Ad
Hoc dan Bacaan Liar
Sebutan ‘bacaan liar’, di masa Balai Pustaka merupakan praktik
pelabelan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap
bacaan-bacaan yang beredar di luar terbitan Balai Pustaka (BP). Wacana tersebut
digaungkan oleh pemerintah kolonial untuk membentuk hegemoni wacana yang
dipoduksi oleh penerbit Balai Pustaka, yang tentunya sejalan dengan kepentingan kolonial di negeri jajahan
(Indonesia). Sehingga terciptalah asumsi masyarakat bahwa bacaan yang
berkualitas ialah bacaan yang diterbitkan oleh lembaga BP. Akibatnya sejarah
formal (mengenai masa tersebut) yang sampai pada kita saat ini didominasi karangan-karangan
yang diproduksi oleh BP.
Sangat disayangkan mengingat sebuah kemungkinan baik yang
bisa didapat dari bacaan liar di luar bacaan BP, untuk sebuah perkembangan
kebudayaan. Penelitian dari Claudine Salmon merupakan salah satu bukti yang silahkan
dilihat. Ia tidak hanya menunjukkan bahwa sastra Indonesa sudah ramai jauh
sebelum berdiri Balai Pustaka, tetapi juga membuktikan bahwa karya-karya
terbitan di luar Balai Pustaka itu, kualitas isinya tidak kalah dari karya-karya
terbitan Balai Pustaka.
Melihat realitas sejarah di atas, Ad Hoc pustaka secara sadar memilih label ‘bacaan liar’ terhadap karya-karya
yang terpilih untuk diterbitkan. Alasan tersebut berdasar pada watak antitesis
khas kesenian. Sebuah logika sinis perlawanan terhadap mapannya kepentingan
pasar yang mendominasi kualitas serta alasan diterbitkannya sebuah buku. Watak
transaksional terselubung di balik makna fiksional, terus menerus diproduksi di
sana-sini untuk membentuk kebudayaan massa yang melanggengkan kepentingan pasar.
Hal tersebut memiliki pola yang sama dengan pratik yang terjadi pada masa Balai
Pustaka, serupa tapi kau tak percaya!
Ad Hoc tidak akan mengelak jika usaha ini akan dianggap sebagai
romantisme kaum amatiran oleh para elit profesional kesusastraan. Sebab salah
satu modal didirikannya Ad Hoc pun ialah
cita-cita terbentuknya kebudayaan ideal. Ditambah dengan keyakinan yang ngeyel bahwa ada pemikiran-pemikiran dalam
bentuk karya sastra yang tidak tertampung oleh logika pasar dan selera
kebudayaan massa. Pemikiran-pemikiran tersebut ada dan lahir berdasarkan
kesadaran dan tumbuh liar sebagai belukar yang menahan erosi. Ad Hoc dan ‘bacaan liar’ percaya, sebuah kemapanan yang
diabsolutkan akan selalu membentuk penindasan. Selama masih ada penidasan,
karya-karya liar dengan semangat perlawanan akan terus lahir. Maka Ad Hoc pustaka yang amatir ini akan
berusaha mengalirkan pemikiran tersebut dengan selokan-selokan urunan untuk sampai pada generasi mendatang.
Petapa
Kata karya Mas Bei
Buku puisi Petapa
Kata adalah ‘bacaan liar’ pertama yang diterbitkan berdasrkan manifestasi
Ad Hoc pustaka yang telah terurai di atas. Puisi-puisi Mas Bei memiliki kekhasan
tersendiri. Kekhasan suatu karya (terlebih lagi puisi) merupakan salah satu dasar
penilaian kualitas suatu karya sastra. Kualitas ‘khas’ tersebut oleh Mahatma
Zat Akhdiyat disebut dengan, puisi
yang khusyuk namun juga lincah bergerak. Meliuk-liuk tapi tidak menjadi genit.
Pilihan katanya tidak diindah-indahkan, spontan saja, enak dicerna tanpa
kehilangan rasa.
Selain kekhasan puisi-puisi Mas Bei, pandangan hidup
penyair yang tertuang dalam puisi-puisinya, hendaknya bisa menjadi bagian dari
sejarah pemikiran yang sampai pada generasi mendatang. Rasanya itu penting,
jika melihat kegagalan media massa mainstream
yang mendominasi saat ini. Apakah kita akan membiarkan begitu saja sejarah
era ini dibentuk oleh lembaga-lembaga massa yang syarat kepentingan politik
itu? Apakah tidak ada usaha untuk menyampaikan sejarah tandingan, kebudayaan
tandingan kepada generasi depan? Dua pertanyaan tersebut yang pada akhirnya
kami jawab dengan penerbitan buku Petapa
Kata ini. Harapannya ialah dengan terdokumentasi dalam bentuk buku,
pemikiran yang didapat dari pergulatan penyair dengan kehidupan akan tetap
hidup dan berdaya sampai pada pembaca, bahkan setelah si penyair mati.
Penerbitan
buku ini beserta alasan yang terurai di atas tentunya tidak terlepas dari
subjektifitas penerbit. Kesadaran tersebut yang pada akhirnya membuat kami juga
menyadari bahwa kualitas karya sastra yang menguasai distribusi kesusastran pun
merupakan hasil dari penilaian yang tidak terlepas dari subjektifitas lembaga
penerbitannya. Maka dari itu, buku ini kami hadirkan untuk menawarkan alternatif
kualitas dan pemikiran karya sastra, dalam konteks khasanah kesusastraan dan
kebudayaan.
Penerbit