Tuesday, 2 October 2018

PEREMPUAN BERKALUNG SAMPUR VS OLEH-OLEH HEGEMONI BARAT


Adikku, perempuan berkalung sampur.

Tempo hari kamu pacu Scopy-mu dari Semarang untuk datang ke Solo, untuk menghadiri Tancap Layar di Sanggar Teater Tesa. Motormu sempat mogok di Ungaran, dan kamu sampai ke acara tetap tidak terlambat. Dan kau pun sampai untuk kita kembali berbincang-bincang.

Atas itu semua dan hal-hal yang sudah menjadi ikatan sejarah kita, ingin kumaknai hal-hal itu dengan tulisan ini.


Kita memang harus memaknai sendiri apa yang kita senangi dan yakini. Sebagaimana aku dengan teaterku dan kamu dengan tarimu. Mengharapkan penghargaan dari orang lain adalah bunuh diri yang tidak disadari. Selalu itu kusampaikan pada orang-orang satu kelompok denganku. Kita musti mempersiapkan diri untuk memasuki medan tempur berupa PERANG MAKNA.

Dalam satu rombongan kita, yang berlatih untuk mendapatkan pujian atas kemampuan aktingnya, akan musnah paling awal. Bagi yang hanya suka pentas, akan mampus dikoyak-koyak sepi. Bagi yang ketagihan UANG TRANSPORT, akan lumpuh paling dulu. Ya, seperti itulah, kebenaran kita. Dan kita pun selalu tahu bahwa kebenaran kita bukanlah satu-satunya. Di dalam hidup ini orang memiliki kebenarannya masing-masing. Kebenaran yang selama ini kita pakai sebagai benteng atas gempuran terhadap akal sehat, kalau bukan kita yang memaknai, siapa lagi?

Oleh karena hal-hal tersebut, tulisan ini mencoba ingin memaknai.

Di hadapanku, kau pun bercerita mengenai ketidaksetujuanmu kepada pendapat seorang penari kebanggaan negeri ini, yang seringkali mengharumkan nama Indonesia di kancah pertarian Internasional. Kau tidak setuju pada ceramahnya, waktu ia mengatakan bahwa tari tradisi adalah barang mati. Ditambah pula pendapatnya yang notabene terhegemoni oleh penari bule yang mengatakan padanya “bahwa ketika kamu menarikan tari tradisi Jawa, kamu seperti seorang perempuan.”

Lalu entah karena yang mengatakan itu seniman Bule atau karena mental penari kebanggan kita itu yang masih terjajah, serta merta ia meyakini “kebenaran” yang dikatakan teman bulenya. Kemudian ia pulang membawa oleh-oleh hegemoni tersebut, sebagai seorang penari yang “sukses” tentu suaranya didengar, diyakini oleh banyak orang. Dan kebenaran yang mengatakan, “bahwa tari tradisi pria Jawa geraknya seperti seorang banci” dia reproduksi sebagai kebenaran ingin ia tularkan.

Kepadamu juga, penari itu ingin menularkan kebenarannya melalui sebuah ceramah yang mendudukkanmu sebagai seorang murid yang lumrahnya akan selalu manthuk-manthuk.
Tetapi kau berani melawan kebenaran itu di dalam pikiranmu yang berkata, “bukankah di dalam tari tradisi lebih jelas perbedaannya antara perempuan dan laki-laki. Bahkan di dalam tari laki-laki ada pembagian antar alusan dan gagahan.”

Di dalam pikiranmu kamu berani memberontak, “bukankah justru tari Balet yang banya mengeksplorasi pantat itu terlihat lebih ber-perempuan ketimbang tari Jawa ketika diperankan oleh seorang pria.”

Meski kau tidak berdiri dan melisankan pendapatmu untuk mendebat seniormu yang internasional itu, meski kau tidak melakukan konfrontasi dengan meninggalkan ruangan. Setidaknya kau telah melawan di dalam pikiranmu. Dan di dalam pikiranmu, kebenaranmu sejajar dengan kebenaran penari itu yang notabene kebenaran kawan bulenya.

Atas semua itu, tulisan ini kuhaturkan untuk memaknainya.

Kau memang telah bertambah dewasa dibandingkan dengan 4 tahun silam, ketika kamu harus pulang latihan sebelum jam 9 malam. Cakrawalamu pun bertambah luas, pergaulanmu meluas, persinggungamu bertambah. Tak kusangka masih kau ingat tentang keyakinan kita untuk terus memaknai apa yang kita “miliki”.

Kau juga telah sudah mengerti bahwa pendapatmu akan sia-sia jika kau sampaikan pada kawanmu yang juga telah terhegemoni oleh pendapat seniornya yang sukses. Maka kau cukup diam dan melawan penjajahan itu di dalam dirimu. Keadaan memang sudah sedemikian seperti ini, dik, orang-orang berduyun-duyun mengejar matahari yang terbenam itu. Orang-orang takut terhadap malam yang sunyi tanpa riuh tepuk tangan dan penghargaan-penghargaan. Orang-orang takut tak berdiri di bawah lampu eksistensi.

Orang-orang terus lari ke barat dan lupa bahwasanya dari arah timurlah matahari akan terbit.

Atas semua itu, dengan tulisan ini aku ingin berpesan.

Sebagaimana tradisi yang sebenarnya juga terus tumbuh dan tidak mati seperti pendapat banyak orang. Kebenaran kita pun juga terus tumbuh. Tidak ada yang abadi, kecuali perubahan itu sendiri. Segala hal musti dinamis, tetapi penggiringan opini, penjejalan kebenaran, penyeragaman nilai-nilai, tetap harus terus dilawan. Setidak-tidaknya melawan di dalam diri sendiri.

Hal ini kusampaikan, sebab melihat kemampuanmu, perkembangan karirmu, dan caramu berdisiplin, bukan tidak mungkin kau akan sampai pada persinggungan kancah internasional. Dan saat sampai pada ketika itu, kau harus lebih siap untuk menghadapi pilihan, antara; menawarkan nilai-nilai kita atau justru sekedar kulakan dan terhegemoni oleh nilai-nilai dari luar.

Bersiaplah, selamat datang di dalam kancah Perang Makna!

Idnas Aral
Pasar Bubrah, 2 Oktober 2018