Sejak kapankah ujaran kebencian
menjadi semacam ciri komunikasi bangsaku di dalam pergaulannya?
Seingat dan setahu saya,
sejak sekolah dasar hingga menjadi penganggur sekarang ini, tidak kujumpai
ujaran kebencian atau intoleransi menjadi warna yang begitu mendominasi di
dalam pergaulan antar pribadi. Apakah memang kehidupan saya yang terlalu steril
dan beruntung, ataukah virus-virus intoleransi itu sebetulnya tidak tumbuh
alami dari kehidupan nyata?
Bahwasanya konflik beserta
korbannya itu memang nyata.
Tetapi darimanakah keadaan
itu tumbuh? Angin darimana kebencian itu terhembus? Apakah berangkat dari
pergaulan antar pribadi, ataukah sebaliknya; pergaulan antar pribadi yang
justru bergeser orientasinya oleh angin yang entah oleh siapa dihembus
tersebut?
Saya menulis ini berdasarkan
ingatan saya dan hendaklah pula orang berangkat menulis atau berpendapat
berdasarkan ingatannya sendiri. Sebab saya tahu banyak orang yang membangun
asumsi dan perasaannya tidak dari apa yang nyata ia lihat, tetapi dari persinggungannya
di dunia maya.
Tanpa mau menimbang
bahwasanya kabar atau pendapat itu ia dapat dari sekedar beranda (meminjam
istilah facebook). Sekedar beranda,
bukan ruang tengah, bukan kamar tidur, atau dapur seseorang. Sesuatu yang
dinampakkan di beranda adalah hal yang ingin dinampakkan oleh pemilik beranda.
Kita lupa atau tak peduli
bahwa di belakang beranda ada ruang yang tidak nampak, katakanlah dapur, dimana
orang atau sekelompok koki bisa saja menggaramkan racun untuk makanan ‘wacana’ yang akan dihidangkan.
Makanan berupa artikel,
gambar, video, atau apapun tersebut, dikonsumsi begitu saja oleh orang-orang
yang sedang bosan dengan rutinitas hariannya sebagai angka-angka di dalam
perusahaan, pabrik, instansi, lembaga, juga negara. Oleh pencernaan mereka yang
terburu-buru oleh kehidupan yang mengutamakan kecepatan daripada ketepatan dan
mengutamakan kuantitas ketimbang kualitas ini, tanpa sempat menimbang, mereka
menjadi agen reproduksi wacana tersebut.
Kepentingan mereka tentu
tidak sama dengan kepentingan koki wacana, juga berbeda dengan si pembayar
koki. Tetapi di beranda, mereka kan nampak seolah adalah segolongan yang
bersatu padu untuk satu kepentingan ‘yang atas nama’ tersebut. Kumpulan yang
seolah-olah segolongan tersebut kemudian bersatu menjadi gelombang kebencian
yang siap berbenturan dengan golongan lain yang juga ‘seolah-olah’.
Seorang Foucault telah
menelurkan sebuah teori yang disebut kuasa-wacana. Sebuah wacana diproduksi
oleh suatu kekuasan untuk sebuah tujuan di dalam pelanggengan kekuasaan. Untuk
melanggengkan kekuasaan dan mengamankan kepentingannya, keadaan harus
didisiplinkan melalui sebuah wacana.
Disiplin di dalam konteks
ini tidaklah sebagaimana disiplin yang kita kenal di sekolah dasar dulu. Disiplin
justru bisa berupa kekacauan, kekeruhan, konflik, bahkan perang. Jadi situasi
kacau oleh ujaran kebencian saat ini, sangat mungkin merupakan kondisi
‘disiplin’ yang diciptakan oleh si pemilik kepentingan. Sebab disiplin disini
artinya kondisi dimana kepentingan dan tujuan pemilik kepentingan tidak
terganggu, tidak terusik, tidak tergugat, bahkan tidak terjamah oleh keadilan.
Jadi kekacauan oleh kebencian ini adalah sebuah kondisi ‘disiplin’ untuk suatu
kepentingan.
Kita semua tentu tidak lupa
dengan politik devide et impera, cara
adu domba untuk kepentingan perdagangan. Kita pun juga telah memiliki
peribahasa, “mengail di sungai yang keruh”, dimana selalu saja ada pihak-pihak
yang mengambil keuntungan dari sebuah kekacauan.
Kita adalah sungai yang
sedang keruh oleh sepak terjang asumsi-asumsi kita sendiri, kegagalan pikir
panjang kita sendiri, emosi-emosi luapan frustasi ekonomi. Dan semua itu
diciptakan dan dirumuskan untuk membutakan pandangan kita pada
eksploitas-eksploitasi perdagangan berskala internasional yang masih belum
kepengin berhenti.
Devide et impera terus berulang diciptakan, melalui wacana pengobar
kebencian dengan cara-cara yang semakin mutakhir, dan korban pun selalu nyata.
Bahkan mayat-mayat yang telah meregang pun melalui video atau tulisan dapat
diletakkan sebagai pupuk yang semakin menyuburkan kebencian.
Memang tidak mudah untuk
menilai diri sendiri sedang berdiri sebagai apa di tengah kekacauan adu domba ini,
sebagai pion kah, kuda, benteng, mentri, ster, ataukah raja?
Kalaupun sempat
menjadi raja, kita tetap bukanlah orang yang sedang berdiri di depan papan catur.
Kita tetaplah bidak yang sedang menunggu untuk giliran dikorbankan.
Sebagaimana catur, semua
dibuat menjadi hitam dan putih. Agar terjadi sebuah aduan dibuatlah dua kubu.
Bagaimana bentuk kubu tersebut akan bergantung pada musimnya. Kita digerakkan
dan dikotakkan oleh suatu wacana, setuju dan tidak setuju, A lawan B, seakan
tidak ada kemungkinan untuk menjadi C atau “setuju dengan tetapi” atau “tidak
setuju asalkan...”.
Tetapi kita dipaksa untuk
terburu dan sepakat terkotak dan leburlah sudah kita di dalam sebuah permainan
catur.
Sebagai sesama bidak, saya
tidak berkeinginan untuk melawanmu atau mengalahkanmu. Impian saya adalah
sebisa mungkin untuk keluar dari papan percaturan ini sebelum memakan ataupun
dimakan. Lalu kusampaikan bahwasanya di luar rumusan hitam-putih papan catur, saya
selalu menjumpai pergaulan antar pribadi yang penuh toleransi dan kepengertian.
Jika kujumpai satu ujaran
kebencian, selalu sebelum dan sesudahnya juga kujumpai ujaran kerukunan, kasih
sayang, dan cinta dengan jumlah yang lebih banyak. Sebab itulah yang kujumpai
di dalam pergaulan pribadi, kenapa harus saya memilih kasus kebencian untuk
disampaikan? Apakah karena mengatasnamakan eksistensi kita di dalam tren, harus
kukesampingkan kasus-kasus kerukunan yang saya lihat?
Tulisan ini tidak hendak saya
dudukkan untuk melawan kebenaran kesaksian-kesaksian dan catatan-catatan
mengenai intoleransi dengan konflik beserta korbannya.
Ini sekedar sikap yang saya
tawarkan untuk senantiasa keluar dari pilihan-pilihan sikap yang ditodongkan
pada kita. Mari keluar dari beranda, membuka pagar rumah, tanggalkan asumsi-asumsi
yang didapat dari dunia maya, lalu berjalanlah menyusuri gang-gang bukan dengan
kuota tapi dengan langkah kaki. Melangkahlah, sambangilah orang-orang di
sekitarmu, berbicaralah dengan cara-cara lumrah, gunakan bahasa-bahasa
sederhana, lalu catatlah.
Bandingkanlah sendiri,
lebih banyak mana antara ujaran kebencian dan ujaran kasih sayang? Lalu sampaikanlah
catatanmu mengenai si Mimin, si Paijo, si Kartolo, atau suara kicau perkututmu
saja, semua itu lebih berharga sebab berangkat dari kenyataan yang kau lihat
secara langsung, ketimbang hanya membagikan artikel orang yang tidak mampu kita
uji kebenarannya. Cobalah berpikir artikel atau video yang kita bagikan dengan
sembari garuk-garuk pantat tersebut bisa menjadi sebuah garukan raksasa terhadap
kerukunan bangsa.
Saya meyakini
catatan-catatan sederhana yang berangkat dari pengamatan sekitar dan bukan dari
asumsi-asumsi artikel yang keruh fakta, akan sanggup memberi warna baru.
Catatan semacam itu apabila disadari oleh banyak orang akan menentukan arah
angin pergaulan antar suku, ras, dan agama. Sebab setahu dan seingat saya,
bangsa ini sangat menyukai keindahan dan kerukunan. Itulah yang saya tahu dan
ingat, dan saya akan terus menulis berdasarkan apa yang saya tahu dan ingat.
Idnas Aral