Adikku, perempuan berkalung
sampur.
Tempo hari kamu pacu
Scopy-mu dari Semarang untuk datang ke Solo, untuk menghadiri Tancap Layar di
Sanggar Teater Tesa. Motormu sempat mogok di Ungaran, dan kamu sampai ke acara
tetap tidak terlambat. Dan kau pun sampai untuk kita kembali
berbincang-bincang.
Atas itu semua dan hal-hal
yang sudah menjadi ikatan sejarah kita, ingin kumaknai hal-hal itu dengan
tulisan ini.
Kita memang harus memaknai
sendiri apa yang kita senangi dan yakini. Sebagaimana aku dengan teaterku dan
kamu dengan tarimu. Mengharapkan penghargaan dari orang lain adalah bunuh diri
yang tidak disadari. Selalu itu kusampaikan pada orang-orang satu kelompok
denganku. Kita musti mempersiapkan diri untuk memasuki medan tempur berupa
PERANG MAKNA.
Dalam satu rombongan kita,
yang berlatih untuk mendapatkan pujian atas kemampuan aktingnya, akan musnah
paling awal. Bagi yang hanya suka pentas, akan mampus dikoyak-koyak sepi. Bagi
yang ketagihan UANG TRANSPORT, akan lumpuh paling dulu. Ya, seperti itulah, kebenaran
kita. Dan kita pun selalu tahu bahwa kebenaran kita bukanlah satu-satunya. Di
dalam hidup ini orang memiliki kebenarannya masing-masing. Kebenaran yang
selama ini kita pakai sebagai benteng atas gempuran terhadap akal sehat, kalau
bukan kita yang memaknai, siapa lagi?
Oleh karena hal-hal
tersebut, tulisan ini mencoba ingin memaknai.
Di hadapanku, kau pun bercerita
mengenai ketidaksetujuanmu kepada pendapat seorang penari kebanggaan negeri
ini, yang seringkali mengharumkan nama Indonesia di kancah pertarian Internasional.
Kau tidak setuju pada ceramahnya, waktu ia mengatakan bahwa tari tradisi adalah
barang mati. Ditambah pula pendapatnya yang notabene terhegemoni oleh penari
bule yang mengatakan padanya “bahwa ketika kamu menarikan tari tradisi Jawa,
kamu seperti seorang perempuan.”
Lalu entah karena yang
mengatakan itu seniman Bule atau karena mental penari kebanggan kita itu yang
masih terjajah, serta merta ia meyakini “kebenaran” yang dikatakan teman
bulenya. Kemudian ia pulang membawa oleh-oleh hegemoni tersebut, sebagai
seorang penari yang “sukses” tentu suaranya didengar, diyakini oleh banyak
orang. Dan kebenaran yang mengatakan, “bahwa tari tradisi pria Jawa geraknya
seperti seorang banci” dia reproduksi sebagai kebenaran ingin ia tularkan.
Kepadamu juga, penari itu
ingin menularkan kebenarannya melalui sebuah ceramah yang mendudukkanmu sebagai
seorang murid yang lumrahnya akan selalu manthuk-manthuk.
Tetapi kau berani melawan
kebenaran itu di dalam pikiranmu yang berkata, “bukankah di dalam tari tradisi
lebih jelas perbedaannya antara perempuan dan laki-laki. Bahkan di dalam tari
laki-laki ada pembagian antar alusan dan
gagahan.”
Di dalam pikiranmu kamu
berani memberontak, “bukankah justru tari Balet yang banya mengeksplorasi
pantat itu terlihat lebih ber-perempuan ketimbang tari Jawa ketika diperankan
oleh seorang pria.”
Meski kau tidak berdiri dan
melisankan pendapatmu untuk mendebat seniormu yang internasional itu, meski kau
tidak melakukan konfrontasi dengan meninggalkan ruangan. Setidaknya kau telah
melawan di dalam pikiranmu. Dan di dalam pikiranmu, kebenaranmu sejajar dengan
kebenaran penari itu yang notabene kebenaran kawan bulenya.
Atas semua itu, tulisan ini
kuhaturkan untuk memaknainya.
Kau memang telah bertambah
dewasa dibandingkan dengan 4 tahun silam, ketika kamu harus pulang latihan
sebelum jam 9 malam. Cakrawalamu pun bertambah luas, pergaulanmu meluas,
persinggungamu bertambah. Tak kusangka masih kau ingat tentang keyakinan kita
untuk terus memaknai apa yang kita “miliki”.
Kau juga telah sudah
mengerti bahwa pendapatmu akan sia-sia jika kau sampaikan pada kawanmu yang
juga telah terhegemoni oleh pendapat seniornya yang sukses. Maka kau cukup diam
dan melawan penjajahan itu di dalam dirimu. Keadaan memang sudah sedemikian
seperti ini, dik, orang-orang berduyun-duyun mengejar matahari yang terbenam
itu. Orang-orang takut terhadap malam yang sunyi tanpa riuh tepuk tangan dan
penghargaan-penghargaan. Orang-orang takut tak berdiri di bawah lampu
eksistensi.
Orang-orang terus lari ke barat dan lupa bahwasanya dari
arah timurlah matahari akan terbit.
Atas semua itu, dengan
tulisan ini aku ingin berpesan.
Sebagaimana tradisi yang
sebenarnya juga terus tumbuh dan tidak mati seperti pendapat banyak orang.
Kebenaran kita pun juga terus tumbuh. Tidak ada yang abadi, kecuali perubahan
itu sendiri. Segala hal musti dinamis, tetapi penggiringan opini, penjejalan
kebenaran, penyeragaman nilai-nilai, tetap harus terus dilawan.
Setidak-tidaknya melawan di dalam diri sendiri.
Hal ini kusampaikan, sebab
melihat kemampuanmu, perkembangan karirmu, dan caramu berdisiplin, bukan tidak
mungkin kau akan sampai pada persinggungan kancah internasional. Dan saat
sampai pada ketika itu, kau harus lebih siap untuk menghadapi pilihan, antara;
menawarkan nilai-nilai kita atau justru sekedar kulakan dan terhegemoni oleh nilai-nilai dari luar.
Bersiaplah, selamat datang
di dalam kancah Perang Makna!
Idnas Aral
Pasar Bubrah, 2 Oktober
2018