Thursday, 17 September 2015

Kritik Pertunjukan


Kritik
Kita mengenal makna kata “kritik” sebagai sebuah “hal” yang disampaikan oleh si penyampai kritik terhadap objek kritik  akibat sebuah keadaan kurang ideal menurut tataran penyampai kritik. Dari makna tersebut maka kritik bisa masuk kedalam kategori pencelaan. Kritik dalam wilayah ini bisa kita sebut secara lugas adalah penghakiman.
Selanjutnya kita akan mengenal istilah “kritik yang membangun”, yaitu masukan yang akan dijadikan penerima kritik sebagai ruang instropeksi. Tetapi ruang instropeksi sebagai akibat dari kritik, hanya akan terbentuk jika si penerima kritik menerima kritikan dengan legawa  (positif). Keadaan penerimaan secara positif ataupun negatif terbentuk oleh dua faktor, yaitu psikologis penerima kritik dan cara penyampaian kritik.

Istilah kritik yang ter-urai di atas tidaklah salah. Kritik sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu krites yang berarti “hakim”. Tetapi kritik bisa dan sangat boleh kita maknakan lebih luas untuk tujuan yang lebih banyak. Sehingga kritik sebagai penghakiman adalah bagian dari kritik dan bukanlah keseluruhan. 

Dalam lembaran ini, setiap kata kritik yang saya tuliskan adalah tirakat saya dalam mendokumentasikan objek kritik dengan dokumentasi tulis. Objek kritik saya batasi pada pertunjukan teater. Dokumentasi tulis yang akan saya lembarkan adalah pembedahan saya terhadap pertunjukan tersebut dengan subjektivitas saya. 

Subjektivitas, saya garis-bawahi karena mengingat segala usaha saya dalam membedah ataupun menginterpretasi hanyalah berdasar pengalaman (praktik dan pustaka) yang terbatas. Sangat naif bila saya menganggapnya sebagai keadaan objektiv sedang yang mutlak adalah subjektivitas.   

Kritik Pertunjukan Teater : perlu !
Pertunjukan teater saya kategorikan ke dalam kesenian serius. Serius karena idealnya bukanlah sekedar menghibur. Serius karena idealnya menyediakan ruang intim kepada penonton dan menghantar katarsis (idealnya !) 

Ruang intim adalah suatu peristiwa yang (mungkin) akan lebih berhasil terdokumentasikan dengan kata. Maka, tulisan adalah usaha saya untuk mengabadikan ruang tersebut untuk orang-orang yang tidak hadir dalam durasi pertunjukan (objek kritik).  

Kritik pertunjukan adalah usaha saya, sekali lagi hanyalah sekedar (usaha!) untuk memperpanjang usia wacana yang dilahirkan oleh para pekerja teater agar tidak mati ketika pertunjukan selesai.

Kritik Pertunjukan
Idham Ardi N
iardinurcahyo@yahoo.com

Surat Untuk Sahabat Mahasiswa

Surat Untuk Sahabat Mahasiswa
“adakah estetika mahasiswa kita ?”

Oleh: Idham Ardi Nurcahyo

Sahabatku,
Aku tulis  ini untuk sahabatku yang tak pernah aku paksa untuk pula memanggilku sahabat. Pertemuan kita kali ini sengaja aku awali dengan menyebutmu sahabat, sebagai lamaran untuk terjalin hubungan yang mengandung manfaat antara kita. 

Sahabatku, setelah beberapa tahun aku berkuliah di kampus, aku mencoba menyimpulkan apa yang aku alami, lihat, dengar, rasa. Kesimpulan coba aku lahirkan, malahan pertanyaan yang kudapat. Pertanyaan yang lahir, lumayan membuat gelisah. Tidak ada ancaman mati atau DO jika tak terjawab pertanyaan-pertanyaan oleh dan atas diriku sendiri tersebut.
Tapi! sebutan mahasiswa atas diri kita ternyata membuat kita maha-bertanya-tanya. Pertanyaan yang semakin lama semakin mem-beban. Tidak ada niatan membagi beban pertanyaan ini dengan kau. Maksudku begini, ketika aku sampaikan pertanyaan – pertanyaan ini kepadamu siapa tahu kau dapat menjawab. Atau paling tidak kau ikut bertanya. Semakin banyak manusia di bumi yang bertanya semakin besar kemungkinan langit buat menjawab, kira kira begitu.

Sahabatku yang semakin sedikit ketika telah sampai pada paragraf ini,  terima kasih sebelumnya karna adalah yang  belum membuang tulisan ini. Saya lanjutkan ke pokok.
Begini sahabatku: marahkah dirimu atau bisakah kau beri aku jawaban atau  meludah kah kau,  ketika aku bertanya : “adakah estetika berkehidupan sebagai manusia dalam kita menjalani status mahasiswa kita ?” 

Tiba-tiba seorang mahasiswa di sebelahku berbicara “orang-orang yang sok mempertanyakan estetika adalah orang yang kalah saingan!!!” 

Aku beri tiga tanda seru karna waktu dia ngomong itu ludahnya muncrat. Setelah dia ngomong, ia pergi begitu saja. Mahasiswa yang ngomongnya muncrat itu, mungkin telah memberi jawaban dari pertanyaanku. Karna benar, aku kalah saingan dalam kehidupan bermahasiswa. Tak pernah aku menjadi mahasiswa papan atas dalam papan prestasi selama aku menjadi mahasiswa. Malahan jika berkuliah dianggap sebagai persaingan atau turnamen, dapat dipastikan aku masuk pada kategori kalah. Karna skor pertandinganku yang biasa kita sebut IP, lebih dekat angka nol dari pada angka sempurna. 

Tapi bukankah kita tidak sedang bertanding, bersaing, atau menang-menangan? 

Kita sama-sama mencari ilmu, kita sama-sama bertanya, berdiskusi, memperoleh jawaban bersama, terkadang juga menjadi jodoh. Bolehlah, jika aku disebut melakukan pembenaran atas diriku karna tak menerima jawaban dari mahasiswa yang berbicara dengan pohon beringin itu. Tapi aku kemukakan itu bukan untuk menggiring kau berpikir sepertiku tetapi hanya mencoba mengajak menyamakan nada dasar agar tidak menjadikan saling salah menyalahkan karna ada yang bersuara sumbang di tengah pembicaraan kita nanti.
Pastilah semakin sedikit sahabatku karna sudah jelas, mahasiswa yang berdaya saing tinggi enggan melanjutkan dialog ini. 

Bukankah kita lelah terus menerus dipersaingkan antara satu dengan yang lain dalam masa studi kita dari SD hingga SMA. Pada akhirnya melahirkan diskusi-diskusi yang lebih mendekati perdebatan untuk mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah. Maka dari itu sahabatku, pada lembar tulisan ini saya mengajak kita untuk beristirahat dari persaingan tetapi tetap berproses untuk mendapatkan jawaban. 

Setujukah kau jika persaingan itu aku sebut jauh dari estetika berkehidupan sebagai manusia? 

Lagi-lagi aku munculkan pertanyaan, tetapi mungkin kita memang harus membedah beberapa lapisan dulu dengan pisau-pisau pertanyaan untuk sampai pada pertanyaan inti. Bukan maksudku menganggap pertanyaanku adalah pertanyaan yang sangat penting hingga aku harus bertele-tele seperti ini tetapi ternyata memang harus repot benar untuk menjadi benar-benar sahabat. Tapi boleh juga kau sebut aku tidak siap menjanjikan apa-apa ketika kau sudi berpikir bersama atau memberikan jawaban. Karna aku pun juga tak mengerti apa yang akan kita dapat bila pertanyaan itu terjawab selain kepuasan rasa ingin tahu kita.
Dua belas tahun dari SD sampai SMA kita berada pada sistem yang jauh dari proses mencari estetika. 

Bukan salah bunda mengandung tentunya, itu menurut saya. Saya argumenkan untuk siap disanggah atau dibenarkan: Sistem rangking yang berdasarkan nilai akademik melahirkan sistem kasta modern yang  membagi manusia-manusia di sekolah menjadi manusia jenis 1, jenis 2, dan seterusnya. Manusia jenis 1 dianggap lebih baik dari manusia jenis-2, jenis-2 lebih baik dari jenis-3. 

Klasifikasinya cukup dangkal, hanya berdasarkan nilai akademik kita. Manusia-manusia berstatus siswa itu pun terdorong untuk naik kasta dan tentunya takut untuk turun kasta, maka mereka berlomba-lomba untuk menaikkan nilai akademik. Stigma bodoh yang tentunya merendahkan, membuat manusia-manusia itu melakukan apa saja untuk menghindari nilai akademik yang aspek dan sistem penilaian sangat jauh dari cukup untuk berhak menentukan manusia bodoh atau pintar. 

Jadi bagaimana menurut kalian? 

Demikianlah surat ini mohon untuk kalian balas sahabat.