Saturday, 4 February 2017

Teater adalah Bukan Pembenaran (Idnas Aral)

Jika kuliah saya lama itu karena tidak mampu mencapai standar lulus dengan cepat, bukan karena teater menuntut kuliah saya untuk lama. Jika sedang berproses teater saya merokok, karena saya memang perokok, bukan karena proses teater mengharuskan saya untuk merokok. Jika saya butuh uang, itu karena saya memiliki kebutuhan-kebutuhan sebagai orang hidup yang harus dibeli dengan uang, teater tidak pernah meminta uang serupiah pun. Teater dapat menjadi alasan untuk sebuah sikap hidup, katanya, kataku, katamu, tetapi tentunya tidak lantas menjadi pembenaran dan tameng untuk tuntutan-tuntutan kewajaran. Bahkan ketika harus berhadapan dengan kewajaran yang tak wajar

Tulisan ini kutujukan sebagai permintaan maaf karena rambut saya yang gondrong telah menyebabkan seseorang mengira bahwa teater itu mengharuskan rambut saya gondrong. Atau “orang teater pasti gondrong!” Bahkan melebar, “orang teater itu lusuh!”

“Mohon maaf, sebab saya tidak bisa membuat pembuktian kepada seseorang itu mengenai ketidakharusan gondrong untuk berteater dengan memotong rambut saya atau mengelokkan penampilan saya saat ini.”

Tetapi ada satu kesadaran yang terbuka dari peristiwa itu, bahwa di hadapan masyarakat setiap pekerja teater adalah agen teater untuk masyarakatnya. Dalam kesehariannya ia merupakan perwakilan wujud teater, sebab tentu tidak semua orang telah membaca falsafah teater. Siapapun ia, entah baru sehari berteater atau bertahun, entah kelas kampung seperti saya atau kelas internasional seperti Rendra. Karena orang sekampungku tahunya yang berteater itu saya bukan Putu Wijaya.

“Jadi apakah bisa terlepas antara apa yang kau kata di panggung dan apa yang kau kata di lakumu?”

Semoga tulisan ini tidak mengenai perdebatan-perdebatan berat mengenai  “seni untuk seni”. Hanya permintaan maaf yang beranak pinak. Karena yang saya tahu hanyalah air seni keluar dari tubuh kita karena metabolisme tubuh dan memiliki fungsi membawa keluar zat-zat yang memang harus dikeluarkan dan bukan karena air seni itu sendiri. Lalu kenapa dinamakan air seni, saya masih belum tahu.

Nampaknya saya memang harus terus menerus memohon maaf karena dalam keberlimpahan kekurangan-kekurangan, saya masih ingin berteater. Padahal orang yang perawan teater (awam teater) ketika persinggungan teater pertamanya melalui saya, akan merangkai definisi teater dengan penilaiannya terhadap saya? Apakah saya takut? Tidak! 

Justru kesadaran baru ini membuat saya lebih waspada dan dalam permohonan maaf ini saya ingin membagi kewaspadaan. Kewaspadaan terhadap tanggung jawab yang datang bersamaan dengan kesadaran, kesadaran teater kita.

Tulisan ini kusegerakan, sebab jika menunggu nanti ketika saya dianggap pantas sebagai teaterawan, saya tidak tahu mati saya kapan, dan masyarakat tidak akan mau menunggu itu. Demikian pula masyarakat anda.


Sekretariat Sandilara, 5 Feb 17