AGUAMA sebenarnya lebih senang
saya sebut variabel ketimbang judul lakon. Sebab AGUAMA tidak memiliki makna,
ia hanyalah nama. Tapi mosok ya, “Teater Tesa mempersembahkan sebuah lakon
dengan variabel…...” Jadi tetaplah sebut itu judul saja.
Misal, AGUAMA adalah A, maka
pertunjukkan itu nanti adalah (Q+Y+UX)×T⅛÷B–C+F,
jadi A=(Q+Y+UX)×T⅛÷B–C+F
atau AGUAMA= (Q+Y+UX)×T⅛÷B–C+F
Maka, apa yang diadegankan,
didialogkan, dipertunjukkan, divisualkan, dimunculkan dalam pertunjukan itu
nanti adalah (Q+Y+UX)×T⅛÷B–C+F),
atau bisa disebut variabel A
(AGUAMA) tidak akan nampak sama sekali di rangkaian peristiwa panggung
tersebut.
AGUAMA adalah SEBUAH VARIABEL
untuk kami menyuarakan atau berbicara mengenai Q, Y, U, X, T, B, C, F beserta
rumus atau tawaran POLA PIKIR yang mentertainya.
PRA variabel AGUAMA
Bermula dari sebuah candaan di
sore, “kalau dulu anak-anak teater kampus butuh semester pendek untuk mengejar
nilai akademisnya, kalau sekarang semester pendek dibutuhkan untuk mengejar
belajar teaternya.” Melihat kondisi dimana sekarang IPK mereka lancar dan cepat
lulus, yang berakibat (entah baik/buruk) peluang intensitas mereka terhadap
kerja pemanggungan berkurang.
Dari sebuah bercanda, sesuatu
pun terjadi….. (ini tidak seperti ketika
tuhan menciptakan kehidupan. Yang kata (siapa? aku lupa!), bahwa kehidupan ini
adalah hasil dari candaan tuhan yang paling tragis.)
….. maka saya tawarkan sebuah
proses dengan tajuk Semester Pendek kepada siapa saja yang berani kemaki untuk
tidak “menghabiskan waktu” liburan tetapi “mengolah waktu” untuk memproduksi
pertunjukkan. Bagaimana?
Lalu dengan secara berangsur,
Salam, Bobi, Hasan, Naim, Sigit, dan kemudian juga berangsur kemayu; Bibit
masuk.
Waktu pun berjalan,
latihan-latihan mereka yang bisa hampir setiap hari karena tidak terganggu
tugas kuliah itu kemudian sampai pada sebuah tuntutan untuk saya segera
menentukan naskah yang akan dimainkan.
Saya memiliki pemahaman, bahwa
naskah yang akan dimainkan harus menjadi sebuah ‘kran’ yang akan dibuka untuk
mengalirkan apa yang hendak para pelaku ‘ekspresikan’. Dan ekspresi adalah
bentuk dari menyampaikan ‘sesuatu’. Pendeknya, kata bung Neitsche, seni adalah
cara berbicara, cara mengungkap.
Maka sampailah saya pada sebuah
pertanyaan, “apakah kita benar-benar memiliki “sesuatu” yang ingin disampaikan
itu?
“apakah kita benar-benar
memiliki keinginan untuk “menyampaikan” sesuatu itu?
Pertanyaan itu belum terjawab,
sudah muncul pertanyaan lagi,
“apakah “sesuatu” itu dapat
kita ungkapkan? Penting untuk diungkapkan? Untuk apa diungkapkan?”
Memang boleh saja kita
mengambil naskah yang sudah ada, “kran” yang sudah jadi sepaket dengan
“air”nya, agar efektif dan kita bisa segera fokus untuk latihan menjadi peralon
atau selang. Toh, sekedar jadi peralon itu juga tidak gampang, mangsamuk! Tapi saya tetap kepengin
untuk tidak bernaung di bawah atap “sekedar” kalaupun harus ambyar dan bubar
jalan.
Tumpukan pertanyaan masih belum
terjawab, timbul tenggelam di antara Salam, Bobi, Hasan, Naim, Sigit, dan Bibit
yang latihan. Kadang Alimi dan Bana ikut, tapi seringnya tidak. Rutinitas
latihan setiap malam, menambah metode atau mengulang materi dan evaluasi. Makin
sering hal tersebut dilakukan, kami semakin tahu bahwa betapa masih begitu jauh
kami dari “menjadi seorang aktor” (jika merujuk bacaan dan wejangan). Mungkin
tahapnya memang begitu, latihan teater sebelum membawa kita pada kondisi
‘memperbaiki’ atau meningkatkan kemampuan, kita harus melalui tahap mengenali
kekurangan-kekurangan diri dahulu. Semua itu adalah bagian dari mengenali diri
sendiri, maka dasar-dasar latihan teater tidak pernah lepas dari “usaha membaca
diri sendiri”.
Dari situlah, saya mendapatkan
kesimpulan, bahwa ternyata kami sudah melakukan tahap “reading”! Kami membaca
diri kami, kami berdialog dengan diri kami, kami berdialog dengan tubuh kami. Kami
menemukan pertempuran di tubuh kami, menemu konflik, menemu drama, menemu
tragedi, menemu komedi,……
Ya, teater adalah sebuah alat
baca, metoda, pisau bedah, yang tidak hanya memantulkan bayangan kita tetapi
juga mendedah, bahkan mendiagnosa, meski tak harus menjanjikan obat.
Sebab terpancing oleh
kesimpulan itu, AGUAMA pun turun sebagai variabel untuk merumuskan hasil
pembacaan tersebut agar menjadi sebuah susunan cerita, sebuah usaha dramatik
(naskah) yang akan dimainkan oleh Bobi yang memerankan Bobi, Naim sebagai Naim,
Hasan sebagai Hasan, Sigit sebagai Sigit, dan Bibit sebagai Bibit.
AGUAMA disepakati sebagai
naskah yang akan kami tunaikan di Sanggar Teater Tesa, 7,8, dan 9 Maret 2019,
20.00 WIB.
Kami akan berbicara mengenai
diri kami, apakah akan menjadi diri anda?
Kami akan berbicara mengenai
teater kami, apakah akan menjadi teater kita? teater kampus? teater amatir?
teater politik? teater negara? teater agama? dan segala teater lainnya?
Kami akan mempertunjukkan diri
kami, apakah akan menjadi pertunjukkan diri anda?
Jadi pertanyaannya,
Jika A = (Q+Y+UX)×T⅛÷B–C+F, apakah (Q+Y+UX)×T⅛÷B–C+F = Anda?
Sukoharjo, 24 February
2019
Idnas Aral