Pada jaman milenia ini perkembangan
teknologi digital semakin semarak. Mulai dari kebutuhan pribadi, transaksi
jual-beli, tetek-bengek hal-hal administrasi tingkat kelurahan sampai nasional,
hal-hal yang berbau pekerjaan sampai hal-hal yang bersifat hobi atau
kesenangan, bahkan era digital ini juga sudah merambah dunia kesenian.
Rasa-rasanya, kegiatan-kegiatan yang terjadi sekarang ini tidak lepas dari
benda-benda digital. Kegiatan-kegiatan manual yang bersifat memakan banyak
waktu, membutuhkan orang dan alat atau benda yang banyak, juga keperluan tenaga
yang tidak sedikit dapat diganti dengan benda digital yang terbilang mudah dan
praktis. Dari kegiatan berbelanja sampai kegiatan berkesenian.
Dalam
rangka memeriahkan Parade Teater UMS 2018 dan bakti sosial, kemarin malam
(Selasa, 24 April 2018) bertempat di GOR UMS telah digelar sebuah pementasan
teater oleh Teater Kidung USF UMS dengan naskah Lurung Kala Bendu karya Joko
Bibit Santoso. Dimana naskah tersebut sepertinya sedang banyak-banyaknya
diperbincangkan dan sedang laris atau ramai dipentaskan. Yang terdekat, sekitar
bulan Desember tahun lalu naskah Lurung Kala Bendu juga usai dipentaskan oleh
Tanggul Budaya Surakarta. Dapat dibayangkan, hanya sekitar 4 bulan berlalu,
naskah tersebut kembali dipentaskan, mengingat proses teater pastinya
membutuhkan waktu yang lama. Berbarengan dengan pentas Lurung Kala Bendu pada 8
dan 9 Desember 2017 oleh Tanggul Budaya Surakarta naskah Joko Bibit Santoso ini
dibukukan dan dicetak oleh Adhoc Pustaka dan dirilis saat itu juga. Mungkin hal
ini sedikit melatarbelakangi naskah ini menjadi terkenal dan membuahkan banyak peminat
untuk mementaskan. Dalam satu tahun saja, di kota yang sama, sudah ada dua
kelompok yang mementaskan naskah tersebut. Tentunya memang, naskah karya Joko
Bibit Santoso ini memang sangat relevan di jaman sekarang ini terlepas motif
tiap-tiap penggarap atau sutradaranya.
Buku Lakon Lurung Kala Bendu |
Pementasan diawali dengan sayup-sayup
bunyi gamelan yang sudah terdengar dari luar panggung untuk mengiringi penonton
masuk. Dan apabila didengar secara jeli gamelan tersebut ternyata membunyikan
sejenis Lancaran Kebo Giro versi diatonis yang dikompres dengan kibor, bass,
dan sejenis kendhang. Setelah penonton masuk, dan sudah siap menonton pentas
tiba-tiba dua orang masuk yang ternyata mereka adalah pembawa acara. Setelah
memberikan informasi penting mengenai pementasan pembawa acara membacakan
sinopsis dan membuka pementasan. Dengan alunan musik yang masih sama, pentas
dimulai. Riuh tepuk tangan penonton dipotong oleh adegan pertengkaran Santosa
dan Darsi mengenai penjualan tanah. Darsi ngotot ingin menjual tanah namun
Santosa ngotot tidak mau menjual. Akhirnya Santosa mengusir Darsi dan Darsi
langsung ke luar rumah, inilah saat dimana sosok Darsi tertangkap mata oleh
penonton. Di sini Santosa digambarkan sebagai seorang buruh pabrik yang suka
mabuk-mabukan. Meskipun hidupnya pas-pasan Santosa tidak mau menjual tanah
karena rumah dan tanah itu merupakan warisan dari orang tuanya. Kemudian masuk
adegan-adegan dengan tokoh Mbah Sumi (penjual kembang setaman), Ngabdul (seorang
yang tidak diketahui identitasnya), Sugi (rentenir), Wakidin (marbot masjid),
Slamet (penjual pakan burung), dan Kampret (pesuruh Santosa).
Unsur-unsur yang menonjol dalam pementasan
tersebut adalah unsur perwatakan tokoh, unsur pendialogan tokoh, dan unsur
musikal. Tokoh Mbah Sumi dan Slamet yang suntuk dengan watak Jawanya tidak
muncul secara tegas. Mbah Sumi yang sangat Njawani
lebur karena dialognya sangat ke-Indonesia-Indonesia-an
entah Indonesia mana yang diadaptasi, Slamet yang kaya pengetahuan mengenai
Jawa dan mempunyai banyak perenungan tentang tradisi Jawa berubah menjadi
sesosok anak muda yang santai menghadapi perubahan jaman. Banyak dialog-dialog
dari semua tokoh yang samar terdengar. Apabila penonton tidak dibekali dengan
pengetahuan mengenai teks di dalam naskah, mungkin akan susah memahami apa yang
sedang diperbincangkan di dalam pentas. Spirit Jawa yang ditularkan Joko Bibit
Santoso dalam naskahnya hampir-hampir tidak muncul dalam pentas. Atau sengaja
tidak dimunculkan?
Masuk pada ilustrasi musik yang diusung,
dimana lebih memilih instrumen seperti kibor, bass, dan sejenis kendhang namun
tetap memaksakan kehendak untuk memunculkan efek seolah-olah adalah alunan
gamelan. Hal ini jelas lebih mudah dan praktis ketimbang membawa ricikan gamelan lengkap yang jumlahnya
banyak. Menabuhnya pun tidak mudah. Butuh berbulan-bulan bahkan mungkin
bertahun-tahun untuk mempelajari dasar-dasarnya. Yang sangat disayangkan adalah
gamelan bertangga nada slendro dan pelog, sedangkan kibor dan bass bertangga
nada diatonis. Apabila mau sedikit menoleh pada peristiwa sejarah, ketika Paku
Buwana X menghendaki gamelan slendro maupun pelog di-barung (dimainkan bersama) dengan orkes musik barat terlepas maksud
dan tujuan politisnya, ketika tidak dapat disangsikan lagi pada masa itu kemampuan
para pengrawit dan para pemain orkes
musik barat benar-benar mumpuni dari segi musikal maupun penghayatan. Itu saja,
para sejarawan dan cendekiawan musik berpendapat bahwa itu adalah sesuatu yang
tidak baik. Suasananya gaduh dan kurang enak. Apalagi ada peristiwa dimana
gendhing Jawa dimainkan dengan tangga nada diatonis, bagaimana telinga waras
mampu mentolerir suara semacam itu? Kalau bertolak pada wacana naskah yang
dipentaskan yang tertuang dalam dialog tokoh Mbah Sumi, “Tulisan latin kuwi tulisane wong latin kana! Tulisan arab kuwi tulisane
wong arab kana! Kena sinau tulisan kana, ning aja nganti lali terus malah
ngilangke tulisane dhewe!” Latar dari pementasan ini adalah Jawa, maka
dapat disimpulkan bahwa, ‘tulisane dhewe’
yang dimaksud adalah tulisan Jawa dan pastinya Jawa itu sendiri. Apabila
ditarik ke berbagai hal, Jawa mencakup segala aspek kehidupan termasuk
kesenian. Tulisan dan musik adalah contohnya. Secara tersirat, kalau mau
berpikir dan menggunakan daya pikir secara luas, berarti kita juga boleh
mempelajari musik latin atau barat, boleh pula mempelajari musik arab, tetapi
kita tidak boleh lupa dengan musik Jawa apalagi menghilangkannya. Wacana
seperti itu selayaknya dilinierkan dengan proses penggarapan musik, karena musik
juga merupakan satu kesatuan di dalam pentas teater. Naasnya, wacana yang
disampaikan tidak linier dengan peristiwa panggung. Bukankah memakai kibor dan
bass untuk memainkan senandung Jawa adalah rangka melupakan dan menghilangkan
cita rasa musik Jawa? Apakah membawa seperangkat gamelan terlalu ribet? Apakah mempelajari
tangga nada Jawa terlalu rumit? Apakah memakai kibor, bass, dan sejenis
kendhang dirasa sudah mampu membawa nuansa Jawa? Apakah memilih kepraktisan? Seperti
layaknya kita berbelanja? Apakah kesenian bisa disandingkan dengan berbelanja
di minimarket? Apakah berbelanja pun sekarang praktis kemudian berkesenian
sekarang juga harus praktis? Apakah yang praktis itu memang cocok untuk segala
hal? Apakah proses itu sudah tidak begitu penting?
Potret-potret seperti peristiwa di atas
sudah marak di kota bengawan ini. Sudah tidak terhitung jumlahnya. Maka dari
itu naskah Lurung Kala Bendu sangat relevan dengan situasi saat ini. Selain
mewartakan wacana kepada pembaca buku lakon Lurung Kalabendu juga tentunya
kepada penonton pentas Lurung Kala Bendu, wacana tersebut juga bisa menjadi kaca benggala kepada pihak-pihak yang
terlibat mementaskannya. Naskah ini sebagai sesuatu yang dapat digunakan untuk
instropeksi diri pementas dan penonton.
Roh
Surakarta, 25 April 2018