Saturday, 10 June 2017

Aku (sebagai Sandilara), Duka, dan Paradoks! (Idnas Aral)



Aku segerakan ikhtiar penulisan sejarah kelompokku, Sandilara. Sebab kita tak tahu mati kapan, entah mati sebagai aku atau mati sebagai kelompok.

Setiap peristiwa kematian hendaknya kita renungkan. Agar duka tak sia-sia! Kami sedang berduka; ayahanda kawan kami (Item) meninggal tempo hari. Satu lagi peristiwa yang sudah pasti telah mewujud sejarah. Satu ketakutan telah kau lewatkan tem! Satu tingkat pendewasaan telah kau tuntaskan!

Bagaimana denganku, bagaimana dengan Sandilara, yang tentu juga turut berduka? Saat ini memang aku hanya bisa berkata-kata!

Aku renungkan peristiwa pendewasaan itu, duka itu. Salah satunya, kesadaran untuk menjadi lebih bersiap untuk meninggalkan atau ditinggalkan. Ya, aku telah bersiap dan akan menjadi semakin siap. Sebab ditinggalkan adalah kepastian sebagaimana  meninggalkan atau kematian. Suatu yang pasti bagi pilihan sikap; untuk kukuh menempati keyakinan. Ialah Sandilara, sebuah ruang hunian dimana tertampung dan tersuarakan kegelisahanku sebagai anak jaman. Aku masih bertempat tinggal di Sandilara bersama yang tersisa. Jangan kau kasihani aku, aku telah kenyang dengan paradoks!

Selamat jalan kawan yang usai berpamitan, kita tidak bermusuhan.

Aku bukanlah personifikasi kebenaran! Tetapi dalam konteks Sandilara, yakni kesadaran kolektif, komitmen, sikap, dan pandangan; tidak mengenal pemakluman. Sebab Sandilara tidak lagi menjadi Sandilara jika melakukan pemakluman pada sikap Sandilara-nya. Sebagaimana kebenaran sudah lagi bukan kebenaran ketika dikompromikan! Sekali lagi kami bukanlah personifikasi kebenaran, tetapi kami terlanjur sadar harus ada yang dilawan. Perlawanan itu adalah alasan kenapa Sandilara didirikan, maka jika tidak lagi melawan tak perlu lagi sebagai Sandilara. Perlawanan itu nyatanya harus melawan diri kita sendiri. Ada di dalamku dan ada di dalam dirimu. Sebagai Sandilara, aku harus melawan diriku dan kau harus melawan dirimu sendiri. Nyatanya begitu, sebab kita sama-sama korban keadaan, jadi jika kau berpamitan, usah merasa kita bermusuhan. Kita sama-sama korban keadaan! Aku melanjutkan dan kau pun punya pilihan.

Aku telah kenyang dengan paradoks!

Oksigen yang menghidupi adalah yang membusukkan kita. Sebab kita berjumpa, maka kita berpisah. Tapi mana mungkin kita tidak bernapas, mana mungkin pula kita tidak memilih berjumpa. Aku sadar betul konsekuensi-konsekuensi atas pilihan dan sikap. Aku memilih berkelompok ketimbang berindividu dalam kesenian. Pada tingkat kesadaran berikutnya, aku memilih kelompok yang kelompok bukan sekedar kelompok ala baju (bebas dilepas dan dipakai kapan saja!) Sampai sekarang aku masih mencoba bertahan pada pilihan tersebut, entah nanti aku tak tahu. Setidaknya semua berlandaskan pada kesadaran, jadi aku tak pernah ragu kepada setiap kehadiran pun kepergian. Kami akan senang menyambut siapa saja, tetapi kami tidak menjanjikan kebahagian di sini.

Kebahagian?

Kebahagian yang dipilihkan MTV, penata rias, iklan, Madona, Raisya, Hollywod, Bollywood, diskotik, sales asuransi (dunia atau akhirat), tidak dijanjikan di Sandilara. Sudah terpampang di muka pintu. Sebab ini soal daya cipta, bukan ruang hiburan atau pelarian-pelarian. Kami memiliki kebahagian sendiri di dalam kesadaran kolektif yang menjadi benteng selama empat tahun ini. Di luar sana memang sedang ada arus deras, yang membentuk cita rasa bahagia yang distandarkan untu kepentingan produk pasar ekstasi. Kita menjadi cengeng dan takut tidak bahagia, agar mudah diiming-imingi standar iklan. Lalu beli, beli, beli, tumbas, dan jajan! Kita takut tidak memenuhi standar orang kebanyakan, takut berbeda, takut dikata ketinggalan jaman. Maka kita lakukan apa saja untuk mencapai sebuah posisi untuk mampu beli, beli, tumbas, dan jajan lalu berbangga! Sebuah penjajahan mutakhir, dimana si terjajah menjadi bebas, aktif, dan bangga untuk menyongsong keterjajahannya. Semua itu didapat dari keberhasilan modal membentuk sikap cengeng di dalam diri kita.

Ketika ke-‘cengeng’-an itu dibawa dalam berkarya.

Kau hanya akan membuat karya yang cengeng untuk pemuas candu masyarakat terhadap kecengengannya. Karyamu yang bagus adalah menjadi semacam ‘mario teguh’ yang laris di dalam tatanan yang ‘dibentuk’ oleh pemilik kepentingan. Tidak menjadi penyibak justru menjadi bagian dari kabut. Pilihan estetik romantik semacam itu sudah dikembang biakkan sejak jaman balai pustakanya Belanda kawan. Terus bergulir sebagai sejarah yang ‘syah’ dengan berbagai rupa. Lalu bertumbuh kembang dalam diriku, dalam dirimu, dan menjadi perkembangan diri yang dianggap ‘syah’ atau wajar saja. Dari kewajaran itu kau pun menjadi manusia wajar yang membuat karya.
Itu pilihan! Bukan tentang salah dan benar tetapi kelompokku pun memiliki pilihan. Kami harus menanggalkan kecengengan dan ketakutan sebelum berkarya. Sebab kecengengengan dan ketakutan tidak hanya menjauhkan diri dari mara bahaya tetapi juga akan menjauhkan diri dari kebenaran. Contohnya kenyataan bahwa penonton tidak meninggalkan teater. Tetapi ada kepentingan yang menjauhkan mereka. Kami telah menjumpai itu! Perjumpaan itu tidak akan kami jumpai, jika kami hanya cengeng lalu membuat karya tentang penonton yang meninggalkan teater. Oiya, kecengengan dan kesedihan itu berbeda. Cengeng ialah perasaan yang tidak pada tempatnya.

Tidak ada yang abadi selain kebaikan.    

Tetapi beruntung masih ada kebaikan-kebaikan dari pendahulu yang meninggalkan tanda-tanda jaman dalam karya. Karya yang berdasarkan kesejatian menjadi pisau yang abadi lalu berjumpa untuk generasi penerus. Dari pisau leluhur itu aku dijumpakan dengan orang-orang yang memiliki kegelisahan yang sama. Tak terduga dan tersebar di mana-mana. Tak banyak jumlahnya, tetapi ada.
Kami sama-sama koyak moyak dalam pergulatan masing-masing. Untuk itulah dibutuhkan kelompok, tempat pulang, tempat menguatkan, ruang eksistensi yang berdikari. Sebuah laboratorium diri, yang disusun dari kesadaraan sejarah.

Akhir kata!

Semua memiliki dasar, dari situ dibentuklah sikap. Jika memang sudah menjadi sikap yang memiliki dasar, apa yang harus ditakutkan? Kenapa harus cengeng? Sungguh benar aku berduka atas perisitiwa kepergian. Tapi aku berbahagia, kami berbahagia di dalam duka ini. Dan duka tidak boleh sia-sia sebab ia tidak sama dengan kecengengan!
Sebab jika nanti pada akhirnya Sandilara-lah yang akan meninggalkan atau mati. Kami ingin berbangga, dengan berkata:

“Telah mati ia sebab apa yang diyakininya!”

NB: menghaturkan duka. menghaturkan maaf. menghaturkan terima kasih.

Griya Duhkita, 10 juni 2017
  Idnas Aral