Wednesday, 7 September 2016

Politik Bisa Saja Suci (Inug Wijaya)

POLITIK BISA SAJA SUCI

Politik itu tai kucing. Pandangan negatif terhadap politik yang menghujat dirinya sebagai kotoran binatang sering kita dengar dan bahkan mungkin pernah kita ucapkan. Bukan tanpa sebab kita merendahkan politik yang notabene merupakan salah satu bidang kelilmuan di ranah sosial yang pada kenyataannya sering disalahgunakan oleh para penggunanya untuk melindungi kepentingan pribadi mereka. Hal ini menyebabkan fluktuasi di dalam alam demokrasi ini.

Bukan suatu kesalahan ilmu politik ketika masyarakat merasa dirugikan dengan adanya bidang keilmuan ini. Toh ilmu ini juga sebenarnya memiliki manfaat dan daya guna yang besar bagi kita. Misal, ketika menghadapi keadaan dimana kita diharuskan untuk mengutamakan sebuah kepentingan yang berdampak besar bagi diri kita dan/atau orang lain, dengan catatan bahwa kepentingan tersebut masih dalam kirodor yang jelas dan tanpa merugikan orang lain. Di saat ini kita boleh saja menggunakan politik, karena memang tujuan adanya ilmu politik adalah untuk itu.

Lalu, mengapa kita menghujat politik? 

Bila kita akan menjawab pertanyaan ini, kita tidak dapat terlepas dari subjek ilmu politik. Salah satunya yaitu politisi. Mereka adalah praktisi utama dalam menjalankan roda politik, yang dalam hal ini kita memberikan batasan pada konteks pemerintahan dan kenegaraan. Pada keadaan ini, melalui pemilihan umum yang telah disepakati sebagai salah satu bentuk demokrasi sebagai sarana yang digunakan masyarakat untuk memilih wakil mereka yang duduk di pemerintahan, dengan maksud sebagai jembatan untuk kepentingan-kepentingan mereka, sering kali terjadi pengingkaran terhadap kesepakatan yang muncul saat mereka terpilih sebagai seorang wakil. Hal ini tentunya membuat gerah para pendukung mereka yang merasa dicurangi dan bahkan yang bukan pendukung mereka akan semakin bersemangat melempar hujatan.

Politik bisa saja suci. Pasti bisa dan akan selalu terbuka kesempatan untuk membenahi ini. Titik pembenahan ini tidak melulu pada teori-teori yang banyak diperdebatkan oleh para pakar, namun pada diri kita itu sendiri. Bagaimana cara kita menggunakan politik sebagai sebuah kebaikan untuk kehidupan manusia. Bukan menggunakannya sebagai kendaraan untuk menumpas kepentingan lain, namun untuk melakukan kompromi dan mencari alternatif pada perbedaan yang terjadi. 

Terima kasih.

Sunday, 4 September 2016

KETIKA SEMUA BERBICARA, SIAPA YANG AKAN MENDENGAR (Idnas Aral)


Berdasarkan letak tanda koma pada judul, maka tulisan ini akan saya bagi menjadi dua bagian, yakni: ketika semua berbicara dan siapa yang akan mendengar?

Ketika Semua Berbicara

Peradaban secara gari besar telah mengalami tiga jaman, yakni abad pertanian, kedua abad industri, dan ketiga abad informasi. Kita dan tulisan ini berada pada gelombang prahara abad informasi. Sejurus dengan perkembangan peradaban itu, berkembang pula kemudahan dan tidak bisa kita mengatakan bahwasanya tidak terjadi perkembangan permasalahan.

Ada berbagai permasalahan yang dahulu tidak ada menjadi ada. Permasalahan yang akan saya bicarakan di tulisan ini adalah permasalahan di dalam suatu ketika. Yakni, “ketika semua berbicara”.

Kenapa menjadi masalah ketika semua berbicara? Bukankah itu baik? Bukankah itu wujud dari demokratisasi yang didukung oleh modernisasi?

Bersuara, berbicara, berpendapat, berargumen, terlepas dari apapun tujuannya adalah salah satu cara seseorang untuk menunjukkan “ada”nya dirinya. Salah satu bentuk ber-eksistensi, yang disadari atau tidak disadari, di-iya-kan atau dipungkiri  telah menjadi tuntutan “hidup” manusia. Kita selalu berusaha untuk berbeda dengan hewan, hal tersebut adalah salah satu usaha kita.

Ber-eksistensi melalui bersuara, berbicara, atau berpendapat kepada umum jika dilakukan dengan tata cara yang bersifat praktis atau instan pada akhirnya argumen atau pendapat itupun tidak akan bertaraf eksistensial, atau hanya sekedar suara yang hanya sekedar.

Dahulu, tidak semua orang bisa berbicara di podium, tidak semua orang bisa menulis dan terbaca oleh khalayak. Perlu suatu proses untuk mencapai titik itu, perlu sebuah “kualitas” untuk sebuah kompetensi. Tetapi sekarang semua orang bisa membuat podium sendiri untuk berbicara sendiri, semua bisa dengan mudah menyebar-luaskan tulisannya.

Dunia maya. Sebuah pencapaian teknologi di mana  arus informasi begitu cepat. Jarak antara pengirim informasi dan penerima informasi dapat ditempuh hanya dalam sepersekian detik. Perkembangan terus berlanjut pada tahap pemerataan  pengaksesan, baik sebagai pengirim atau penerima informasi. Salah satu wujud demokratisasi yang sejalan dengan modernisasi.

Maka kini sampailah pada sebuah “ketika” semua orang berbicara. Siapa saja akhirnya berbicara, berpendapat, dan berargumen untuk menunjukkan eksistensinya. Saat itulah terjadi sebuah pergeseran nilai terhadap sebuah informasi, yakni dari nilai kualitas menuju kuantitas.

Informasi begitu cepat dan begitu banyak tercipta. Bagaimana cara kita mencipta dan bagaimana cara kita menangkap informasipun menjadi berubah. Jika dulu karena tidak semua informasi bisa masuk ke dalam kuota informasi yang tersebar-luaskan, maka si-pencipta informasi harus berupaya mengejar kualitas untuk kesempatan yang tidak banyak itu. Selain itu, tentunya orang yang dianggap pantas menjadi pemberi informasi (gagasan, pendapat, argumen, dll), terlepas dari kepentingan politik, tentunya adalah orang yang berkompeten di bidangnya.

Demikian pula mengenai cara atau sikap kita dalam menangkap informasi. Kualitas kita ketika menangkap informasi yang begitu banyak tentu akan berbeda dengan sedikit informasi. Informasi yang teramat berjejal merubah psikologis kita dalam menyeleksi atau memilah. Belum lagi, tuntutan manusiawi yang selalu terprovokasi untuk menanggapi suatu informasi. Disambutlah tuntutan manusiawi itu oleh kemudahan teknologi pula, alhasil segera kita buru-buru menyebarluaskan tanggapan kita dalam bentuk informasi baru. Yang tentunya akan semakin meramaikan khasanah dunia sumpek informasi ini.

Segala hal mengenai kualitas, detail, kedalaman, objektivitas, dan etika sudah tidak menjadi soal penting dalam sebuah informasi. Segala informasi, segala pendapat, tidak peduli bagaimana kualitas isinya, tetap hanya dihitung sebagai satu atau sebuah informasi. 1 informasi berkualitas akan kalah dari 2 informasi buruk bahkan palsu, ah sungguh demokratis!

Akibat dari ketidakpedulian terhadap kualitas, orang-orang hanya mengejar kuantitas. Segera mengejar hasil lalu buru-buru disebarluaskan, lagi, lagi, dan lagi. Selain kuantitas yang sebanyak-banyaknya, agar lebih bersaing atau semakin bersaing, lebih memilih membumbui informasi kita dengan kontroversi ketimbang referensi.

Siapa yang akan mendengar?

Ketika semua berbicara, siapa yang akan mendengar? Apakah bisa terjadi dialektika, perenungan, perkembangan kesimpulan?

Bukan berarti benar-benar tidak ada yang mendengar, tetapi makna yang ada di dalam informasi itu apakah berhasil kita “dengar”. Dahulu sering kita dengar dalam suatu pendapat yang disertai permintaan untuk didengar secara seksama/saksama. Karena memang suatu pendapat penting harus didengarkan secara cermat dan teliti agar tidak terjadi reduksi atau bahkan miskomunikasi.

Secara saksama itulah yang saya anggap mendengar dalam tataran ideal, terlepas dari kualitas intelektualitas dan objektifitas pendengar. Melalui penerimaan secara saksama itulah akan terjadi dialektika dan perenungan-perenungan, yang akan melahirkan informasi yang semakin berkualitas, yang kembali akan diproses melalui dialektika setelah ditangkap oleh penerima informasi yang lain. Demikian seterusnya yang akan melahirkan perkembangan kebudayaan yang ideal.

Tidak bisa dipungkiri, bahwasanya arus informasi adalah unsur terkuat yang membentuk perkembangan kebudayaan dewasa ini. Kebudayaan pasti berkembang, pasti berubah, tidak bisa kita tolak hukum itu. Persoalan yang perlu kita pikirkan ialah arah dari perkembangan itu, kemana, idealkah?

Perkembangan kebudayaan yang ideal ialah yang berakar dan terkontrol oleh berbagai manifestasi kebudayaan (karya sastra, karya seni, dll) dalam berbagai wujud strategi kebudayaan yang diinformasikan kepada masyarakat. Melalui kontrol tersebut kebudayaan akan berkembang secara ideal, maka terbentuklah perkembangan masyarakat yang ideal.

Memang tidak mudah dan akan selalu tidak sama, ketika mendefinisikan perkembangan kebudayaan yang ideal. Tetapi ciri-ciri dapat dilihat, yakni perkembangan masyarakatnya. Masyarakat berkembang menjadi lebih kreatif dan produktif, semakin sedikit kriminalitas dan konflik di dalamnya. Jika sebaliknya, yakni masayarakat menjadi hedonis, itu indikasi bahwa arah perkembangan kebudayaan yang terbentuk oleh pembentukan pasar oleh kebudayaan luar yang menghegemoni.

Bagaimanapun fenomena “ketika semua orang berbicara”, untuk kepentingan kebudayaan tidak akan mungkin sekonyong-konyong bisa kita tanggulangi dengan gerakan tandingan “tidak semua orang berbicara” atau “semua bicara harus berkualitas”. Tetapi perihal bagaimana kita “mendengar”, lebih memungkinkan terealisasi untuk sebuah perkembangan kebudayaan yang ideal.

Semua pembicara yang baik selalu lahir dari seorang pendengar yang baik. Mari kita kritis terhadap diri sendiri untuk meningkatkan ke-kritis-an kita terhadap keadaan. Lalu berproseslah untuk menjadi bijaksana dalam penggunaan podium dan lembar dunia maya kita.

Lalu lahirkanlah gagasan-gagasan sekaliber Serat Jayabaya, Serat Kalatidha, Sumpah Pemuda, Proklamasi, Pancasila, dan pemikiran-pemikiran emas lainnya.

Amin.
23 Juni 2016