Banyak
sekali kujumpai pamflet juga MMT raksasa yang mentereng dengan hiasan bahasa
inggris dalam penginformasiannya. Salah satu tema seminar yang menarik hatiku
ialah tema “STRATEGI MENGHADAPI PASAR BEBAS”. Menarik hatiku sebab, tema
tersebut cukup banyak diangkat, sebab lainnya ialah tiket seminar itu dibandrol
dengan harga yang lumayan. Kusebut lumayan sebab kegiatanku membeli tiket
biasanya ialah tiket pertunjukkan teater yang rata-rata masih tidak berani di
atas 20.ooo rupiah, malah ada yang bersetia pada angka 5 ribu.
Tertariknya
hatiku pada seminar tersebut bukan tertarik aku untuk menghadiri (maaf). Tetapi
saya tertarik untuk menuliskannya. Maka teruraliah sebagai berikut.
Ekonomi
Pasar bebas ialah semacam eufimisme untuk negeri berkembang (terutama negeri
kita) agar tidak menyebut Ekonomi Kapitalis. Sebab apa, sebab memang seperti
itu watak kita yang selalu memilih membuat istilah ketimbang menyelesaikan
masalah. Kita ini memang pemalu, malu mengakui bahwa tak lagi nasionalis, tak
lagi pancasialis, malu mengakui bahwasanya kita individualis dan teramat mau
dan setuju pada ikan asin yang dijanjikan cara-cara kapitalis.
Silahkan
mengakui atau tidak. Saya mengakui, nyatalah itu senyata-nyatanya kita.
Masihkah ada yang berpikir tentang nasib saudara sebangsa? Masih ada. Saya
meyakini masih ada dan jumlahnya tidak lebih banyak dari jumlah kantong anda.
Masih ada dan tentu bukan mereka para ahli atau elit kebijakan yang pada
akhirnya setuju atau sekedar manggut-manggut dan merentang tangan: Selamat
datang Globalisasi!
Semoga
idiom gotong royong tak musnah dari bahasa kita!
Gotong
royong ialah sebuah konsepsi yang lahir dari watak kebudayaan kita dahulu. Kini
sekedar berhala lambang yang growong. Ia dipajang di kamar tamu atau halaman
depan, tapi dapur kita isinya bahan-bahan impor dari barat dan salah satu
resepnya bisa didapat dari semacam seminar yang kusebut di atas tadi. Lalu
setelah kenyang bergaya ala koboi yang tenang tapi menghanyutkan. Sekali dor
satu keuntungan didapat!
Koboi
tak mengenal gotong royong! Ia suka bertempur satu lawan satu. Kejantanan itu
seperti itu, manusia unggul itu semacam itu! Itu kah kita? Beruntung saja ada
semacam kesadaran gotong royong dari negeri luar. Untung saja, dasarnya kita
suka untung, terterimalah konsepsi gotong royong dari negeri Korea Selatan,
yakni gotong royong Boy Band atau Girl Band! Bekerja sama, bergerak serempak
untuk menjadi sehimpun gulali yang mebuat merengek kanak-kanak minta dibelikan.
Kita terima itu semua, kita sambut itu semua. Selamat datang, selamat datang,
terima kasih sudah datang!
Jadi
kenapa seminar-seminar itu digelar? Tujuannya jelas untuk panitia dan
pembicara, praktis: income. Lalu tentang orang-orang yang berbondong datang
dengan tiket di tangan?
Apa
tujuannya?
Selamat,
selamat, dan selamat. “Pokok e selamet”, ialah semacam kompas yang menuntun
langkah kita. Sebuah tongkat pegangan dalam merumuskan dan menghadapi keadaan.
Keadaan Pasar Bebas di depan! Seminar-seminar menawarkan strategi atau semacam
ilmu silat untuk bertahan dan selamat di dalam arus global yang datang itu.
Lalu seperti apa selamat itu? Selamat ialah keadaan di mana seorang individu
dapat tidak sekedar bertahan tetapi juga memeperoleh keuntungan dari datangnya
itu keadaan. Untuk itu, maka hadirlah banyak orang itu ke beberapa seminar
strategi bisnis dan dagang yang dihelat. Pembicaranya tentu berkisar pada
seorang enterprener ganteng atau cantik, ahli ekonomi, dan motivator lucu.
Sebab keadaan tersebut harus dimenangkan! Kemenangan siapa? Ya kemenangan para
peserta seminar lah! Wong situ tak beli karcis!
Kenapa
orang-orang tersebut ingin menang? Siapa yang harus kalah?
Pertanyaan
tersebut kutanyakan pada Anam sepulang seminar. Ia menjawab’ “Kemenangan itu
bukan sekedar keinginan tapi juga akibat. Akibat yang datang pada orang-orang
yang berdaya saing tinggi dan memiliki strategi-strategi mutakir.”
“Seperti
apa kemenangan itu?” tanya Nabil yang kesiangan
“Kemenangan
itu berupa posisi untuk dapat menghimpun keuntungan yang sebesar-besarnya dalam
Pasar Bebas kelak.” jawab Anam
“Kenapa
memiliki keuntungan yang sebesar-besarnya disebut kemenangan?” tanya Nabil yang
tadi terlambat datang ke seminar.
“Sebab
dengan mempunyai daya untung saya memiliki daya untuk memenuhi
keinginan-keinginan saya! Betapa tidak menang saya, betapa gila saya jika tak
mampu memenuhi keinginan-keinginan saya, sedangkan iklan terus saja
menyuntikkan serum-serum mimpi yang tersedia di etalase tiap swalayan!”
“Lalu
siapa yang kalah?” tanya Nabil yang ketakutan sebab tidak jadi ikut seminar.
Anam
menghembus napas panjang, lalu menatap Nabil dengan tatatapan tajam ala aktor
Hollywood. “Yang tidak menang tentunya.” Jawab Anam dengan tenang dan dingin,
lalu mengedipkan mata dan pergi.
Nabil
terpukau, saya pun turut terpukau dengan jawaban Anam. Ya, Anam telah pergi
meninggalkan saya dan Nabil di sini. Ia pergi menuju titik kemenangan di sana.
Meninggalkan, saya, Nabil, dan berjuta saudara lainnya yang tidak ikut seminar.
Saya menyalakan rokok, sedang Nabil menangis sejadi-jadinya, menyesali
kesiangannya yang berakibat ia tak ikut seminar, berakibat ia tak menang.
Kuberikan satu rokok kepada Nabil, lalu tangisnya berhenti.
“Tak
apa Nabil, setidaknya kita masih bisa udud!”
Berawal
dari pamplet yang menarik hatiku, aku tulis tulisan ini, dan akan kupentaskan
dalam pertunjukan teater kelak, yang tiketnya tidak berani lebih dari 20 ribu malah
kadang bertahan di angka 5 ribu. Jika berkenan silahkan doakan agar terlaksana,
jika tak suka hujatlah. Sebuah sikap memang perlu diuji dengan hujatan.
Griya
Duhkita, 31 Oktober 2017