Sunday, 16 February 2020

DIBALIK FESTIVAL JENANG 2020 DI nDALEM JOYUKUSUMAN SURAKARTA




Jika hari ini anda datang di acara Festival Jenang, sekaligus hari jadi Kota Surakarta di ndalem Joyokusuman, Gajahan, Pasar Kliwon, Surakarta, dan kebetulan anda juga menemukan tulisan ini maka ketahuilah, bahwa persiapan acara ini telah menjadi gangguan tersendiri bagi seorang pribumi yang tinggal di rumah peninggalan almarhum kakeknya yang terletak di depan atau di luar komplek Dalem Joyokusuman. Berbahagia sekaligus berbanggalah menjadi bagian dari acara yang diadakan pemerintah kota, makan sekenyang-kenyangnya, berpartisipasi dalam sebuah suguhan tanpa makna. Selamat ulang tahun kotaku, sebuah catatan kuhadiahkan, berisi kemuakan terhadap segala yang terjadi akhir-akhir ini, semoga kau tidak lekas jemu menampung berbagai macam kebodohan dan penghancuran dibalik setiap peristiwa yang mengatasnamakan pembangunan dan pelestarian budaya.


                Menurut cerita almarhum ayah saya, dulu Sang Kakek membelinya dari Kangjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Joyokusumo, salah seorang Pangeran Kraton Kasunanan, putra Sunan Pakubuwana X. Singkat cerita, tahun demi tahun berganti, Dalem Joyokusuman tidak lagi menjadi kediaman Gusti Joyokusumo, berpindah kepemilikan hingga akhirnya sekarang di kelola oleh Pemerintah Kota Surakarta. Rumah kakek saya masih bertahan, sementara para tetangga di depan rumah sudah menjual rumahnya sekitar lima belas tahun yang lalu. Hari ini depan rumah saya adalah lapangan berpaving yang difungsikan sebagai lahan parkir.

                Saya yakin, apabila saya bertanya kepada mereka, mengapa mau merelakan tenaga seharian, kehujanan, membuang waktu, dan meninggalkan rumah, pasti mereka akan menjawab bahwa semua itu dilakukan demi mencukupi kebutuhan keluarga. Ya, itu mereka yang menerima bayaran atas jasanya membantu persiapan acara ini. Sementara yang lainnya, barangkali tergerak hatinya untuk terlibat karena loyalitas keorganisasian, sebab rasa cintanya kepada Kota Surakarta yang hari ini berulangtahun, atau numpang-nampang cari keramaian untuk menghibur diri yang sudah teramat payah hidup dibawah tekanan sosial. Banyak orang berdatangan menengok jatah lapak mereka, pengurus PKK Kelurahan se-Kota Surakarta dan lain sebagainya yang turut terlibat dan mendapat satu tempat. Mereka tampak sangat berbahagia, terpancar dari tawa dan tingkah lakunya, mengabadikan gambar, mondar-mandir tidak penting, persis seperti orang yang baru  pertama menjumpai keramaian yang menakjubkan. Tentunya rata-rata dari mereka adalah penduduk Surakarta dan sekitarnya.

                Konon menurut kabar yang pernah saya dengar dari salah seorang warga kelurahan Jagalan, sejarah acara jenang ini berasal dari kampung tersebut. Saya sudah agak lupa bagaimana persisnya cerita itu, yang pasti pada akhirnya buah karya warga kelurahan tersebut diambil oleh pemerintah kota dan dijadikan festival tahunan kota ini. Sudah menjadi hal yang lumrah di negara yang tidak memiliki laboratorium dan strategi kebudayaan. Pemerintah akan melirik segala sesuatu yang dirintis masyarakat dan dirasa dapat “dijual” untuk kemudian mereka kembangkan kalau bukannya “diproyekkan”. Apapun itu, persetan, memang begitu sistem yang dianut pemerintah kita, barangkali lebih murah daripada harus menghidupi orang-orang yang khusus memikirkan inovasi dan strategi kebudayaan untuk kepentingan negara dan masyarakatnya.




Kebijakan Yang Tidak Pernah Bijak Tentang Kebudayaan

               
                Sayangnya saya tidak mau tahu siapa panitia penyelenggara Festival Jenang tahun ini, siapa saja oknum-oknum yang terlibat di dalamnya, mulai dari penanggungjawab, ketua panitia hingga jongos bayaran yang menyerahkan tenaganya untuk mendirikan lapak dan panggung serta hiasan-hiasan standar acara pemerintah kota. Tapi, satu hal yang pasti, rumah saya ditutup dengan spanduk yang sangat panjang dan lebar hingga tidak terlihat. Apa maksudnya saya kurang tahu, pikir saya, biarlah, demi kebahagiaan masyarakat dan kebanggaan pemerintah, toh cuma satu atau dua hari. Terlebih lagi ini hari jadi kota, berkorban sedikit tidak masalah, masih untung jika dibanding mereka yang rumahnya berada di bantaran sungai atau di lahan-lahan sengketa yang harus tergusur, setelah mereka terusir tempat tersebut di sulap menjadi tempat umum yang pengelolaannya dibawah dinas-dinas pemerintah kota. Ya, tempat umum, seperti taman, objek wisata, dan lahan parkir yang mengundang masyarakat untuk berbahagia dan menikmati hasil pembangunan diatas penderitaan tersebut. Penderitaan segelintir orang yang juga berasal dari kota yang sama.

                Bicara soal kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan seni dan budaya, rasanya dinas-dinas terkait mana pernah bijak. Dasar-dasar yang digunakan untuk membuat program, baik itu yang sifatnya fisik maupun non-fisik selalu saja asal-asalan. Maksudnya, proyek-proyek musiman adalah warna utama program kerja mereka. Mereka pikir dengan mengadakan festival, menggelar panggung hiburan, memberi sarana dan prasarana berlebihan tanpa pembinaan berkelanjutan adalah sebuah bentuk solusi, wujud dari tugas mereka dalam mengurus kebudayaan. Parahnya lagi segala sesuatu selalu dikaitkan dengan pariwisata, dan pariwisata tidak pernah tidak pasti menonjolkan keuntungan dari segi perekonomian. Karnaval tahunan dengan dana besar-besaran di setiap kelurahan, perayaan-perayaan, panggung hiburan, renovasi bangunan cagar budaya, dasarnya selalu saja untuk menarik minat wisatawan yang diharapkan akan mengangkat roda perekonomian masyarakat.

                Tapi, sepertinya saya salah, terlalu mulu jika bicara lebih dalam, mengurai pemikiran saya di sini karena kebudayaan masyarakat kita dan tentunya pemerintahnya adalah memang kebudayaan bakulan. Pertimbangan utama adalah untung rugi secara materi, sehingga apa saja yang dibuat harus berujung pada keuntungan jenis tersebut. Silakan, semua memang ingin bakulan, kecuali saya yang sama sekali tidak ingin menginjakkan kaki dan menyaksikan keramain yang diadakan di depan mata, apalagi menelan hidangan yang tersaji dan dibagikan secara gratis.



               
Apalah Artinya Suara Satu Orang Dibanding Ribuan “Orang Lapar”

                Kembali lagi pada persiapan Festival Jenang. Sore tadi hujan turun cukup deras, mereka yang terlibat kocar-kacir mencari tempat berteduh. Saya tertawa, demi apa mereka berdatangan, sadarkah orang-orang ini dalam menjalani sebuah kegiatan. Bagi saya itu lucu, meski sudah menjadi hal yang wajar bagi masyarakat kita. Bahkan sangat wajar, takut setengah mati, mempersiapkan diri dan tampilan kelompok sebaik-baiknya karena besok akan banyak pejabat tingkat kota dan provinsi datang. Mental cari muka setali tiga uang dengan para pegawai negeri yang diberi tanggungjawab menangani acara tersebut.

                Apa boleh buat, bertetangga dengan “pemilik tanah” yang jumlahnya ribuan itu memang susah. Pemerintah berkata, jika mereka hanya mengelolanya dengan kebijakan dan peraturan untuk kepentingan rakyat. Lalu, rakyat-rakyat itu merasa tempat umum adalah milik mereka. Wah, bajingan, saya pribumi, penduduk asli harus menerima gangguan setiap waktu, terancam ketenangan hidup saya demi kebahagiaan mereka. Jika saya protes, kok rasanya sama seperti melawan kebijakan pemerintah dan tentunya mayoritas masyarakat yang mendapatkan kebahagiaan dan kekenyangan lahir batin atas acara ini.

                Saya yakin, panitia yang kasih ijin dan perintah penutupan rumah saya sekarang sedang tidur pulas di rumahnya, istirahat agar pagi harinya segera bangundan mempersiapkan diri untuk sebuah acara besar buatan mereka, sementara jongos-jongosnya jelas, masih bekerja seperti budak belian, demi memeroleh penghidupan mereka lakukan segala cara hingga tidak kenal waktu. Ketika saya sampai pada bait ini, jongos-jongos yang tidak saya kenal itu masih sibuk bekerja. Bukan main berisiknya, suara pukulan palu, gergaji, dan obrolan sampah dari mulut mereka sampai ke telinga saya, hampir pukul tiga dini hari.

                Apalah artinya suara dari orang macam saya, suara seorang yang berhadapan dengan ribuan “orang lapar”. Lapar lidah dan perutnya akan makanan enak gratisan, lapar kantongan, dompet, dan rekening tabungan mereka akan uang sisa-sisa proyek acara, lapar jiwa mereka dari pujian, sanjungan, dan torehan prestasi. Benar-benar mereka buta rasa, tidak memiliki pertimbangan tentang ketertiban sosial. Saya enggan menegur orang-orang bodoh itu, mana mungkin mereka bisa diajak bicara, “orang-orang lapar” memang mengerikan, tidak lagi sadar bahwa mereka telah berbuat dzolim, aniaya, hina dan nista, baik yang berseragam dan berpangkat maupun budak rendah yang mereka pekerjakan, sama saja satu golongan, manusia buta rasa, boleh dibilang tidak memanusiakan saya, tidak menganggap keberadaan saya, tidak mempertimbangkan lingkungan sekitar, tidak empan-papan, pemborosan, buang-buang uang, golek jeneng karo golek jenang, mereka serakah semua. Kanjeng Sultan!! Kula nyuwun pengayoman..... Sinuwun!! Nyuwun senjata pitulungan...... Gusti Allah!! napa panjenengan sare..........??






Okapunkrawit


Surakarta, Senin Pon, Dini Hari, 17 Februari 2020
23 Jumadilakir 1441 H, 22 Jumadilakir 1953 Wawu
Mongso Kawolu, Wuku Galungan