaulan pribadi, kenapa harus saya memilih kasus kebencian untuk disampaikan? Apakah karena mengatasnamakan eksistensi kita di dalam tren, harus kukesampingkan kasus-kasus kerukunan yang saya lihat?

Tulisan ini tidak hendak saya dudukkan untuk melawan kebenaran kesaksian-kesaksian dan catatan-catatan mengenai intoleransi dengan konflik beserta korbannya.

Ini sekedar sikap yang saya tawarkan untuk senantiasa keluar dari pilihan-pilihan sikap yang ditodongkan pada kita. Mari keluar dari beranda, membuka pagar rumah, tanggalkan asumsi-asumsi yang didapat dari dunia maya, lalu berjalanlah menyusuri gang-gang bukan dengan kuota tapi dengan langkah kaki. Melangkahlah, sambangilah orang-orang di sekitarmu, berbicaralah dengan cara-cara lumrah, gunakan bahasa-bahasa sederhana, lalu catatlah.

Bandingkanlah sendiri, lebih banyak mana antara ujaran kebencian dan ujaran kasih sayang? Lalu sampaikanlah catatanmu mengenai si Mimin, si Paijo, si Kartolo, atau suara kicau perkututmu saja, semua itu lebih berharga sebab berangkat dari kenyataan yang kau lihat secara langsung, ketimbang hanya membagikan artikel orang yang tidak mampu kita uji kebenarannya. Cobalah berpikir artikel atau video yang kita bagikan dengan sembari garuk-garuk pantat tersebut bisa menjadi sebuah garukan raksasa terhadap kerukunan bangsa.

Saya meyakini catatan-catatan sederhana yang berangkat dari pengamatan sekitar dan bukan dari asumsi-asumsi artikel yang keruh fakta, akan sanggup memberi warna baru. Catatan semacam itu apabila disadari oleh banyak orang akan menentukan arah angin pergaulan antar suku, ras, dan agama. Sebab setahu dan seingat saya, bangsa ini sangat menyukai keindahan dan kerukunan. Itulah yang saya tahu dan ingat, dan saya akan terus menulis berdasarkan apa yang saya tahu dan ingat.

Idnas Aral