“Anakku
kemarin makan sate, ada kucing naik meja ndak sadar, satenya di makan semua,
dia marah-marah. Hla salahnya sendiri, kok ada kucing didepannya sampai tidak
tau, ya itu gara-gara tangannya hanya pegang hp terus, pandangannya terpusat
pada hp”
“Itu lihat
itu, anak muda jaman sekarang ya seperti itu, kelihatannya berkumpul tapi asik
sama mainannya sendiri, sama hp nya sendiri, wes kyo wong bisu, kumpul kok cuma diam-diaman”
“Anakku
kemarin ngotot pengen jual tanahku, ya tak turuti, katanya buat bayar utang. Ya
memang buat bayar utang, soalnya baru saja nikah terus malah kena PHK, tapi sisanya malah buat kredit motor baru
sama beli hape baru, yang katanya model terbaru, biar gak kalah sama temannya”
‘Hlo rak tenan to, duduk, pesan wedang,
nunduk, dolanan hp, mainan pokemon Mas? Opo pesbukan, apa lagi itu…. instagram,
wes persis sama anakku, di rumah ya
cuma gitu, di suruh apa apa gak mau, kadang rasanya pengen tak banting hp
anakku”
Ke-empat
percakapan tersebut saya dapat di empat angkringan yang berbeda, dalam jangka
waktu satu bulan belakangan ini, dengan poin yang sama yaitu handphone.
Siapa saja
dapat menyimpulkan apa saja dari ke-empat kutipan percakapan tersebut. Tapi,
saya akan juga mencoba menuliskan apa yang kiranya saya tangkap dari kutipan
percakapan tersebut.
Hari ini,
kebutuhan pokok manusia telah beralih, dari Sandang, pangan, dan papan, menjadi
Sandang, Pangan, dan Cas-casan hp. Betapa tidak, masa ini, pada kebanyakan
manusia modern, akan sangat kebingungan jika saja hp nya tiba-tiba dalam
kondisi mati, dimanapun, kapanpun. Dan hp telah berubah menjadi sebuah
kebutuhan pokok, pulsa dan paket internet menjelma sabagai menu utama selain
nasi yang menjadi makanan pokok oleh manusia modern.
Tidak,
tidak, tidak ada yang salah dengan hal tersebut, pembaca jangan terlalu
tergesa-gesa menuduh saya seorang yang anti terhadap perkembangan jaman, kolot
dan mungkin anti kemapanan. Tidak ada yang salah dalam kehadiran sebuah telepon
pintar masa kini. Karena kalau berbicara tentang benar dan salah, akan sangat
tipis perbedaanya, salah akan sangat mungkin menjadi benar, kalau salah
mempunyai argumen yang kuat dan logis, juga dengan benar.
Tapi,
mari kita sadari lebih lagi, dalam salah satu percakapan ada seorang yang
mengatakan bahwa anaknya sampai tidak tau kalau satenya sedang di curi oleh
kucing, padahal jelas jelas kucing di depannya, si anak masih saja asik dengan
telepon pintarnya. Secara tidak sadar, si anak telah terfokus pada satu titik
nyaman terhadap permainannya dengan telepon pintar tersebut, maka kesadarannya
jadi macet, anak tersebut tidak sama sekali mempunyai jarak dengan telepon
pintarnya, ia (si anak) telah menjadi satu dengan telepon pitarnya, sampai-sampai
hal-hal diluar telepon pintar sama sekali bukan menjadi bagian dari dirinya,
apa saja peristiwa di luar telepon pintarnya bukan merupakan dari Ia.
Bahwa Ia
telah menganngap telepon pintar itu adalah dunianya, cukup, hanya dengan
telepon pintar itu Ia telah menganggap memiliki dunia, sehingga, saya ulangi
sekali lagi, Ia sama sekali tidak berjarak dengan telepon pintar tersebut,
sampai-sampai sate yang ada di depannya dapat dicuri oleh kucing.
Bagi pribadi
saya, manusia harus berjarak dengan dirinya, apapun itu, manusia adalah
stradara atas dirinya sendiri, observator atas dirinya sendiri, dan untuk
mencapai itu dibutuhkan kesadaran, bahwa manusia dan dirinya juga membutuhkan
jarak, apalagi dengan diluar dirinya sendiri.
Masih untung,
dengan hilangnya kesadaran hanya sate yang di curi, coba bayangkan, kalau
sampai yang tercuri adalah istrinya, anaknya, penghidupannya, bahkan hingga
dirinya sendiri tercuri, akan punya apa lagi manusia kalau dirinya sendiri pun
telah hilang dari diri manusia itu sendiri ?
Dan saya
pun sebenarnya sedang hampir kehilangan diri saya sendiri setiap harinya !!
30 Juli
2016, Klaten.