Wednesday, 22 November 2017

SANGGAR KENTHOET-ROEDJITO; SIAPA KENTHOET? SIAPA ROEDJITO?

Di tanah akan kita tanam jasad seorang pahlawan. Lalu dimanakah akan kita tanam namanya?

Sanggar Kenthoet-Roedjito, adalah cara alm. Joko Bibit meletakkan dua nama pahlawannya. Kenthoet ialah sebutan akrab dari almarhum Bambang Widoyo S.P penulis naskah dan sutradara teater Gapit. Roedjito atau mbah Roedjito ialah seorang skenograf yang cukup berpengaruh di dunia perteateran di masanya. Kedua sosok tersebut oleh pak Bibit dianggap sebagai guru dan memiliki pengaruh yang besar baginya. Terlepas dari praktik standarisasi pahlawan resmi, setiap orang bebas dan merdeka untuk memilih pahlawannya masing-masing. Demikian halnya dengan pak Bibit, ia memiliki standarisasi pahlawan sendiri, sempat aku mendengar ia sebut dengan; pahlawan kebudayaan.
Maka dua nama itu-pun yang akhirnya ia pilih untuk diletakkan sebagai nama dan penanda sanggar teater Ruang yang mulai dibangun pada tahun 1996.

2017
Berpuluh tahun jarak antara kami (Tanggul Budaya) dengan sejarah sanggar tersebut. Semakin berpuluh tahun lagi jarak kami dengan kiprah dua nama penandanya. Sebelumnya tak pernah sekalipun terbesit dua nama yang bersanding itu di benak, tetapi kini Kenthoet-Roedjito menjadi nama yang sering disebut oleh kami.

Siapa Kenthoet? Siapa Roedjito? Pertanyaan tersebut timbul tenggelam di antara aktifitas kami dandan-dandan sanggar. Dandan-dandan sanggar adalah tradisi yang nampaknya akan terus dilangsungkan, bukan lantaran makna filosofi yang terkandung, tetapi apa daya, kemampuan kami memang sekedar sanggup tambal-sulam. Apalagi musim hujan begini tentu ada banyak genting, usuk, reng, talang, tiang yang musti diruwat dengan bendrat, paku, dan sedikit misuh.

Kenthoet-Roedjito selain menjadi tempat berlatih dan berpentas, juga menjadi tempat yang mewah untuk idealisme. Idealisme mustahil tanpa merdeka dan merdeka tidak mungkin tanpa usaha berdikari. Untuk berdikari mustahil menghindari yang namanya bentuk kerja mandiri. Alhasil, selain harus mematut diri sebagai piranti pementasan Lurung Kala Bendu (8 dan 9 Nov nanti) kami pun menjadi tukang dadakan. Ya, itulah kemewahan! Maka untuk menjaga kemewahan tersebut, beberapa kali tawaran dari suatu lembaga untuk memberi bantuan untuk memugar sanggar ditolak dengan matang-matang. Alasannya? Silahkan tanyakan saja pada mas Helmi atau mbak Eri.

Dan ketika pamflet telah tersebar niscaya tradisi tersebut pun ter­-uri-uri.

Dalam keniscayaan tersebut maka terjadilah; Jalu yang lemu nekat naik atap; Kicuk yang jirih harus ngampet wedi; Bagong yang sibuk kerja harus mencari cara; Angga yang mahasiswa baru harus mencari waktu; dan Mas Bei yang kakinya lemah harus usung-usung. Di sela itulah kami semakin mengakrabi dua sosok yang bernama Kenthoet dan Roedjito. Meski kepada keduanya kami belum pernah jumpa, rasanya boleh dikata spirit mereka pun sampai.

Spirit, ide, dan gagasan itu lintas usia!

Berawal dari pertanyaan, sejarah itu sedikit demi sedikit tersampaikan. Kiprah dua sosok itu tercerita kepada kami, maka sampailah pula spirit itu! Spirit memang abstrak, tetapi nyatanya selain bendrat, paku, palu, udud, keringat, dll, spirit pun sangatlah penting. Tak dipungkiri tanpa spirit kami mana sudi untuk bersusah-lelah macam ini. Maka kusimpulkan seperti ini; pemilihan nama Kenthoet-Roedjito oleh pak Bibit merupakan suatu kesadaran sejarah. Melalui kesadaran tersebut sejarah menjadi memiliki letak dan fungsi yang efektif. Otomatis sejarah Kenthoet dan Roedjito sampailah pada kami, maka spirit kedua sosok tersebut menyokong kerja kolektif kami.

Itulah fungsi sejarah, nona!

Maka dalam rangka menjaga spirit kami, di sela kerja di sanggar Kenthoet-Roedjito, kami akan terus bertanya; siapa Kenthoet? Siapa Roedjito? Kenapa Kenthoet? Kenapa Roedjito? Kenapa Kenthoet-Roedjito yang dipilih oleh Joko Bibit Santoso? Apa maksud Joko Bibit Santoso? Akan sampai kapankah sejarah ini bertahan? Akan sampai kapankah sanggar ini mampu bertahan? Akan sampai kapan pertanyaan-pertanyaan ini sanggup tergaungkan? Akan sampai kapan spirit-spirit pahlawan kebudayaan ini tergetarkan?
Setidak-tidaknya di masa ini pertanyaan itu ada; setidaknya di wilayah kami. Apakah memang ini maksud Joko Bibit Santoso?

Griya Duhkita, 23 Nov. 17

Idnas Aral

Saturday, 18 November 2017

Lurung Kala Bendu; Sebuah Tanda Jaman.

“Ketinggalan jaman piye? Nyipta tulisan kuwi angel ya pret! Meres uteg, meres tenaga! Tulisan arab kuwi tulisane wong arab kana! Tulisan latin kuwi tulisane wong latin kana! Kena sinau tulisane wong kana nanging aja nganti nglalekne tulisane dhewe. Kuwi ki oyodmu, kuwi ki oyodku, aja terus-terusan didhongkel nganti mati wit-witane!”

Demikian salah satu dialog mbah Sumi dalam lakon Lurung Kala Bendu karya Joko Bibit Santoso, yang menjadi salah satu perenungan kami –yang terlibat pada proses penggarapan naskah tersebut. Memang benar, jika kita sudi menilik, tulisan Jawa atau aksara Jawa ialah salah satu dari sekian yang akan kita tinggalkan. Saat ini mayoritas generasi muda mulai tidak mengenal tulisan Jawa. Membaca dialog di atas membuat kami tercenung; “Ya benar, hasil karya kerja keras bertahun-tahun dari para leluhur kita tersebut bergerak kita tinggalkan. Kita tercerabut dari akar kebudayaan.”

Aksara Jawa adalah salah satu dari beberapa akar kebudayaan yang mulai di tinggalkan. Ada hal lain-lain pula yang telah digelisahkan pula oleh Joko Bibit Santoso pada tahun 1997 –dimana naskah tersebut ditulis. Lurung Kala Bendu, yang bila diartikan secara harafiah ialah jalan menuju jaman duka, merupakan hasil dari pembacaan jaman oleh Joko Bibit, yang didasarkan pada jangka Jaya Baya dan Serat Kala Tidha (Ranggawarsita). Tentu saja masih ada beberapa dasar atau pisau yang digunakan oleh almarhum dalam membedah jaman dan akhirnya ia tuangkan kedalam naskah lakon tersebut.

Membaca tanda-tanda jaman

Tanda-tanda jaman yang menggambarkan bahwa akan datangnya jaman Kala Bendu tersebut disusun oleh Joko Bibit secara peristiwa beserta tokoh yang ia dapat dari reportase nyata di sekitarnya. Susunan tersebut lalu ia rumuskan dan simpulkan bahwa tanda-tanda tersebut merupakan penanda akan datangnya jaman Kala Bendu. Tahun 1997 ia menuliskannya, dan terjadilah Kala Bendu di tahun 1998 –sebagaimana kita tahu terjadi sebuah kekacauan yang memakan banyak korban dan kerugian di negeri ini. Saya tidak mengatakan bahwasanya Joko Bibit ialah ahli ramal. Sebagaimana Ronggowarsito dan Jayabaya pun menurut saya bukanlah ahli nujum. Mereka bagi saya seorang pujangga yang memiliki kepekaan dan kacamata visioner di jamannya masing-masing. Rasanya tidak berlebihan jika kepekaan dan kacamata tersebut membuat mereka seolah mampu melihat apa yang terjadi nanti.

Kesaksian Jaman

Setiap jaman oleh para pujangga disaksikan dan dituliskan sebagai kesaksian jaman. Bukan tanpa tujuan kesaksian jaman tersebut dituliskan. Sebagaimana kesaksian Jayabaya yang dibaca oleh Ranggawarsita dan terciptalah kesaksian jaman karya Ranggawarsita, lalu dibaca oleh Joko Bibit dan terciptalah karya Lurung Kala Bendu. Garis karya tersebut tentunya tidak linier, tetapi berkelok dan bercabang. Akan tidak mudah menyusun dan membuktikan garis karya tersebut secara ilmiah. Ada baiknya kita menilik persoalan yang lebih wigati, semisal pertanyaan berikut. Kenapa orang-orang tersebut membuat kesaksian jaman? Apa pula sikap kita terhadap tanda-tanda yang diwariskan tersebut?
Terhadap dua pertanyaan di atas, setiap orang berhak menjawab dengan cara masing-masing. Bahkan berhak pula untuk tidak turut bertanya, sebagaimana kami berhak untuk menjawab dengan cara kami. Komunitas Tanggul Budaya sepakat untuk kembali membaca lalu menggaungkan tanda-tanda tersebut melalui sebuah pementasan teater. Melalui penyutradaraan Helmi Prasetya, kami yang tergabung di dalam satu proses, sejak bulan Juli mulai membaca diri kami, membaca jaman kami, lalu berusaha mengartikulasikannya melalui sebuah pertunjukan lakon Lurung Kala Bendu Lurung Kala Bendu yang akan digelar pada tanggal 8 dan 9 Desember nanti. Harapan kami ialah tergaungkanlah tanda-tanda jaman yang dirintis kerja oleh pendahulu kami agar tertangkap oleh generasi ini. Tentunya dan saya meyakini; berikutnya akan ada yang menuliskan kesaksian jaman dengan caranya.

Griya Duhkita, 7 November 2017


Idnas Aral

Friday, 10 November 2017

TANGGUL BUDAYA SURAKARTA MEMENTASKAN NASKAH “LURUNG KALABENDU”







Pada tahun 1997 Joko Bibit Santoso (Kang Jack) menulis naskah “Lurung Kalabendu” (pada tahun tersebut saya masih TK nol besar, riwayat ini saya dengar dari para saksi hidup yang terlibat pada waktu itu dan kebetulan menceritakan secara gratis kepada saya). Tertera pada halaman terakhir naskah yang ditulis dengan mesin ketik, “Solo, 29 April 1997, pun anggit kangge mengeti pendhak pisanipun kangmas Kenthut Bambang Widoyo S.P”. Konon, naskah ini sebelumnya sudah berkali – kali dipentaskan, tapi bagi saya ini pertamakali menyaksikan dan menyimak proses latihan secara langsung, sebab saya aktif berkesenian dan nonton pentas teater tidak sejak tahun 1997 tapi 2017, dua puluh tahun sesudah naskah ini lahir. Jadi yang saya bicarakan adalah apa yang saya lihat, dengar, temui dan pikirkan tentang naskah tersebut.
Meski saya seorang wartawan (tanpa koran), tapi tulisan ini saya buat tidak untuk bertujuan sebagai kritik seni atau catatan pengantar pementasan, sebab tidak mungkin nantinya saya “mengantar” anda satu per-satu untuk datang di Sanggar Kenthoet – Roedjito, tapi lebih bermaksud untuk “menarik anda” menyaksikan dengan memberi sedikit gambaran yang saya paparkan secara sederhana. Rencananya akan dipentaskan pada tanggal 8 dan 9 Desember 2017. Di sutradarai oleh Mas Helmi Prasetyo (teaer Ruang) dengan para pemain dan semua yang terlibat dari teman – teman Tanggul Budaya Surakarta. Barangkali naskah ini sudah tidak asing lagi bagi generasi terdahulu yang pernah atau sekarang masih aktif meramaikan khasanah perteateran di kota ini. Tapi menurut penuturan para pemain, pemusik, penata cahaya, penata setting, dan lainnya yang saya wawancarai secara terpisah dan terselubung, proses naskah “Lurung Kalabendu” ini adalah hal baru juga pengalaman baru yang belum pernah didapat sebelumnya dan dirasa menarik bagi mereka, naskah berbahasa Jawa.

Tidak semata membicarakan masalah kemiskinan
            Kehidupan kelas bawah sering menjadi bahan untuk dipentaskan. Hidup menderita akibat tekanan ekonomi, kekalahan dalam persaingan hidup sehari – hari, sangat banyak dipotret untuk kemudian diangkat ke panggung pertunjukan sebagai cermin masyarakat, tema persoalan abadi sepanjang sejarah manusia yang hidup di pinggiran kota, hanya muatan – muatan dibalik kemiskinan itu yang berbeda – beda bentuknya. Memang membicarakan masalah kaum pinggiran tidak lepas dari urusan kemiskinan dan ketertindasan, sulitnya memperoleh lapangan pekerjaan, pendapatan yang dirasa kurang dapat mencukupi kebutuhan sehari – hari, ribut – ribut dalam rumah tangga akibat menganut peribahasa besar pasak daripada tiang, dan banyak lagi permasalahan yang umum dibicarakan dalam setiap naskah yang menyorot kehidupan kaum kelas bawah.
            Naskah “Lurung Kalabendu” tidak hanya membicarakan masalah klise kaum miskin, lebih dari itu, banyak pandangan – pandangan tentang fenomena jaman tertuang dalam setiap dialog para tokoh yang ada, khususnya perihal kebudayaan Jawa, sebagai tanah kelahiran dan lingkungan sosial kita. Benturan pandangan antara orang Jawa yang masih memegang erat dan mengamalkan ajaran leluhur dan orang Jawa yang sudah meyakini peradaban modern dengan segala atributnya dimainkan dalam sebuah adegan. Mbah Sumi, seorang nenek tua yang masih meyakini dan memiliki kebanggan bahwa aksara Jawa merupakan produk leluhur kita sendiri, ia memiliki kekhawatiran atas masuknya bentuk – bentuk tulisan asing yang semakin menggerus rasa kepemilikan orang Jawa terhadap aksara peninggalan leluhur, sementara seorang pemuda bernama Kampret beranggapan bahwa tulisan Jawa sudah ketinggalan jaman, kuno, tidak perlu dipelajari lagi.
            Slamet atau pak Semar, seorang pemain wayang wong Sriwedari, bagaimana dirinya sedapat mungkin menjalani hidup sesuai dengan tokoh yang ia mainkan, yaitu Semar. Segala petuah – petuah bijak di jagad pewayangan sering terlontar dalam dialognya. Pak Semar dan Mbah Sumi dua tokoh yang mencoba menghadapi jaman modern tanpa meninggalkan akar kebudayaan lokal. Juga potongan dialog dari tokoh Wakidin tukang becak “sing ngelingke karo sing dielingke nasibe padha wae, sirna ilang keterak jaman” (yang mengingatkan dan yang diingatkan nasibnya sama saja, musnah terlindas jaman). Sebuah kalimat satir, tapi memang nyata terjadi jika kita mau jujur mengakui, segala keyakinan tentang kebenaran pribadi maupun kelompok, usaha – usaha membagi kesadaran kepada mereka yang hanyut mengikuti arus jaman untuk tidak semakin terseret banjir globalisasi, pada akhirnya juga akan tergilas laju jaman. Tapi sebagaimana Mbah Sumi, meski demikian yang terjadi, mempertahankan keyakinan adalah pilihan terakhir di tengah pandangan modern yang semakin menggusur kearifan lokal, tak peduli menang atau kalah diakhir cerita.

Relevansi dengan fenomena hari ini
            Setiap karya naskah lahir memotret jamannya, tapi tidak semua memiliki relevansi dengan gejolak sosial jaman sesudahnya. Seperti yang saya katakan diawal bahwa kemiskinan adalah tema abadi apabila kita mengangkat masalah kaum pinggiran kota. Tapi tidak semua mengupas persoalan lain, pandangan – pandangan masyarakat terhadap kehidupan dibalik kemiskinan yang melekat pada dirinya, gagasan kebudayaan lokal dimana tempat masyarakat tersebut lahir dan tumbuh.
            Segala hal yang diyakini sebagai bentuk kewarasan, pertahanan diri untuk tidak hanyut oleh jaman edan, usaha mengingatkan kembali generasi muda terhadap kebudayaan lokal pun akhirnya mentah, sebab pengaruh kebudayaan asing sudah menyusup ke berbagai sendi kehidupan. Seperti yang pernah Kang Jack ceritakan saat berbincang di sanggar Teater Ruang pada suatu sore di tahun 2016, “jangankan pada persoalan lahir yang dampak buruknya dapat dilihat mata, bahkan wilayah teritorial spiritual kita sudah di jajah”. Kang Jack mencontohkan fenomena sekarang tentang penebangan pohon tua dengan alasan sumber kemusyrikan oleh golongan agama tertentu. Padahal itu cara orang Jawa menghormati alam, memberi sesaji dan memberitakan bahwa ada penunggunya, sebuah mitos diciptakan agar anak – cucu tetap menjaga lingkungan, sebab kiranya lumayan susah dan rumit jika harus menjelaskan kepada mereka tentang fungsinya sebagai sumber penyimpan cadangan air tanah.
Beberapa cuplikan naskah “Lurung Kalabendu” diatas kiranya merupakan akumulasi dari perbincangan seputar kehidupan sehari – hari masyarakat sekitar yang dipotret oleh Kang Jack menjadi sebuah naskah. Duapuluh tahun berlalu justru semakin relevan, bahkan hari ini tidak hanya aksara Jawa, bahasa Jawa sendiri dengan struktur lapisan yang paling rendah yaitu ngoko sudah jarang kita gunakan. Kosa kata bahasa Jawa sudah tidak banyak kita ketahui, generasi sekarang mengalami kesulitan apabila menjumpai istilah – istilah dengan bahasa Jawa, belum lagi yang berbentuk kalimat – kalimat petuah lokal, biasanya menggunakan padan kata (sinonim) yang semakin asing lagi ditelinga kita, karena satu kata dalam bahasa Jawa bisa memiliki lebih dari dua kata lain yang memiliki arti yang sama. Mereka yang masih memiliki rasa kepemilikan terhadap kebudayaan lokal, khususnya Jawa, senantiasa merawat dan menggunakannya dalam kehidupan sehari – hari, di tengah makin terpinggirkannya posisi mereka di tanah sendiri, atau barangkali ini yang dimaksud “wong Jawa kari separo”, antara orang – orang yang masih memegang Jawa-nya dan yang terlahir sebagai orang Jawa tapi mengingkari segala ajaran – ajaran leluhur, menolak mentah – mentah tanpa mau menelaah, mengambil sisi – sisi baik untuk digunakan di jaman sekarang, sebagai identitas jati diri, bukannya mengekor pada peradaban asing, toh pada akhirnya kita akan selalu merasa ketinggalan.
            Singkat kata dari saya, sebagai penutup catatan pentas “Lurung Kalabendu” oleh Komuntas Tanggul Budaya Surakarta, kiranya berkenan silakan hadir menyaksikan dan memperbincangkan bersama usai pementasan apa yang nanti akan saudara – saudara saksikan, segera memesan tiket sebab saya dengar tempat terbatas. Terimakasih.


Surakarta, 10 November 2017


Sastro Siswo Hadiwinoto Handoyoningrat Tirtokamandanu
(wartawan tanpa koran tanpa kantor tanpa tanda tangan tanpa imbalan jasa tentunya)

Wedangan Teater

Sederhana saja hendaknya
Kami mengundang saudari/a, untuk menghadiri “Wedangan Teater”
Wedangan Teater adalah nama yang akhirnya kami sepakati untuk menyebut acara tersebut. Nama tersebut dipilih sebagai penanda waktu, tempat, dan peristiwa dialog teater yang akan diselenggarakan pada tanggal 12 November 2017, 19.30 WIB, di Sanggar Teater Soekamto Unisri.
Satu-satunya identitas dari acara tersebut ialah nama acara itu sendiri, yakni Wedangan Teater. Sehingga “Wedangan Teater” hendaknya dipahami secara sangat sederhana, dan dihadiri dengan pundak yang sederhana pula. Barangkali seperti sebuah niatan untuk ngobrol di wedangan dengan kawan kita. Sebab tujuan dari kami menggelar acara ini pun sangat sederhana, yakni sekedar menciptakan kemungkinan dari sebuah persinggungan. Persinggungan tersebut berbentuk sebuah obrolan antar kawan. Melalui tulisan ini, kami mengundang kawan-kawan penggiat teater di Surakarta – siapa saja yang berkenan.
Sekedar Pengantar.

Peristiwa ini bukan hendak mewakili kelompok, perhimpunan, organisasi, lembaga atau apapun. Bukanlah pula sebuah usaha pembentukan jaringan atau wadah baru, ialah sekedar usaha untuk kian berkawan. Yakni saling mengenal (tambah mengenal) antar pribadi-pribadi penggiat teater di Surakarta melalui sebuah perbincangan santai, dan sangat tidak ingin berasa formal. Boleh dikata; “Wedangan Teater” digelar dalam rangka “Wedangan Teater” itu sendiri. Maka yang kami tawarkan dari hasil atau apa yang diperoleh dari peristiwa itu nantinya bukanlah berupa suatu pengerucutan pendapat atau semacam keputusan. Semua akan kembali menjadi pilihan masing-masing pribadi yang menghadirinya. Sebab; kami memang hanya menawarkan kemungkinan. 

Kami disini ialah pribadi-pribadi yang menyepakati dan mengawali untuk memulai. Pada perkembangannya ‘kami’ disini bertambah lagi, yakni seorang kawan yang setuju untuk mendokumentasikan peristiwa tersebut secara literasi. Lalu pada beberapa pihak hal itu kami sampaikan.

Helmi Prasetya dan Budi “Bodhot” Riyanto menyanggupi untuk menjadi pemantik obrolan pada malam itu nantinya. Keduanya berkenan untuk menjadi pemantik obrolan dengan menceritakan pengalaman berteater masing-masing. Lalu teater Soekamto menyanggupi untuk menjadi tuan rumah. Selajutnya tentu saudari/a, sudikah meluangkan waktu dan hati untuk datang dan menciptakan “kemungkinan” bersama kami?

Demikianlah undangan, sekedar pengantar, dan sekedar nada dasar yang kami tawarkan. Harapannya ialah peristiwa ini dapat tergelar secara berkelanjutan dan menjadi ‘waktu dan tempat’ yang mempersilahkan kawan-kawan perteateran Surakarta untuk saling berbicara. Mungkin.


Surakarta, 5 November 2017