Saya mempunyai kenangan sumuk, sumpek tapi tidak intim, dengan pentas peron di gedung F. Sehingga, tahun belakangan, beberapa pertunjukannya di tempat tersebut saya lewatkan.Semalam saya putuskan menantang kesimpulan saya sendiri, saya putuskan hadir dan berharap dapat menikmati sajian.
Keberanian hadir dan berharap,
itu tanpa sadar tumbuh dari peristiwa berikut. Saya bertemu dengan si sutradara
pertunjukan tersebut di aula TBY, yakni launching buku lakon Heru Kesawa Murti
(HKM). Ia datang bersama beberapa orang teater peron. Kami tidak berbincang
hanya saling bersalaman dan kemudian kembali menjadi masing-masing; penonton
diskusi buku tsb.
Perjumpaan di acara yang sepi
pengunjung itu, membuat saya kepengen nonton pentasnya. dan berani berharap menikmati pertunjukan Peron di
gedung F. Saya, memang terbiasa membentuk penilaian dari hal sederhana yang
saya temui sendiri, ketimbang dari hal-hal fantastis dan berdarah-darah tetapi
hanya katanya.
Singkat cerita, saya berangkat,
tiket sepuluh ribu tetap terasa murah, terlepas bagus dan tidaknya pertunjukan.
Masih seperti dulu, instalasi
daun-daun gugur di tangga menyambut penonton, bedanya tak ada lilin.
Masih juga seperti dulu, sumuk!
Lagi-lagi masih seperti dulu,
dibuka dengan beberapa gojekan yang niatnya untuk cair suasana, tetapi?
Begini, selain penampil,
menonton itu juga memakai energi, jadi beberapa adegan prolog yang saya tidak
tahu apakah dari naskah atau inisiasi kelompok, cukup menguras energi saya.
Apalagi kenangan saya di tempat tersebut juga turut menggaruki titik resah.
Hampir saja harapan saya mati,
ingin pergi, tapi terselamatkan oleh lampu panggung pertama babak 1, paduan
kostum make up dan lampu muncul sebagai artistik pelepas dahaga. Satu angin
segar.
Jadi kenapa tidak
sedari tadi saja, kenapa tidak percaya dengan apa yang telah benar-benar
disiapkan untuk menjadi kesan pertama, ketimbang prolog gojekan yang terkesan
tidak benar-benar dilatih dan justru menguras stamina untuk kuat menonton.
Setelah artistik patung, dayung
bersambut dengan keaktoran yang segar dari yu Seblak. Aktris peron ini,
malam itu bermain dengan bagus, untuk adegan-adegan sense humor yang ger.
Berikutnya, aliran pertunjukan menjadi bisa dinikmati.
Lontaran kritik dan guyonan
berada di dalam porsi yang tepat, narasi kemiskinan di hadapan pembangunan kota
disampaikan. Juga pertanyaan mengenai kepahlawanan yang disampaikan oleh
tokoh-tokoh patung, melalui dialog sederhana tetapi mengena.
Intermeso.
Dulu kebudayaan kita tidak
memiliki ungkapan aku cinta padamu di dalam dialog sehari-hari. Tetapi teater
dan film menghadirkannya di dalam dialog pertunjukannya, maka semakin kayalah
ungkapan kebudayaan kita, ketika aku cinta padamu menjadi dialog yang kita
gunakan di dalam keseharian. Itu salah satu contoh karya teater yang berdampak
terhadap kebudayaan.
Kemarin ada salah satu contoh
kebalikan dari gambaran di atas, yakni karya yang justru terdampak dari
kebudayaan massa, dari panggung entertainer. Yakni adegan jogedan cendol dawet
yang sedang naik daun alias viral itu.
Mungkin, tujuan adegan
tersebut, adalah untuk menyegarkan suasana, tapi kenapa tidak lebih ger dari
permainan dialog-dialog yu Seblak sebelumnya? Ya karena itu bukan khas dari
teater, dan hal yang tidak harus hadir ke ruang teater penonton bisa menemuinya,
bahkan penonton bisa melakonkan hal tersebut dengan lebih baik. Jadi kenapa
teater turut pula di dalam kecenderungan massa tersebut? Kenapa justru masuk
paparan tersebut di dalam adegan, yang membubarkan jalinan cerita. Kasus karya
yang terdampak ini sering saya jumpai. Tetapi mungkin sutradara memiliki maksud
yang tidak sepemahaman dengan saya mengenai kasus tersebut.
Padahal sebelumnya adegan
berita (yang percaya penonton tidak bodoh), telah tersampaikan dengan baik. Juga
permainan klimaks di babak terakhir, yakni babak penggusuran dimainkan juga
dengan asas bahwa penonton itu tidak bodoh, sehingga pertunjukan tidak usah
repot-repot menghadirkan proyektor kualitas ruang kelas seperti biasanya. Cukup
dengan permainan lampu, musik dan laku tokoh, babak tersebut dapat
tersampaikan, mengena, dan nikmat khas teater saya temui. Meski ekspetasi saya
terhadap potensi yu Seblak untuk adegan haru, serius, tidak terpenuhi,
sebagaimana ketika kualitasnya di permainan humor. Tapi saya percaya, kelak
saya akan berjumpa kembali dengan adegan mereka. Saya menunggu dan saya dengar
penonton-penonton yang rasan-rasan di sekeluar gedung juga menunggu.
Saya tarik ke kenangan
pertunjukan kemarin teater kampus juga, yakni tesa.
Saya ingin bicara begini,
teater kampus adalah salah satu penggerak geliat seni teater di kota ini,
silakan tidak setuju.
Mereka menghadirkan regenerasi
pelaku dan penonton dengan intens. Dua pertunjukan tesa dan peron adalah salah
bukti bahwa teater kampus juga memiliki penggerak roda kualitas selain juga
kuantitas.
Rasanan atau dialog kritik
mengenai teater kampus dewasa ini seringnya, diinisiasi oleh bekas teaterawan
kampus, yang telah meyakini bahwa teater kampus tidak bagus karena mekanisme
kreatif mereka tidak lagi sama dengan mekanisme mereka di waktunya. Sayangnya
kesimpulan mereka tumbuh bersama keengganan mereka menonton teater kampus.
Begini.
Teater kampus memiliki alamat
yang pasti, jadi lebih bisa dikritik ketimbang teater 'mereka', apalagi usia punggawanya
yang selalu lebih muda. Kita boleh curiga, sebab tawaran pertunjukan dari para
'orang-orang' bekas teater kampus yang prihatin dengan kondisi teater kampus
sekarang itu juga tidak menyiratkan bahwasanya karya mereka di teater kampus
dulu bagus. Jangan-jangan kiprah wah itu hanya mitos? Dan keprihatinan
yang seringkali dihadirkan jangan-jangan hanyalah untuk menjatuhkan mental
teater muda agar bisa ditundukkan dan terjaring sebagai volunter dan relawan
sendika dhawuh untuk proyek-proyek kesenian mereka?
Saya percaya, kita bisa
membedakan keprihatinan yang sehat dan tidak sehat, jadi keheroikan yang
sekonyong-konyong yang bagai angin tanpa juntrungan itu jangan sampai rusak
pertumbuhan. Beranilah untuk mempertanyakan, bukankah kekaryaan tidak pernah
lepas dari jiwa yang berani mempertanyakan?! Ayo! Udara kita saling terkait,
sebab itulah tulisan ini saya hadirkan, bukan lantaran keprihatinan. Demikian,
hendaklah juga wacana tulisan ini dipertanyakan kalau perlu dicurigai.
Idnas Aral
Catatan Guman, 18 September
2019