Jika kuliah saya lama itu karena tidak
mampu mencapai standar lulus dengan cepat, bukan karena teater menuntut kuliah
saya untuk lama. Jika sedang berproses teater saya merokok, karena saya memang
perokok, bukan karena proses teater mengharuskan saya untuk merokok. Jika saya
butuh uang, itu karena saya memiliki kebutuhan-kebutuhan sebagai orang hidup
yang harus dibeli dengan uang, teater tidak pernah meminta uang serupiah pun. Teater
dapat menjadi alasan untuk sebuah sikap hidup, katanya, kataku, katamu, tetapi
tentunya tidak lantas menjadi pembenaran dan tameng untuk tuntutan-tuntutan
kewajaran. Bahkan ketika harus berhadapan dengan kewajaran yang tak wajar
Tulisan
ini kutujukan sebagai permintaan maaf karena rambut saya yang gondrong telah
menyebabkan seseorang mengira bahwa teater itu mengharuskan rambut saya
gondrong. Atau “orang teater pasti gondrong!” Bahkan melebar, “orang teater itu
lusuh!”
“Mohon maaf, sebab saya tidak bisa
membuat pembuktian kepada seseorang itu mengenai ketidakharusan gondrong untuk
berteater dengan memotong rambut saya atau mengelokkan penampilan saya saat
ini.”
Tetapi
ada satu kesadaran yang terbuka dari peristiwa itu, bahwa di hadapan masyarakat
setiap pekerja teater adalah agen teater untuk masyarakatnya. Dalam
kesehariannya ia merupakan perwakilan wujud teater, sebab tentu tidak semua
orang telah membaca falsafah teater. Siapapun ia, entah baru sehari berteater
atau bertahun, entah kelas kampung seperti saya atau kelas internasional
seperti Rendra. Karena orang sekampungku tahunya
yang berteater itu saya bukan Putu Wijaya.
Semoga
tulisan ini tidak mengenai perdebatan-perdebatan berat mengenai “seni untuk seni”. Hanya permintaan maaf yang
beranak pinak. Karena yang saya tahu hanyalah air seni keluar dari tubuh kita
karena metabolisme tubuh dan memiliki fungsi membawa keluar zat-zat yang memang
harus dikeluarkan dan bukan karena air seni itu sendiri. Lalu kenapa dinamakan air seni, saya masih belum tahu.
Nampaknya
saya memang harus terus menerus memohon maaf karena dalam keberlimpahan
kekurangan-kekurangan, saya masih ingin berteater. Padahal orang yang perawan
teater (awam teater) ketika persinggungan teater pertamanya melalui saya, akan
merangkai definisi teater dengan penilaiannya terhadap saya? Apakah saya takut?
Tidak!
Justru kesadaran baru ini membuat saya lebih waspada dan dalam permohonan
maaf ini saya ingin membagi kewaspadaan. Kewaspadaan terhadap tanggung jawab
yang datang bersamaan dengan kesadaran, kesadaran teater kita.
Tulisan
ini kusegerakan, sebab jika menunggu nanti ketika saya dianggap pantas sebagai
teaterawan, saya tidak tahu mati saya kapan, dan masyarakat tidak akan mau
menunggu itu. Demikian pula masyarakat anda.
Sekretariat
Sandilara, 5 Feb 17
No comments:
Post a Comment