JOKO 'BIBIT' SANTOSO
Baginya
teater adalah kompas penunjuk arah dan orientasi hidup yang
sebenarnya. Ia percaya bahwa teater memerdekakan diri.
Lahir di
Surakarta, 12 Juli 1966, lalu hidup dan berteater di negeri ini, maka ingin
sisa raganya dikubur dan menyuburkan tanah di negeri ini pula. “Selayaknya yang
sudah didapatkan dikembalikan lagi”, ucapnya. Maka, dari sekian cita-citanya
ialah mati di negeri sendiri. Cita-cita itu penuh sudah; 14 Oktober 2016, ia berpulang
dan dikebumikan di TPU Daksinoloyo Danyung, Sukoharjo.
Teater
ia sadari sebagai kekuatan untuk merubah diri, kesadaran terebut didapat pada
peristiwa menyapu lantai saat mempersiapkan tempat latihan. Teater tiba-tiba
merubahnya, pikirnya. Ia yang selama ini tak pernah mau menyapu, tiba-tiba menjadi
orang yang rajin datang lebih awal lalu menyapu. Saat itu ia baru bergabung di
dalam kelompok teater Tesa. Sebuah kelompok teater kampus yang menjadi pintu
gerbang pergulatannya dengan dunia teater.
Selain
teater Tesa, sempat bergabung dengan beberapa teater di Surakarta, salah
satunya ialah teater Gapit. Bersama Gapit ia memperoleh nama sematan ‘Bibit’ di
tengah namanya. Nama yang sampai sekarang lekat dengannya tersebut merupakan
nama dari salah satu tokoh dari lakon “TUK”
yang ia mainkan. Sejak saat itu
ia dikenal sebagai Joko “Bibit” Santoso (JBS) atau Bibit.
Keinginan untuk terus mempelajari teater membuatnya
sempat berkeinginan untuk berguru kepada Arifin C. Noer, Putu Wijaya, Suyatna
Anirun, Sardono W Kusumo, dsb. Tetapi kemudian ia menyadari bahwa berguru tidak
harus pada orang yang memiliki nama besar, maka ia mulai menggeser metode belajarnya;
kepada siapapun ia bisa berguru. Dengan
petani, penjual rongsokan, ibu-ibu,
dll, ia ngelesot berguru
kepada mereka. Siapapun tanpa terkecuali. Dari
proses metode belajar yang demikian itulah ia menemukan kenikmatan-kenikmatan rohani —ketika menemukan sumber-sumber inspirasi
kreatif berkesenian.
Proses kreatif tersebut yang kemudian melahirkan
teater Ruang pada tahun 1994, melalui sebuah pementasan naskahnya sendiri yakni
Sang Pecinta. Proses kreatif di dalam
penggarapan naskah tersebut merupakan
cikal bakal sebuah konsep teaternya yang ia sebut dengan;
minimalis-esensial-universal.
EKSPLORASI TUBUH, EKSPLORASI BENDA, DAN EKSPLORASI
SOSIAL.
Minimalis-esensial-universal ialah konsep pertunjukkan
yang meminimalkan alat bantu seperti properti, tata lampu dan set panggung untuk kemudian
menitikberatkan tugas pertunjukkan pada kemaksimalan tubuh aktor. Dalam titik
tuju kemaksimalan tersebut; tubuh diharapkan dapat memiliki nilai dan bahasa
yang bersifat esensial dan universal. Maka lahirlah berbagai pertunjukkan yang
memiliki ciri tersebut seperti; Doran,
Senopati, Perang Bubat (1997), Napol (2000),
Sel (2002), Z (2003, dipentaskan di Jepang Festival Physical Theatre),
Dudak (2006), Plencung (2007), Kumbokarno Gugur (peringatan 40 hari
meninggalnya Gus Dur), Ketawang Bajingan (2008), Absurditas (2010),
Megaliteaterukum (2015), TTDO (2016), dll. Selain itu tercipta juga karya
berbahasa Jawa yang dipentaskan di desa-desa, seperti; Lurung Kala Bendu (1996), Dhayoh, Murwakala, juga naskah anak-anak
seperti; Barisan Terik Tempe dan Maju tak
Gentar.
Kreatifitas yang terus dikembangkan beserta kesadaran
yang ia dapat dari kacamata berteaternya membuat karyanya berkembang atau terus
tumbuh. Kekritisannya dalam menyikapi keadaan negerinya ia tuangkan dalam
peristiwa-peristiwa yang ia sebut sebagai ‘eksplorasi sosial’. Antara lain; Upacara Watu Tugu, Upacara Keprihatinan
Budaya, Upacara Kemerdekaan (tolak semen), dan yang terakhir bersama teater
Ruang membeli sebidang tanah di Wonogiri (kira-kira 8ribu meter) untuk memulai
konsep ‘teater dan tani’. Selain itu, ia juga menggagas beberapa komunitas
antara lain; JTS, Teater Waroeng, Komunitas Tanggul Budaya, Teater Sangir, dll.
Selain karya yang sebagian telah disebutkan di atas, ia juga
meninggalkan karya persinggungan antar manusia yang akhirnya meninggalkan kesan. Demikian kesan dari beberapa orang yang
sempat bersinggungan dengan beliau.
“Kang Bibit MemBibitkan Hutan
perlawanan.... Subuh itu, dia menanam pohon.Dan kelak saat dia pergi, pohon itu
berubah jadi hutan...” - W Haryanto
“Beliau adalah orang yang akan
terkagum-kagum bila menemui seorang jujur dan "baik" di dlm gempuran2
sosial yg bertubi.” –Dwi Hariningsih
“Joko Bibit adalah sosok
gerilyawan yang
berani sepi. Sosok yang mengingatkan dia kepada ajaran Rendra tentang 'kegagahan dalam
kemiskinan” -Hanindawan
“Joko Bibit adalah seorang
'jawara'. Seorang yang memegang ucapannya, yang akan mempertahankan ucapannya tersebut,
berani mengutarakannya tanpa tedheng aling-aling, mendebatkannya, bahkan jika
harus... pun berani jika harus berkelahi secara fisik!” Mbah Prapto (Suprapto
Suryodarmo)
"Bibit itu orang yang punya adeg-adeg, dan menjalani hidup berlandas adeg-adeg tsb". - Pak Wi (ST Wiyono)
“adalah guru bukan hanya
sekedar guru...beliau almarhum ada cara yang unik saat memberikan ilmu
atau cara mendidiknya...memang saat pertama saat menerima ilmu beliau pasti
tidak paham apa maksudnya tapi setelah 2 tahun baru kita sadar ...dan paham apa
yang dimaksud beliau ...sungguh
luar biasa cara mendidiknya...” aji owot
“....terus terang saya merasa belum mengenalnya.
Namun dari seorang Joko Bibit, saya tergiring untuk
bisa mengenali diri saya
sendiri.” –yudi dodok
“sungguh sebuah kehormatan
pernah mengilmu padanya..” rias viri
“saya orang yang takut
pertama kali melihat beliau, lebih tepatnya tatapan mata beliau.” kicuk
“Beliau bisa menggali kemampuan
yang terpendam dari diri kami anak muda,yang selalu dikalahkan oleh pikiran
kami sendiri.” –Oki
“ Ide dan gagasannya masih dan akan slalu kami gunakan dalam
upacara rakyat.” Azis
Wisanggeni
“Dan sekarang, orang baik itu
telah berpulang, hampir 1 tahun yang lalu.
Diantara frase 'orang penting' atau 'orang besar', aku lebih suka memilih 'orang baik'.
Karena apa yg dia tunjukkan dalam laku hidupnya sepanjang yg aku tahu, dia tak berpikir untuk menjadi orang penting ataupun orang besar, melainkan sekedar upaya untuk menjadi orang baik saja.
Dan bukankah kebaikan itu bukanlah hal besar, karena bukankah memang harus begitu?” -Purwanto
Diantara frase 'orang penting' atau 'orang besar', aku lebih suka memilih 'orang baik'.
Karena apa yg dia tunjukkan dalam laku hidupnya sepanjang yg aku tahu, dia tak berpikir untuk menjadi orang penting ataupun orang besar, melainkan sekedar upaya untuk menjadi orang baik saja.
Dan bukankah kebaikan itu bukanlah hal besar, karena bukankah memang harus begitu?” -Purwanto