Berdasarkan letak tanda koma pada
judul, maka tulisan ini akan saya bagi menjadi dua bagian, yakni: ketika semua
berbicara dan siapa yang akan mendengar?
Ketika Semua Berbicara
Peradaban
secara gari besar telah mengalami tiga jaman, yakni abad pertanian, kedua abad
industri, dan ketiga abad informasi. Kita dan tulisan ini berada pada gelombang
prahara abad informasi. Sejurus dengan perkembangan peradaban itu, berkembang
pula kemudahan dan tidak bisa kita mengatakan bahwasanya tidak terjadi
perkembangan permasalahan.
Ada
berbagai permasalahan yang dahulu tidak ada menjadi ada. Permasalahan yang akan
saya bicarakan di tulisan ini adalah permasalahan di dalam suatu ketika. Yakni,
“ketika semua berbicara”.
Kenapa menjadi masalah ketika semua
berbicara? Bukankah itu baik? Bukankah itu wujud dari demokratisasi yang
didukung oleh modernisasi?
Bersuara,
berbicara, berpendapat, berargumen, terlepas dari apapun tujuannya adalah salah
satu cara seseorang untuk menunjukkan “ada”nya dirinya. Salah satu bentuk
ber-eksistensi, yang disadari atau tidak disadari, di-iya-kan atau dipungkiri telah menjadi tuntutan “hidup” manusia. Kita
selalu berusaha untuk berbeda dengan hewan, hal tersebut adalah salah satu
usaha kita.
Ber-eksistensi
melalui bersuara, berbicara, atau berpendapat kepada umum jika dilakukan dengan
tata cara yang bersifat praktis atau instan pada akhirnya argumen atau pendapat
itupun tidak akan bertaraf eksistensial, atau hanya sekedar suara yang hanya sekedar.
Dahulu,
tidak semua orang bisa berbicara di podium, tidak semua orang bisa menulis dan
terbaca oleh khalayak. Perlu suatu proses untuk mencapai titik itu, perlu
sebuah “kualitas” untuk sebuah kompetensi. Tetapi sekarang semua orang bisa
membuat podium sendiri untuk berbicara sendiri, semua bisa dengan mudah
menyebar-luaskan tulisannya.
Dunia
maya. Sebuah pencapaian teknologi di mana
arus informasi begitu cepat. Jarak antara pengirim informasi dan
penerima informasi dapat ditempuh hanya dalam sepersekian detik. Perkembangan
terus berlanjut pada tahap pemerataan
pengaksesan, baik sebagai pengirim atau penerima informasi. Salah satu wujud demokratisasi yang sejalan
dengan modernisasi.
Maka
kini sampailah pada sebuah “ketika” semua orang berbicara. Siapa saja akhirnya
berbicara, berpendapat, dan berargumen untuk menunjukkan eksistensinya. Saat
itulah terjadi sebuah pergeseran nilai terhadap sebuah informasi, yakni dari
nilai kualitas menuju kuantitas.
Informasi
begitu cepat dan begitu banyak tercipta. Bagaimana cara kita mencipta dan
bagaimana cara kita menangkap informasipun menjadi berubah. Jika dulu karena
tidak semua informasi bisa masuk ke dalam kuota informasi yang
tersebar-luaskan, maka si-pencipta informasi harus berupaya mengejar kualitas
untuk kesempatan yang tidak banyak itu. Selain itu, tentunya orang yang
dianggap pantas menjadi pemberi informasi (gagasan, pendapat, argumen, dll), terlepas
dari kepentingan politik, tentunya adalah orang yang berkompeten di bidangnya.
Demikian
pula mengenai cara atau sikap kita dalam menangkap informasi. Kualitas kita
ketika menangkap informasi yang begitu banyak tentu akan berbeda dengan sedikit
informasi. Informasi yang teramat berjejal merubah psikologis kita dalam
menyeleksi atau memilah. Belum lagi, tuntutan manusiawi yang selalu
terprovokasi untuk menanggapi suatu informasi. Disambutlah tuntutan manusiawi
itu oleh kemudahan teknologi pula, alhasil segera kita buru-buru
menyebarluaskan tanggapan kita dalam bentuk informasi baru. Yang tentunya akan
semakin meramaikan khasanah dunia sumpek
informasi ini.
Segala
hal mengenai kualitas, detail, kedalaman, objektivitas, dan etika sudah tidak
menjadi soal penting dalam sebuah informasi. Segala informasi, segala pendapat,
tidak peduli bagaimana kualitas isinya, tetap hanya dihitung sebagai satu atau
sebuah informasi. 1 informasi berkualitas akan kalah dari 2 informasi buruk
bahkan palsu, ah sungguh demokratis!
Akibat
dari ketidakpedulian terhadap kualitas, orang-orang hanya mengejar kuantitas.
Segera mengejar hasil lalu buru-buru disebarluaskan, lagi, lagi, dan lagi.
Selain kuantitas yang sebanyak-banyaknya, agar lebih bersaing atau semakin
bersaing, lebih memilih membumbui informasi kita dengan kontroversi ketimbang
referensi.
Siapa yang akan mendengar?
Ketika semua berbicara, siapa yang akan
mendengar? Apakah bisa terjadi dialektika, perenungan, perkembangan kesimpulan?
Bukan
berarti benar-benar tidak ada yang mendengar, tetapi makna yang ada di dalam
informasi itu apakah berhasil kita “dengar”. Dahulu sering kita dengar dalam
suatu pendapat yang disertai permintaan untuk didengar secara seksama/saksama.
Karena memang suatu pendapat penting harus didengarkan secara cermat dan teliti
agar tidak terjadi reduksi atau bahkan miskomunikasi.
Secara
saksama itulah yang saya anggap mendengar dalam tataran ideal, terlepas dari
kualitas intelektualitas dan objektifitas pendengar. Melalui penerimaan secara
saksama itulah akan terjadi dialektika dan perenungan-perenungan, yang akan
melahirkan informasi yang semakin berkualitas, yang kembali akan diproses
melalui dialektika setelah ditangkap oleh penerima informasi yang lain.
Demikian seterusnya yang akan melahirkan perkembangan kebudayaan yang ideal.
Tidak
bisa dipungkiri, bahwasanya arus informasi adalah unsur terkuat yang membentuk
perkembangan kebudayaan dewasa ini. Kebudayaan pasti berkembang, pasti berubah,
tidak bisa kita tolak hukum itu. Persoalan yang perlu kita pikirkan ialah arah
dari perkembangan itu, kemana, idealkah?
Perkembangan
kebudayaan yang ideal ialah yang berakar dan terkontrol oleh berbagai
manifestasi kebudayaan (karya sastra, karya seni, dll) dalam berbagai wujud strategi
kebudayaan yang diinformasikan kepada masyarakat. Melalui kontrol tersebut
kebudayaan akan berkembang secara ideal, maka terbentuklah perkembangan
masyarakat yang ideal.
Memang
tidak mudah dan akan selalu tidak sama, ketika mendefinisikan perkembangan
kebudayaan yang ideal. Tetapi ciri-ciri dapat dilihat, yakni perkembangan
masyarakatnya. Masyarakat berkembang menjadi lebih kreatif dan produktif,
semakin sedikit kriminalitas dan konflik di dalamnya. Jika sebaliknya, yakni
masayarakat menjadi hedonis, itu indikasi bahwa arah perkembangan kebudayaan
yang terbentuk oleh pembentukan pasar oleh kebudayaan luar yang menghegemoni.
Bagaimanapun
fenomena “ketika semua orang berbicara”, untuk kepentingan kebudayaan tidak
akan mungkin sekonyong-konyong bisa kita tanggulangi dengan gerakan tandingan
“tidak semua orang berbicara” atau “semua bicara harus berkualitas”. Tetapi
perihal bagaimana kita “mendengar”, lebih memungkinkan terealisasi untuk sebuah
perkembangan kebudayaan yang ideal.
Semua
pembicara yang baik selalu lahir dari seorang pendengar yang baik. Mari kita
kritis terhadap diri sendiri untuk meningkatkan ke-kritis-an kita terhadap
keadaan. Lalu berproseslah untuk menjadi bijaksana dalam penggunaan podium dan
lembar dunia maya kita.
Lalu
lahirkanlah gagasan-gagasan sekaliber Serat
Jayabaya, Serat Kalatidha, Sumpah Pemuda, Proklamasi, Pancasila, dan
pemikiran-pemikiran emas lainnya.
Amin.
23 Juni 2016