Jika
hari ini anda datang di acara Festival Jenang, sekaligus hari jadi Kota Surakarta
di ndalem Joyokusuman, Gajahan, Pasar Kliwon, Surakarta, dan kebetulan anda
juga menemukan tulisan ini maka ketahuilah, bahwa persiapan acara ini telah
menjadi gangguan tersendiri bagi seorang pribumi yang tinggal di rumah peninggalan
almarhum kakeknya yang terletak di depan atau di luar komplek Dalem Joyokusuman.
Berbahagia sekaligus berbanggalah menjadi bagian dari acara yang diadakan
pemerintah kota, makan sekenyang-kenyangnya, berpartisipasi dalam sebuah
suguhan tanpa makna. Selamat ulang tahun kotaku, sebuah catatan kuhadiahkan,
berisi kemuakan terhadap segala yang terjadi akhir-akhir ini, semoga kau tidak
lekas jemu menampung berbagai macam kebodohan dan penghancuran dibalik setiap
peristiwa yang mengatasnamakan pembangunan dan pelestarian budaya.
Menurut cerita almarhum ayah
saya, dulu Sang Kakek membelinya dari Kangjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH)
Joyokusumo, salah seorang Pangeran Kraton Kasunanan, putra Sunan Pakubuwana X. Singkat
cerita, tahun demi tahun berganti, Dalem Joyokusuman tidak lagi menjadi
kediaman Gusti Joyokusumo, berpindah kepemilikan hingga akhirnya sekarang di
kelola oleh Pemerintah Kota Surakarta. Rumah kakek saya masih bertahan,
sementara para tetangga di depan rumah sudah menjual rumahnya sekitar lima
belas tahun yang lalu. Hari ini depan rumah saya adalah lapangan berpaving yang
difungsikan sebagai lahan parkir.
Saya
yakin, apabila saya bertanya kepada mereka, mengapa mau merelakan tenaga seharian,
kehujanan, membuang waktu, dan meninggalkan rumah, pasti mereka akan menjawab
bahwa semua itu dilakukan demi mencukupi kebutuhan keluarga. Ya, itu mereka
yang menerima bayaran atas jasanya membantu persiapan acara ini. Sementara yang
lainnya, barangkali tergerak hatinya untuk terlibat karena loyalitas keorganisasian,
sebab rasa cintanya kepada Kota Surakarta yang hari ini berulangtahun, atau
numpang-nampang cari keramaian untuk menghibur diri yang sudah teramat payah
hidup dibawah tekanan sosial. Banyak orang berdatangan menengok jatah lapak
mereka, pengurus PKK Kelurahan se-Kota Surakarta dan lain sebagainya yang turut
terlibat dan mendapat satu tempat. Mereka tampak sangat berbahagia, terpancar
dari tawa dan tingkah lakunya, mengabadikan gambar, mondar-mandir tidak
penting, persis seperti orang yang baru
pertama menjumpai keramaian yang menakjubkan. Tentunya rata-rata dari
mereka adalah penduduk Surakarta dan sekitarnya.
Konon
menurut kabar yang pernah saya dengar dari salah seorang warga kelurahan
Jagalan, sejarah acara jenang ini berasal dari kampung tersebut. Saya sudah
agak lupa bagaimana persisnya cerita itu, yang pasti pada akhirnya buah karya
warga kelurahan tersebut diambil oleh pemerintah kota dan dijadikan festival
tahunan kota ini. Sudah menjadi hal yang lumrah di negara yang tidak memiliki
laboratorium dan strategi kebudayaan. Pemerintah akan melirik segala sesuatu
yang dirintis masyarakat dan dirasa dapat “dijual” untuk kemudian mereka
kembangkan kalau bukannya “diproyekkan”. Apapun itu, persetan, memang begitu
sistem yang dianut pemerintah kita, barangkali lebih murah daripada harus
menghidupi orang-orang yang khusus memikirkan inovasi dan strategi kebudayaan
untuk kepentingan negara dan masyarakatnya.
Kebijakan
Yang Tidak Pernah Bijak Tentang Kebudayaan
Sayangnya
saya tidak mau tahu siapa panitia penyelenggara Festival Jenang tahun ini,
siapa saja oknum-oknum yang terlibat di dalamnya, mulai dari penanggungjawab, ketua
panitia hingga jongos bayaran yang menyerahkan tenaganya untuk mendirikan lapak
dan panggung serta hiasan-hiasan standar acara pemerintah kota. Tapi, satu hal yang
pasti, rumah saya ditutup dengan spanduk yang sangat panjang dan lebar hingga
tidak terlihat. Apa maksudnya saya kurang tahu, pikir saya, biarlah, demi kebahagiaan
masyarakat dan kebanggaan pemerintah, toh cuma satu atau dua hari. Terlebih lagi
ini hari jadi kota, berkorban sedikit tidak masalah, masih untung jika
dibanding mereka yang rumahnya berada di bantaran sungai atau di lahan-lahan
sengketa yang harus tergusur, setelah mereka terusir tempat tersebut di sulap
menjadi tempat umum yang pengelolaannya dibawah dinas-dinas pemerintah kota. Ya,
tempat umum, seperti taman, objek wisata, dan lahan parkir yang mengundang
masyarakat untuk berbahagia dan menikmati hasil pembangunan diatas penderitaan
tersebut. Penderitaan segelintir orang yang juga berasal dari kota yang sama.
Bicara
soal kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan seni dan budaya, rasanya
dinas-dinas terkait mana pernah bijak. Dasar-dasar yang digunakan untuk membuat
program, baik itu yang sifatnya fisik maupun non-fisik selalu saja asal-asalan.
Maksudnya, proyek-proyek musiman adalah warna utama program kerja mereka. Mereka
pikir dengan mengadakan festival, menggelar panggung hiburan, memberi sarana
dan prasarana berlebihan tanpa pembinaan berkelanjutan adalah sebuah bentuk
solusi, wujud dari tugas mereka dalam mengurus kebudayaan. Parahnya lagi segala
sesuatu selalu dikaitkan dengan pariwisata, dan pariwisata tidak pernah tidak
pasti menonjolkan keuntungan dari segi perekonomian. Karnaval tahunan dengan
dana besar-besaran di setiap kelurahan, perayaan-perayaan, panggung hiburan,
renovasi bangunan cagar budaya, dasarnya selalu saja untuk menarik minat
wisatawan yang diharapkan akan mengangkat roda perekonomian masyarakat.
Tapi,
sepertinya saya salah, terlalu mulu jika bicara lebih dalam, mengurai pemikiran
saya di sini karena kebudayaan masyarakat kita dan tentunya pemerintahnya
adalah memang kebudayaan bakulan. Pertimbangan
utama adalah untung rugi secara materi, sehingga apa saja yang dibuat harus
berujung pada keuntungan jenis tersebut. Silakan, semua memang ingin bakulan, kecuali saya yang sama sekali
tidak ingin menginjakkan kaki dan menyaksikan keramain yang diadakan di depan
mata, apalagi menelan hidangan yang tersaji dan dibagikan secara gratis.
Apalah
Artinya Suara Satu Orang Dibanding Ribuan “Orang Lapar”
Kembali lagi pada persiapan
Festival Jenang. Sore tadi hujan turun cukup deras, mereka yang terlibat
kocar-kacir mencari tempat berteduh. Saya tertawa, demi apa mereka berdatangan,
sadarkah orang-orang ini dalam menjalani sebuah kegiatan. Bagi saya itu lucu,
meski sudah menjadi hal yang wajar bagi masyarakat kita. Bahkan sangat wajar, takut
setengah mati, mempersiapkan diri dan tampilan kelompok sebaik-baiknya karena
besok akan banyak pejabat tingkat kota dan provinsi datang. Mental cari muka
setali tiga uang dengan para pegawai negeri yang diberi tanggungjawab menangani
acara tersebut.
Apa
boleh buat, bertetangga dengan “pemilik tanah” yang jumlahnya ribuan itu memang
susah. Pemerintah berkata, jika mereka hanya mengelolanya dengan kebijakan dan
peraturan untuk kepentingan rakyat. Lalu, rakyat-rakyat itu merasa tempat umum
adalah milik mereka. Wah, bajingan, saya pribumi, penduduk asli harus menerima
gangguan setiap waktu, terancam ketenangan hidup saya demi kebahagiaan mereka. Jika
saya protes, kok rasanya sama seperti melawan kebijakan pemerintah dan tentunya
mayoritas masyarakat yang mendapatkan kebahagiaan dan kekenyangan lahir batin
atas acara ini.
Saya
yakin, panitia yang kasih ijin dan perintah penutupan rumah saya sekarang
sedang tidur pulas di rumahnya, istirahat agar pagi harinya segera bangundan
mempersiapkan diri untuk sebuah acara besar buatan mereka, sementara
jongos-jongosnya jelas, masih bekerja seperti budak belian, demi memeroleh
penghidupan mereka lakukan segala cara hingga tidak kenal waktu. Ketika saya sampai pada bait ini,
jongos-jongos yang tidak saya kenal itu masih sibuk bekerja. Bukan main
berisiknya, suara pukulan palu, gergaji, dan obrolan sampah dari mulut mereka
sampai ke telinga saya, hampir pukul tiga dini hari.
Apalah
artinya suara dari orang macam saya, suara seorang yang berhadapan dengan
ribuan “orang lapar”. Lapar lidah dan perutnya akan makanan enak gratisan,
lapar kantongan, dompet, dan rekening tabungan mereka akan uang sisa-sisa
proyek acara, lapar jiwa mereka dari pujian, sanjungan, dan torehan prestasi. Benar-benar
mereka buta rasa, tidak memiliki pertimbangan tentang ketertiban sosial. Saya enggan
menegur orang-orang bodoh itu, mana mungkin mereka bisa diajak bicara, “orang-orang
lapar” memang mengerikan, tidak lagi sadar bahwa mereka telah berbuat dzolim,
aniaya, hina dan nista, baik yang berseragam dan berpangkat maupun budak rendah
yang mereka pekerjakan, sama saja satu golongan, manusia buta rasa, boleh
dibilang tidak memanusiakan saya, tidak menganggap keberadaan saya, tidak
mempertimbangkan lingkungan sekitar, tidak empan-papan,
pemborosan, buang-buang uang, golek jeneng
karo golek jenang, mereka serakah semua. Kanjeng Sultan!! Kula nyuwun pengayoman..... Sinuwun!! Nyuwun senjata
pitulungan...... Gusti Allah!! napa panjenengan sare..........??
Okapunkrawit
Surakarta,
Senin Pon, Dini Hari, 17 Februari 2020
23
Jumadilakir 1441 H, 22 Jumadilakir 1953 Wawu
Mongso
Kawolu, Wuku Galungan