Wednesday, 25 April 2018

Potret Pentas Teater Modern dari Kamera Lawas



     Pada jaman milenia ini perkembangan teknologi digital semakin semarak. Mulai dari kebutuhan pribadi, transaksi jual-beli, tetek-bengek hal-hal administrasi tingkat kelurahan sampai nasional, hal-hal yang berbau pekerjaan sampai hal-hal yang bersifat hobi atau kesenangan, bahkan era digital ini juga sudah merambah dunia kesenian. Rasa-rasanya, kegiatan-kegiatan yang terjadi sekarang ini tidak lepas dari benda-benda digital. Kegiatan-kegiatan manual yang bersifat memakan banyak waktu, membutuhkan orang dan alat atau benda yang banyak, juga keperluan tenaga yang tidak sedikit dapat diganti dengan benda digital yang terbilang mudah dan praktis. Dari kegiatan berbelanja sampai kegiatan berkesenian.
     Dalam rangka memeriahkan Parade Teater UMS 2018 dan bakti sosial, kemarin malam (Selasa, 24 April 2018) bertempat di GOR UMS telah digelar sebuah pementasan teater oleh Teater Kidung USF UMS dengan naskah Lurung Kala Bendu karya Joko Bibit Santoso. Dimana naskah tersebut sepertinya sedang banyak-banyaknya diperbincangkan dan sedang laris atau ramai dipentaskan. Yang terdekat, sekitar bulan Desember tahun lalu naskah Lurung Kala Bendu juga usai dipentaskan oleh Tanggul Budaya Surakarta. Dapat dibayangkan, hanya sekitar 4 bulan berlalu, naskah tersebut kembali dipentaskan, mengingat proses teater pastinya membutuhkan waktu yang lama. Berbarengan dengan pentas Lurung Kala Bendu pada 8 dan 9 Desember 2017 oleh Tanggul Budaya Surakarta naskah Joko Bibit Santoso ini dibukukan dan dicetak oleh Adhoc Pustaka dan dirilis saat itu juga. Mungkin hal ini sedikit melatarbelakangi naskah ini menjadi terkenal dan membuahkan banyak peminat untuk mementaskan. Dalam satu tahun saja, di kota yang sama, sudah ada dua kelompok yang mementaskan naskah tersebut. Tentunya memang, naskah karya Joko Bibit Santoso ini memang sangat relevan di jaman sekarang ini terlepas motif tiap-tiap penggarap atau sutradaranya.

Buku Lakon Lurung Kala Bendu
      Pementasan diawali dengan sayup-sayup bunyi gamelan yang sudah terdengar dari luar panggung untuk mengiringi penonton masuk. Dan apabila didengar secara jeli gamelan tersebut ternyata membunyikan sejenis Lancaran Kebo Giro versi diatonis yang dikompres dengan kibor, bass, dan sejenis kendhang. Setelah penonton masuk, dan sudah siap menonton pentas tiba-tiba dua orang masuk yang ternyata mereka adalah pembawa acara. Setelah memberikan informasi penting mengenai pementasan pembawa acara membacakan sinopsis dan membuka pementasan. Dengan alunan musik yang masih sama, pentas dimulai. Riuh tepuk tangan penonton dipotong oleh adegan pertengkaran Santosa dan Darsi mengenai penjualan tanah. Darsi ngotot ingin menjual tanah namun Santosa ngotot tidak mau menjual. Akhirnya Santosa mengusir Darsi dan Darsi langsung ke luar rumah, inilah saat dimana sosok Darsi tertangkap mata oleh penonton. Di sini Santosa digambarkan sebagai seorang buruh pabrik yang suka mabuk-mabukan. Meskipun hidupnya pas-pasan Santosa tidak mau menjual tanah karena rumah dan tanah itu merupakan warisan dari orang tuanya. Kemudian masuk adegan-adegan dengan tokoh Mbah Sumi (penjual kembang setaman), Ngabdul (seorang yang tidak diketahui identitasnya), Sugi (rentenir), Wakidin (marbot masjid), Slamet (penjual pakan burung), dan Kampret (pesuruh Santosa).
     Unsur-unsur yang menonjol dalam pementasan tersebut adalah unsur perwatakan tokoh, unsur pendialogan tokoh, dan unsur musikal. Tokoh Mbah Sumi dan Slamet yang suntuk dengan watak Jawanya tidak muncul secara tegas. Mbah Sumi yang sangat Njawani lebur karena dialognya sangat ke-Indonesia-Indonesia-an entah Indonesia mana yang diadaptasi, Slamet yang kaya pengetahuan mengenai Jawa dan mempunyai banyak perenungan tentang tradisi Jawa berubah menjadi sesosok anak muda yang santai menghadapi perubahan jaman. Banyak dialog-dialog dari semua tokoh yang samar terdengar. Apabila penonton tidak dibekali dengan pengetahuan mengenai teks di dalam naskah, mungkin akan susah memahami apa yang sedang diperbincangkan di dalam pentas. Spirit Jawa yang ditularkan Joko Bibit Santoso dalam naskahnya hampir-hampir tidak muncul dalam pentas. Atau sengaja tidak dimunculkan?
     Masuk pada ilustrasi musik yang diusung, dimana lebih memilih instrumen seperti kibor, bass, dan sejenis kendhang namun tetap memaksakan kehendak untuk memunculkan efek seolah-olah adalah alunan gamelan. Hal ini jelas lebih mudah dan praktis ketimbang membawa ricikan gamelan lengkap yang jumlahnya banyak. Menabuhnya pun tidak mudah. Butuh berbulan-bulan bahkan mungkin bertahun-tahun untuk mempelajari dasar-dasarnya. Yang sangat disayangkan adalah gamelan bertangga nada slendro dan pelog, sedangkan kibor dan bass bertangga nada diatonis. Apabila mau sedikit menoleh pada peristiwa sejarah, ketika Paku Buwana X menghendaki gamelan slendro maupun pelog di-barung (dimainkan bersama) dengan orkes musik barat terlepas maksud dan tujuan politisnya, ketika tidak dapat disangsikan lagi pada masa itu kemampuan para pengrawit dan para pemain orkes musik barat benar-benar mumpuni dari segi musikal maupun penghayatan. Itu saja, para sejarawan dan cendekiawan musik berpendapat bahwa itu adalah sesuatu yang tidak baik. Suasananya gaduh dan kurang enak. Apalagi ada peristiwa dimana gendhing Jawa dimainkan dengan tangga nada diatonis, bagaimana telinga waras mampu mentolerir suara semacam itu? Kalau bertolak pada wacana naskah yang dipentaskan yang tertuang dalam dialog tokoh Mbah Sumi, “Tulisan latin kuwi tulisane wong latin kana! Tulisan arab kuwi tulisane wong arab kana! Kena sinau tulisan kana, ning aja nganti lali terus malah ngilangke tulisane dhewe!” Latar dari pementasan ini adalah Jawa, maka dapat disimpulkan bahwa, ‘tulisane dhewe’ yang dimaksud adalah tulisan Jawa dan pastinya Jawa itu sendiri. Apabila ditarik ke berbagai hal, Jawa mencakup segala aspek kehidupan termasuk kesenian. Tulisan dan musik adalah contohnya. Secara tersirat, kalau mau berpikir dan menggunakan daya pikir secara luas, berarti kita juga boleh mempelajari musik latin atau barat, boleh pula mempelajari musik arab, tetapi kita tidak boleh lupa dengan musik Jawa apalagi menghilangkannya. Wacana seperti itu selayaknya dilinierkan dengan proses penggarapan musik, karena musik juga merupakan satu kesatuan di dalam pentas teater. Naasnya, wacana yang disampaikan tidak linier dengan peristiwa panggung. Bukankah memakai kibor dan bass untuk memainkan senandung Jawa adalah rangka melupakan dan menghilangkan cita rasa musik Jawa? Apakah membawa seperangkat gamelan terlalu ribet? Apakah mempelajari tangga nada Jawa terlalu rumit? Apakah memakai kibor, bass, dan sejenis kendhang dirasa sudah mampu membawa nuansa Jawa? Apakah memilih kepraktisan? Seperti layaknya kita berbelanja? Apakah kesenian bisa disandingkan dengan berbelanja di minimarket? Apakah berbelanja pun sekarang praktis kemudian berkesenian sekarang juga harus praktis? Apakah yang praktis itu memang cocok untuk segala hal? Apakah proses itu sudah tidak begitu penting?
     Potret-potret seperti peristiwa di atas sudah marak di kota bengawan ini. Sudah tidak terhitung jumlahnya. Maka dari itu naskah Lurung Kala Bendu sangat relevan dengan situasi saat ini. Selain mewartakan wacana kepada pembaca buku lakon Lurung Kalabendu juga tentunya kepada penonton pentas Lurung Kala Bendu, wacana tersebut juga bisa menjadi kaca benggala kepada pihak-pihak yang terlibat mementaskannya. Naskah ini sebagai sesuatu yang dapat digunakan untuk instropeksi diri pementas dan penonton.


Roh
Surakarta, 25 April 2018

Wednesday, 11 April 2018

Ci(n)tra Buta (idnas Aral)


Orang-orang menebar citra bahagia. Itu menjadi lebih penting, ketimbang berusaha bahagia. Citra-citra yang tertebar menebar teror bagi siapa saja untuk turut serta.

“Turut serta bahagia?”

“Tidak! Turut serta menebar citra bahagia.”

Tiap jiwa bergelora dadanya, malu untuk tidak nampak bahagia. Bahkan akan melakukan apa saja, mengeluarkan biaya, untuk nampak bahagia.

Ini masa dimana citra adalah utama. Kesombongan yang katanya nista, justru tampil sebagai lakon utama. Apa kata orang menjadi lebih penting ketimbang apa kata hatiku.

Orang-orang berbondong-bondong berangkat kerja tiap pagi, untuk gaji di genggaman jari.

“Jari memang luar biasa peranannya.”Menjadi wakil diri dalam manifestasi citra diri. Dengan jari-jari mereka membeli, menunjukkan keberhasilan berkonsumsi, lalu membagikan citra bahagia dalam kesenangan ekstasi. Kemudian bangga dalam waktu yang tak seberapa. Setelah tuntas habis bangga, buru-buru harus menggenggam gaji lagi, untuk belanja lagi.

“Ini aku, lihatlah ini aku, betapa bahagia aku, wahai dunia!”

Manusia banyak sekali jumlahnya.

“Tiap satu, ingin mengada. Dianggap ada. Berbuat apa saja; untuk diakui bahwasanya ada di dalam pergaulan antar manusia.”

Modernisasi menuntut kecepatan-percepatan. Maka ‘instan-isasi’ jadi jalan untuk lari. Pergaulan antar manusia direduksi menjadi perkenalan antar citra.

“Adanya aku adalah terlibatnya aku di dalam lingkaran trendi.”

Untuk masuk ke dalam lingkar itu, ada seperangkat syarat yang musti dibeli sebagai tiket masuk. Ada yang berkemampuan tunai, ada yang berkemampuan kredit.

“Sialan, dasarnya itu bukan esensi! Lingkaran trendi terus berubah-ubah.”

Orang-orang berlari kesana-kemari, dari trendi satu ke trendi yang baru. Tak jarang trendi lama menjadi trendi baru. Kerumunan satu ke kerumunan yang lain. Daur ulang sampah peradaban oleh mesin industri menjadi semacam perhiasan yang memabukkan.

“Dasarnya tangan-tangan itu pintar dagang.” Siksa iklan menjelma kitab suci, semacam peta semesta masa kini.

“Adakah kita lelah?” tanyaku.

“Hidup adalah perjuangan!” katamu.

Coretan penganggur, tgl lupa bulan lupa tahun 2017