Tuesday, 31 October 2017

Ini Bukan Pamflet Darurat (Idnas Aral)

Banyak sekali kujumpai pamflet juga MMT raksasa yang mentereng dengan hiasan bahasa inggris dalam penginformasiannya. Salah satu tema seminar yang menarik hatiku ialah tema “STRATEGI MENGHADAPI PASAR BEBAS”. Menarik hatiku sebab, tema tersebut cukup banyak diangkat, sebab lainnya ialah tiket seminar itu dibandrol dengan harga yang lumayan. Kusebut lumayan sebab kegiatanku membeli tiket biasanya ialah tiket pertunjukkan teater yang rata-rata masih tidak berani di atas 20.ooo rupiah, malah ada yang bersetia pada angka 5 ribu.

Tertariknya hatiku pada seminar tersebut bukan tertarik aku untuk menghadiri (maaf). Tetapi saya tertarik untuk menuliskannya. Maka teruraliah sebagai berikut.

Ekonomi Pasar bebas ialah semacam eufimisme untuk negeri berkembang (terutama negeri kita) agar tidak menyebut Ekonomi Kapitalis. Sebab apa, sebab memang seperti itu watak kita yang selalu memilih membuat istilah ketimbang menyelesaikan masalah. Kita ini memang pemalu, malu mengakui bahwa tak lagi nasionalis, tak lagi pancasialis, malu mengakui bahwasanya kita individualis dan teramat mau dan setuju pada ikan asin yang dijanjikan cara-cara kapitalis.

Silahkan mengakui atau tidak. Saya mengakui, nyatalah itu senyata-nyatanya kita. Masihkah ada yang berpikir tentang nasib saudara sebangsa? Masih ada. Saya meyakini masih ada dan jumlahnya tidak lebih banyak dari jumlah kantong anda. Masih ada dan tentu bukan mereka para ahli atau elit kebijakan yang pada akhirnya setuju atau sekedar manggut-manggut dan merentang tangan: Selamat datang Globalisasi!

Semoga idiom gotong royong tak musnah dari bahasa kita!

Gotong royong ialah sebuah konsepsi yang lahir dari watak kebudayaan kita dahulu. Kini sekedar berhala lambang yang growong. Ia dipajang di kamar tamu atau halaman depan, tapi dapur kita isinya bahan-bahan impor dari barat dan salah satu resepnya bisa didapat dari semacam seminar yang kusebut di atas tadi. Lalu setelah kenyang bergaya ala koboi yang tenang tapi menghanyutkan. Sekali dor satu keuntungan didapat!

Koboi tak mengenal gotong royong! Ia suka bertempur satu lawan satu. Kejantanan itu seperti itu, manusia unggul itu semacam itu! Itu kah kita? Beruntung saja ada semacam kesadaran gotong royong dari negeri luar. Untung saja, dasarnya kita suka untung, terterimalah konsepsi gotong royong dari negeri Korea Selatan, yakni gotong royong Boy Band atau Girl Band! Bekerja sama, bergerak serempak untuk menjadi sehimpun gulali yang mebuat merengek kanak-kanak minta dibelikan. Kita terima itu semua, kita sambut itu semua. Selamat datang, selamat datang, terima kasih sudah datang!

Jadi kenapa seminar-seminar itu digelar? Tujuannya jelas untuk panitia dan pembicara, praktis: income. Lalu tentang orang-orang yang berbondong datang dengan tiket di tangan?

Apa tujuannya?

Selamat, selamat, dan selamat. “Pokok e selamet”, ialah semacam kompas yang menuntun langkah kita. Sebuah tongkat pegangan dalam merumuskan dan menghadapi keadaan. Keadaan Pasar Bebas di depan! Seminar-seminar menawarkan strategi atau semacam ilmu silat untuk bertahan dan selamat di dalam arus global yang datang itu. Lalu seperti apa selamat itu? Selamat ialah keadaan di mana seorang individu dapat tidak sekedar bertahan tetapi juga memeperoleh keuntungan dari datangnya itu keadaan. Untuk itu, maka hadirlah banyak orang itu ke beberapa seminar strategi bisnis dan dagang yang dihelat. Pembicaranya tentu berkisar pada seorang enterprener ganteng atau cantik, ahli ekonomi, dan motivator lucu. Sebab keadaan tersebut harus dimenangkan! Kemenangan siapa? Ya kemenangan para peserta seminar lah! Wong situ tak beli karcis!

Kenapa orang-orang tersebut ingin menang? Siapa yang harus kalah?

Pertanyaan tersebut kutanyakan pada Anam sepulang seminar. Ia menjawab’ “Kemenangan itu bukan sekedar keinginan tapi juga akibat. Akibat yang datang pada orang-orang yang berdaya saing tinggi dan memiliki strategi-strategi mutakir.”

“Seperti apa kemenangan itu?” tanya Nabil yang kesiangan

“Kemenangan itu berupa posisi untuk dapat menghimpun keuntungan yang sebesar-besarnya dalam Pasar Bebas kelak.” jawab Anam

“Kenapa memiliki keuntungan yang sebesar-besarnya disebut kemenangan?” tanya Nabil yang tadi terlambat datang ke seminar.

“Sebab dengan mempunyai daya untung saya memiliki daya untuk memenuhi keinginan-keinginan saya! Betapa tidak menang saya, betapa gila saya jika tak mampu memenuhi keinginan-keinginan saya, sedangkan iklan terus saja menyuntikkan serum-serum mimpi yang tersedia di etalase tiap swalayan!”

“Lalu siapa yang kalah?” tanya Nabil yang ketakutan sebab tidak jadi ikut seminar.

Anam menghembus napas panjang, lalu menatap Nabil dengan tatatapan tajam ala aktor Hollywood. “Yang tidak menang tentunya.” Jawab Anam dengan tenang dan dingin, lalu mengedipkan mata dan pergi.

Nabil terpukau, saya pun turut terpukau dengan jawaban Anam. Ya, Anam telah pergi meninggalkan saya dan Nabil di sini. Ia pergi menuju titik kemenangan di sana. Meninggalkan, saya, Nabil, dan berjuta saudara lainnya yang tidak ikut seminar. Saya menyalakan rokok, sedang Nabil menangis sejadi-jadinya, menyesali kesiangannya yang berakibat ia tak ikut seminar, berakibat ia tak menang. Kuberikan satu rokok kepada Nabil, lalu tangisnya berhenti.

“Tak apa Nabil, setidaknya kita masih bisa udud!”

Berawal dari pamplet yang menarik hatiku, aku tulis tulisan ini, dan akan kupentaskan dalam pertunjukan teater kelak, yang tiketnya tidak berani lebih dari 20 ribu malah kadang bertahan di angka 5 ribu. Jika berkenan silahkan doakan agar terlaksana, jika tak suka hujatlah. Sebuah sikap memang perlu diuji dengan hujatan.

Griya Duhkita, 31 Oktober 2017



Monday, 9 October 2017

Kepada Hening yang Kusebut Sastra (Surat Terbuka untuk Para Penggiat Sastra di Surakarta)

Tulisan ini saya haturkan sebagai wujud penawaran bukan permintaan. Kusebut penawaran sebab tujuan yang diharapkan ialah terbentuknya perkawanan dalam konteks ikhtiar kebudayaan (Surakarta khususnya). Pun hasil dari kerja yang didapat pun bukan berupa hal-ikhwal yang dapat termanfaatkan praktis oleh saya secara pribadi, tetapi untuk generasi berikutnya, yang tentunya mencakup ‘berikutku’ dan ‘berikutmu’. Sebab dalam peng-iya-an yang saya tuju, bukanlah lahir dari rasa ewuh pekewuh atau rasa kasihan. Inginku jika diiyakan itu karena kesadaran yang didapat dari dialektika antara saya dengan anda.
Begini.

Soal keterkaitan sastra dan teater telah banyak para ahli yang membicarakannya, sebab tanpa dibicarakan pun mereka (sastra dan teater) telah terkait sejak dalam kandungan. Ketika orang menggagas sebuah pertunjukan teater, sastra telah seketika ada di dalam penguraian gagasan yang ingin disuguhkan dalam pertunjukkannya.
Teater perlu sastra, tapi apakah sastra perlu teater?

Itu adalah pertanyaan yang akan muncul di dalam masyarakat yang bergerak menuju kotak-kotak kardus kemasan. Nyatanya itulah kita saat ini. Tetapi di dalam masyarakat berwatak komunal yang cepat-cepat akan kita tinggalkan, unsur-unsur yang terkait di dalam pertunjukan seni, tidak akan mempertanyakan keterkaitan itu, mana yang membutuhkan dan mana yang dibutuhkan. Unsur-unsur itu lebur, dan soal manfaat apa yang didapat dari sisi penggiat teater dan sisi penggiat sastra, berada pada wilayah abstrak masing-masing. Tetapi untuk kepentingan tulisan ini, saya berikan contoh kasus berikut.

Pada masa pendahulu kita, penulis-penulis ternama pada masa itu cenderung memiliki keterkaitan dengan teater di dalam biografinya. Sebab apa kecenderungan itu ada? Saya hanya bisa menerka, sebab saya tidak hidup di masa itu, saya hidup di masa yang sudah begini (tak lagi begitu). Bahkan lebih luas lagi, pergaulan penggiat seni yang diwadahi teater juga mencakup bidang-bidang selain sastra (seni rupa, musik, tari, dll). Hal itu lumrah jika kita melihat teater di dalam kaca mata ideal, yakni merupakan kesenian pertunjukan yang memadukan berbagai unsur seni. Lumrah jika ideal, dan itu terjadi pada masa sebelum sekarang. Kenapa tidak berlanjut?

Keadaan ‘lumrah jika ideal’ itu saya baca di dalam dokumentasi literasi. Sungguh beruntung saya mendapati dokumentasi berbentuk literasi mengenai perteateran pada masa itu yang tersebar di berbagai media pada masa tersebut. Alangkah beruntung saya mendapatkan gambaran keadaan di luar panggung, lalu apakah generasi setelah saya akan seberuntung saya, jika mereka ingin tahu mengenai gambaran perteateran di masa saya?

Kembali ke soal sastra dan pertunjukan. Pertanyaan pada akhir paragraf di atas, adalah kegelisahan saya. Sehingga ketika saya diberi kesempatan berbicara mengenai keterkaitan sastra dan teater, poin itu yang akan saya sampaikan dalam wujud tawaran; bagaimana jika pertunjukan teater menjadi wilayah bahan yang ditulis oleh penggiat sastra di Surakarta?

Bagaimana?
Meskipun alat pendokumentasian foto dan video telah mampu dihadirkan oleh penggiat teater sendiri di dalam pertunjukkannya, tetapi dokumentasi sastra belum. Kritik pertunjukan (teater), belum meramaikan khasanah teater dan sastra di Surakarta. Resensi, ulasan, juga karya sastra yang lahir dari melihat pertunjukan, kritik pertunjukan tidak saya dapati menjadi sesuatu yang ambil bagian, jika dilihat dari sudut pandang saya sebagai penggiat teater. Jika melihat dari banyaknya dokumentasi tertulis di masa yang dulu hal tersebut telah terjadi bahkan terjalin, kenapa tidak berlanjut? Bukankah itu hal yang baik? Dan sayang sekali jika pertanyaan-pertanyaan itu hanya dijawab dengan; “Saya sudah pernah melakukannnya dulu!”

Pada kesempatan ini, saya ingin membagi pengalaman pribadi saya terkait dengan soal-soal di atas. Saya sama sekali belum pernah melihat pertunjukan Teater Gapit. Tetapi tulisan Umar Kayam pada pengantar buku kumpulan naskah Bambang Widoyo SP (sutradara dan penulis naskah teater Gapit), membuat semangat, spirit, gagasan, dan sikap teater tersebut dapat sampai pada saya. Semangat, spirit, serta gagasan tersebutlah yang pada akhirnya menular serta mempengaruhi saya dan kawan satu kelompok untuk mendirikan teater Sandilara, yang menggunakan bahasa jawa dan intens berpentas keliling desa. Sebab siapa saya dan kelompok saya terpengaruh oleh teater Gapit? Sebab Bambang Widoyo SP atau sebab Umar Kayam? Bukan salah satunya tetapi keduanya yang telah terjalin.

Tentunya akan terlalu banyak jika harus saya uraikan satu per satu manfaat yang saya dapat sebagai generasi sekarang melalui perjumpaan saya dengan dokumentasi tulis pertunjukan-pertunjukan lampau. Sekurang-kurangnya, dapat saya simpulkan sebagai berikut. Sebuah pertunjukan teater memuat banyak sekali aspek tetapi daya jangkaunya sangat terbatas secara ruang dan waktu. Dokumentasi video dan foto dapat menembus batas tersebut melalui rekaman visual dan suara. Tetapi dokumentasi tulis lah yang pada akhirnya mampu menyampaikan ide, gagasan, spirit suatu pertunjukan kepada khalayak yang lebih banyak (lintas ruang dan waktu).  

Sudut pandang saya sebagai penggiat teater.

Perlu saya tegaskan, bahwasanya yang terurai ini merupakan subjektivitas dari sudut penggiat teater. Lebih sempit lagi sudut itu berada dalam wilayah ‘berteater saya’ yang berada di dalam wilayah Surakarta. Maka yang terurai di atas hanya berkisar pada kemungkinan manfaat yang didapat penggiat teater jika, jalinan penggiat sastra dan teater kembali erat. Tetapi saya tetap meyakini bahwasanya manfaat yang akan didapat dari pihak penggiat sastra pun pasti ada. Apalagi jika kita melihatnya sebagai usaha bersama pembentukan kebudayaan yang tentunya tidak selesai oleh satu generasi, tetapi berlanjut dan minta dilanjutkan. Sebab, kerja seni di setiap masa memiliki capaian masing-masing, sayang sekali jika hasil capaian tersebut tidak bisa menjadi bahan untuk dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Tulisan ini pun merupakan sebuah capaian meskipun tak bersambut.

Saya sudahi tulisan ini karena jika dilanjutkan saya takut terlalu meluas dan malah mengaburkan maksud. Mungkin ada baiknya dilaektika ini berlanjut di sebuah warung kopi lalu anda yang menuliskannya, jika berkenan.
Terima Kasih!

Idnas Aral