Tuesday, 28 May 2019

GENERASI INSYAALLAH



"Sampailah kita pada sebuah generasi yang secara kurun waktu disebut generasi milineal, dan secara mental ketepatan waktu, aku sebut Generasi Insyaallah, generasi yang tidak berani berjanji dan sembunyi di balik bahwasanya Tuhanlah yang menentukan! Insyaallah dalam konteks kebudayaan kita, bermakna tidak berani berjanji, ah kau tahu kan maksudku??" kata Emblis bersemangat.

"Auwah kayak kamu tidak begitu saja..."

"Aku juga begitu, kamu juga, kita semua memang begitu, kita kan segenerasi, sejaman, sekencenderungan, tinggal bagaimana kita berani membaca kekurangan diri atau tidak." ujar si Emblis

"Aku jadi ingat kata orang itu," kataku, "namanya aku lupa. Waktu itu aku masih sering tidur di sekretariat UKM kampus. Kebetulan hari itu aku bangun paling pagi di antara penghuni kampus lainnya. Orang itu menyapaku dengan akrab dan kami pun berkenalan. Ia memiliki kemampuan berbicara dengan baik, kualitas bebrayan yang sekarang jarang dimiliki oleh orang-orang segenerasiku.

Sampailah aku pada obrolan bahwa dia dulu sempat ikut perkumpulan anak-anak muda di Yogyakarta yang diasuh oleh Umbu Landu Paranggi, yakni PSK (Persada Studi Klub). Berdasar pengalamannya, anak-anak muda di PSK, di akhir pertemuan akan menentukan hari dimana mereka akan bertemu lagi. Setelah hari janji jumpa ditentukan, saat itulah setiap kepala akan merencanakan diri menuju hari H itu.

Begini katanya, "jadi semisal ini hari senin dan kami bersepakat untuk ketemu lagi hari jumat. Saat keputusan itu jatuh setiap kepala langsung memutar rencana untuk melalui selasa, rabu, kamis, dan kemudian menuju di tempat pertemuan pada hari jumatnya.

Secara fisik kami baru akan berangkat menuju lokasi hari jumat, tetapi secara mental, pikiran, perasaan, kami sudah menuju ke tempat pertemuan sedari kesepakatan itu diputuskan."

"Hampir semuanya seperti itu?"

"Ya semua, tidak hanya di PSK, di perkumpulan lain juga seperti itu di masa tersebut, mungkin karena belum ada hape yang membuat kita lebih percaya diri untuk berani berjanji dan berani membatalkan, bahkan satu jam sebelum waktu pertemuan, kita bisa sms, saya tidak jadi datang."'

"Nah bener kan kesimpulanku?" Emblis bersemangat. "Kita itu terlalu percaya diri karena daya dukung teknologi yang menopang diri di segala lini. Tapi penguasaan diri kita malah keteteran sampai-sampai mengakses mental untuk menepati janji dan komitmen pada apa yang disepakati saja kita tidak lagi sanggup."

"Mungkin begini mblis" Si Embut urun rembug, "pengertian berjumpa masa dahulu dan sekarang itu kan sudah berbeda, sekarang sosial media itu juga sudah dianggap sebagai ruang jumpa."

"Mana bisa pengertian berjumpa berubah, berjumpa itu ya berada di satu ruang dan waktu yang sama. Berjumpa di ruang waktu yang tak sama itu, bahasa puisi. Beberapa hal memang bisa berubah tetapi ada wilayah yang tak berubah, yakni hal-hal yang esensial." Emblis membantah.

"Ah kamu terlalu kolot."

"Lhoh nyatanya senggama dari zaman dahulu sampai sekarang masih harus di kasur yang sama, kalau tidak ya onani namanya." ucap Emblis sembari membetot pangkal selakangannya.

"Yasudah kamu tulis soal ini ya mblis, besok jadi lalu kita diskusikan, besok jadi bisa tidak?" tanyaku

"Insyaallah." jawab Emblis.

Catatan Gumam, 28 Mei 2019
Idnas Aral

Sunday, 26 May 2019

SEMPAK DIENGGO NANG NDAS



"Ckikikikikikikikkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk......"

Disusul angin kencang dan kemrosak daun pisang jatuh. Sosok almarhum muncul dihadapanku dengan ngguyu ngecenya. Kalau sudah ngikik begitu, siapapun yang mendengar otomatis merasa dihina.

"Kenapa tertawa hum?"

"Lhaiya karena ada yang lucu to."

"Lhaiya yang lucu itu apa?"

"Yang lucu ya kalian ini? Celana dalam kok dipakai di kepala. Ckakakakak!"

Kali ini kubiar dia ngakak tanpa harus kutanyai, nanti juga dia menjelaskan apa maksudnya.

Akhirnya muncratnya tawa selesai dan berceritalah almarhum sebagaimana dulu ketika ia masih hidup.

"Kalian itu bebas ya bebas, terbuka ya terbuka, tapi mbok ya tahu fungsi, tahu letak, tahu esensi, tahu koridor, kalau sampai sempak dipakai di kepala dan kalau tidak sedang pentas ngabsurd itu kan lucu!"

"Sing nganggo sempak nang ndas kuwi sapa?!!"

"Ya kalian dalam mempergunakan dialog itu! Kalimat, ungkapan, kata-kata, yang fungsinya kedalam diri; memberitahu diri, manajemen diri, sekarang dipakai sebagai pakaian luar, dipakai buat nge-brand diri, label diri."

"Maksudmu i piye to hum, almarhum."

"Jik rung cetha? Kata ikhlas, itu omongna nang atimu, dialogkan dalam dirimu, pakai di dalam dirimu, gunakan ke dalam diri untuk suatu kondisi dimana harus kita hadapi  dengan teknologi ikhlas. Lha kok malah dilabelkan, digandul-gandulke, dibengok-bengokke; wahai dunia aku adalah orang ikhlas! Hai teman-teman, aku sedang ikhlas lho!. Ikhlas itu laku, bukan label! Ya ngono kuwi jenenge sempak dinggo nang ndas!"

"Lha terus kalau sudah begitu, akibatnya apa?"

"Ya jadi lucu!"

"Syukurlah kalau akibatnya cuma jadi lucu."

"Syukurlah gundulmu kuwi! Kalau orang-orang sudah tidak menganggap itu lucu, sudah menganggap itu tidak aneh? Lama-lama orang-orang akan kehilangan peta dialog?!"

"?????"

"Sesuatu yang salah kemudian diikuti banyak orang lama-lama jadi kaprah, lalu jika dibiarkan terus menerus akhirnya ia akan menjadi kelumrahan, puncaknya ia menjadi kebenaran. Saat itulah sebuah wasiat jadi mati esensinya, jadi kehilangan orientasi. Dan ia pun menjadi barang yang tak berfungsi alias sampah."

"Apa sudah separah itu, sampai almarhum pakai istilah kehilangan peta dialog segala.?"

"Kamu itu sama omongannya orang yang sudah mati kok tidak percaya! Itu lihat orang-orang yang pulang dari lomba itu. Kalau pulang bawa piala, captionnya; 'hasil tidak pernah mengkhianati proses!' Itu kalau lagi menang, kalau pas kalah captionnya, 'yang penting adalah prosesnya!' Ckikikikikikikikkkk!"

"Lhoh itu kan karena mereka ingin memberitahukan bahwa mereka sudah berusaha keras."

"Kenapa usaha keras harus ditunjuk-tunjukkan? Usaha keras itu dipraktekkan! Usaha keras, proses yang serius, latihan yang berat itu tempatnya di dapur! Barang mentah kok dihidangkan. Kalimat 'hasil tidak pernah mengkhianati proses' ucapkan pada dirimu yang sedang berproses agar dirimu meyakini bahwa proses yang baik akan menghasilkan kebaikan.

Kalimat 'yang penting adalah prosesnya' ucapkan pada dirimu agar fokus pada hal yang sedang kamu kerjakan, fokus pada kerja kerasmu, fokus pada usahamu. Itu resep dapur, itu bukan suguhan! Ini kalau aku lanjutkan soal peta dialog kalau saya lanjutkan bisa-bisa saya terpaksa hidup lagi!"

"Lhoh masih banyak to?"

"Ra umum! Saya tanya kamu, petuah 'anak muda harus menghormati orang tua itu cekelane cah enom atau wong tuwa?"

"Pegangannya orang tua!" kujawab mantap.

"Goblog! Ya pantes kalian njur gelut wae!"
"Lha piye to?"

"Pikir sendiri! Kalau diterus-teruskan nanti semu orang mati harus hidup lagi untuk menjelaskan warisannya. Ckikikikikikikikkkk......"

Angin kencang lagi, daun pisang jatuh lagi, almarhum kembali hilang meninggalkan pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan yang membuat rindu pada masa lalu.

Catatan Gumam, 26 Mei 2019
Idnas Aral

Saturday, 25 May 2019

KECANDAK KOWE DADI! (Idnas Aral)


Bagi yang dulu pernah bermain playon. Tak asing dengan kalimat itu. Sebuah aturan sederhana, yang artinya, bagi pemain yang tersentuh oleh si pengejar maka ia berganti peran dengan si pengejar atau biasa disebut, sing dadi, artinya yang menjadi. Sekumpulan anak yang sedang bermain playon itu berlarian senang sembari ngece si 'dadi'.

Mereka senang menjadi bagian dari mayoritas dan akan berusaha keras untuk tidak 'kecandhak'. Sebaliknya si pengejar akan berusaha keras untuk nyandhak salah satu dari mayoritas untuk bertukar peran, untuk melepas tugas mengejar lalu ganti dikejar dan kemudia bergabung dengan kelompok mayoritas. Serunya permainan ini akan terus terjaga selama kelompok bermain tersebut, semuanya tidak ingin 'dadi', semua berusaha menghindari peran pengejar yang hanya satu-satunya, semua ingin menjadi mayoritas. Kalau mereka justru sukarela bahkan berebutan untuk kecandhak dan semua kepengen dadi, jadi tak seru lagi.

Anak-anak yang memang suka playon, ditampung oleh beberapa permainan tradisional yang biasanya berpola pertentangan dua peran pokok, yakni ‘yang-dadi dan tidak-dadi, yang mengejar dan dikejar, seorang vs banyak orang. Ini sekedar keseruan permainan yang tercipta oleh aturan main sederhana dan mudah dipahami. Tetapi situasi tersebut tidak akan tercipta jika tidak ada kecenderungan orang untuk memilih dan berusaha menjadi bagian dari mayoritas dan ketidaksudian menjadi satu-satunya atau minoritas.

Tetapi terkadang keasyikan permainan itu menjadi tragis dan kejam ketika terjadi ketidakseimbangan kekuatan. Yakni, ketika anak yang lemah itu dikungkum sak bubare atau terus menerus berperan sebagai seolah aib yang dijauhi kawan-kawan yang wegah nyedhak ndak kecandhak.

Posisi minoritas, sendirian, dihindari, ditambah dikeroyok dengan olokan, ingin nyandhak tak mampu, kalah fisik, psikologi terpojok, itulah kondisi seorang anak yang sedang dikungkum sak bubare. Situasi menyedihkan si minor itu, kalau tidak terempati oleh kawan-kawan sepermainannya, biasanya ia menangis dan bubar, atau tetap ngampet tetapi jadi trauma atau kapok bermain lagi.

Atau dan mungkin.
Biasanya muncul sosok pahlawan cilik dari salah satu mayoritas itu. Ia menangkap kesedihan, ketakberdayaan, ketertindasan keadaan anak yang dikungkum itu.

Ia mendengar jeritan minta tolong yang tak diucapkan itu.

Maka ia pun merelakan diri untuk kecandhak dan menggantikan peran, memikul tanggung jawab itu.

Ia berani, sebab ia tahu bahwa ia memiliki kemampuan yang telah ia takar, ketika  harus mengorbankan diri untuk 'dadi', ia sanggup melakoninya. Dan memang seperti itulah seorang pahlawan itu, selain berkepekaan tinggi, ia memiliki power lebih dari yang lain untuk memikul tanggungjawab, memiliki kemampuan dan skill untuk merubah keadaan. Ketika dua syarat itu termiliki, maka sore itu, lahirlah seorang pahlawan cilik dari sebuah permainan playon.

Anak seperti itu sepengalamku, selalu ada di setiap segerombolan geng dolanan. Heroisme tumbuh di dalam dirinya secara naluriah. Sebab itulah, secara tidak formal ia akan diangkat sebagai pemimpin oleh rombongan bermain kami tanpa harus menawar-nawarkan diri. Tanpa mencalonkan diri, ia terpilih sebagai panutan. Tanpa mengucapkan apapun, ia memikul tanggung jawab lebih tanpa perlu mengeluh.

Sebab, ia adalah seorang pahlawan maka ia menjadi pemimpin.

Jika pemimpin bukan seorang pahlawan maka ia tak mungkin sanggup memimpin, ia hanya memerintah atau justru menindas.
Pemimpin lahir dari jiwa kepahlawanan.
Pahlawan adalah kepekaan dan keempatian yang ditopang power untuk berbuat merubah keadaan.
Tanpa power pahlawan hanyalah konsep dan angan-angan.
Tanpa kepekaan dan keempatian, power hanya akan menjadi wenang yang sewenang-wenang.
Bibit pahlawan dan pemimpin akan selalu ada di setiap generasi anak-anak kita, tinggal bagaimana mekanisme "kecandhak" lalu "dadi" kita, akankah sampai pada pundak yang tepat.
Bismillah! Sahur-sahur!

Catatan Gumam, 26 Mei 2019
Idnas Aral